Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman modern seperti sekarang ini, nilai-nilai sosial disusun secara horisontalisme, yang berarti bahwa manusia dijadikan titik orientasi dalam penyusunan nilai-nilai sosial, dimana aspek-aspek mitologis, irrasional dan emosional, disingkirkan dari nilai-nilai tersebut; yang dahulu bersifat baka dan angker kini dinisbikan. 1 Makna mitos sudah dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Mitos dianggap sebagai sesuatu yang mengandung klaim kebenaran, tetapi dinilai bertentangan dengan realitas. Sejak timbulnya paham Rasionalisme pada abad ke- 17 dan ke-18, bahkan sejak Abad Pencerahan, pengetahuan yang dianggap sahih valid tentang realitas hanyalah didasarkan pada penalaran reasoning, baik melalui proses induktif maupun deduktif. Dalam rasionalisme, orang tidak bisa percaya begitu saja terhadap sesuatu. Seorang itu percaya dengan dasar-dasar tertentu. Kepercayaan belief itu haruslah masuk akal, yaitu bertalian secara logis coherent, tidak mengandung kontradiksi serta cocok atau sesuai compatible dengan pengetahuan manusia. Jika seseorang percaya kepada sesuatu yang tidak masuk akal, karena mengandung unsur-unsur 1 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta : Kanisius, 1989, hal. 225. yang saling bertentangan dan berbeda dengan ide yang terdapat pada manusia, maka orang itu disebut irrasional. 2 Rasionalisme dan empirisme yang penuh diwujudkan dalam sains yang merupakan “lawan” dari mitos. Sains adalah prosedur tertentu untuk memperoleh pengetahuan yang sahih. Suatu kepercayaan untuk pertama kali harus ditempatkan sebagai proposisi atau kebenaran sementara, bahkan sebagai pendapat yang bisa benar dan bisa salah. Untuk bisa diakui sebagai kebenaran ilmiah, proposisi harus diuji secara sistematis melalui pengamatan, percobaan, dan penalaran yang logis dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan. Dalam teori konvensional, modernisasi dianggap mengandung implikasi hubungan “zero-sun” modernitas dan tradisi. Artinya, munculnya modernisasi dalam masyarakat akan melunturkan dan melenyapkan tradisi sama sekali. 3 Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa keyakinan agama primitif seperti mitos eksistensinya akan semakin pudar ataupun hilang, terganti dengan hal-hal yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Namun adapula ilmuwan yang menolak pendapat seperti itu. Seperti pernyataan Karl Jasper seorang filsuf Jerman yang terkemuka, yang dikutip oleh Dawam Rahardjo, bahwa mitos bukanlah sesuatu milik masa lampau, tetapi menjadi ciri manusia sepanjang masa. 4 2 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, Jakarta : Paramadina, 1996, hal 195. 3 Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analisis, Jakarta : CV. Rajawali, 1985, hal. XI. 4 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 204. Jhon Gardner, seorang cendikiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kesejahteraan pada pemerintahan Presiden J.F Kennedy, pernah mengatakan. “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi- dimensi moral guna menopang peradaban yang besar. Dan sekali lagi kepercayaan kepada “sesuatu” itu melahirkan sesuatu yang secara umum disebut “agama”, yang sejauh pengalaman sebagian besar manusia, lebih banyak berdasarkan atau berpusatkan pada legenda dan mitologi”. 5 Kehidupan manusia pada dasarnya dikuasai oleh mitos-mitos. Hubungan antar manusia dengan sendirinya dikuasai oleh mitos yang diciptakan oleh manusia sendiri. Manusia adalah mahluk pencipta mitos. Dan karena itu maka manusia harus bisa hidup dengan mitos. Sikap kita terhadap sesuatu, ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita menyukai atau membenci yang terkandung dalam mitos tersebut. Itulah sebabnya maka manusia itu selalu memiliki prasangka tentang sesuatu yang berkaitan dengan mitos-mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduk kita. Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hadapi. Banyak hal yang sukar untuk dipercayai berlakunya, tapi ternyata berlaku hanya karena penganutnya begitu mempercayai suatu mitos. Dan ketakutan kita akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan akan sesuatu mitos, bukan ketakutan akan keadaan yang sebenarnya. 6 Dan meskipun agama sangat menghargai akal kritis, tetapi tiap agama memiliki mitos yang menjadi sumber penggerak dan acuan ritual bagi 5 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. hal. xxiii 6 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 199. pemeluknya guna melakukan sakralisasi dan membangun makna atas tindakan yang bersifat profan. mitos merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan dengan akal sehingga kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiah atau empiris, namun pengaruhnya amat kuat dalam menggerakan perilaku orang yang mempercayainya. 7 Setiap agama memiliki konsep dan keyakinan tentang tempat suci sebagai “Pusat dunia”, sebuah poros penghubung antara langit-bumi antara dunia-akhirat, antara yang sakral dan yang profan, antara hidup dan mati, antara manusia-Tuhan. Bagi umat Islam, Ka’bah di Makkah diyakini sebagi “Rumah Tuhan”, jalan terdekat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. 8 Oleh karenanya, selama di sana, jamaah haji tidak boleh berperilaku sembrono atau sembarangan, apalagi berperilaku jahat. Dalam persepsi orang dari budaya Jawa yang sangat menghormati orang suci atau para wali, menimbulkan keyakinan bahwa orang tidak boleh berbuat sembarangan di kawasan makam para wali. Tampaknya persepsi semacam itu kemudian diterapkan selama menunaikan ibadah haji, karena Makkah dan Madinah merupakan Tanah Suci atau Haramain, yang tentu harus lebih dihormati dibanding makam wali. 9 Dan dalam konteks haji, juga seakan sudah menjadi kepercayaan umum bahwa apa yang dialami di tanah suci adalah ‘cermin kehidupan’ orang yang bersangkutan. Jika perjalanan hajinya mulus, pertanda ia orang “baik-baik”, tetapi 7 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”, http:www.unisosdem.org. Sumber ini diambil pada tanggal 07 Mei 2008. 8 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”, http:www.unisosdem.org 9 Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji ”, httpwww.Undisclosed- Recipient:;freelists.org . Sumber ini diambil pada tanggal 20 Agustus 2008. jika sebaliknya berarti dia adalah “pendosa”. Dan salah satu konsekuensinya harus menerima ganjaran yang setimpal secara tulus-ikhlas. Mitos-mitos atau kepercayaan semacam itu telah mengakar sangat kuat dalam benak kebanyakan umat Islam, bahkan dalam benak masyarakat Muslim yang sudah modern sekalipun. Hal ini, sedikit - banyak mempengaruhi perilaku kehidupan keagamaan masyarakat Muslim. Sehingga berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk memilih judul “Pengaruh Mitos Haji pada Keberagamaan Masyarakat Muslim Modern” sebagai judul penelitian dalam skripsi ini

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah