a. Agama memelihara masyarakat dengan membantu menciptakan
sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh serta memberikan kekuatan memaksa yang mendukung, serta memperkuat adat istiadat.
b. Agama mengkordinasikan banyak nilai yang bermacam-macam yang
tampak tidak bertalian dan tidak berarti menjadi sistem-sistem yang terpadu.
c. Sebagai sesuatu yang sakral, agama memiliki kekuatan yang memaksa
dalam mengatur tingkah laku manusia serta kekuatan yang mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk.
2. Keberagamaan dan Segala Aspeknya
Kata keberagamaan berasal dari kata “ beragama”, kata beragama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu antara lain :
a. Mengatur memeluk agama.
b. Beribadah, taat kepada agama baik hidupnya menurut agama,
misalnya ia berasal dari keluarga yang taat “beragama”.
19
Keberagamaan berarti pembicaraan mengenai perjalanan atau fenomena yang menyangkut hubungan antara penganut dengan agamanya, atau suatu
keadaan yang ada di dalam diri seseorang penganut utama yang mendorong untuk bertingkahlaku sesuai dengan agamanya.
20
Salah satu aspek dari keberagamaan adalah pemahaman agama. Dapat dikatakan bahwa, pemahaman agama merupakan rangkaian proses berpikir dan
19
J. S. Badudu dan Sota Muhammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994, cet. I, hal.11.
20
M. Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, Yogyakarta : UGM Press,1995, hal.44.
belajar. Dikatakan demikian karena untuk menuju kearah pemahaman perlu diikuti dengan belajar dan berpikir. Pengetahuan dan pemahaman lahir sebagai
akibat proses belajar dan berpikir. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pemahaman agama merupakan proses, perbuatan dari cara memahami agama yang dianut.
Keberagamaan dalam penelitian sosial keagamaan lebih dikenal dengan religiusitas, yaitu lebih bersifat personal, melihat aspek-aspek yang berada di
dalam hati nurani. Jadi, lebih mengarah pada nilai-nilai keagamaan yang diyakini oleh individu, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
21
Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi yang dapat membedakan perilaku keagaman masyarakat. Di dalam setiap dimensi tersebut terdapat
beragam kaidah dan unsur-unsur agama yang digolong-golongkan. Sehingga, perilaku keagamaan dari individu atau kelompok masyarakat dapat
diidentifikasikan dan dinilai. Dan dimensi-dimensi tersebut adalah : dimensi keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan, konsekuensi-konsekuensi.
22
a. Dimensi keyakinan, dimensi ini meliputi : Pengharapan-pengharapan,
dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran-kebenaran doktrin tersebut. Isi dan ruang
lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi dalam agama dan tradisi yang sama. Keanekaragaman keyakinan itu
seringkali terjadi.
21
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodelogi Penelitian Survei Jakarta : LP3ES, 1989, cet.ke-1, hal. 127.
22
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 295.
b. Dimensi praktik agama, dimensi ini mencangkup perilaku pemujaan,
ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari
dua aspek penting. Pertama, ritual yang berkaitan dengan seperangkat upacara-upacara keagaman, perbuatan religius formal dan perbuatan-
perbuatan mulia yang diinginkan oleh semua agama agar dilakukan oleh penganutnya. Kedua, berbakti atau ketaatan, hampir sama dengan ritual
akan tetapi akan memiliki perbedaan penting. Aspek komitmen ritual sangat formal dan bersifat publik, tetapi disamping itu semua agama yang
dikenal mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan has pribadi.
23
c. Dimensi pengalaman, dimensi ini berhubungan dengan pengalaman-
pengalaman religius, yakni perasaan persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami oleh seorang pelaku atau suatu kelompok keagamaan atau
suatu masyarakat dianggap melibatkan semacam komunikasi. Betapapun halusnya dengan suatu esensi mulia, yakni dengan Tuhan, realitas
tertinggi, ataupun kekuatan transendental.
24
d. Dimensi pengetahuan agama, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa
orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka. Dimensi ini berkaitan erat dengan dimensi keyakinan, karena pengetahuan tentang sesuatu yang diyakini
23
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 228.
24
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 228.
merupakan prasyarat yang diperlukan bagi penerimanya. Namun pada praktiknya, keyakinan tidak selalu berasal dari pengetahuan, demikian
pula tidak semua pengetahuan agama dihubungkan dengan keyakinan terhadap agama itu. Seseorang bisa saja memegang teguh suatu keyakinan
tanpa benar-benar memahaminya. Artinya, keyakinan itu dapat timbul atas dasar pengetahuan yang dimiliki.
e. Dimensi konsekuensi, dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Disini terkandung makna ajaran “kerja” dalam pengertian
teologis.
25
Tradisi keagamaan
adalah sesuatu
yang menunjukkan
kepada kompleksitas pola-pola tingkah laku, sikap-sikap, dan kepercayaan atau keyakinan
yang berfungsi untuk menolak atau menaati suatu nilai penting nilai-nilai oleh sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan secara berkesinambungan
selama periode-periode tertentu.
26
Tradisi keagamaan termasuk kedalam pranata primer. Hal ini dikarenakan, pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-
Tuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci ibadah, dan keyakinan terhadap nilai-
nilai yang hakiki, dengan demikian tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain
25
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 296.
26
Jalaluddin, Psyikologi Agama, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997, cet. Ke-2, hal.171.
didukung oleh masyarakat, juga memuat unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat.
27
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi
keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma- norma, pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian tradisi
keagamaan memberikan pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama, sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang
hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu. Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan
bagian dari pernyataan diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun
penilaian seseorang atau masyarakat terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.
B. Pandangan Sosioligis Mengenai Mitos 1. Defenisi Umum Mitos