Kerangka Teori Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia

1. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum, khususnya mengenai hukum lisensi Paten di Indonesia. 2. Secara praktis sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum, khususnya bagi pihak yang berkepentingan tentang lisensi Paten.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada Universitas Sumatera Utara USU Medan, Tesis mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia”, belum pernah dilakukan hingga tesis ini ditulis dengan topik dan permasalahan yang sama.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah keseluruhan pernyataan statement, claim, bewenngen yang saling berkaitan. 9 Sedangkan kerangka teori merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui. 10 9 M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hal. 3. 10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. Universitas Sumatera Utara Dalam pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia, maka teori yang akan dipergunakan untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah teori itikat baik.

a. Pembatasan Prinsip Kebebasan Berkontrak

Dalam pandangan teori klasik, sesuai dengan konsep otonomi kehendak dan kesucian kontrak, para pihak tetap terikat pada isi kontrak, sekalipun isi kontrak itu tidak patut. Maksim caveat emptor digunakan sebagai doktrin yang menyatakan bahwa suatu pihak dalam kontrak harus melindungi kepentingannya sendiri sebab hukum tidak memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan pihak itu. Hukum kontrak berjalan pada pijakan bahwa para pihak sebagai individu menjadi hakim yang terbaik bagi kepentingan dirinya. Dengan demikian, suatu pihak dalam kontrak dalam melaksanakan kehendak bebasnya harus menerima semua konsekuensi yang berkaitan dengan kontrak itu. 11 Berbicara mengenai asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh paham uitilitarianisme Jeremy Bentham, bahwa ukuran yang menjadi patokan dalam hubungannya dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa tidak seorangpun yang dapat bertindak bebas dapat dihalangi hanya karena memiliki bargaining position untuk dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhannya. Juga tidak seorangpun sebagai para pihak dalam suatu perjanjian dapat dihalangi 11 Ridwan Khairandy, Iktikat Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 111. Universitas Sumatera Utara untuk dapat bertindak bebas memenuhi hal tersebut, asalkan pihak yang lain dapat menyetujui syarat-syarat perjanjian itu sebagai hal yang patut diterima. 12 Namun Bentham lupa bahwa kekuatan posisi tawar bargaining power yang tidak sama antara para pihak dalam suatu perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengakibatkan ketidak seimbangan kedudukan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, sehingga pihak yang mempunyai posisi tawar yang kuat dapat menyalahgunakan kedudukannya dengan memaksakan kehendak melalui klausula-klausula dalam perjanjian yang cenderung merugikan pihak yang lemah kedudukannya. 13 Oleh karena itu, sering kali dikatakan bahwa di sana tidak ada persyaratan umum iktikat baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban kontraktual. Dalam perkembangannya saat ini, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Dengan adanya pergeseran tersebut, maka beberapa doktrin dalam hukum kontrak yang memiliki esensi keadilan, seperti iktikat baik yang sempat dikesampingkan teori hukum kontrak klasik mulai berkembang kembali. 14 Asas iktikat baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikat baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH 12 EdyWibowo, Ibid., hal. 76. 13 Ibid. 14 Ridwan Khairandy, Ibid., hal. 126. Universitas Sumatera Utara Perdata yang mengharuskan perjanjian dilaksanakan dengan iktikat baik. 15 Dalam hubungannya dengan kebebasan berkontrak, Prinsip International Institute for the Unification of Private Law UNIDROIT bertujuan untuk mengharmonisasikan hukum kontrak komersial di negara-negara yang mau menerapkannya, sehingga materinya difokuskan pada persoalan yang dianggap netral. Dengan demikian, ruang lingkup yang diatur oleh prinsip International Institute for the Unification of Private Law UNIDROIT adalah kebebasan berkontrak. Dasar pemikirannya adalah bahwa apabila kebebasan berkontrak ini tidak diatur, maka dapat terjadi distorsi, tetapi sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat, maka akan kehilangan makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh karena itu, International Institute for the Unification of Private Law UNIDROID berusaha untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan sistem hukum dan kepentingan ekonomi lainnya. 16 Kebebasan berkontrak diwujudkan dalam 5 lima bentuk prinsip hukum, yaitu: 17 a. Kebebasan menentukan isi kontrak; b. Kebebasan menentukan bentuk kontrak; c. Kontrak mengikat sebagai undang-undang; d. Aturan memaksa mandatory rules sebagai perkecualian; e. Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip International Institute for the Unification of Private Law UNIDROIT yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak. 15 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 5. 16 Mariam Darus badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Prikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 159. 17 Ibid. Universitas Sumatera Utara

b. Peranan Iktikat Baik dalam Kebebasan Berkontrak

Lisensi Paten merupakan perjanjian antara pemilik paten atau pemegang Paten sebagai pihak pemberi lisensi licensor dengan pihak lain penerima lisensi licensee. Perjanjian ini berisi kesepakatan yang intinya bahwa licensor memberikan persetujuannya kepada licensee untuk melaksanakan sebagian atau seluruh haknya yang dilindungi Paten dengan imbalan sejumlah uang yang disebut royalti. 18 Suatu perjanjian melahirkan hubungan untuk para pihak agar mematuhinya. Isi perjanjian berupa suatu janji mengenai pengaturan tentang hak dan kewajiban. Hal itu terjadi karena adanya kesepakatan yang mengawali berlakunya asas keterikatan kepada jannji pacta sunt servanda. Begitu juga dalam hal hubungan hukum kontrak lisensi paten. Sudah barang tentu prosesnya sama dengan apa yang terjadi pada hubungan hukum pada umumnya, yaitu dalam arti hak dan kewajiban yang mengikat para pihak. 19 Sistem lisensi ini tumbuh dalam praktek sesuai dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak sendiri serta mengikat mereka sebagai undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata. 20 Karena perjanjian lisensi ini tidak dilarang, maka sesuai dengan sistem terbuka open sijsteem dari KUH Perdata, diperbolehkan adanya perjanjian- perjanjian yang dibuat para pihak ini sekalipun tidak diatur dalam KUH Perdata, 18 Edy Wibowo, Ibid., hal. 75. 19 Dewi Astutty Mochtar, Op. Cit., hal. 15. 20 Sudargo Gautama, Op. Cit., hal. 37. Universitas Sumatera Utara namun dalam praktek hukum hal tersebut berkembang dengan baik, misalnya perjanjian tentang beli sewa huurkoop, hire purchase, leasing dan perjanjian trust. 21 Pada dasarnya perjanjian lisensi Paten dimungkinkan keberadaannya oleh hukum dengan adanya asas kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat 1. 22 Terlebih sebelum adanya Undang-undang Paten, asas ini menjadi pranata hukum utama yang menjadi rambu-rambu eksistensi perjanjian lisensi Paten. Secara umum, hukum perjanjian atau hukum kontrak di Indonesia, setidak-tidaknya sebagaimana terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang- undang Hukum Perdata dibangun di atas fondasi asas kebebasan berkontrak. 23 Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidak adilan. Kebebaan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar bargaining position yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. 24 Bentham percaya kepada kebebasan berkontrak, dimana para pihak akan merundingkan apa yang terbaik baginya, keduanya berusaha memaksimalkan kesejahteraan di satu pihak dan kebahagiaan di pihak yang lain. Seperti Adam Smith, 21 Ibid. 22 Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 23 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Penerbit Alumni, 19992, hal. 179. 24 Ridwan Khairandy, Ibid., hal. 1. Universitas Sumatera Utara Jeremy Bentham sadar betul, bahwa para pihak tidak selalu mempunyai bargaining power yang sama dalam perundingan penyusunan kontrak. Pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dapat saja mendikte isi kontrak untuk kepentingannya sendiri. 25 Beberapa teoritisi, seperti Grant Gilmore dan Brian Coote mendesak atau menuntut arus utama hukum kontrak yang secara radikal sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan praktik terakhir. 26 Sekarang, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yakni: 27 1. makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik, 28 dimana iktikat baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak; 2. makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheden atau undue influence 29 Pada abad dua puluh, seiring dengan terjadinya pergeseran kebebasan berkontrak kearah fairness, terjadi peningkatan perhatian para akademisi dan pengadilan kepada doktrin iktikat baik. 30 25 Ibid., hal. Xii. 26 Ibid., hal. 111. 27 Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 2. 28 Iktikat baik adalah suatu tindakan atau perilaku yang diharapkan dari seorang yang terhormat atau jujur yang diminta dalam setiap bentuk transaksi. 29 Penyalahgunaan keadaan adalah bujukan, tekanan atau pengaruh tanpa kekuatan fisik atau nyata, yang lebih dari nasihat biasa, yang mempengaruhi pendapat atau kemauan pihak lain yang dikuasai sehingga tidak dapat bertindak secara bebas dan arif, tetapi bertindak sesuai dengan kemauan atau maksud pihak yang mempengaruhinya. 30 Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 3. Universitas Sumatera Utara Prinsip iktikat baik merupakan landasan utama dari setiap transaksi komersial. Prinsip ini harus melandasi seluruh proses kontrak mulai dari negoisasi sampai pelaksanaan dan berakhirnya kontrak. Pasal 1.7 Unidroit Principles of International Commercial Contracts UPICCs menyatakan : 31 1 “Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade; 2 The parties may not exclude or limit this duty”. Menurut “restatement” dari pasal tersebut ada 3 tiga unsur prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu : a. Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak; b. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam Unidroit Principles of International Commercial Contracts UPICCs ditekankan pada praktek perdagangan internasional; dan c. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa. 32 Seluruh Bab dari Unidroit Principles of International Commercial Contracts UPICCs mengandung prinsip itikad baik good faith dan transaksi jujur fair dealing. Yang berarti bahwa prinsip tersebut merupakan landasan utama dari hukum kontrak. Setiap pihak wajib menjunjung tinggi prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam keseluruhan jalannya kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai pada berakhirnya kontrak. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam kaitan dengan Unidroit Principles of International Commercial Contracts UPICCs lebih ditekankan pada 31 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Prikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti;2001, hal. 167. 32 Ibid. Universitas Sumatera Utara transaksi perdagangan internasional. Penekanan pada perdagangan internasional dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Institute International pour I’ Unification du Droit atau UNIDROIT ingin mengatur hubungan-hubungan hukum yang netral dan tidak dimaksudkan untuk menentukan standar yang dipakai dalam hukum nasional. Namun demikian, aturan itu dapat menjadi standar domestik jika negara-negara secara umum telah menerimanya. Aturan praktek bisnis dapat berbeda-beda untuk setiap sektor perdagangan tertentu. 33 Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi, Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 34 Konsep terbaru itikad baik dalam sistem common law Inggris dikemukan oleh Sir Anthony Mason dalam suatu kuliah di Universitas Cambridge pada 1993 yang menyatakan bahwa konsep itikad baik mencakup tiga doktrin yang berkaitan dengan: 1. Suatu kewajiban bagi para pihak untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan kontrak kejujuran terhadap janji itu sendiri; 2. Pemenuhan standar perilaku terhormat; dan 3. Pemenuhan standard of contract yang masuk akal yang berkaitan dengan kepentingan para pihak. 35 33 Ibid., hal. 169. 34 Suharnako, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana Prenada, 2009, hal. 4. 35 Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal. 162. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya menurut Prof. R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya. Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tersebut. 36 Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian. 37 Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi di mana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu. Menurut teori klasik asas itikad baik hanya berlaku pada saat penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Sebaliknya, menurut pandangan teori kontrak yang modern janji prakontrak harus didasarkan pada itikad baik. 38 Dalam hukum kontrak, iktikad baik memiliki tiga fungsi. Iktikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah aanvuellende werking 36 Ibid. 37 Suharnaka, Ibid., hal. 4. 38 Ibid., hal. 8. Universitas Sumatera Utara van de geode trouw. Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan beperkende en derogerende werking van de geode trouw. 39 a. Penafsiran Kontrak Harus Didasarkan pada Iktikad Baik Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Menurut Corbin, penafsiran atau interpretasi kontrak adalah proses di mana seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah kata-kata baik satu persatu maupun kelompok, oral atau tertulis. Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan interpretasi. Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya. Asas iktikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak. 40 Pada waktu yang lalu dianut pendapat baik di kalangan sarjana maupun peraturan perundang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk sesuatu yang tidak jelas. Jika si kontrak telah jelas, maka tidak ada atau tidak diperlukan penafsiran. 41 39 Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 216. 40 Ibid.,hal. 217. 41 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sekarang ini dianut paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi dibedakan antara isi kontrak yang jelas dan yang tidak jelas, bahkan terhadap kata- kata yang tampak jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya kepada kehendak para pihak atau keadaan khusus yang relevan untuk menentukan makna yang mereka maksud. 42 Selain ketentuan di atas, BW lama dan KUHPerdata Indonesia masih memberikan beberapa pedoman lagi dalam menafsirkan suatu kontrak. Dengan demikian, kontrak harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan kehendak atau maksud para pihak, walaupun artinya harus menyimpang kata-kata dalam kontrak. Di sini terlihat bahwa teori kehendak historis-psikologis dijadikan dasar penafsiran kontrak. Penafsiran kontrak menurut ajaran ini tidak lain daripada menetapkan kehendak dari orang yang melakukan tindakan hukum. 43 Oleh karena itu, sangat logis jika kontrak-kontrak tertentu ditafsirkan sesuai dengan ciri-ciri khas perjanjian itu. Kesemuanya itu dilakukan dengan memperhatikan kaitan janji satu dengan semua bagian perjanjian lainnya. Tanpa adanya ketentuan ini pun orang akan melakukan cara kerja seperti itu, karena kata- kata atau suatu tanda baru kelihatan maksudnya kalau ia dikaitkan dengan kata-kata atau tanda yang lain, bahkan dengan keseluruhan isi kontrak yang bersangkutan. Suatu kata yang berdiri sendiri dapat memiliki makna yang sangat berbeda dibanding 42 Ibid. 43 Ibid., hal. 218 Universitas Sumatera Utara jika ia merupakan bagian dari suatu rangkaian kata atau tanda. Penafsiran kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan setempat. 44 b. Fungsi Iktikad Baik yang Menambah Dengan fungsinya yang kedua, iktikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu dan juga dapat menamba h kata-kata ketentuan undang-undang mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian ini dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak. 45 c. Fungsi Iktikad Baik yang Membatasi dan meniadakan Dalam fungsi iktikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. Beberapa para pakar hukum sebelum perang dunia kedua berpendapat bahwa iktikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu perjanjian tertentu atau syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar iktikad baik. 46 Sekarang masih ada pakar hukum yang menolak fungsi yang ketiga ini. Pihak yang menolak fungsi iktikad baik semacam ini menyatakan bahwa BW dan KUHP Perdata Indonesia tidak menganut iustum pretium. Dengan demikian ketentuan Pasal 44 Ibid., hal. 219. 45 Ibid., hal. 229. 46 Ibid., hal. 231. Universitas Sumatera Utara 1338 ayat 3 KUH Perdata atau Pasal 1374 ayat 3 BW lama Belanda tidak dapat dipakai hakim untuk mengubah atau menghapus kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian yang sejak semula mengandung prestasi dan kontra prestasi yang tidak seimbang. Jika hakim menggunakan pasal tersebut, maka sama dengan menyatakan bahwa KUH Perdata menuntut keseimbangan prestasi dan kontra prestasi untuk sahnya suatu perjanjian. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 jo. 1338 ayat 1 KUH Perdata. Memang harus diingat apa yang ditentukan Pasal 1338 ayat 1 yang menentukan bahwa apa yang telah disepakati mengikat para pihak sebagai undang-undang pasal Pasal 1338 ayat 3 diterapkan pada pelaksanaann perjanjian. Jadi, pelaksanaan perjanjian telah dibuat secara sah. 47

2. Konsepsi