Laju Resapan Air Pada Berbagai Jenis Tanah Dan Berat Jerami Dengan Menerapkan Teknologi Biopori Di Kecamatan Medan Amplas

(1)

LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN

BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI

BIOPORI DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS

T E S I S

Oleh

RASMITA BR. GINTING

077004023/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K O L

A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN

BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI

BIOPORI DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RASMITA BR. GINTING

077004023/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS

TANAH DAN BERAT JERAMI DENGAN

MENERAPKAN TEKNOLOGI BIOPORI

DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS Nama Mahasiswa : Rasmita Br. Ginting

Nomor Pokok : 077004023

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Sumono, MS) Ketua

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D) Anggota

(Dr. Sutarman, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 6 Nopember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Sumono, MS

Anggota : 1. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D 2. Dr. Sutarman, M.Sc

3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS 4. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc


(5)

LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI BIOPORI

DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS

Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D dan Dr. Sutarman, M.Sc

ABSTRAK

Isu lingkungan yang perlu menjadi perhatian di Kota Medan diantaranya adalah terjadinya genangan pada saat hujan dan menurunnya ketersediaan air tanah. Timbulnya masalah tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor: pertama pesatnya pembangunan, kedua tingginya peningkatan jumlah penduduk, ketiga minimnya fasilitas infrastruktur dan keempat tingginya pemanfaatan air tanah. Dalam hal ini tentu diperlukan berbagai upaya pengelolaannya baik secara kebijakan administratif maupun aplikasi teknis.

Teknologi lubang resapan biopori sangat tepat diterapkan di Kota Medan, karena kondisi fisik kota yang mana umumnya memiliki persentase lahan kedap yang tinggi sedangkan biopori tersebut dapat dengan ukurannya yang relatif kecil sehingga dapat diaplikasikan pada lokasi lahan yang sempit. Lubang resapan biopori memiliki berbagai manfaat yaitu: mengurangi genangan, menambah ketersediaan air tanah dan mengurangi volume sampah organik. Cara membuat lubang resapan biopori adalah dengan menggali tanah secara vertikal kedalaman 80 cm diameter 10 cm diberi jerami yang akan berfungsi sebagai sumber energi bagi kelangsungan hidup organisme tanah. Organisme tersebut akan berperan dalam pembentukan pori-pori tanah, bertambahnya pori-pori tanah berbanding lurus dengan meningkatnya laju resapan air ke dalam tanah. Untuk menentukan berapa jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang untuk satuan lahan kedap, maka perlu diketahui berapa laju resapan air pada masing-masing jenis tanah.

Penelitian ini menggunakan interaksi perlakuan berbagai jenis tanah dan berat jerami, yaitu jenis tanah ultisol, inseptisol dan entisol sedangkan berat jerami adalah 150 g, 200 g, 250 g dan kontrol. Data yang telah diperoleh dan dianalisis dengan rancangan acak lengkap kemudian diuji dengan uji F dilanjutkan dengan uji (BNJ) maka diketahui bahwa: pertama semua perlakuan berat jerami memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontrol, kedua perlakuan berat jerami 200 g memberikan angka laju resapan tertinggi untuk semua jenis tanah yang diuji, ketiga, pada jenis tanah entisol diperoleh angka laju resapan tertinggi rata-rata sebesar 147,32 liter/jam, pada jenis tanah inseptisol 104,56 liter/jam dan pada jenis tanah ultisol 25,03 liter/jam, interaksi perlakuan yang memberi angka laju resapan air tertinggi diperoleh


(6)

pada tanah entisol dengan berat jerami 200 g berbeda nyata pada taraf 5% terhadap tanah inseptisol dan ultisol.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah biopori yang dibutuhkan berbeda berdasarkan jenis tanahnya. Angka laju resapan air pada tanah ultisol sangat rendah, sehingga pemanfaatan lahan harus dibarengi dengan pendekatan pengelolaan yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan genangan pada saat hujan dan berkurangnya ketersediaan air tanah.

Kata Kunci: Laju Resapan Air, Biopori, Lubang Resapan, Bahan Organik, Mikroorganisme.


(7)

INFILTRATION RATE VARIOUS TYPES OF WATER ON SOIL AND STRAW WITH WEIGHT APPLYING TECHNOLOGY BIOPORI

SANDPAPER SUB IN MEDAN

Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D and Dr. Sutarman, M.Sc

ABSTRACT

The environmental issue as a concern of Medan City included the flood in rainy season and declined supply of underground water. The problem was effected by some factors: first, the rapid development, second high rate of population growth, third the minimum facility and infrastructure, and fourth the high utilization of underground water. Of course, it required some attempt of management either administrative policy of technical application.

Technology of biopore absorption hole was very relevant to apply in Medan City, because physical condition of city has a very high percentage of tighted land, while the size of biopore was relative small, thus it could be applied in narrow location. The biopore absorpotion hole has some significant: To decrease the flood, to add the supply of underground water and to decrease the volume of organic waste. The method of preparing biopore absorpotion hole was to dig the land vertically into 80 cm of depth at 10 cm diameter, filled with straws as energy source for organism survival of soil. The organism would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly proportional would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly the number of biopore absorption hole to install for a tighted land, it would be important to know the rate of water precipitation in each type of soil.

The research used interaction of treatments with several types of soil and the weight of straw; ultisol soil, inseptisal and entisol, with several types of soil and the 150 g, 200g, 250g, and control. The data gained was the analyzed through complete random sampling with F-test and continued with BNJ-Test, and then it has been known that: First, all treatment of straw weight indicated significant effect on control; second treatment of straw 200 g indicated highest rate of precipitation for all types of precipitation was 147.32 lt/h and ultisol 25,03 lt/h. the interaction of treatment with highes rate of water precipitation was gained in entisiol with straw weight of 200 g, significant difference at level of 5% on both inseptisol and ultisol soils.

The result of research indicated that number of biopore needed would be different based on the type of soil. The rate of water precipitation in ultisol was


(8)

lowest, thus the utilization of land should be accompanied by good approach of management to prevent the problem of flood especially in rainy season and declined supply of underground water.

Keywords: Water Infiltration Rate, Biopore, Hole Absorption, Organic Material, Microorganism.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami dengan Menerapkan Teknologi Biopori di Kecamatan Medan Amplas.

Penelitian ini dilaksanakan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE., juga kepada Ketua Program Studi Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS., demikian pula ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sumono, MS., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D., sebagai Anggota Komisi Pembimbing dan Dr. Sutarman, M.Sc., sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan serta memberikan masukan yang berharga kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS dan Prof. Dr. Erman Munir, MSc, masing-masing sebagai Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan masukan saran dana perbaikan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.


(10)

Demikian pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua rekan-rekan PSL khususnya angkatan 2007, yang telah memberikan motivasi dan dukungan moril bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada suami terkasih Drs. Effendi Purba yang dengan segala cinta dan kesabarannya selalu mendampingi, membantu dan memberi saran dari saat mulai mengikuti perkuliahan hingga selesainya penyusunan tesis ini. Tesis ini penulis persembahkan kepada anak-anak tersayang, dengan harapan kiranya dengan selesainya penulisan tesis ini akan menjadi pemacu semangat bagimu untuk lebih giat menimba ilmu pada masa mudamu kini dan menggali ilmu sepanjang usiamu. Kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih akan melimpahkan berkat dan rahmatNya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam berbagai aspek kepada penulis, sehingga penulisan tesis ini telah selesai.

Penulis berharap kiranya tesis ini akan bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan masyarakat umum dan khususnya bagi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Medan, Nopember 2010 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Pada tanggal 14 April 1966 penulis lahir di kota dingin Kabanjahe, Kabupaten Karo sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Menikah dengan Drs. Effendi Purba pada tanggal 30 Oktober 1998 dan dikaruniai dua orang anak, seorang putra Egia Rinaldi Purba dan seorang putri Evita Aloina. Pendidikan yang telah ditempuh SD Negeri 1001820 di Pancurbatu, tamat pada tahun 1979, SMP Negeri I Pancurbatu, tamat pada tahun 1982, SPP-SPMA Negeri Medan, tamat pada tahun 1985, pada tahun 1992 kuliah di Fakultas Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Univeritas Karo serta memperoleh Gelar Sarjana, pada tahun 1997, mahasiswa Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana USU mulai tahun 2007.

Pengalaman pekerjaan yang dilalui sebagai Staf Pengajar pada Sekolah Pertanian Menengah Atas Yayasan Gajah Mada tahun 1985-1986, Penyuluh Pertanian pada Dinas Pertanian Kabupaten Karo tahun 1986-1998, Bagian Tata Usaha pada BIPP Kota Binjai tahun 1998-2002, Staf pada BAPEDALDA Kota Medan tahun 2002-2003, Kasi Pencemaran pada Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan tahun 2003- 2009, Kasubbid Konservasi pada Badan Lingkungan Hidup Kota Medan tahun 2009 sampai dengan sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Landasan Teori ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 10

1.5. Hipotesis ... 11

1.6. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Biopori ... 12

2.2. Lubang Resapan Biopori ... 13

2.3. Peranan Bahan Organik ... 14

2.4. Perawatan Lubang Resapan Biopori ... 16

2.5. Manfaat Lubang Resapan Biopori ... 16


(13)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 22

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.4. Sampel dan Perlakuan ... 23

3.5. Variabel yang Diamati ... 23

3.5.1. Laju Resapan Air... 24

3.5.2. Tekstur Tanah... 24

3.5.3. Kerapan Isi (Bulk Densiti) Tanah ... 25

3.6. Pelaksanaan Penelitian ... 26

3.6.1. Pengumpulan Data ... 27

3.7. Analisis Penelitian ... 28

3.8. Jumlah Lubang Resapan Biopori ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Gambaran Wilayah Lokasi Penelitian ... 31

4.2. Hasil Pengamatan Laju Resapan Air... 31

4.2.1. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Ultisol (A)... 31

4.2.2. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Inseptisol (B) ... 32

4.2.3. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Entisol (C) ... 32

4.3. Analisis Data Laju Resapan Air pada Masing-masing Jenis Tanah ... 33

4.3.1. Uji F ... 34

4.3.2. Uji Beda Nyata Jarak (BNJ) ... 35

4.4. Analisis Data Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami ... 38

4.4.1. Uji F ... 39


(14)

4.5. Laju Resapan Air pada Berbagai Berat Jerami ... 42

4.6. Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah... 43

4.6.1. Faktor Tekstur Tanah ... 44

4.6.2. Faktor Kerapan Isi ... 46

4.7. Jumlah Lubang Resapan Biopori yang Dianjurkan ... 46

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1. Kesimpulan... 49

5.2. Saran ... 50


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. ANOVA untuk Jenis Tanah Ultisol ... 34

4.2. ANOVA untuk Jenis Tanah Inseptisol ... 34

4.3. ANOVA untuk Jenis Tanah Entisol ... 35

4.4. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Ultisol ... 36

4.5. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Inseptisol ... 36

4.6. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Entisol ... 37

4.7. Data Laju Resapan Air dengan Kombinasi Perlakuan Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami ... 39

4.8. ANOVA ... 39

4.9. Uji BNJ dari Interaksi Perlakuan ... 40

4.10. Klasifikasi Ukuran, Jumlah dan Luas Permukaan Partikel- partikel Tanah Menurut Sistem USDA ... 44


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Tampak Samping Lubang Resapan Biopori di dalam Tanah... 13 2.2. Sayatan Penampang Tanah dalam yang Telah Berkembang

dengan Liang-liang yang Memanjang ke Berbagai Arah ... 15 4.1. Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami ... 33


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Denah Percobaan……….. 53 2. Tabel Pengamatan Penelitian……… 54 3. Data Laju Resapan Air dengan Perlakuan Berbagai Jenis Tanah

dan Berat Jerami Dibandingkan dengan Kontrol……….. 55 4. Data Hasil Analisis Tanah………. 56 5. Data Hasil Analisis Kadar Air Tanah……… 57 6. Data Curah Hujan Kecamatan Medan Amplas Tahun 2010……. 58 7. Curah Hujan dan Hari Hujan di Kecamatan Medan Amplas

Tahun 2005-2009……….. 59 8. Intensitas Curah Hujan Maksimum (mm/jam) di Kecamatan

Medan Amplas Tahun 2005-2009………. 60

9. Temperatur Udara di Kecamatan Medan Amplas Tahun 2005-

2009……….. 61

10. Kelembaban Udara di Kecamatan Medan Amplas Tahun 2004-

2009……….. 62

11. Peta Jenis Tanah Kota Medan……….. 63

12. Peta Jenis Tanah Kecamatan Medan Amplas……….. 64


(18)

LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI BIOPORI

DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS

Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D dan Dr. Sutarman, M.Sc

ABSTRAK

Isu lingkungan yang perlu menjadi perhatian di Kota Medan diantaranya adalah terjadinya genangan pada saat hujan dan menurunnya ketersediaan air tanah. Timbulnya masalah tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor: pertama pesatnya pembangunan, kedua tingginya peningkatan jumlah penduduk, ketiga minimnya fasilitas infrastruktur dan keempat tingginya pemanfaatan air tanah. Dalam hal ini tentu diperlukan berbagai upaya pengelolaannya baik secara kebijakan administratif maupun aplikasi teknis.

Teknologi lubang resapan biopori sangat tepat diterapkan di Kota Medan, karena kondisi fisik kota yang mana umumnya memiliki persentase lahan kedap yang tinggi sedangkan biopori tersebut dapat dengan ukurannya yang relatif kecil sehingga dapat diaplikasikan pada lokasi lahan yang sempit. Lubang resapan biopori memiliki berbagai manfaat yaitu: mengurangi genangan, menambah ketersediaan air tanah dan mengurangi volume sampah organik. Cara membuat lubang resapan biopori adalah dengan menggali tanah secara vertikal kedalaman 80 cm diameter 10 cm diberi jerami yang akan berfungsi sebagai sumber energi bagi kelangsungan hidup organisme tanah. Organisme tersebut akan berperan dalam pembentukan pori-pori tanah, bertambahnya pori-pori tanah berbanding lurus dengan meningkatnya laju resapan air ke dalam tanah. Untuk menentukan berapa jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang untuk satuan lahan kedap, maka perlu diketahui berapa laju resapan air pada masing-masing jenis tanah.

Penelitian ini menggunakan interaksi perlakuan berbagai jenis tanah dan berat jerami, yaitu jenis tanah ultisol, inseptisol dan entisol sedangkan berat jerami adalah 150 g, 200 g, 250 g dan kontrol. Data yang telah diperoleh dan dianalisis dengan rancangan acak lengkap kemudian diuji dengan uji F dilanjutkan dengan uji (BNJ) maka diketahui bahwa: pertama semua perlakuan berat jerami memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontrol, kedua perlakuan berat jerami 200 g memberikan angka laju resapan tertinggi untuk semua jenis tanah yang diuji, ketiga, pada jenis tanah entisol diperoleh angka laju resapan tertinggi rata-rata sebesar 147,32 liter/jam, pada jenis tanah inseptisol 104,56 liter/jam dan pada jenis tanah ultisol 25,03 liter/jam, interaksi perlakuan yang memberi angka laju resapan air tertinggi diperoleh


(19)

pada tanah entisol dengan berat jerami 200 g berbeda nyata pada taraf 5% terhadap tanah inseptisol dan ultisol.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah biopori yang dibutuhkan berbeda berdasarkan jenis tanahnya. Angka laju resapan air pada tanah ultisol sangat rendah, sehingga pemanfaatan lahan harus dibarengi dengan pendekatan pengelolaan yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan genangan pada saat hujan dan berkurangnya ketersediaan air tanah.

Kata Kunci: Laju Resapan Air, Biopori, Lubang Resapan, Bahan Organik, Mikroorganisme.


(20)

INFILTRATION RATE VARIOUS TYPES OF WATER ON SOIL AND STRAW WITH WEIGHT APPLYING TECHNOLOGY BIOPORI

SANDPAPER SUB IN MEDAN

Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D and Dr. Sutarman, M.Sc

ABSTRACT

The environmental issue as a concern of Medan City included the flood in rainy season and declined supply of underground water. The problem was effected by some factors: first, the rapid development, second high rate of population growth, third the minimum facility and infrastructure, and fourth the high utilization of underground water. Of course, it required some attempt of management either administrative policy of technical application.

Technology of biopore absorption hole was very relevant to apply in Medan City, because physical condition of city has a very high percentage of tighted land, while the size of biopore was relative small, thus it could be applied in narrow location. The biopore absorpotion hole has some significant: To decrease the flood, to add the supply of underground water and to decrease the volume of organic waste. The method of preparing biopore absorpotion hole was to dig the land vertically into 80 cm of depth at 10 cm diameter, filled with straws as energy source for organism survival of soil. The organism would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly proportional would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly the number of biopore absorption hole to install for a tighted land, it would be important to know the rate of water precipitation in each type of soil.

The research used interaction of treatments with several types of soil and the weight of straw; ultisol soil, inseptisal and entisol, with several types of soil and the 150 g, 200g, 250g, and control. The data gained was the analyzed through complete random sampling with F-test and continued with BNJ-Test, and then it has been known that: First, all treatment of straw weight indicated significant effect on control; second treatment of straw 200 g indicated highest rate of precipitation for all types of precipitation was 147.32 lt/h and ultisol 25,03 lt/h. the interaction of treatment with highes rate of water precipitation was gained in entisiol with straw weight of 200 g, significant difference at level of 5% on both inseptisol and ultisol soils.

The result of research indicated that number of biopore needed would be different based on the type of soil. The rate of water precipitation in ultisol was


(21)

lowest, thus the utilization of land should be accompanied by good approach of management to prevent the problem of flood especially in rainy season and declined supply of underground water.

Keywords: Water Infiltration Rate, Biopore, Hole Absorption, Organic Material, Microorganism.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelangsungan hidup semua makhluk hidup sangat tergantung pada ketersediaan air. Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya air. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia yang diberi akal, untuk bertanggung jawab melestarikan sumberdaya air yang ada di bumi ini. Di alam air akan tetap bergerak mulai dari penguapan oleh permukaan laut ke atmosfer, kemudian terjadi kondensasi yang akhirnya jatuh sebagai titik-titik hujan ke permukaan tanah. Melalui proses infiltrasi dan perkolasi air akan masuk dan tertahan sementara di dalam tanah, di sungai dan di waduk sehingga dapat dimanfaatkan manusia, kemudian air tersebut akan kembali lagi ke laut demikian seterusnya tak pernah berhenti, yang dikenal dengan Siklus Hidrologi (Asdak, 2003). Hutan maupun vegetasi lain sangat berperan dalam berlangsungnya proses hidrologi. Dengan adanya vegetasi maka air yang terserap akan lebih banyak, sebagian terserap oleh seresah di permukaan tanah sehingga aliran air di permukaan tanah semakin kecil. Air yang tersimpan di dalam tanah dan terserap dalam seresah merupakan simpanan air yang tersedia dalam waktu yang lama (Soemarwoto, 2004).

Air merupakan salah satu kebutuhan yang esensial bagi kehidupan manusia, yang dimanfaatkan manusia diberbagai sektor kebutuhan mulai dari kebutuhan sehari hari dalam rumah tangga, sektor industri, transportasi, pembangkit listrik, kesehatan


(23)

dan lain sebagainya. Melihat nilai strategis dari sumberdaya air maka sistem manajemen sumberdaya air merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Dewasa ini air merupakan salah satu isu global sehingga berbagai kebijakan manajemen sumberdaya air perlu dilakukan untuk menanggulangi terjadinya krisis air bersih yang berkelanjutan (PPLH Regional Sumatera, 2009).

Namun dengan bertambahnya populasi manusia seiring dengan meningkatnya kebutuhan maka konservasi terhadap sumberdaya air kurang mendapat perhatian, bahkan penebangan pohon dan kerusakan hutan terjadi semakin tidak terkendali di berbagai tempat. Hal ini tentu mengakibatkan terganggunya siklus hidrologi yang memberi dampak negatif terhadap lingkungan yaitu: terjadi erosi, berkurangnya persediaan air tanah, mempercepat pergerakan air dari hulu sampai di hilir sehingga pada musin hujan di daerah hilir akan rawan terjadi banjir.

Sebagai kawasan hilir yang dilalui Sungai Deli dan Sungai Babura, Kota Medan merupakan salah satu daerah yang rawan banjir. Kondisi banjir hampir selalu terjadi pada beberapa daerah daerah tertentu terutama pada saat musim penghujan, keadaan tersebut tentu saja merupakan suatu permasalahan yang perlu diperhatikan karena sangat merugikan bagi masyarakat.

Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah seluas 26.510 ha terletak di pantai Timur Sumatera, dengan ketinggian 2,5-40 m di atas permukaan laut, kemiringan 0-3% merupakan daerah dataran rendah dengan topografi cenderung landai ke utara dan menjadi tempat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura. Dari segi luasannya Kota Medan relatif lebih kecil


(24)

bila dibandingkan dengan beberapa kota besar lainnya di Indonesia, sehingga menjadi keterbatasan dalam pelaksanaan pembangunan (BAPPEDA Kota Medan, 2008). Dengan keterbatasan ruang yang ada sudah seharusnya Pemerintah Kota Medan menyusun penataan ruang dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan dan luas lahan terbuka sebagai daerah resapan air agar kemungkinan terjadinya banjir dapat diminimis.

Selain karena faktor curah hujan yang tinggi dan akibat meningkatnya penebangan hutan di daerah hulu, faktor-faktor internal yang mempengaruhi terjadinya banjir di Kota Medan adalah:

a. Pembangunan yang sangat pesat

Berkembangnya investor untuk menanamkan modal di berbagai sektor usaha mengakibatkan pembangunan fisik semakin meningkat dan berbanding lurus dengan meningkatnya pemanfaatan lahan, sehingga daerah resapan air (recharge area) semakin berkurang. Dengan demikian maka pada musim hujan limpasan air larian (runn off) sangat tinggi.

b. Peningkatan jumlah penduduk

Kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah tujuan urban bagi masyarakat yang berasal dari kota-kota di sekitarnya untuk mencari pekerjaan mendapatkan peluang berusaha melanjutkan penduduk Kota Medan terus meningkat dan sebagainya. Sehingga pertumbuhan terus bertambah bahkan areal persawahan yang sangat efektif manampung air hujan, juga telah dimanfaatkan menjadi kawasan pemukiman. Bertambahnya luas kawasan


(25)

pemukiman tanpa dikendalikan oleh pihak pemerintah akan mengakibatkan berkurangnya daerah resapan air di Kota Medan. Menurut Syahrin (2003) bahwa pelaku pembangunan perumahan dan pemukiman oleh kelompok swasta komersial, eksistensinya didominasi oleh nilai mencari keuntungan dengan pemanfaatan lingkungan secara kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian pelaku pembangunan terhadap penyediaan lahan resapan air akan terus berkurang.

c. Minimnya fasilitas infrastruktur

Fasilitas infrastruktur khususnya saluran drainase yang ada di Kota Medan masih sangat minim baik dari segi fisik maupun volumenya. Bahkan saluran drainase perkotaan yang telah ada kurang terpelihara sehingga banyak yang mengalami pendangkalan akibat sedimen, penyumbatan oleh sampah dan gulma. Sedangkan saluran drainase di daerah pinggiran kota masih berupa saluran alami (tanah) yang umumnya akan mudah tersumbat karena tumbuhnya gulma di sepanjang saluran. Sistim pemeliharaan drainase yang sangat minim mengakibatkan saluran drainase tidak berfungsi maksimal untuk mengalirkan air, terutama pada musim hujan sehingga mengakibatkan terjadinya genangan.

Permasalahan genangan yang akan mengakibatkan banjir merupakan salah satu kondisi serius yang perlu menjadi perhatian oleh Pemerintah Kota Medan, instansi terkait serta seluruh masyarakat yang bermukim di Kota Medan. Pemerintah Kota Medan telah melakukan berbagai upaya antara lain dengan membangun saluran drainase, kanal, penyuluhan peduli sungai dan sebagainya.


(26)

Di samping itu masalah ketersediaan air tanah juga merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Kota Medan, karena pada saat ini pemanfaatan air bawah tanah senantiasa terus meningkat oleh pelaku usaha dan masyarakat seiring dengan pesatnya pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk di Kota Medan. Menurut Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan diketahui bahwa setiap tahun terjadi peningkatan angka stakeholder yang menyampaikan permohonan izin pemanfaatan air bawah tanah dan hingga tahun 2009 terinventarisasi sebanyak 306 unit sumur bor yang memiliki izin, sedangkan yang tidak terinventarisir kemungkinan jumlahnya jauh lebih banyak. Meningkatnya pemanfaatan air bawah tanah yang tidak terkendali tanpa adanya upaya pengelolaan dan pengawetannya akan berdampak terjadinya penurunan permukaan air tanah, sehingga rongga-rongga tanah hanya terisi oleh oksigen.

Seperti kita ketahui bahwa sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan wilayah pesisir yang berdekatan dengan pantai, maka dengan demikian kekosongan yang terjadi di dalam tanah secara perlahan-lahan akan terisi oleh air laut hal ini dikenal dengan terjadinya intrusi air laut. Menurut Sastra (2009) bahwa beberapa daerah di Kota Medan terindikasi telah terjadi intrusi air laut sejauh 13 km dari garis pantai bagian utara Kota Medan.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya genangan dan menambah peresapan air ke dalam tanah, salah satu diantaranya adalah dengan menerapkan teknologi Lubang Resapan Biopori. Lubang resapan biopori yang diisi dengan bahan organik akan meningkatkan jumlah pori-pori tanah dengan adanya


(27)

aktivitas mikro organisme, dengan meningkatnya pori-pori tersebut akan memepercepat resapan air ke dalam tanah pada saat hujan turun. Sedangkan aktivitas mikroorganisme itu sendiri sangat tergantung kepada ketersediaan makanan berupa bahan organik yang salah satunya berasal dari jerami, jumlah (berat) jerami yang tersedia akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme yang pada gilirannya akan meningkatkan jumlah pori-pori yang terbentuk di dalam tanah. Selain kemampuan mikroorganisme dalam membentuk pori-pori tanah, peresapan air ke dalam tanah juga akan tergantung pada jenis tanahnya.

Dengan demikian maka apabila lubang resapan biopori dalam jumlah yang sesuai pada jenis tanah tertentu, dapat mengurangi terjadinya genangan di permukaan tanah pada saat tejadi hujan dan akan meningkatkan peresapan air kedalam tanah. Untuk menentukan berapa jumlah biopori yang perlu dipasang tentu terlebih dahulu perlu diteliti berapa laju resapan dari masing-masing jenis tanah yang ada di Kota Medan.

Seperti yang telah diuraikan bahwa lubang resapan biopori telah diterapkan di berbagai kota, tetapi aplikasi yang telah dilakukan masih sebatas sebagai upaya pengelolaan lingkungan dan sejauh ini belum diperoleh data tentang pelaksanaan penelitian dengan demikian maka nilai laju resapan di berbagai kota belum dapat ditampilkan. Hal ini yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian tentang laju resapan air pada berbagai jenis tanah dengan menerapkan lubang resapan biopori. Namun demikian dalam percobaan yang telah dilakukan Brata (2006) diketahui


(28)

bahwa laju resapan air adalah sebesar 180 liter/jam (tanpa menyebutkan jenis tanahnya).

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut di atas diketahui bahwa banjir dan ketersediaan air tanah merupakan salah satu permasalahan yang pokok di Kota Medan dan penerapan lubang resapan biopori merupakan salah satu alternatif pengendaliannya. Penerapan lubang resapan biopori dalam pelaksanaannya sangat mudah dan peralatan yang dipakai juga mudah diperoleh, sehingga dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. Namun untuk mengetahui sejauhmana teknologi ini dapat meningkatkan resapan air ke dalam tanah, maka perlu diteliti masalah-masalah sebagai berikut:

1. Berapa besar laju resapan air pada berbagai jenis tanah dan berat jerami yang berbeda dengan menerapkan teknologi lubang resapan biopori.

2. Berapa unit lubang resapan biopori yang dibutuhkan agar mampu menyerap air dari luas lahan yang tertutup (kedap air).

1.3. Landasan Teori

Perubahan pemanfaatan lahan terbuka menjadi lahan kedap air secara nyata akan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan genangan air dan sebaliknya akan menyebabkan berkurangnya peresapan air ke dalam tanah. Apabila


(29)

keadaan ini tidak segera diatasi kemungkinan kondisi buruk ini akan mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Pada saat curah hujan tinggi maka secara otomatis genangan air akan meningkat dan genangan yang tidak tertampung akan mengalir ke sungai. Ditambah lagi apabila di daerah hulu juga curah hujan tinggi, maka hal ini akan berdampak terjadinya banjir di kota Medan. Sedangkan akibat kurangnya peresapan air ke dalam tanah maka ketersediaan air tanah juga akan menurun, sementara pemanfaatan air tanah akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk di Kota Medan.

Dalam hal ini Pemerintah Kota Medan tentu saja sangat membutuhkan berbagai alternatif teknis untuk mengatasi terjadinya banjir. Kebijakan pengelolaannya secara administrasi pemerintah telah menerapkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Tata Ruang yang menetapkan bahwa untuk daerah perkotaan diwajibkan memiliki 30% ruang terbuka hijau (RTH) dari total luas kota, dengan ketentuan ruang terbuka hijau sebesar 10% disediakan oleh masyarakat sebagai pengguna lahan secara perorangan sedangkan sebesar 20% disediakan oleh pemerintah. Apabila luas ruang terbuka hijau telah terpenuhi tentu saja akan sangat berperan menyerap air pada musim hujan yang akan berfungsi untuk mengurangi genangan dan meningkatkan ketersediaan air tanah. Namun secara fakta di Kota Medan jumlah ruang terbuka hijau yang tersedia belum mencukupi di mana menurut data Bappeda Kota Medan (2010) menunjukkan bahwa luas RTH yang tersedia di Kota Medan baru mencapai 5%. Dengan demikian perlu dibarengi dengan pendekatan secara teknologi dan lubang resapan biopori merupakan salah satu


(30)

solusinya, karena teknologi ini sangat murah dan dapat dilakukan di mana saja oleh masyarakat secara individu di pekarangan, lokasi perkantoran, pabrik, rumah sakit, perhotelan dan semua lokasi kegiatannya lainnya. Teknologi ini pertama kali ditemukan oleh Kamir R. Brata (staf pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB) pada tahun 2006 dan telah diterapkan di berbagai Kota di Indonesia bekerja sama dengan pemerintah daerah yaitu: Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Makassar (htt://erabaru.or.id, 2007).

Di Kota Medan teknologi ini tepat untuk diterapkan, karena kondisi bangunan fisik kota umumnya terbangun dengan koefisien dasar bangunan (KDB) yang sangat tinggi > 80%. Lahan yang tidak terbangun seperti: parkir, sempadan bangunan dan lahan sisa lainnya permukaannya juga ditutup dengan berbagai material faving blook, cor beton dan aspal, sehingga resapan air akan terhambat. Lubang resapan biopori dapat dipasang pada semua tempat seperti: taman, saluran air hujan, permukaan tanah yang terbuka, permukaan lapisan tanah yang tertutup bahkan dapat dilakukan pada lahan yang sempit.

Menurut Brata (2008), cara membuat lubang biopori adalah dengan menggali tanah sedalam 80-100 cm, diameter 10-15 cm dengan bor biopori dan untuk penguatan permukaan lubang biopori perlu dipasang pipa paralon sepanjang 20 cm, kemudian kedalam lubang yang digali dimasukkan sampah organik sampai penuh (tidak dipadatkan) agar terdapat ruang udara yang cukup. Dua minggu kemudian bahan organik akan mulai terurai dan liang-liang pori juga mulai terbentuk di dalam tanah berkat adanya aktivitas mikro organisme tanah. Untuk mempertahankan tetap


(31)

berlangsungnya aktivitas mikro organisme maka penambahan bahan organik secara kontiniu perlu dilakukan. Sejalan dengan pertambahan waktu maka jumlah liang pori yang terbentuk di dalam tanah akan meningkat pula, sehingga laju resapan air hujan ke dalam akan meningkat.

Banyaknya liang pori yang terbentuk karena adanya aktivitas mikro organisme dengan tersedianya bahan organik akan tergantung kepada jenis tanahnya. Kondisi tanah yang sangat berpengaruh adalah tekstur, pada tanah yang bertekstur lepas akan lebih cepat terbentuk liang pori dibanding dengan tanah yang bertekstur liat (Brata, 2008). Banyaknya liang pori yang terbentuk di dalam tanah akan mempengaruhi laju resapan air ke dalam tanah, semakin banyak liang pori yang terbentuk maka peresapan air ke dalam tanah juga akan meningkat.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh interaksi perlakuan jenis tanah dan berat jerami terhadap laju resapan air pada lubang resapan biopori.

2. Menetapkan jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang pada luasan lahan yang tertutup (kedap air).


(32)

1.5. Hipotesis

1. Ada pengaruh jenis tanah yang signifikan terhadap laju resapan air pada lubang resapan biopori.

2. Ada pengaruh berat jerami yang signifikan terhadap laju resapan air pada lubang resapan biopori.

3. Ada pengaruh interaksi perlakuan antara jenis tanah dan berat jerami yang signifikan terhadap laju resapan air pada lubang resapan biopori.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat terhadap berbagai pihak, yaitu:

1. Akan menambah pengetahuan masyarakat Kota Medan tentang cara dan manfaat menerapkan teknologi lubang resapan biopori.

2. Akan menjadi bahan masukan dan acuan bagi Pemerintah Kota Medan dalam menetapkan kebijakan untuk meminimalisasi terjadinya genangan pada saat hujan dan menambah ketersediaan cadangan air tanah.

3. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan, karena penelitan tentang penerapan lubang resapan biopori masih sangat minim dilakukan.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biopori

Biopori adalah ruangan atau pori-pori dalam tanah yang dibentuk secara alami dengan adanya aktivitas makhluk hidup di dalam tanah seperti, akar tanaman, cacing, rayap dan mikroorganisme lainnya (erabaru.or.id , 2008).

Menurut Brata (2008) biopori merupakan ruang atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti mikroorganisme tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) di dalam tanah dan bercabang-cabang dan sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dalam tanah. Liang pori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, serta aktivitas fauna tanah seperti cacing tanah, rayap dan semut di dalam tanah.

Menurut Rauf (2009) biopori merupakan lubang pori di dalam tanah yang dibuat oleh jasad biologi tanah seperti cacing tanah, tikus, semut, rayap dan lain-lain, termasuk lubang bekas akar tanaman yang mati dan membusuk di dalam tanah. Keberadaan biopori yang banyak akan meningkatkan daya serap tanah terhadap air, karena air akan lebih mudah masuk ke dalam tubuh (profil) tanah.

Bentuk biopori meyerupai liang kecil dan bercabang-cabang yang sangat efektif menyerap air ke dalam tanah. Berbagai ukuran dan jenis organisme tanah hidup di antara pori-pori dan melalui pori tersebut organisme memperoleh air dan oksigen sedangkan untuk makanan diperoleh dari bahan organik berupa pelapukan


(34)

sisa-sisa tanaman dan mahluk hidup lainnya. Populasi dan aktivitas organisme tanah dapat ditingkatkan dengan menyediakan bahan organik yang cukup di dalam tanah, sehingga organisme tanah akan memperoleh makanan yang cukup untuk hidup dan berkembang biak. Konversi kawasan bervegetasi alami menjadi kawasan pemukiman atau kegiatan lainnya akan mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah sekaligus akan merusak liang pori di dalam tanah (Brata, 2008). Hal tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap menurunnya laju resapan air ke dalam tanah pada saat musim penghujan.

2.2. Lubang Resapan Biopori

Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah lubang yang digali vertikal ke dalam tanah berbentuk silindris berdiameter 10 cm, dengan kedalaman ± 1 meter (tidak melebihi muka air tanah). Lubang resapan digali dengan menggunakan bor biopori agar diameter yang dihasilkan akan seragam (Brata, 2008).


(35)

Penerapan teknologi lubang resapan biopori dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan luas liang pori yang terbentuk kesegala arah di dalam tanah, dengan bertambahnya luas liang pori tersebut maka jumlah (volume) peresapan air kedalam tanah akan semakin meningkat. Sesuai dengan tujuannya adalah untuk meningkatkan peresapan air ke dalam tanah, maka pemasangan lubang resapan biopori harus ditempatkan pada lokasi yang dilalui air atau tampat-tempat di mana biasanya air tergenang pada saat hujan.

Tempat yang dianjurkan untuk pemasangan biopori adalah: di saluran pembuangan air hujan, sekeliling pohon, kontur taman, pada sisi pagar, dan tempat lain yang dianggap sesuai. Sudah semestinya biopori ditempatkan pada titik yang berpotensi terjadi genangan, karena pembuatan biopori pada lokasi yang agak tinggi maka laju resapan air tidak maksimal.

2.3. Peranan Bahan Organik

Agar lubang biopori tetap berfungsi optimal maka secara rutin diisi dengan bahan organik, sehingga di dalam lubang resapan biopori akan tetap berlangsung proses pengomposan secara aerobik oleh mikroorganisme tanah. Bahan organik yang digunakan dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain sampah dapur rumah tangga, potongan/pangkasan tanaman, sisa produksi pertanian yang tidak dimanfaatkan dan sebagainya. Pada penelitian ini bahan organik yang digunakan adalah jerami padi, dengan pertimbangan bahwa jerami padi mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tanah di samping itu jerami padi mudah


(36)

diperoleh dalam jumlah yang banyak sehingga perlakuan lebih homogen, dengan demikian error akan semakin kecil. Proses dekomposisi jerami yang dilakukan mikroorganisme tanah berjalan sesuai dengan teori pengomposan aerobik, di mana pada proses ini akan menghasilkan CO2, air (H2O), humus dan energi. Sepanjang siklus hidupnya mikroorganisme sangat tergantung kepada bahan organik, di mana energi yang dihasilkan akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan reproduksi (Djanuardi dan Setiawan, 2008). Dengan demikian maka keberhasilan teknologi lubang resapan biopori sangat tergantung pada ketersediaan bahan makanan mikroorganisme yang berasal dari sampah organik.

Menurut Brata (2008) dalam waktu 14 hari setelah pemberian bahan organik, secara alami akan terbentuk biopori/liang-liang memanjang dan bercabang-cabang di dalam tanah akibat aktivitas cacing dan mikroorganisme lainnya. Dengan bertambahnya liang-liang di dalam tanah maka luas penampang permukaan tanah yang dapat menyerap air akan bertambah.


(37)

Liang-2.4. Perawatan Lubang Resapan Biopori

Agar biopori tetap berfungsi optimal maka senantiasa perlu dilakukan perawatan, yaitu dengan cara:

a. Penambahan Bahan Organik

Menambahkan sampah organik dengan tujuan untuk mempertahankan ketersediaan bahan organik yang berguna untuk kelangsungan hidup dan aktivitas mikro organisme tanah yang berperan dalam terbentuknya liang-liang pori di dalam tanah, karena organisme tanah membutuhkan pakan setiap hari untuk dapat tumbuh dan berkembang biak, selain itu juga agar lubang biopori tetap penuh, sehingga tanah yang terbawa oleh air hujan tidak masuk ke dalam lubang dan menjaga dinding biopori tidak roboh.

b. Memanen Kompos

Sampah organik yang dimasukkan ke dalam LRB akan terurai dan mengalami pelapukan dengan bantuan berbagai organisme tanah menjadi kompos, yang ditandai perubahan struktur menjadi lebih halus dan warna menjadi coklat kehitaman. Pemanenan kompos sebaiknya dilakukan pada musim kemarau di mana kondisi tanah tidak dalam keadaan basah (Brata, 2008).

2.5. Manfaat Lubang Resapan Biopori

Teknologi lubang resapan biopori memiliki manfaat yang sangat banyak namun secara garis besar adalah sebagai berikut:


(38)

1. Mengurangi genangan

Pada daerah perkotaan umumnya pembangunan sangat berkembang maka semakin meningkat pula kawasan tertutup (kedap air) sehingga mengurangi daerah resapan yang mengakibatkan menurunnya volume resapan air ke dalam tanah. Di samping itu lahan terbuka di sekitar pemukiman/perumahan umumnya dalam keadaan padat akibat aktivitas manusia. Kondisi ini menyebabkan peningkatan jumlah air hujan terbuang sebagai air larian (run off) yang mengakibatkan terjadi genangan, sehingga pada musim hujan akan terjadi banjir. Menurut Rauf (2009) untuk mengatasi banjir di daerah urban tidak hanya melalui perbaikan drainase, tetapi juga dengan memperbanyak daerah-daerah tangkapan air (water reservoir), salah satunya yaitu membuat lubang resapan biopori.

Dengan menerapkan lubang resapan biopori maka liang biopori yang terbentuk akan berfungsi meningkatkan resapan air ke dalam tanah, sehingga penggunaan lubang resapan biopori dalam jumlah yang sesuai akan mengurangi terjadinya genangan dan pada akhirnya dapat mengendalikan banjir.

2. Menambah cadangan air tanah

Air hujan yang masuk ke dalam tanah dalam bentuk air bebas akan terus mengalami pergerakan perlahan-lahan menuju tempat yang terendah. Jika terus menerus diisi kembali, cadangan air bawah tanah akan dapat dipertahankan walaupun pemanfaatan air bawah tanah untuk kebutuhan manusia cukup tinggi (Asdak, 2001). Dengan meningkatnya resapan air ke dalam tanah tentu ketersediaan air di bawah tanah akan semakin meningkat pula jumlahnya.


(39)

Ketersediaan cadangan air bawah tanah sangat penting dan wajib dipelihara, khususnya di daerah perkotaan karena air bawah tanah merupakan salah satu cadangan sumber air bersih bagi masyarakat dan pelaku usaha kegiatan. Menurut Rauf (2001) bahwa metode lubang resapan biopori merupakan salah satu tindakan yang tepat dilakukan guna meningkatkan resapan air pada lahan pemukiman/ perkotaan, karena air yang masuk ke dalam biopori dapat dengan mudah bergerak dalam profil tanah dan masuk sebagai sebagai air bawah tanah (ground water).

Pada tanah yang telah rusak di mana lapisan tanah atas (top soil) sudah tipis akibat terkikis oleh air larian, lubang resapan biopori dapat membantu mempercepat laju peresapan air ke dalam lapisan bawah tanah (sub soil) yang relatif padat, serta membantu pemasukan bahan organik ke dalam tanah. Dengan perbaikan kondisi sub soil tanah maka peresapan air semakin lancar, sehingga cadangan air tanah semakin terjamin (BPLHD JABAR, 2009).

Jika tidak diisi kembali cadangan air bawah tanah akan berkurang karena keluar sebagai mata air, mengalami penguapan pada lahan terbuka dan evapotranspirasi pada lahan pertanian. Selain itu di wilayah perkotaan berkurangnya ketersediaan air tanah sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan air bawah tanah yang sangat tinggi di berbagai sektor usaha dan untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. Berbagai bentuk kehilangan tersebut perlu dipulihkan kembali melalui upaya peresapan air ke dalam tanah pada saat terjadi hujan. Lubang resapan biopori berfungsi sebagai tempat menampung aliran permukaan


(40)

untuk memberi kesempatan air meresap ke dalam tanah dan tersimpan menambah cadangan air tanah.

3. Mengurangi volume sampah organik

Sampah organik di Kota Medan sebahagian berasal dari sampah rumah tangga yang menghuni kawasan pemukiman, berupa sisa makanan atau sampah dapur. Selain itu juga berasal dari sisa tanaman berupa bekas pangkasan tanaman pekarangan, sisa hasil panen tanaman yang tidak terjual dan jerami, peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan volume sampah yang harus diangkut ke tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA).

Keterbatasan sarana dan prasarana penanganan sampah di Kota Medan menyebabkan pengelolaan sampah tidak berjalan maksimal, sehingga masyarakat mencari alternatif penanganan lain seperti membakar, membuang sampah ke sungai, menumpukkan di seberang tempat yang sangat mengganggu estetika lingkungan dan akan berdampak negatif terhadap pelestarian lingkungan.

Dengan menerapkan teknologi lubang resapan biopori maka sampah organik yang dihasilkan setiap hari tidak lagi menjadi masalah, tetapi dapat dimanfaatkan dengan memasukkannya ke dalam tanah yang digali (lubang resapan). Untuk memperoleh makanannya mikroorganisme tanah akan menguraikan bahan organik tersebut, sehingga populasinya akan terus bertambah dan aktivitasnya akan membentuk pori-pori di dalam tanah.


(41)

2.6. Laju Resapan Air ke dalam Tanah

Secara umum peresapan air merupakan proses masuknya air hujan ke dalam tanah sebagai akibat adanya gaya kapiler dan gaya gravitasi dengan cara infiltrasi maupun perkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam. Dengan pengaruh gaya gravitasi air hujan akan masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah dan gaya kapiler akan mengalirkan air tersebut ke atas ke bawah dan ke arah horizontal. Sedangkan laju peresapan air adalah kecepatan masuknya air hujan ke dalam tanah selama hujan berlangsung karena faktor alam maupun berkat adanya campur tangan manusia. Laju peresapan air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: tekstur tanah, bahan organik tanah, kepadatan tanah, jenis dan jumlah vegetasi (Asdak, 2004).

Tekstur tanah adalah perbandingan antara fraksi pasir, debu dan liat dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi persentase pasir dalam tanah, maka akan semakin besar ruang pori yang terdapat di antara partikel-partikel tanah tersebut, sehingga akan memperlancar pergerakan air di dalam tanah (Hakim et al, 1986). Menurut Hanafiah (2005) tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir, debu dan liat. Hakim et al (1986) mengemukakan bahwa kepadatan tanah yang dimanifestasikan dengan kerapatan isi tanah adalah perbandingan antara berat persatuan volume penyusun tanah dalam keadaan kering oven dengan volume tanah (dinyatakan dalam gram/cm3). Hanafiah (2005) juga menyatakan bahwa kerapatan isi tanah adalah berat tanah yang dikering ovenkan per satuan volume. Tanah liat yang bertekstur halus umumnya memiliki kerapatan isi antara 1,0-1,3 g/cm3, sedangkan


(42)

yang bertekstur kasar antara 1,3-1,8 g/cm3. Nilai kerapatan isi tanah berbanding lurus dengan tingkat kekasaran partikel tanah, tanah liat yang bertekstur halus mempunyai kerapatan isi lebih kecil dibanding tanah yang tanah bertekstur kasar dan semakin tinggi nilai kerapatan isi tanah maka laju resapan air juga akan semakin besar.

Upaya meningkatkan peresapan air ke dalam tanah dewasa ini sudah sangat mendesak untuk dilakukan, terutama di daerah perkotaan di mana kebutuhan dan pemanfaatan air bersih yang bersumber dari air bawah tanah sangat tinggi karena selain kualitasnya lebih baik biayanya juga relatif lebih murah.


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara tepatnya di Kecamatan Medan Amplas. Adapun pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian adalah berdasarkan keragaman jenis tanah yang terdapat pada kecamatan tersebut yaitu: tanah inseptisol, entisol dan ultisol, sehingga diasumsikan telah mewakili untuk semua jenis tanah yang ada di Kota Medan. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan bulan April 2010.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air hujan dan jerami padi, sedangkan alat-alat yang digunakan adalah:

a. Stopwacah, b. Ember, c. Sekop, d. Bor biopori, e. Pipa paralon, f. Gelas ukur.


(44)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan a. Percobaan dan observasi lapangan,

b. Studi pustaka.

3.4. Sampel dan Perlakuan

Perlakukan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Faktor jenis tanah: Inseptisol, Entisol, dan Ultisol.

2. Faktor berat jerami: 250 g, 200 g, 150 g dan kontrol (tanpa jerami).

Adapun pertimbangan penentuan berat jerami adalah berdasarkan pendapat Brata (2008) yang menyatakan bahwa pemanfaatan bahan organik pada satu unit lubang resapan biopori maksimum sebanyak 300 g, sehingga dilakukan percobaan dengan variasi yang lebih kecil.

Dari dua faktor dengan tiga perlakuan maka terdapat 9 kombinasi perlakukan dalam percobaan tersebut, dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga jumlah sample adalah 27 titik.

3.5. Variabel yang Diamati

Adapun variabel yang diamati pada penelitian ini adalah variabel terikat (dependen) yaitu laju resapan air. Selain variabel tersebut untuk mendukung hasil penelitian akan dilakukan analisis tekstur tanah dan kerapatan isi tanah.


(45)

3.5.1. Laju Resapan Air

Laju resapan air adalah variabel yang akan diamati dalam penelitian ini, diukur dengan cara sebagai berikut:

a. persiapkan air dalam wadah (X liter).

b. kemudian tuangkan air perlahan-lahan ke dalam lubang resapan biopori. c. lakukan penuangan air secara kontiniu selama 1 jam (Z).

d. ukur sisa air dalam wadah (Y liter).

e. hitung berapa jumlah air yang terserap (X-Y) liter. Untuk menentukan laju resapan air dihitung dengan rumus ;

X – Y (liter) Laju Resapan =

Z (jam)

3.5.2. Tekstur Tanah

Untuk mengetahui keadaan tekstur tanah pada lokasi penelitian, maka dilakukan analisa dengan metode hydrometer yaitu dengan cara kerja sebagai berikut:

a. Ambil sampel tanah pada titik lokasi penelitian,

b. Timbang 25 gram sampel tanah kering udara yang telah diayak dengan ayakan 10 mesh,

c. Masukkan ke dalam erlemeyer 250 ml dan tambahkan 50 ml larutan natrium Pyrophospat, kocok sampai tercampur merata lalu biarkan satu malam,


(46)

e. Kemudian pindahkan ke dalam gelas ukur (silinder) 500 ml dan tambahkan aquadest sampai batas tanda garis,

f. Sebelum dilakukan pembacaan kocok sebanyak 50 kali,

g. Kemudian masukkan hidrometer dan pembacaan pertama dilakukan setelah 40 menit,

h. Pembacaan kedua dilakukan setelah 3 jam berikutnya, untuk memperoleh liat.

Untuk menghitung persentase masing-masing fraksi dilakukan dengan rumus: Pembacaan Hydrometer I

% LIAT + DEBU = x 100% Berat contoh tanah

Pembacaan Hydrometer II

% LIAT = x 100% Berat contoh tanah

% DEBU = % (Liat + Debu) - % Liat % PASIR = 100% - % (Liat + Debu)

3.5.3. Kerapatan Isi (Bulk Densiti) Tanah

Kerapatan isi tanah ditetapkan dengan dengan melakukan analisa di laboratorium dengan cara kerja sebagai berikut:

a. Pada titik lokasi penelitian diambil tanah dengan menggunakan cincin (tabung) tembaga, dengan cara: tekan tabung sampai tiga perempat bagian masuk ke dalam tanah, letakkan tabung lain di atas tabung pertama, tekan hingga tabung kedua masuk 1 cm ke dalam tanah, kemudian kerat tanah di sekeliling tabung lalu tabung beserta tanah di dalamnya digali dengan


(47)

sekop atau cangkul. Kemudian pisahkan kedua tabung dengan hati-hati, potong kelebihan tanah bagian atas dan bawah tabung sampai merata.

b. Masukkan tanah kedalam cawan, kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven selama 5 jam pada suhu 1050C.

c. Tanah kering oven diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian masukkan ke dalam gelas ukur 100cc, hingga mencapai angka 55 cc.

d. Ketok-ketok dinding gelas ukur dengan tangan selama 15 menit, sampai permukaan tidak turun lagi.

e. Catat volume tanah tersebut.

f. Pindahkan tanah tersebut kedalam wadah lalu ditimbang. Untuk menentukan kerapatan isi tanah dihitung dengan rumus:

berat tanah Bulk densiti (g/cc) =

volume tanah

3.6. Pelaksanaan Penelitian

Untuk menentukan titik penempatan lubang resapan biopori dilakukan dengan berpedoman pada peta jenis tanah. Berdasarkan peta tersebut diketahui bahwa Kecamatan Medan Amplas merupakan salah satu wilayah yang memiliki tiga keragaman jenis, yaitu tanan inseptisol, entisol dan ultisol (peta lokasi penelitian terlampir). Pada tanah ultisol tanah secara acak ditetapkan titik lokasi penelitian dengan menerapkan tiga perlakuan berat jerami yang berbeda masing-masing 150 g, 200 g, 250 g dan tanpa jerami sebagai pembanding, kemudian untuk setiap perlakuan


(48)

dilakukan tiga ulangan, sehingga diperoleh sebanyak sembilan titik perlakuan dan pada setiap ulangan dibuat satu titik tanpa perlakuan sebagai kontrol. Demikian juga dilakukan pada jenis tanah inseptisol dan entissol, dengan demikian diperoleh perlakuan sebanyak 27 titik perlakuan. Pada setiap titik dilakukan pengeboran dengan kedalam 80 cm dan diameter 10 cm, kemudian pada setiap lubang biopori dimasukkan jerami sesuai dengan denah percobaan.

3.6.1. Pengumpulan Data

Menurut Brata (2008) bahwa 14 hari setelah dimasukkan ke dalam lubang biopori, bahan organik mulai terurai dan mikroorganisme mulai aktif membentuk pori-pori di dalam tanah. Satu bulan setelah pemberian jerami jumlah liang-liang pori yang terbentuk di dalam tanah akan semakin bertambah, sehingga telah dapat dilakukan penelitian sebagai berikut: tanah di sekeliling lubang resapan biopori dengan radius (50 cm) disiram dengan air selama 1 jam, dengan demikian diharapkan nilai bisa laju resapan air dapat dihindarkan. Selanjutnya persiapkan air yang berasal dari air hujan atau air sumur (air yang tidak terkontaminasi dengan senyawa kimia) lalu tuangkan perlahan ke dalam lubang resapan biopori selama satu jam, kemudian hitung berapa jumlah air yang terserap ke dalam tanah dan hasilnya dicatat sebagai laju resapan air. Untuk memperoleh data yang lebih akurat, maka percobaan seperti diatas dilakukan setiap hari selama 15 hari pada semua titik lokasi percobaan dan kontrol yang selanjutnya hasilnya dicatat dan dihimpun sebagai data primer. Sedangkan data sekunder yaitu data tentang curah hujan diperoleh dari Badan


(49)

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Provinsi Sumatera Utara, data keragaman jenis tanah di Kota Medan dari Balai Penelitian Kelapa Sawit, data kadar air tanah awal dari laboratorium Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU-Medan dan berbagai data pendukung lainnya dari pihak terkait (data terlampir).

3.7. Analisis Data Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen komparatif yaitu percobaan yang dilakukan dengan membandingkan pengaruh perlakuan-perlakuan terhadap populasi (Nazir, 2005). Pada penelitian ini terdiri atas dua faktor dengan tiga level perlakuan sehingga diperoleh sebanyak sembilan perlakuan. Dengan asumsi bahwa kondisi curah hujan, temperatur dan kelembaban udara pada lokasi penelitian dalam keadaan yang homogen, maka rancangan yang digunakan untuk eksperimen ini ialah Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan model sebagai berikut:

Y ijk = µ + á1 + â1 + ( áâ)ij + ªijk ijk Di mana:

Yijk = laju resapan air yang diamati. µ = nilai tengah umum.

á1 = pengaruh taraf ke-i dari faktor jenis tanah. Âj = pengaruh taraf ke- j dari faktor berat jerami.

(áâ)ij = pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor jenis tanah dan taraf ke-j dari faktor berat jerami.


(50)

ªijk = galat percobaan taraf ke-1 dari faktor jenis tanah dan taraf ke-j dari faktor berat jerami pada ulangan yang ke-k (Sastrosupadi, 1999).

Untuk mengetahui apakah perlakuan memberi pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air, maka dilakukan uji F untuk masing-masing perlakuan dan interaksi perlakuan dengan rumus:

F h (x) = KT (x) KT Error

Selanjutnya untuk mengetahui interaksi perlakuan mana yang akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jarak (BNJ) untuk masing-masing faktor jenis tanah dan berat jerami.

BNJ0,05 untuk j =

B level ulangan Galat KT Q   05 , 0

BNJ0,05 untuk B =

j level ulangan Galat KT Q   05 , 0

3.8. Jumlah Lubang Resapan Biopori

Setelah diperoleh angka laju resapan air untuk masing-masing jenis tanah, maka dapat ditentukan berapa jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang pada satuan lahan yang kedap air dengan persamaan sebagai berikut:


(51)

liter/jam) (

lubang per air resapan laju

) m ( kedap bidang luas

mm/jam) (

hujan intensitas LRB

Jumlah

2 

Nilai intensitas hujan diperoleh dari data intensitas hujan berdasarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika wilayah setempat (Brata, 2008).


(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Wilayah Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Medan Amplas yang memiliki luas wilayah 1.376 ha dengan morfologi relatif datar dengan ketinggian 15 m di atas permukaan laut. Jumlah penduduk tercatat sebanyak 113.127 jiwa yang terdiri dari 26.500 kepala keluarga, dari angka tersebut 13.820 kepala keluarga memanfaatkan PDAM sebagai sumber air bersih, sedangkan selebihnya masih memanfaatkan air tanah (BPS Kota Medan, 2009).

4.2. Hasil Pengamatan Laju Resapan Air

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa laju peresapan air ke dalam tanah menunjukkan angka yang berbeda-beda pada masing-masing jenis tanah ultisol, entisol dan inseptisol.

4.2.1. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Ultisol (A)

Untuk jenis tanah ultisol perlakuan dengan berbagai level berat jerami memberikan angka laju peresapan air yang berbeda-beda, seperti yang disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa dari perlakuan berbagai taraf level berat jerami, memberikan peningkatan angka laju resapan air apabila dibandingkan dengan kontrol. Namun demikian tingkat laju resapan air yang tertinggi


(53)

diperoleh pada level berat jerami 200 gram sedangkan angka laju resapan air yang terendah diperoleh pada level berat jerami 250 gram.

4.2.2. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Inseptisol (B)

Pada jenis tanah Inseptisol masing-masing perlakuan dengan berbagai level berat jerami yang berbeda diperoleh peningkatan angka laju resapan air dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan data pada Lampiran 3 diketahui bahwa laju resapan air tertinggi diperoleh pada level berat jerami 200 gram, dan laju resapan air terendah pada perlakuan berat jerami 250 gram.

4.2.3. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Entisol (C)

Angka laju resapan air yang diperoleh pada tanah entisol untuk semua level berat jerami juga menunjukkan peningkatan laju resapan air bila dibandingkan dengan kontrol. Adapun tingkat laju resapan air tertinggi terdapat pada level berat jerami 200 gram, selanjutnya pada level berat jerami 250 gram dan laju resapan terendah pada level berat jerami 150 gram, seperti terlihat pada Lampiran 3.

Berdasarkan data dan uraian tentang laju resapan air pada masing-masing jenis tanah entisol, inseptisol dan ultisol diketahui bahwa pada semua jenis tanah perlakuan dengan level berat jerami yang berbeda-beda memberikan peningkatan laju resapan air terhadap kontrol dan diantara ketiga taraf level berat jerami juga terdapat perbedaan tingkat laju resapan air ke dalam tanah seperti pada Gambar 4.1.


(54)

0 150 200 250 A B C 59.91 128.66 164.20 149.09 35.46 101.95 110.68 101.04

8.12 25.62 26.57

22.89 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Laju Penyerapan (l/jam)

Berat Jerami (g)

Jenis Tanah

A B C

Gambar 4.1. Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami

Gambar 4.1 di atas menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berat jerami memberikan peningkatan laju resapan air terhadap kontrol. Namun perlakuan yang memberikan peningkatan laju resapan tertinggi diperoleh pada berat jerami 200 gram untuk semua jenis tanah. Sedangkan diantara ketiga jenis tanah yang diuji angka laju resapan tertinggi diperoleh pada jenis tanah entisol, kemudian jenis tanah inseptisol dan terendah pada jenis tanah ultisol.

4.3. Analisis Data Laju Resapan Air pada Masing-masing Jenis Tanah

Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen (laju resapan air) maka terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap data-data yang telah diperoleh. Berikut ini ditampilkan analisis statistik dari

L A J U R E S A P A N (1/jam)


(55)

data yang diperoleh untuk masing-masing jenis tanah pada taraf level berat jerami yang berbeda-beda.

4.3.1. Uji F

Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan berbagai taraf level berat jerami terhadap tingkat laju resapan air pada masing-masing jenis tanah dibandingkan dengan kontrol sebagai berikut.

Tabel 4.1. ANOVA untuk Jenis Tanah Ultisol

Sumber db JK KT Fh F.05

Jerami 3 279.11 39.04 17.20* 4.76

Error 6 31.00 5.17 - -

Total 9 310.19 - - -

Keterangan: * = signifikan

Berdasarkan hasil uji F diperoleh F hitung 17,20 > F.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa perlakuan pemberian jerami dalam berbagai level berat pada jenis tanah ultisol memberikan perbedaan laju resapan yang signifikan terhadap kontrol.

Tabel 4.2. ANOVA untuk Jenis Tanah Inseptisol

Sumber db JK kT Fh F.05

Jerami 3 4071,56 1357,19 7,58* 4,76

Error 6 1073,68 178,98 - -

Total 9 5145,24 - - -

Keterangan: * = signifikan


(56)

Berdasarkan hasil uji F tersebut diperoleh nilai F hitung 7,58 > F.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa perlakuan dengan pemberian jerami pada berbagai level berat yang berbeda pada tanah Inseptisol memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air dibandingkan dengan kontrol.

Tabel 4.3. ANOVA untuk Jenis Tanah Entisol

Sumber db JK KT Fh F.05

Jerami 3 8784,82 2928,27 95,91* 4,76

Error 6 183,16 30,53 - -

Total 9 8967,98 - - -

Keterangan: * = signifikan

Dari hasil uji F tersebut diperoleh nilai F hitung sebesar 95,91 > F.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa perlakuan pemberian jerami dalam berbagai level berat yang berbeda pada tanah entisol memberikan perbedaan yang signifikan terhadap tingkat laju resapan air apabila dibandingkan dengan kontrol.

Berdasarkan uji F yang telah dilakukan terhadap jenis tanah ultisol, inseptisol dan entisol tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa perlakuan pemberian jerami dalam berbagai level berat yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air bila dibandingkan dengan kontrol.


(57)

4.3.2. Uji Beda Nyata Jarak (BNJ)

Untuk mengetahui level perlakuan berat jerami yang memberikan pengaruh signifikan terhadap laju resapan air, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jarak untuk masing-masing jenis tanah sebagai berikut:

Tabel 4.4. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Ultisol

K J 250 J 150

J 200=26,57 18,45* 3,68ns 0,95ns

J150=25,62 17,50* 2,77ns -

J 250=22,89 14,77* -

Kontrol=8,12 - Keterangan:

* = signifikan (berbeda nyata pada taraf 5%)

Ns = non signifikan (tidak berbeda nyata pada taraf 5%)

Berdasarkan hasil Uji BNJ pada jenis tanah ultisol dapat diketahui bahwa:

a. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram, 250 gram dan 150 gram memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontrol.

b. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perlakuan berat jerami 250 gram dan 150 gram.

c. Perlakuan dengan berat jerami 250 gram belum memberikan pengaruh yang signifikan dengan perlakuan berat jerami 150 gram.


(58)

Tabel 4.5. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Inseptisol

K J 250 J 150

J 200=110,68 75,28* 9,64* 8,73*

J150=101,95 66,55* 0,91ns -

J 250=101,04 65,64* -

Kontrol=8,12 - Keterangan:

* = signifikan ns

= non signifikan

Berdasarkan hasil Uji BNJ yang dilakukan diketahui bahwa perlakuan dengan berbagai berat jerami pada jenis tanah Inseptisol adalah sebagai berikut:

a. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram, 250 gram dan 150 gram memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontrol.

b. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram memiliki tingkat laju resapan tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan berat jerami 250 gram dan 150 gram.

c. Perlakuan dengan berat jerami 250 gram belum memberikan pengaruh yang signifikan dengan perlakuan berat jerami 150 gram.

Tabel 4.6. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Entisol

K J 150 J 250

J 200=164,20 104,29* 35,54* 15,11*

J 250=149,09 89,18* 20,43* -

J 150=128,66 68,75* -

Kontrol=59,91 Keterangan:


(59)

Setelah dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jarak maka untuk jenis tanah entisol diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram, 250 gram dan 150 gram memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontrol.

b. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram memiliki tingkat laju resapan tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan berat jerami 250 gram dan 150 gram.

c. Perlakuan dengan berat jerami 250 gram berbeda nyata dengan perlakuan berat jerami 150 gram.

Berdasarkan hasil analisis data dengan uji F dan uji BNJ tersebut di atas diketahui bahwa perlakuan jerami dalam level berat 250 gram, 200 gram dan 150 gram pada masing-masing jenis tanah yang diuji memberikan peningkatan hasil laju resapan air yang signifikan terhadap kontrol. Tetapi diantara ketiga perlakuan berat jerami yang memiliki tingkat laju resapan tertinggi diperoleh pada level berat jerami 200 gram. Djuarnani (2005) menyatakan bahwa yang sangat berperan dalam proses dekomposisi bahan organik menjadi kompos adalah mikroorganisme. Selain menghasilkan unsur hara, proses dekomposisi bahan organik juga menghasilkan energi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian jerami pada semua jenis tanah akan meningkatkan jumlah dan aktivitas mikroorganisme, dengan demikian maka liang-liang pori yang terbentuk akan semakin banyak sehingga laju resapan air pada semua jenis tanah yang diuji menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap kontrol (tanpa pemberian jerami).


(60)

4.4. Analisis Data Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami

Setelah dilakukan analisis pengaruh perlakuan berbagai level berat jerami terhadap masing-masing jenis tanah, maka perlu dilakukan analisis terhadap pengaruh kombinasi setiap perlakuan. Dari hasil pengamatan diperoleh data laju resapan air dengan kombinasi perlakuan berbagai jenis tanah dan level berat jerami, seperti yang ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel 4.7. Data Laju Resapan Air dengan Kombinasi Perlakuan Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami

Perlakuan

Laju Resapan Air (l/jam)

Total

Rata-rata Jenis Tanah Berat Jerami

(g) I II III

A ULTISOL

150 26,96 28,26 21,65 76,87 25,62 200 26,70 27,13 25,88 79,71 26,57 250 23,65 24,06 20,96 68,67 22,89

B INSEPTISOL

150 114,68 93,74 97,44 305,86 101,95 200 120,23 107,79 104,02 332,04 110,68 250 114,63 94,22 94,26 303,11 101,84

C ENTISOL

150 126,14 128,85 131,00 385,99 128,66 200 170,25 162,21 160,15 492,61 164,20 250 146,71 157,55 143,00 447,26 149,09

4.4.1. Uji F

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh dari interaksi perlakuan level berat jerami pada berbagai jenis tanah, maka dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh seperti dilihat pada Tabel 4.8.


(61)

Tabel 4.8. ANOVA

Sumber Keragaman db JK kT Fh F.05

Jenis Tanah(JT) 2 69342,60 34671,30 705,13* 3,55 Berat Jerami(BJ) 2 1044,81 522,41 10,62* 3,55 Interaksi JT X BJ 4 1037,81 2559,45 5,39* 2,93

Error 18 885,03 41,17 - -

Total 26 72310,25 - -

Keterangan: * = signifikan

Berdasarkan hasil uji F di atas diketahui bahwa kombinasi perlakuan jenis tanah yang berbeda dan perlakuan berat jerami dengan level berat yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan laju resapan air, demikian pula perlakuan berat jerami memberikan pengaruh yang signifikan dan perlakuan jenis tanah juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air. Tetapi dalam hal ini faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan laju resapan air adalah jenis tanah yang berbeda.

4.4.2. Uji Beda Nyata Jarak

Untuk mengetahui perlakuan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan laju resapan air maka dilakukan uji dengan Uji Beda Nyata Jarak.


(62)

Tabel 4.9. Uji BNJ dari Interaksi Perlakuan

J150 J 200 J 250 Rata-rata

A = Ultisol 25,62e 26,57e 22,89e 25,03e

B = Inseptisol 101,95d 110,68c 101,84d 104,56c

C = Entisol 128,66b 164,20a 149,09a 147,32a

BNJ = 20,03 Keterangan:

(huruf yang sama menyatakan pengaruh yang non signifikan pada taraf 5%).

Berdasarkan hasil Uji Beda Nyata Jarak pada tabel di atas diketahui bahwa interaksi perlakuan berat jerami 150 gram, 200 gram dan 250 gram dengan masing-masing jenis tanah yang diuji, memberikan hasil sebagai berikut:

a. Pada jenis tanah ultisol: laju resapan air tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan berat jerami 200 g dengan angka laju resapan sebesar 26,57 liter/jam, tetapi belum berbeda nyata dengan perlakuan berat jerami 150 g dan berat jerami 250g.

b. Pada jenis tanah inseptisol: laju resapan air tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan berat jerami 200 g dengan angka laju resapan sebesar 110,68 liter/jam, berbeda nyata dengan interaksi perlakuan berat jerami 150 g dan interaksi perlakuan berat jerami 250 g.

c. Sedangkan pada jenis tanah entisol: laju resapan air tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan berat jerami 200 g dengan angka laju resapan sebesar 164,20 liter/jam berbeda nyata dengan perlakuan berat jerami 150 dan belum berbeda nyata dengan perlakuan berat jerami 250 g.


(1)

Berdasarkan persamaan di atas diasumsikan untuk lahan kedap seluas 100m2 maka dapat ditetapkan lubang resapan biopori yang perlu dipasang untuk masing-masing jenis tanah yaitu:

a. Tanah Entisol; 41biopori

liter/jam 147,32 m 100 mm/jam 2 , 61 LRB Jumlah 2   

b. Tanah Inseptisol; 58biopori

liter/jam 104,56 m 100 mm/jam 61,2 LRB Jumlah 2   

c. Tanah Ultisol; 204biopori

liter/jam 25,03 m 100 mm/jam 61,2 LRB Jumlah 2   

Sesuai dengan hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa laju resapan pada tanah ultisol sangat kecil, sehingga untuk mengelola air larian pada satuan lahan kedap perlu dipasang lubang resapan biopori dalam jumlah yang lebih banyak dibanding dengan jenis tanah inseptisol maupun entisol. Dengan demikian konversi pemanfaatan lahan terbuka menjadi lahan tertutup (kedap) pada tanah ultisol perlu diperhatikan untuk menghindari kemungkinan terjadinya genangan pada musim hujan. Sedangkan untuk tanah inseptisol dibutuhkan 58 dan tanah entisol dibutuhkan 41 biopori, berarti antara satu lubang resapan biopori berjarak 2-2,5 meter dan hal ini masih layak untuk diterapkan. Menurut Admin (2010) bahwa lubang resapan biopori dapat dibuat dengan jarak sekitar 2 meter.

Berdasarkan hasil penelitian di atas diketahui bahwa penerapan teknologi biopori dapat mengurangi genangan pada musim hujan apabila dipasang dalam jumlah yang sesuai berdasarkan perbedaan jenis tanahnya. Menurut (Suparlan 2010)


(2)

apabila penerapan biopori dilakukan oleh semua masyarakat mulai dari tingkat kelurahan, kantor pemerintah, swasta dan elemen masyarakat lainnya maka secara bertahap akan mengurangi terjadinya banjir dan menambah cadangan air tanah. Hal ini berarti bahwa untuk menghindari terjadinya genangan pada musim hujan dan menambah ketersediaan air tanah di Kota Medan, penerapan teknologi biopori merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang tepat. Namun demikian apabila jumlah biopori yang dipasang tidak terpenuhi sesuai dengan yang semestinya maka perlu dibarengi dengan melakukan upaya-upaya lainnya seperti:

a. Memperbaiki dan memelihara saluran drainase yang ada, agar drainase berfungsi maksimal untuk menyalurkan air larian ke sungai sehingga tidak terjadi genangan. b. Membiasakan tidak membuang sampah ke sungai yang dapat menghambat aliran

air, sehingga luapan air sungai pada musim hujan dapat dihindari.

c. Efisiensi pemanfaatan air tanah demi menjaga kesinambungan tersedianya air tanah.

d. Menyediakan ruang terbuka hijau minimal 30% dari total luas kota, yang berfungsi sebagai tempat resapan air hujan.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa perlakuan dengan pemberian jerami pada lubang resapan biopori memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air, tetapi di antara ketiga

perlakuan tersebut perlakuan dengan berat jerami 200 g memberikan angka laju resapan air yang tertinggi pada semua jenis tanah yang diuji.

2. Perbedaan jenis tanah memberi pengaruh yang signifikan tehadap laju resapan air, di mana laju resapan air tertinggi diperoleh pada jenis tanah Entisol rata-rata sebesar 147,32 liter/jam, kemudian tanah Inseptisol sebesar 104,56 liter/jam, terendah pada jenis tanah Ultisol sebesar 25,03 liter/jam.

3. Interaksi perlakuan berbagai jenis tanah dan berat jerami memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air dan interaksi perlakuan jenis tanah entisol dengan berat jerami 200 g memberikan angka laju resapan air yang tertinggi sebesar 164,20 liter/jam.

4. Jumlah lubang resapan biopori yang dibutuhkan untuk satuan luas lahan kedap akan berbeda-beda sesuai dengan jenis tanah dan intensitas hujan.


(4)

5.2. Saran

Sesuai dengan hasil kesimpulan di atas dan selaras dengan kondisi pesatnya pemanfaatan lahan di Kota Medan maka disarankan sebagai berikut:

1. Bahwa dalam pengaplikasian lubang resapan biopori di Kota Medan disarankan agar menggunakan bahan organik (jerami) sebanyak 200 gram.

2. Untuk menentukan jumlah lubang resapan biopori yang perlu dibutuhkan pada suatu lahan kedap, maka terlebih dahulu perlu diketahui jenis tanah dan intensitas hujan di mana lokasi lubang resapan biopori akan dipasang.

3. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar penelitian tentang aplikasi teknologi biopori dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber bahan organik yang lain, atau dengan melakukan pembasahan tanah awal dalam waktu yang lebih lama. 4. Untuk memperoleh data yang lebih lengkap mengenai teknologi biopori perlu

dilakukan suatu penelitian lanjutan, mengingat penelitian mengenai lubang resapan biopori belum banyak dilakukan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.

Asdak, C. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). 2010. Pemanfaatan Air Bawah Tanah

di Kota Medan.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Medan. 2010.

Pembangunan Kota Medan.

Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2009. Kota Medan Dalam Angka.

BPLHD Provinsi Jawa Barat. 2009. Implementasi Lubang Resapan Biopori untuk

Perbaikan Lingkungan.

Brata, K. 2008. Lubang Resapan Biopori. Swadaya. Jakarta. Craig, R dan Susilo, B.1994. Mekanika Tanah. Erlangga. Jakarta.

Das, B. 1985. Prinsiples of Geotechnical Engineering. PWS Publisher. University of Texas El Paso.

Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. 2009. Penuntun Praktikum Fisika Tanah.

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara. 2009. Kondisi Umum Air

Tanah Kota Medan dan Sekitarnya.

Djuarnani, N. 2008. Cara Cepat Membuat Kompos. PT. Agro Media Pustaka. Jakarta. Hakim, N,. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.

Hammer, M. & Kichan, K. 1981. Hydrology and Quality of Water Resources. Permissions Departement, United States of Amerika.


(6)

http://erabaru.or.id/2008. Biopori Teknologi Solusi Banjir.

http://kompas.com./ Satu Juta Lubang Biopori. 01 Desember 2009. http://ristek.go.id/ Biopori Teknologi Tepat Guna, 01/01/2010. http://www.suparlan.com/. Gerakan Nasional Biopori, 9/22/2010.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Regional. 2009. Suara Bumi. Pekan Baru. Morgan, R. 1981. Soil Conservation Problem and Prospect. Granfield Institut of

Technology. New York.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Ghalian Indonesia. Ciawi Bogor.

Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Tata Ruang.

Rauf, A. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Pertanian Hubungannya dengan

Upaya Memitigasi Banjir. (Pidato Pengukuhan Guru Besar). Universitas

Sumatera Utara. Medan.

Sastrosupadi, A. 1999. Rancangan Percobaan Praktis. Kanisius. Yogyakarta.

Soemarwoto, O. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djembatan. Jakarta.

Sudjana. 2002. Metoda Statistika. P.T. Transito. Bandung.

Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi. Yogyakarta.

Sastra, Z, 2009. Analisis Interusi Air Laut dan Zona Klorida pada Sumur Bor dalam dan Dangkal di Kawasan Kota Medan dan Sekitarnya. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Syahrin, A. 2003. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan