Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse

(1)

GAMBARAN RESILIENSI PADA PEKERJA ANAK YANG

MENGALAMI ABUSE

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

NUZULIA RAHMATI

071301013

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2012


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN RESILIENSI PADA PEKERJA ANAK YANG MENGALAMI ABUSE

Dipersiapkan dan disusun oleh:

NUZULIA RAHMATI 071301013

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 14 Agustus 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Meidriani Ayu Siregar, S.Psi., M. Kes., psikolog Penguji I NIP. 196405232000032001 Merangkap pembimbing 2. Debby Anggraini Daulay, M.Psi., psikolog

NIP. 198101222008122002 Penguji II

3. Ari Widiyanta, M.Si., psikolog


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari di temukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2012

Nuzulia Rahmati

NIM : 071301013


(4)

Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse

Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRAK

Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua terpaksa memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama (Bagong, 2001). Harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga tentu bukanlah hal yang mudah bagi para pekerja anak, begitu banyak resiko yang akan dialaminya ia membutuhkan resiliensi agar mampu bertahan. Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Grotberg (2000), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden tiga orang. Tehnik pengambilan responden dilakukan dengan operational construct sampling. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan didukung oleh observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden memiliki faktor I have dan mampu mengembangkan sumber resiliensi yang ada yaitu memiliki hubungan yang dilandasi kepercayaan, memiliki struktur dan aturan dirumah, memiliki dorongan mandiri, memiliki role models, memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Ketiga responden mampu mengembangkan kekuatan pribadi (I am), yaitu disayang dan disukai oleh orang lain, mencintai dan berempati kepada orang lain, bangga pada diri sendiri, mandiri dan bertanggung jawab serta memiliki harapan,keyakinan dan kepercayaan akan masa depan yang lebih baik. Selanjutnya ketiga responden juga mampu mengembangkan kemampuan interpersonalnya (I can), yaitu ketiga responden mampu mengelola berbagai ransangan, mengukur tempramen diri dan juga orang lain. Ketiga responden juga mampu mengekspresikan/mengkomunikasikan perasaannya kepada keluarga dan juga orang lain.


(5)

Resilience of the Child Labor Who Are Abuse Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRACT

Poverty in the economy has created a lot of child labor. Parents are forced to mobilize children as workers to help the family economy. At this point the emergence of vulnerability, because the children can change the role of "just help" becomes the primary breadwinner. Must work to help the family economy is certainly not an easy thing for the child workers, so many risks to be experiencing it requires resilience to survive. Grotberg (2000) suggested that resilience is the ability to assess, address, and improve or transform himself from adversity or misery in life, because everyone would have had difficulty or a problem and that no one is living in a world without a problem or difficulties. Grotberg (2000), suggests that resilience factors identified by different sources. For the power of the individual, in private use the term 'I Am', for external support and resources, used the term 'I Have', while for the interpersonal skills used istilah'I Can '.

This study aims to proviede a picture of resilience in child labor who experience abuse. This study uses qualitative methods to three the number of respondents. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations.

The results of this study showed that three the number of respondents have the factor I have and be able to develop sources of resilience that there is a

trusting relationship, has a structure and rules at home, have a

self-encouragement, have role models, health services, education, safety and welfare. Three respondents were able to develop personal strengths which loved and liked by other people, empathy for others, proud of self, confidence and optimism, autonomy and could be responsible for their own behavior and have a

hopefulness, belief and trustiness. I Can differ on the characteristics of the respondent, the respondent I was able to develop a trusting relationship with the family, able to express your feelings when communicating with the family. And then three respondents also were able to develop to measure the temperament of theirself and others, also were able to express their feelings to others. three respondents also were able to able to manage feelings when communicated with family or others outside the family.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan berkat yang diberikan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak yang Mengalami Abuse”.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :

1. Fakultas Psikologi dan Universitas Sumatera Utara yang telah menyediakan sarana bagi peneliti.

2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

3. Kepada Dosen Pembimbing peneliti yaitu ibu Meidriani Ayu Siregar, S.Psi.,M.Kes yang begitu sabar dalam membimbing peneliti dan menyempatkan waktu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. 4. Kepada Dosen Pembimbing Akademik yaitu ibu Rika Eliana M. Psi.,

Psikolog yang selalu memberikan nasehat dan motivasi belajar kepada peneliti.

5. Kepada ayah bunda yang tiada hentinya selalu sabar dan selalu memberikan dukungan kepada peneliti, selalu mendoakan dan


(7)

menyemangati peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini baik dukungan moral maupun dukungan finansial.

6. Kepada kakak peneliti Nurul Amalia Fitri S.Psi, abang peneliti Muhammad Shadri., Lc dan adik peneliti Muhammad Ridha Rizki sang calon sarjana psikologi juga, yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan doa kepada peneliti yang selalu memberikan motivasi dan semangat yang membuat peneliti tetap berjuang.

7. Kakak senior peneliti yang juga memberikan masukan yang sangat bermanfaat bagi peneliti.

8. Seluruh sahabat dan teman-teman, nana, massita, kiki, vety, riah, dila, tyas, ina, putri, juned, imel dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah saling memberikan dukungan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dilihat dari gaya bahasa maupun materinya. Hal ini dikarenakan kemampuan peneliti yang terbatas. Untuk itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar ke depan menjadi lebih baik.

Medan, Agustus 2012


(8)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

D. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi ... 14

1.Definisi Resiliensi ... 14

2. Faktor-Faktor Resiliensi ... 13

3. Tahap Pembentukan Resiliensi ... 20

B. Pekerja Anak ... 22

1.Definisi Pekerja Anak ... 22

2. Resiko dari Pekerja Anak ... 25

C. Abuse ... 26

1.Definisi Abuse ... 26


(9)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Child Abuse ... 27

D. Remaja... 28

1.Definisi Remaja ... 28

2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja ... 30

E. Paradigma Penelitian... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 35

B. Responden Penelitian... 36

1. Karakteristik Responden... 36

2. Jumlah Responden... 37

3. Prosedur Pengambilan Responden... 37

4. Lokasi penelitian... 38

C.Metode Pengambilan Data ... 38

E. Alat Bantu Pengumpulan Data... 40

F. Kredibilitas Penelitian... 42

G. Prosedur Penelitian ... 43

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Responden...47

B. Hasil Analisa Data Responden ...85

1. Latar Belakang Responden Menjadi pekerja Anak ... 52

2. Gambaran Resiliensi ... 58

C. Pembahasan Responden ...103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...152

B. Saran...156

DAFTAR PUSTAKA...158 LAMPIRAN


(10)

Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse

Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRAK

Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua terpaksa memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama (Bagong, 2001). Harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga tentu bukanlah hal yang mudah bagi para pekerja anak, begitu banyak resiko yang akan dialaminya ia membutuhkan resiliensi agar mampu bertahan. Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Grotberg (2000), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden tiga orang. Tehnik pengambilan responden dilakukan dengan operational construct sampling. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan didukung oleh observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden memiliki faktor I have dan mampu mengembangkan sumber resiliensi yang ada yaitu memiliki hubungan yang dilandasi kepercayaan, memiliki struktur dan aturan dirumah, memiliki dorongan mandiri, memiliki role models, memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Ketiga responden mampu mengembangkan kekuatan pribadi (I am), yaitu disayang dan disukai oleh orang lain, mencintai dan berempati kepada orang lain, bangga pada diri sendiri, mandiri dan bertanggung jawab serta memiliki harapan,keyakinan dan kepercayaan akan masa depan yang lebih baik. Selanjutnya ketiga responden juga mampu mengembangkan kemampuan interpersonalnya (I can), yaitu ketiga responden mampu mengelola berbagai ransangan, mengukur tempramen diri dan juga orang lain. Ketiga responden juga mampu mengekspresikan/mengkomunikasikan perasaannya kepada keluarga dan juga orang lain.


(11)

Resilience of the Child Labor Who Are Abuse Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRACT

Poverty in the economy has created a lot of child labor. Parents are forced to mobilize children as workers to help the family economy. At this point the emergence of vulnerability, because the children can change the role of "just help" becomes the primary breadwinner. Must work to help the family economy is certainly not an easy thing for the child workers, so many risks to be experiencing it requires resilience to survive. Grotberg (2000) suggested that resilience is the ability to assess, address, and improve or transform himself from adversity or misery in life, because everyone would have had difficulty or a problem and that no one is living in a world without a problem or difficulties. Grotberg (2000), suggests that resilience factors identified by different sources. For the power of the individual, in private use the term 'I Am', for external support and resources, used the term 'I Have', while for the interpersonal skills used istilah'I Can '.

This study aims to proviede a picture of resilience in child labor who experience abuse. This study uses qualitative methods to three the number of respondents. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations.

The results of this study showed that three the number of respondents have the factor I have and be able to develop sources of resilience that there is a

trusting relationship, has a structure and rules at home, have a

self-encouragement, have role models, health services, education, safety and welfare. Three respondents were able to develop personal strengths which loved and liked by other people, empathy for others, proud of self, confidence and optimism, autonomy and could be responsible for their own behavior and have a

hopefulness, belief and trustiness. I Can differ on the characteristics of the respondent, the respondent I was able to develop a trusting relationship with the family, able to express your feelings when communicating with the family. And then three respondents also were able to develop to measure the temperament of theirself and others, also were able to express their feelings to others. three respondents also were able to able to manage feelings when communicated with family or others outside the family.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan hingga kini masih menjadi hal yang memprihatinkan bagi sebagian besar masyarakat di dunia, apalagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Ellis (dalam Suharto, 2008), kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok individu. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Menurut Bagong (2001) kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua terpaksa memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama. Selain itu, kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dijadikan sebagai sebuah alasan pembenaran terhadap praktek-praktek mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh pihak pengusaha (Achdian dan Aminudin, 1995).

Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau


(13)

untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Menurut karakteristik pekerjaan yang dilakukannya, pekerja anak adalah anak-anak yang kurang lebih seperti pekerja umumnya yang bertujuan untuk membiayai kehidupan ekonomi untuk dirinya dan keluarganya (Bagong, 2001).

Hal lain yang dapat mempengaruhi anak bekerja selain faktor ekonomi adalah keluarga itu sendiri, dimana keluarga yang merupakan unit ekonomi atau konsumsi dipengaruhi oleh kondisi eksternal maupun internal termasuk dalam menentukan besarnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk bekerja. Keadaan internal keluarga (besarnya tanggungan, tenaga yang dimiliki, pendapatan kepala keluarga, kebutuhan konsumsi dan lain-lain), merupakan faktor yang mempengaruhi keterlibatan anggota keluarga ke dalam usaha mencari nafkah, dengan demikian faktor penyebab anak ikut bekerja juga ditentukan oleh keadaan rumah tangganya (Prijono, 1992). Seperti kutipan wawancara dengan pekerja anak yang berinisial U (13 tahun) berikut:

“Mamak sama bapak kerja juga, tapi nggak cukup uangnya makanya aku disuruh kerja juga, karena biar bisa tetap sekolah dan cukup buat makan kami, kalau aku ngga kerja yah aku ngga bisa sekolah karena uangnya nggak cukup”

(Sumber: Komunikasi Personal, 3 Mei 2011)

Bila merujuk pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. UU No. 4 (1974) menyatakan seorang anak haruslah dipandang sebagai makhluk yang harus dilindungi, dikembangkan, dan dijamin kelangsungan hidupnya, selain itu setiap anak memiliki hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan


(14)

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bukan sebaliknya, malah anak dijadikan sebagai alat pencari nafkah, sehingga semakin meningkat pesat jumlah pekerja anak di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) data tahun 2010 diperoleh dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebutkan, jumlah pekerja anak di dunia mencapai 200 juta, bahkan Indonesia merupakan salah satu penyumbang pekerja anak terbesar di dunia. Indonesia berada di urutan ketiga setelah India dan Brazil. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 2,5 juta anak bekerja, kategori pekerja anak yang dipakai BPS (Badan Pusat Statistik) adalah mereka yang berumur 10-14 tahun yang aktif melakukan aktivitas secara ekonomi, sudah pasti jumlah pekerja anak akan lebih besar jika kategorisasi yang dipergunakan lebih luas, yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk keperluan mencari upah, apalagi kategorisasi umur dinaikkan hingga kurang dari 18 tahun, sebagaimana rujukan umur anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No 23, 2002). Berdasarkan rentang usia yang disebutkan para pekerja anak dapat tergolong kedalam rentang usia anak-anak akhir dan juga remaja.

Remaja itu sendiri mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Selain itu masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum (Hurlock, 1999). Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia


(15)

antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Pelanggaran terhadap hak-hak remaja yang harus bekerja tentu sangat beresiko mengalami abuse, eksploitasi dan diskriminasi. Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock, 2002). Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, baik itu secara fisik, seksual dan emosional, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak (Papalia, 2004). Kenyataan yang ditemukan dilapangan bahwa para pekerja anak mendapatkan kekerasan tidak hanya dilingkungan ia bekerja, melainkan juga dari keluarganya sendiri.

Masalah pekerja anak ini merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, dimana pekerjaan tersebut tentu saja akan menimbulkan permasalahan pada hubungan antara remaja dengan orang lain, selain itu perlindungan keluarga terhadap remaja akan semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap orang tua yang mengharuskan anak-anaknya untuk bekerja baik itu di jalanan maupun pekerja rumah tangga anak (PRTA) yang sering berhubungan dengan tindak kekerasan. Untuk permasalahan pembantu rumah tangga sendiri terdapat fakta-fakta kekerasan terhadap PRT, menunjukkan 30%


(16)

terjadi pada PRT Anak (JALA, 2010). Seperti salah satu kasus yang didapatkan dari artikel YLBH- Apik berikut :

“ada kasus PRTA bernama Siti Saumah (14 Tahun) mengalami kekerasan fisik selama 2 tahun bekerja sering mengalami penganiayaan, terakhir disiram air panas dan mengalami pemukulan dan dicambuk 200 kali, selain itu juga dijanjikan upah Rp. 300.000/bln namun selama 2 tahun tidak dibayar”

(Rubrik Jaringan nasional advokasi Pekerja Rumah Tangga, 2010)

Remaja yang bekerja memperoleh pengaruh atau perlakuan yang buruk, seperti diperas, dipukuli, dimarahi ataupun tindak kekerasan lainnya baik itu dilakukan oleh keluarganya sendiri maupun orang lain (Robinson dkk, 2003). Seperti kutipan wawancara dengan seorang pekerja anak berinisial T (12 tahun):

“Sering dimarahin sama mamak kalo cuma dapet dikit, dibilangnya aku bukan jual-jualin korannya tapi asyik main sama temenku aja, padahal emang lagi sepi, kan aku jualannya siang pulang sekolah kak, terus waktu aku lagi jualan juga sering dipalakin sama abang-abang preman, daripada takut nanti aku dipukul atau ditampar terpaksa aku kasih aja sedikit, aku bilang aja baru dikit yang laku, hehehe..”

(Sumber: Wawancara Personal, 23 April 2011)

Pekerja anak juga rentan untuk menjadi korban tindak kriminal dari orang-orang dewasa. Pekerja anak sering kali mendapatkan bentuk kekerasan seperti tamparan, pemukulan, lemparan benda keras, disundutkan rokok ke salah satu anggota tubuh, dijewer, bahkan sampai ditendang. Seperti kutipan wawancara dengan anak penjual koran yg berinisial T (12 tahun) berikut:

“Kadang-kadang lagi jualan ada juga dipukulin ma abang-abang disana, dijewer, ditampar, bahkan pernah waktu aku jawab dia dilempar kaleng minum dia ke aku kak, terus kalau korannya ga laku, aku belum boleh pulang, aku baru bisa pulang kalau udah laku semua, kalau tetap ngga laku juga tepaksa bawa pulang kerumah, nyampe rumah kena marah lagi sama mamak aku, pening kali lah aku kak, borong lah semua koran aku kak? biar nggak kena marah lagi nanti waktu aku pulang”


(17)

Kekerasan pada remaja ini tentu akan membawa dampak negatif bagi mereka yaitu mereka kehilangan haknya untuk menikmati masa remajanya seperti bermain bersama teman sebayanya, anak menjadi korban dari perlakuan orang tuanya, sering menjadi korban perdagangan anak serta penindasan dari manusia dewasa. Jika kehidupan mereka tumbuh dari penyiksaan dan tindak kekerasan, sangat besar kemungkinan membawa dampak psikologis untuk masa mendatang berupa ketakutan, stress, kecemasan, hilang rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak pun kurang dan menunjukkan bahwa yang memperoleh tindak kekerasan pada masa anak-anak banyak mengalami berbagai hambatan dalam penyesuaian diri, menarik diri dari pergaulan atau dengan lawan jenis (jika mengalami sexual abuse), sulit berkomunikasi, canggung dan kaku dalam membina hubungan. Remaja cenderung anti sosial dan mengatasi dampak dengan melakukan keinginan untuk sering memukul dan membalasnya dengan cara itu semua persoalan lebih mudah terselesaikan (Huraerah, 2006).

Para pekerja anak atau remaja yang sudah harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga yang juga mendapatka perlakuan kasar dari keluarga dan lingkungannya tentu memungkinkan mereka untuk menimbulkan trauma, sehingga mereka pun menggunakan berbagai macam pilihan, untuk mengatasi trauma yang dialaminya. Ada remaja yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula remaja lain yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson (2007) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah


(18)

mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi.

Menurut Grotberg (2000), resiliensi individu muncul ketika individu berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Tindak kekerasan maupun kerasnya kehidupan yang dijalani oleh para pekerja anak ini tentu sangat membutuhkan kemampuan untuk dapat berhasil dalam mengatasi atau bangkit kembali dari pengalaman hidup yang menyakitkan ataupun segala kepahitan hidup yang mereka alami yang mana kemampuan tersebut biasa disebut dengan resiliensi, sebagaimana hasil penelitian dari Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang remaja yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan remaja yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.

Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat, artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, dan bahkan dengan tekanan hebat yang melekat dalam dunia sekarang sekalipun (Desmita, 2005). Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti


(19)

mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 2000). Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang, dimana jika hanya salah satu faktor saja yang terpenuhi, seseorang belum dapat dikatakan resilien jika tidak memiliki ketiga faktor tersebut.

Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi anak), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi). Selain itu, hal senada juga diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi itu merupakan kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika


(20)

menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective factors) dan faktor resiko (risk factors). Dimana faktor pelindung terdiri dari faktor individual, keluarga dan juga masyarakat sekitar, yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif, sedangkan Faktor resiko mencakup hal-hal yang dapat menyebabkan dampak buruk atau menyebabkan individu beresiko untuk mengalami gangguan perkembangan atau gangguan psikologis (Garmezy, dalam Davis, 1999). Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi individu (Sulistyaningsih, 2009). Pengembangan resiliensi menurut Grotberg (2000) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry.

Beratnya tekanan hidup yang harus dialami oleh pekerja anak ini, selain kurang mendapat kasih sayang dari keluarga dan pelanggaran terhadap haknya sebagai anak yang memang selayaknya masih bergelut dengan dunia remaja seperti remaja lainnya, dia juga harus merasakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, sehingga dengan adanya resiliensi lebih memungkinkan bagi mereka untuk dapat bertahan dari keterpurukan hidup.


(21)

Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama kelamaan dapat membaik (akibat adanya penyesuaian individu dengan masalah yang dihadapi). Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009). Selain itu, Benard (1991) juga menjelaskan lebih jauh bahwa kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan.

Fenomena di atas memperlihatkan bahwa pekerja anak merupakan suatu pilihan pekerjaan di tengah himpitan perekonomian dan tuntutan hidup yang begitu tinggi serta sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Oleh karena itu peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse ini yang mana hal ini tidak hanya merupakan permasalahan nasional, melainkan juga merupakan masalah dunia, dimana tuntutan pemenuhan kebutuhan perekonomian keluarga membuat remaja harus bekerja walaupun penuh dengan berbagai tindakan kekerasan yang mungkin sering di alami dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya.


(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas timbul suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti yaitu :

1. Bagaimanakah gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse?

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse

C. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin melihat gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse.

D. Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pada psikologi khususnya pada bidang psikologi perkembangan, untuk memperkaya teori-teori psikologi yang berkaitan dengan resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse

2. Manfaat Praktis

a. Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse kepada peneliti selanjutnya agar lebih dapat memahami resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse


(23)

b. Remaja (pekerja Anak)

Hasil dari penelitian ini diharapkan agar remaja dapat hidup dengan selayaknya dan dapat mengetahui hak-hak yang dimilikinya serta dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua maupun lingkungan terhadapnya. c. Orangtua

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat para orangtua agar lebih memperhatikan kesejahteraan anak mereka, memahami hak-hak remaja dan tidak memaksakan/memanfaatkan anaknya untuk bekerja memenuhu kebutuhan keluarga yang merupakan kewajiban mereka sebagai orang tua.

d. Praktisi/Pemerhati Masalah Pekerja Anak

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi praktisi/pemerhati masalah pekerja anak untuk dapat lebih mengetahui, dan memperhatikan dan dapat menanggulangi masalah para pekerja anak yang mengalami abuse.

e. Pemerintah

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat pemerintah lebih peduli dan lebih memperhatikan kesejahteraan remaja yang menjadi pekerja anak dengan menindak lanjuti segala bentuk pelanggaran terhadap hak-hak remaja yang menjadi pekerja anak.


(24)

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam penelitian ini antara lain:

BAB I : Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Berisi tinjuan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini

BAB III : Metode Penelitian

Berisi tentang pendekatan kualitatif yang

digunakan, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil Analisa Data

Bab ini menguraikan tentang deskrispsi identitas diri, data hasil wawancara dan observasi, dan analisa data masing-masing responden.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan penelitian serta saran praktis dan metodologis.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).

Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Daya lentur (resilience) merupakan istilah yang relatif baru dalam ranah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka (Deswita, 2006).


(26)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat di simpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup.

2. Faktor - Faktor Resiliensi

Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi remaja), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).

Grotberg (2000), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.

a. I Have

Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. Aspek ini


(27)

merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut :

a. Trusting relationships (mempercayai hubungan)

Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima remaja tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.

b. Struktur dan aturan di rumah

Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan remaja mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut.


(28)

c. Role models

Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku remaja yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan remaja tersebut dengan aturan-aturan agama.

d. Dorongan agar menjadi otonom

Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu remaja menjadi otonom. Mereka memuji remaja tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen remaja, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom.

e. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan. Remaja secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.


(29)

b. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :

a. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik

Remaja tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.

b. Mencintai, empati, dan altruistik

Remaja mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Remaja merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan.

c. Bangga pada diri sendiri

Remaja mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Remaja tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.


(30)

d. Otonomi dan tanggung jawab

Remaja dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut Remaja merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.

e. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan

Remaja percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Remaja mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi.

c. ICan

I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu :

a. Berkomunikasi

Remaja mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain.


(31)

b. Pemecahan masalah

Remaja dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.

d. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan

Remaja dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.

e. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.

Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi

f. Mencari hubungan yang dapat dipercaya.

Remaja dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna


(32)

mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

3. Tahap Pembentukan Resiliensi

Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita, 2005).

Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi individu (Sulistyaningsih, 2009). Pengembangan resiliensi menurut Grotberg (2000, dalam Sulistyaningsih, 2009) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry.

1. Rasa Percaya/trust (usia 0-1 tahun)

Rasa percaya merupakan tahapan perkembangan pertama pembangun resiliensi. Rasa percaya ini berhubungan dengan bagaimana lingkungan mengembangkan rasa percaya remaja. Perkembangan trust sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dengan individu, terutama orang tua. Rasa percaya ini akan sangat menentukan seberapa jauh remaja


(33)

memiliki kepercayan terhadap orang lain mengenai hidupnya, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaannya, serta kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap kemampuan, tindakan dan masa depannya.

2. Otonomi/ autonomy (usia 1- 4 tahun)

Dimensi pembentuk resiliensi yang kedua adalah atonomi. Autonomy dapat diartikan sebagai dimensi pembentuk yang berkaitan dengan seberapa jauh remaja menyadari bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri pribadi. Pemahaman bahwa dirinya juga merupakan sosok mandiri yang terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk kekuatan-kekuatan tertentu pada remaja. Kekuatan tersebut akan menentukan tindakan remaja ketika menghadapi masalah.

3. Inisiatif/initiative (usia 4-5 tahun)

Inisiatif merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berperan dalam penumbuhan minat remaja melakukan sesuatu yang baru. Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi remaja mengikuti berbagai macam aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif, remaja menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari berbagai macam aktivita, dimana ia dapat mengambil bagian untuk berperan aktif dari setiap aktivitas yang ada.


(34)

4. Industri/Industry (usia 6-12 tahun)

Industri merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan keterampilan-keterampilan tersebut, remaja akan mampu mencapai prestasi, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial. Dengan prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan remaja di lingkungannya.

5. Identitas/Identity (usia remaja)

Tahap identity merupakan tahap perkembangan kelima dan terakhir dari pemebntukan resiliensi. Identitas merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman remaja akan dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya. Identitas membantu remaja mendefinisikan dirinya dan mempengaruhi self image-nya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki karakteristik yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga karakteristik tersebut masing-masing memiliki faktor yang memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi.

Individu yang resilien tidak membutuhkan semua faktor dari setiap karakteristik, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut


(35)

tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang resilien. Resiliensi juga memiliki lima dimensi pembentuk yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry. Dimensi pembentuk tersebut saling berkaitan dengan faktor-faktor resiliensi yang dimiliki oleh remaja.

B. Pekerja anak

1. Definisi Pekerja Anak

Pekerja anak merupakan sebuah fenomena yang cukup menarik, perhatian terhadap pekerja anak sendiri sebenar nya telah dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib pekerja anak terutama anak-anak yang dijadikan budak mendapat perlakuan yang sangan buruk. Membicarakan masalah pekerja anak lebih dahulu berangkat dari defenisi pekerja anak atau konsep pekerja anak itu. Defenisi pekerja anak tidaklah sederhana, sebab konsep pekerja anak meliputi batasan yang sulit mengenai “anak”(child), “bekerja”(work) dan “pekerja” (ILO, dalam M. Joni, 1996).

Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Menurut karakteristik pekerjaan yang dilakukannya, pekerja anak adalah anak-anak yang kurang lebih seperti pekerja umumnya yang


(36)

bertujuan untuk membiayai kehidupan ekonomi untuk dirinya dan keluarganya (Bagong, 2001). Jandraningsih (1995) memberi defenisi tanpa menyebut batas usia, tetapi adanya aktifitas yang dilalukan anak-anak, dengan mencurahkan waktu yang besar, banyak dan mendapatkan upah. Menurutnya pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orangtuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan maupun tidak, namun dalam penelitian ini para pekerja anak yang diperoleh semunya mendapatkan upah atas jerih payahnya.

Bila merujuk pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. Menururt Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah tentang penanggulangan pekerja anak pasal 1 dinyatakan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Yang dimaksud tumbuh kembang anak adalah tumbuh dalam arti bertambahnya ukuran dan masa yaitu tinggi, berat badan, tulang dan panca indra tumbuh sesuai dengan usia kembang dalam arti bertambahnya kematangan fungsi tubuh yaitu pendengaran, penglihatan, kecerdasan dan tanggung jawab.

Dalam laporan UNICEF „The State if The Worlds Children 1997” UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah eksploitasi jika menyangkut :

a. Pekerjaan penuh waktu (full time)


(37)

c. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang tidak patut terjadi

d. Bekerja dan hidup dijalanan dalam kondisi buruk e. Upah yang tidak mencukupi

f. Tanggung jawab yang terlalu banyak

g. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan

h. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual

Keadaan dan bentuk pekerjaan menururt kriteria yang disebutkan dalam laporan tahunan UNICEF tersebut, ditemukan dalam issu anak-anak yang bekerja sepanjang timur sumatra. Pekerja anak tersebut termasuk dalam kelompok pekerja anak-anak yang bekerja dalam tekanan yang sangat kuat. Kategorisasi prioritas pekerja anak yang dilakukan ILO-IPEC di Indonesia pada bobot resiko eksploitasi yang dialami anak yakni :

1. Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagai pribadi. Ini dikenal sebagai Bunded labour. Dalam kasus ini, anak sering tidak mendapatkan upah dan dipekerjakan secara paksa

2. Anak-anak yang bekerja dibawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus-kasus anak yang bekerja pada Jermal-Jermal liar di Sumatera Utara atau anak-anak yang dilacurkan.

3. Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan yang berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa, maupun kesehatan fisik dan mentalnya. Berbagai kasus


(38)

anak yang bekerja diberbagai tempat pembuanagan sampah telah menjadi prioritas IPEC Indonesia.

Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2005), anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain :

a. Anak bekerja setiap hari. b. Anak tereksploitasi.

c. Anak bekerja pada waktu yang panjang. d. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.

2. Resiko dari Pekerja Anak

Menurut Bagong (2001), anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena bekerja lebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja. Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang sering kali dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan faktor lain yang sifatnya struktural, sehingga mereka terpaksa putus sekolah ditengah jalan atau tidak dapat maksimal dalam belajar.

Secara empiris banyak bukti menunjukkan bahwa keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi, baik di sektor formal maupun informal yang terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu


(39)

perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anak Gootear dan Kanbur (dalam Bagong, 2001). Berikut merupakan beberapa dampak pekerjaan terhadap pekerja anak, baik fisik, psikologis dan sosial menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2005) :

a. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan fisik

Secara fisik pekerja anak lebih rentan dibanding orang dewasa karena fisik mereka

masih dalam masa pertumbuhan. Bekerja sebagai pekerja anak dapat mempengaruhi perkembangan kesehatan fisik mereka karena pekerjaan yang mereka lakukan dapat menimbulkan kecelakaan maupun penyakit. Dampak kecelakaan terhadap pekerja anak dapat berupa luka-luka atau cacat akibat tergores, terpotong, terpukul, terbentur dan lain-lain, sedang kondisi yang menimbulkan penyakit antara lain kondisi tempat kerja yang sangat panas atau terlalu dingin, tempat kerja terlalu bising, terhirup debu, terhirup bahan kimia berupa uap lem, uap cat sablon, tempat kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual dan lain-lain (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).

b. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan emosi

Pekerja anak sering bekerja dalam lingkungan kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi, berbahaya, merendahkan martabat, derajat dan terisolasi. Mereka sering menerima perlakuan yang sewenang-wenang, kasar dan diabaikan oleh majikan mereka dan pekerja dewasa lainnya. Dampak yang ditimbulkan berupa pekerja anak menjadi pemarah, pendendam, kasar terhadap teman sebaya


(40)

atau yang lebih muda, kurang mempunyai rasa kasih sayang terhadap orang lain dan adanya perasaan empati terhadap orang lain (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).

c. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan sosial

Pekerja anak yang tidak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan seperti bermain, pergi kesekolah dan bersosialisasi dengan teman sebanyanya, tidak mendapat pendidikan dasar yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan, tidak mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat serta menikmati hidup secara wajar biasanya akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan egois sehingga sering berdampak anak mengalami masalah didalam interaksi / menjalin kerjasama dengan orang lain dan mereka kurang percaya diri atau merasa direndahkan. Sebagaimana dijelaskan disub bab terdahulu bahwa anak sebagai potensi dan generasi muda berkewajiban untuk meneruskan cita–cita perjuangan bangsa (generasi penerus bangsa) dan menjamin eksistensi bangsa dimasa depan. Untuk mewujudkan cita – cita tersebut merupakan kewajiban dan tugas generasi sebelumnya untuk memberikan pengarahan, pembinaan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak-anak untuk maju dan berkembang dan mengupayakan pencegahan dan penghapusan pekerja anak di Indonesia secara bertahap (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).

C. Abuse


(41)

Abuse menurut Black’s Law Dictionary, adalah penyiksaan yang dapat terjadi pada siapa saja tidak hanya anak-anak bahkan orang dewasa pun bisa mengalaminya meliputi segala kekejaman terhadap mental, moral, dan fisik. Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock, 2002).

Menurut Bosoeki (1999) menyatakan child abuse adalah istilah untuk anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun yang mendapatkan gangguan dari orangtua atau pengasuhnya yang merugikan anak secara fisik dan mental serta perkembangannya. Barnett (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse sebagai tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak, menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak. Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak (Papalia, 2004).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa abuse adalah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang lain yang meliputi kekejaman terhadap mental, moral, dan fisik, dalam hal penganiayaan terhadap anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse


(42)

2. Tipe-Tipe Child Abuse

Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi lagi menjadi :

a. Physical abuse

Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh anak seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain.

b. Sexual abuse

Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan seksual yang melibatkan anak.

c. Neglect

Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak.

d. Emotional Abuse

Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi, eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan dukungan emosional, cinta dan afeksi yang konsisten pada anak.


(43)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah kekerasan biasa juga merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).

Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse. Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004).

Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino, dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi (McLoyd,


(44)

dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan (Barry & Garbarino dalam Berns, 2004)

D. REMAJA 1. Definisi Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980).

Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Menurut Papalia, Old dan Feldman (2008), masa remaja adalah masa transisi kembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Monks (2004) juga membagi masa remaja ke dalam tiga tahap disertai karakteristiknya sebagai berikut:

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada rentang ini, remaja sudah mulai memperhatikan bentuk dan pertumbuhan seksual dan fisiknya. Hal ini disebabkan karena pada masa ini remaja mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dan perubahan proporsi tubuh.


(45)

b. Remaja Madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Umumnya pada usia remja madya seseorang berintegrasi dengan sebayanya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian:

1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

4) Egosentrisme (terlalu memutuskan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.


(46)

2.Aspek-aspek perkembangan remaja

Hurlock (2004) mengemukakan bahwa pada masa remaja memiliki empat jenis perkembangan yaitu:

a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan keterampilan motorik (Papalia & Olds, 2008). Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja terlihat nampak pada saat pubertas yaitu meningkatnya berat badan serta kematangan sosial (Santrock, 2002). Diantara perubahan fisik, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditadai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2010).

Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi oleh berfungsinya hormon – hormon seksual (testosteron untuk laki – laki dan progesteron dan estrogen untuk wanita). Hormon – hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja. Dorongan seksual ini mengakibatkan perilaku seksual pada remaja baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk dari tingkah laku ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2010).


(47)

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja kedalam skema kognitif mereka. Perkembangan kognitif remaja ini dikenal dengan tahap operasional formal (Santrock, 2002).

Tahap operasional formal adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasional formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal.

Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2002).

Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Dengan kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak lagi terlalu tergantung kepada orang lain.


(48)

Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis (Samtrock, 2002).

Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2002). Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2008). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain”.

c. Perkembangan emosi

Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil, sehingga sering kali menimbulkan kegundahan diri pada remaja. Hal ini yang kemudian menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (2004) menyebut gejolak tersebut dengan istilah “badai” dan “tekanan”, atau dikenal dengan periode storm and stress yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapi remaja. Tidak semua remaja menjalani masa badai dan tekanan, namun sebagian remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru (Hurlock, 2004).


(49)

d. Perkembangan sosial

Remaja mengalami masa pergolakan remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bemacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok teman sebaya, dimana remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok teman sebaya daripada dengan keluarganya (Monks dkk, 2002). Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah dengan teman sebaya. Dengan demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada diri remaja seperti sikap, pembicaraan, minat, dan perilaku.

Kelompok teman sebaya tidak menjadi hal yang berbahaya, jika remaja dapat mengarahkannya. Dengan adanya kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya dipenuhi, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan diperhatikan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh remaja di rumah maupun di sekolah (Zulkifli, 2005). Namun, kelompok teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti meminum minuman keras, merokok, maupun melakukan seks bebas (Hurlock, 2004). Hal ini disebabkan karena kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seseorang dalam berperilaku (Papalia & Olds, 2008).

3. Tugas Perkembangan Remaja

Havinghurst (dalam Hurlock, 1999; Bigner, 1994) secara umum menyebutkan tugas-tugas perkembangan masa remaja yaitu:


(50)

a) Memperluas hubungan antar pribadi dan komunikasi yang lebih baik dengan teman seusia dari sesama jenis kelamin maupun dengan lawan jenis kelamin. b) Mencapai peran sosial yang maskulin dan feminin.

c) Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang yang lebih dewasa.

e) Mencapai kepastian atau jaminan akan kemandirian ekonomi. f) Menyeleksi dan mempersiapkan pekerjaan.

g) Mempersiapkan diri untuk rencana pernikahan dan menghadapi kehidupan berkeluarga.

h) Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan. Memiliki rasa tanggung jawab secara sosial.


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif untuk mengetahui bagaimana gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi.

A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang mendalam berkaitan dengan bagaimana pengalaman subjektif mengenai resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Creswell (1994) bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari responden yang berada dalam setting alamiah. Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri. Instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).


(52)

Menurut Poerwandari (2007), melalui penelitian kualitatif diharapkan peneliti memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian. Menurut Creswell (1998), penelitian kualitatif memiliki 5 jenis penelitian, yaitu:

1. Biografi

Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri.

2. Fenomenologi

Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana


(53)

peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden.

3. Grounded theory

Walaupun suatu studi pendekatan menekankan arti dari suatu pengalaman untuk sejumlah individu, tujuan pendekatan grounded theory adalah untuk menghasilkan atau menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu . Situasi di mana individu saling berhubungan, bertindak, atau terlibat dalam suatu proses sebagai respon terhadap suatu peristiwa. Inti dari pendekatan grounded theory adalah pengembangan suatu teori yang berhubungan erat kepada konteks peristiwa dipelajari.

4. Etnografi

Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok.

5. Studi kasus

Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan


(54)

kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu. Dari beberapa jenis penelitian kualitatif yang dikemukakan di atas, peneliti menggunakan penelitian secara fenomenologi, yang mana penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu.

B. Responden Penelitian 1. Karakteristik responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah:

1.Pekerja Anak

Disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain : anak bekerja setiap hari, anak tereksploitasi, anak bekerja pada waktu yang panjang, waktu sekolah terganggu/tidak sekolah (Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).

2.Remaja

Merujuk pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. 3.Mengalami tindak kekerasan/abuse

Dalam penelitian ini peneliti membatasi pada pekerja anak yang mengalami physical abuse, neglect dan emotional abuse.


(55)

2. Jumlah Responden

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Penelitian ini mengambil sampel 3 pekerja anak yang mengalami abuse. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik:

a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian

b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian

c. Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (Saratakos dalam Poerwandari, 2007) d. Pertimbangan keterbatasan dari peneliti sendiri baik waktu, biaya maupun

kemampuan peneliti.

3. Prosedur pengambilan responden

Responden dalam penelitian ini diambil berdasarkan teori atau konstruk operasional (operational construct sampling), yaitu sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Patton, dalam Poerwandari,


(1)

R3/W1/b.485-496/h.15-16

Responden memiliki peraturan yang jelas dirumah

Struktur dan Aturan Di Rumah

I Have

R3/W2/b.847-851/h.27

Responden sering membantu kakaknya mengerjakan pekerjaan dirumah

Struktur dan Aturan Di Rumah

R3/W2/b.552-554/h.17

Responden tidak pernah berniat kabur karena peraturan yang diterapkan dirumah

Struktur dan Aturan Di Rumah

R3/W1/b.772-774/h.24

Responden diajarkan nilai-nilai keagamaan oleh ayah dan ibunya

Role Models

R3/W1/b.793-795/h.25

Responden diajarkan nilai-nilai keagamaan oleh ayahnya serta dibawa ketempat guru mengaji agar dapat memahami nilai keagamaan dengan baik

Role Models

R3/W1/b.94-107/h.3-4 Responden bekerja karena tidak tercukupinya kebutuhan keluarga

Dorongan Agar menjadi Otonom R3/W3/b.1307- Orang tua responden Akses Pada


(2)

1315/h.41 menyekolahkan responden beserta saudara-saudara responden hingga tamat SD semua

Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan dan Layanan Keamanan

R3/W3/b.1318-1324/h.41-42

Jika responden sakit dibawa kedokter

Akses Pada Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan dan Layanan Keamanan

R3/W3/b.1351-1356/h.42-43

Responden merasa ayahnya merupakan pelindungnya

Akses Pada Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan dan Layanan Keamanan

R3/W3/b.1296-1298/h.41

Tetangga responden

kebanyakan saudaranya sendiri

Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik

I Am

R3/W1/b.443-448/h.14

Responden sering dipuji oleh tetangganya

Perasaan Dicintai dan Perilaku yang


(3)

Menarik

R3/W1/b.454-463/h.14-15

Responden sering dipuji oleh tetangganya

Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik

R3/W1/b.793-805/h.25

Responden dianggap anak paling baik dikeluarganya karena masih kecil sudah mau membantu orang tua, orang tua responden juga sangat

menyayangi responden

Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik

R3/W2/b.866-875/h.27-28

orang tua responden juga sangat menyayangi responden

Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik

R3/W1/b.425-431/h.13-14

Responden bekerja sebagai bentuk sayang terhadap orang tuanya

Mencintai, Empati dan Altruistik

R3/W1/b.435-440/h.14

Responden sering bersenda gurau dengan kakak/adiknya

Mencintai, Empati dan Altruistik


(4)

R3/W2/b.913-915/h.29

Bangga sudah bisa

menghasilkan uang sendiri Bangga Pada Diri Sendiri

R3/W2/b.926-930/h.29

Bangga dan tidak malu bekerja

Bangga Pada Diri Sendiri

R3/W2/b.935-936/h.29

Responden sering

mengerjakan segala sesuatu sendiri

Otonomi dan Tanggung Jawab

R3/W2/b.941-951/h.29

Responden menanyakan pendapat orang tua untuk keputusan penting

Otonomi dan Tanggung Jawab

R3/W2/b.960-961/h.29

Merasa mandiri karena sudah mampu mencari uang sendiri

Otonomi dan Tanggung Jawab

R3/W1/b.331-343/h.11

Responden mau mengakui kesalahannya jika berbuat kesalahan

Otonomi dan Tanggung Jawab

R3/W2/b.966-968/h.30-31

Responden percaya

kehidupannya kelak akan lebih


(5)

baik dari sekarang dan Kepercayaan

R3/W2/b.971-972/h.31

Responden terus berusaha untuk bekerja keras juga berdoa agar lebih baik kedepannya

Harapan, Keyakinan dan Kepercayaan

R3/W2/b.1022-1025/h.32

Responden berharap selalu bisa membuat orang tuanya bahagia

Harapan, Keyakinan dan Kepercayaan

R3/W2/b.1099-1103/h.34-35

Berkomunikasi dengan baik dengan orang tua, keluarga tetangga-tetangganyanya

Berkomunikasi

I Can

R3/W1/b.573-574/h.18

Responden tetap

berkomunikasi dengan kedua orang tuanya walapun berada ditempat kerja yang jauh dari rumah

Berkomunikasi

R3/W1/b.379-385/h.12

Responden sering menangis dikamar jika sedang

mengalami masalah atau dimarahi oleh majikannya


(6)

R3/W2/b.1143-1146/h.36

Responden sering menangis dikamar jika sedang

mengalami masalah atau dimarahi oleh majikannya

Pemecahan Masalah

R3/W2/b.1152-1154/h.36

Responden lebih suka memendam masalahnya sendiri

Pemecahan Masalah

R3/W1/b.648-654/h.20

Bersikap baik-baik saja ketika dihubungi orang tuanya sewaktu berada dirumah majikannya

Pemecahan Masalah

R3/W1/b.303-304/h.10

Responden berusaha untuk

selalu bersabar Mengelola Berbagai Perasaan dan Ransangan

R3/W2/b.983-984/h.31

Responden tidak pernah

berniat kabur dari rumah Mengelola Berbagai Perasaan dan Ransangan