Prevalensi Trombosis Vena Dalam (Deep Vein Thrombosis) Dengan Compression Ultrasound B-Mode Image Pada Pasien Tumor Ginekologi Resiko Tinggi Dan Resiko Rendah Di RS H. Adam Malik Medan

(1)

PREVALENSI TROMBOSIS VENA DALAM (DEEP VEIN THROMBOSIS) DENGAN COMPRESSION ULTRASOUND B-MODE IMAGE PADA PASIEN TUMOR GINEKOLOGI RESIKO TINGGI DAN RESIKO RENDAH DI RS H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

OLEH :

MUHAMMAD RIZKI YAZNIL

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

DEPARTEMEN RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK – RSUD Dr. PIRNGADI

MEDAN


(2)

PENELITIAN INI DIBAWAH BIMBINGAN TIM–5

Pembimbing : Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K)

Dr. Netty Delvrita Lubis, Sp.Rad

Penyanggah : Prof. Dr. T.M Hanafiah, SpOG(K)

Dr. Muhammad Rusda, SpOG(K)

Dr. Deri Edianto, SpOG(K)

Diajukan untuk melengkapi tugas–tugas dan memenuhi

salah satu syarat untuk mencapai keahlian


(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Daftar isi... v

Daftar tabel... vii

Daftar gambar... viii

Daftar singkatan... ix

Abstrak... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Masalah penelitian... 3

1.3 Tujuan penelitian... 3

1.4 Hipotesis penelitian... 4

1.5 Manfaat penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor risiko... 5

2.2 Patofisiologi... 7

2.3 Diagnosis... 12

2.4 Terapi... 18

2.5 Pencegahan... 20

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain penelitian... 25

3.2 Tempat penelitian... 25

3.3 Populasi dan sampel... 25

3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi... 25

3.5 Persetujuan setelah penjelasan... 25

3.6 Etika penelitian... 25

3.7 Cara kerja... 26

3.8 Identifikasi variabel... 29

3.9 Kerangka konsep... 30


(4)

3.11 Pengolahan data dan analisis statistik... 31

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan... 41 5.2 Saran... 41


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Faktor risiko tromboemboli vena... 5 Tabel 2.2 Faktor risiko tromboemboli vena dengan tingkatannya... 6 Tabel 2.3 VTE risk assessment model... 8 Tabel 2.4 Prophylaxis decision making tools – berdasarkan

skoring faktor risiko... 8 Tabel 2.5 Temuan USG Duplex pada penilaian DVT... 14 Tabel 2.6 Kriteria USG Duplex untuk menilai trombosis akut atau kronis... 17 Tabel 2.7 Tingkat risiko tromboemboli dan tromboprofilaksis

yang direkomendasikan... 22 Tabel 2.8 Kategori risiko trombosis vena dakam (DVT-deep vein thrombosis) dan profilaksis yang dianjurkan... 22 Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian... 33 Tabel 4.2 Sebaran pasien berdasarkan skoring risiko, kriteria risiko

dan hasil USG kompresi untuk menilai DVT 34 Tabel 4.3 Proporsi kejadian DVT pada kelompok kriteria risiko rendah

dan risiko tinggi... 36 Tabel 4.4 Proporsi kejadian DVT dikaitkan dengan kategori histopatologi

tumor jinak atau tumor ganas... 37 Tabel 4.5 Hubungan gejala klinis dengan kejadian DVT... 38 Tabel 4.6 Karakteristik penderita DVT positif... 39


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Efek protrombotik sel tumor... 11

Gambar 2 Model koagulasi dan fibrinolisis... 12

Gambar 3 Algoritma penegakan diagnosis DVT... 13

Gambar 4 USG duplex dari vena normal... 15

Gambar 5 USG duplex dari DVT akut... 16

Gambar 6 Algoritma profilaksis tromboemboli pada pasien kanker... 24

Gambar 7 Alat Ultrasonografi yang digunakan pada penelitian ini... 28

Gambar 8 Diagram cara kerja... 29

Gambar 9 Histogram sebaran usia pasien... 34

Gambar 10 Pie chart sebaran diagnosis... 34


(7)

DAFTAR SINGKATAN

DVT Deep vein thrombosis

PE Pulmonary embolism

FK-USU Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSHAM Rumah Sakit Haji Adam Malik

SM Sebelum masehi

DIC Disseminated intravascular coagulation

HIT Heparin induced thrombocytopenia

CVC Central venous catheter

RAMs Risk Assessment Models

vWF Von Willebrand Factor

TF Tissue factor

TAFI Thrombin-activatable-fibrinolysis-inhibitor

PAI-1 plasminogen activator inhibitor-1

CP cancer procoagulant

INR internationalized normalized ratio

LMWH Low molecular weight heparin

UFH Unfractionated heparin

PT Protrombin time

aPTT Activated partial tromboplastin time

USG Ultrasonografi

BMI Body mass index

PPOK Penyakit paru obstruktif kronis KB Keluarga berencana

KJDK Kematian janin dalam kandungan PTG Penyakit trofoblas ganas

KET Kehamilan ektopik terganggu

Ca Cancer


(8)

PREVALENSI TROMBOSIS VENA DALAM (DEEP VEIN THROMBOSIS) DENGAN COMPRESSION ULTRASOUND B-MODE

IMAGE PADA PASIEN TUMOR GINEKOLOGI RESIKO TINGGI DAN RESIKO RENDAH DI RS H. ADAM MALIK MEDAN

Muhammad Rizki Yaznil, M Fauzie Sahil1, Netty D Lubis2

Departemen Obstetri dan Ginekologi1, Departemen Radiologi2 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Tujuan : Untuk mengetahui prevalensi trombosis vena dalam pada pasien-pasien tumor ginekologi dengan menggunakan pemeriksaan compression ultrasound b-mode image berdasarkan stratifikasi faktor risiko tinggi dan risiko rendah, untuk mengetahui odds ratio kejadian trombosis vena dalam dan apakah ada perbedaan proporsi trombosis vena dalam pada pasien tumor ganas ginekologi dengan tumor jinak ginekologi.

Tempat : RSUP. H Adam Malik Medan.

Rancangan Penelitian : Penelitian observasional analitik dengan disain potong lintang

Metode Penelitian : Semua pasien dengan tumor ginekologi dibagi atas resiko rendah dan resiko tinggi berdasarkan modifikasi skoring Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment dari Joseph A. Caprini. Kemudian dilakukan compression ultrasound b-mode image pada kedua ekstremitas bawah. Dilakukan penyajian dan analisis data, lalu dihitung risiko relatif kejadian DVT pada resiko tinggi dan pada tumor ganas ginekologi.

Hasil penelitian : Didapatkan 206 subjek penelitian dengan proporsi DVT pada resiko tinggi 26.5%, resiko rendah 3.4%, prevalensi DVT pada resiko tinggi 149 per 1000 populasi beresiko, resiko rendah 14 per 1000 populasi beresiko. Proporsi DVT pada tumor jinak ginekologi 3.7%, tumor ganas ginekologi 24.7%, prevalensi DVT pada tumor jinak ginekologi 14 per 1000 populasi beresiko, tumor ganas ginekologi 116 per 1000 populasi beresiko. Didapatkan perbedaan bermakna kejadian DVT pada resiko tinggi dan resiko rendah (p=0.000) dan perbedaan bermakna kejadian DVT pada tumor ganas dan tumor jinak ginekologi (p=0.000). Odds ratio menderita DVT pada risiko tinggi sebesar 10.3 kali lipat dibandingkan risiko rendah. Dan odds ratio menderita DVT pada tumor ganas sebesar 8.7 kali lipat dibandingkan dengan tumor jinak. Dijumpai hubungan yang bermakna antara gejala klinis dengan kejadian DVT (p=0.000).

Kesimpulan : Prevalensi DVT pada pasien tumor ginekologi risiko tinggi adalah 149 per 1000 populasi beresiko sedangkan pada pasien tumor ginekologi risiko rendah adalah 14 per 1000 populasi beresiko.

Kata Kunci : DVT (deep vein thrombosis), tumor ginekologi, Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment, risiko tinggi, risiko rendah,


(9)

PREVALENSI TROMBOSIS VENA DALAM (DEEP VEIN THROMBOSIS) DENGAN COMPRESSION ULTRASOUND B-MODE

IMAGE PADA PASIEN TUMOR GINEKOLOGI RESIKO TINGGI DAN RESIKO RENDAH DI RS H. ADAM MALIK MEDAN

Muhammad Rizki Yaznil, M Fauzie Sahil1, Netty D Lubis2

Departemen Obstetri dan Ginekologi1, Departemen Radiologi2 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Tujuan : Untuk mengetahui prevalensi trombosis vena dalam pada pasien-pasien tumor ginekologi dengan menggunakan pemeriksaan compression ultrasound b-mode image berdasarkan stratifikasi faktor risiko tinggi dan risiko rendah, untuk mengetahui odds ratio kejadian trombosis vena dalam dan apakah ada perbedaan proporsi trombosis vena dalam pada pasien tumor ganas ginekologi dengan tumor jinak ginekologi.

Tempat : RSUP. H Adam Malik Medan.

Rancangan Penelitian : Penelitian observasional analitik dengan disain potong lintang

Metode Penelitian : Semua pasien dengan tumor ginekologi dibagi atas resiko rendah dan resiko tinggi berdasarkan modifikasi skoring Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment dari Joseph A. Caprini. Kemudian dilakukan compression ultrasound b-mode image pada kedua ekstremitas bawah. Dilakukan penyajian dan analisis data, lalu dihitung risiko relatif kejadian DVT pada resiko tinggi dan pada tumor ganas ginekologi.

Hasil penelitian : Didapatkan 206 subjek penelitian dengan proporsi DVT pada resiko tinggi 26.5%, resiko rendah 3.4%, prevalensi DVT pada resiko tinggi 149 per 1000 populasi beresiko, resiko rendah 14 per 1000 populasi beresiko. Proporsi DVT pada tumor jinak ginekologi 3.7%, tumor ganas ginekologi 24.7%, prevalensi DVT pada tumor jinak ginekologi 14 per 1000 populasi beresiko, tumor ganas ginekologi 116 per 1000 populasi beresiko. Didapatkan perbedaan bermakna kejadian DVT pada resiko tinggi dan resiko rendah (p=0.000) dan perbedaan bermakna kejadian DVT pada tumor ganas dan tumor jinak ginekologi (p=0.000). Odds ratio menderita DVT pada risiko tinggi sebesar 10.3 kali lipat dibandingkan risiko rendah. Dan odds ratio menderita DVT pada tumor ganas sebesar 8.7 kali lipat dibandingkan dengan tumor jinak. Dijumpai hubungan yang bermakna antara gejala klinis dengan kejadian DVT (p=0.000).

Kesimpulan : Prevalensi DVT pada pasien tumor ginekologi risiko tinggi adalah 149 per 1000 populasi beresiko sedangkan pada pasien tumor ginekologi risiko rendah adalah 14 per 1000 populasi beresiko.

Kata Kunci : DVT (deep vein thrombosis), tumor ginekologi, Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment, risiko tinggi, risiko rendah,


(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tromboemboli vena merupakan salah satu komplikasi mayor dari keganasan, khususnya keganasan ginekologi dimana ada beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan risiko tromboemboli vena pada keganasan ginekologi, yaitu keganasan itu sendiri, usia lanjut, tindakan operasi radikal dengan durasi yang lama, massa tumor yang menekan vaskularisasi pelvik, regimen kemoterapi yang trombogenik dan tindakan diseksi lymphnode yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan intima pembuluh darah.1,2,3 Kejadian tromboemboli vena sekitar 4-20% dari seluruh pasien kanker dan merupakan salah satu penyebab kematian utama pada pasien dengan kanker. Kanker meningkatkan risiko trombosis sekitar 4,1 kali lipat dan kemoterapi meningkatkan risiko trombosis sekitar 6,5 kali lipat. Angka kejadian 4-20% merupakan underestimasi karena hasil autopsi pasien dengan kanker menunjukkan bahwa tromboemboli vena terjadi pada 50% pasien kanker. 4,5

Tromboemboli vena dapat bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam (DVT-deep vein thrombosis) ataupun emboli paru (PE-pulmonary embolism). Secara umum, kejadian emboli paru meningkat 3 kali lipat pada pasien kanker yang mengalami pembedahan dibandingkan dengan pasien non kanker yang mengalami prosedur yang sama. Angka kejadian trombosis vena dalam pada kanker ginekologi berkisar antara 11-18%, sedangkan angka kejadian emboli paru sekitar 1-2,6%. Sedangkan khusus pada kanker ovarium pasca operasi, kejadian emboli paru meningkat menjadi 6,8%, tertinggi bila dibandingkan dengan keganasan yang lain. Angka ini diduga lebih rendah dari sebenarnya karena tingginya angka mortalitas pada kasus emboli paru sehingga kebanyakan kasus tidak sempat didiagnosis ataupun belum sempat dirawat di rumah sakit.6,7

Tromboemboli akan meningkatkan biaya medis dan peningkatan risiko sindroma stasis vena, selain itu pencegahan tromboemboli penting kaitannya


(11)

dengan peningkatan angka ketahanan hidup pada pasien-pasien kanker. Pada penelitian Heit’s dkk sekitar seperempat pasien dengan tromboemboli vena menderita kematian. Morgan dkk membandingkan antara 74 pasien kanker ginekologi dengan tromboemboli vena dengan kontrol, dimana angka ketahanan hidup menurun secara signifikan pada pasien dengan tromboemboli vena dibandingkan dengan kontrol. Angka mortalitas meningkat menjadi 2 kali lipat bila dibandingkan dengan kontrol (kontrol adalah pasien kanker ginekologi tanpa tromboemboli vena).8,9

Tanpa tromboprofilaksis, insidensi DVT yang diperoleh di rumah sakit secara objektif adalah 10-40% pada seluruh pasien medikal dan surgikal dan 40-60% pada operasi ortopedik mayor. Dari sekitar 7 juta pasien yang selesai dirawat di 944 rumah sakit di Amerika, tromboemboli vena adalah komplikasi medis kedua terbanyak, penyebab peningkatan lama rawatan, dan penyebab kematian ketiga terbanyak dan penambahan biaya pelayanan medis. Oleh karena hal itulah strategi pencegahannya harus didukung penuh setidaknya berdasarkan stratifikasi risiko sedang sampai tinggi.10

Tromboemboli dapat ditegakkan dengan menggunakan gejala dan tanda klinis, akan tetapi sebagian besar tromboemboli vena asimptomatik, oleh karena itu penilaian kejadian tromboemboli vena dengan menggunakan skor klinis saja akan sangat meragukan dan diperlukan pemeriksaan tambahan seperti ultrasonografi ataupun venografi. Venografi merupakan baku emas diagnosis tromboemboli, akan tetapi karena sifatnya yang invasif, efek samping dan kesulitannya, maka penggunaan venografi bukan merupakan lini pertama baku diagnostik standar. Disinilah peran ultrasonografi yang non invasif, mudah dilakukan, murah dan tanpa efek samping. Ultrasonografi merupakan alat bantu diagnostik lini pertama pada penegakan diagnosis tromboemboli vena dan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.


(12)

Sampai saat ini belum ada data mengenai kejadian trombosis vena dalam baik yang simptomatik maupun yang asimptomatik pada pasien-pasien ginekologi onkologi di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RS H Adam Malik Medan, oleh karena itu mengingat pentingnya pencegahan tromboemboli, maka kita harus mengetahui kejadian yang sebenarnya di RSHAM, sehingga bila ditemukan kejadian yang tinggi pencegahan tromboemboli merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

1.2 MASALAH PENELITIAN

1. Belum ada data mengenai prevalensi trombosis vena dalam pada pasien-pasien tumor ginekologi di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RS. H Adam Malik Medan.

2. Tindakan profilaksis tromboemboli belum menjadi protokol pada Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RS H Adam Malik Medan karena data mengenai kejadiannya belum ada.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui prevalensi trombosis vena dalam pada pasien-pasien tumor ginekologi di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RS H Adam Malik Medan dengan menggunakan pemeriksaan compression ultrasound b-mode image berdasarkan stratifikasi faktor risiko tinggi dan risiko rendah.

2. Untuk mengetahui odds ratio kejadian trombosis vena dalam pada pasien-pasien tumor ginekologi risiko tinggi bila dibandingkan dengan risiko rendah.

3. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan proporsi trombosis vena dalam pada pasien tumor ganas ginekologi dengan tumor jinak ginekologi.


(13)

1.4 HIPOTESIS PENELITIAN

Prevalensi kejadian trombosis vena dalam lebih tinggi pada pasien tumor ganas ginekologi dibandingkan dengan tumor jinak ginekologi.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Diharapkan dengan adanya penelitian ini kita mengetahui kejadian trombosis vena dalam pada pasien ginekologi dan onkologi sehingga dapat diterapkan profilaksis tromboemboli yang sesuai dengan kategori risikonya.


(14)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi tertulis pertama mengenai tromboemboli dan ulserasi vena dijumpai pada masa 1550 SM pada Papyrus of Eber, sedangkan kasus tromboemboli pertama yang tertulis jelas dijumpai pada abad ke 13. Pada abad ke 18 Hunter mengajukan hipotesis bahwa trombosis vena disebabkan oleh penyumbatan vena oleh bekuan darah, dan pada paruh kedua abad ke 19, Virchow mengajukan postulat faktor trias Virchow sebagai penyebab utama trombosis vena yaitu kerusakan pada dinding vena, stasis dari aliran vena dan perubahan pada komponen darah yang menyebabkan hiperkoagulabilitas pada kasus trombosis post partum. 14

2.1 FAKTOR RISIKO

Penyebab tromboemboli vena dikemukakan oleh Rudolph Virchow dengan trias Virchow (stasis vena, cedera vaskular dan hiperkoagulabilitas). Faktor risiko terjadinya tromboemboli vena dapat dibagi menjadi 3 kelompok risiko, yaitu faktor tindakan bedah, faktor medikal dan faktor herediter/pasien. 15

TABEL 2.1. FAKTOR RISIKO TROMBOEMBOLI VENA 15 Faktor pasien

• Usia >40 thn

• Immobilisasi

• Obesitas

• Riwayat menderita DVT/PE

• Kehamilan

• Masa nifas

• Terapi estrogen dosis tinggi

• Varises vena

Faktor Medikal/Surgikal • Tindakan bedah mayor

• Malignansi (khususnya pelvik, abdominal, metastasis)

• Infark miokard

• Stroke

• Gagal nafas akut

• Gagal jantung kongestif

Inflammatory bowel disease • Sindroma nefrotik


(15)

• Fraktur pelvik, ekstremitas bawah

• Polisitemia

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

• Paraproteinemia

• Sindroma Behcet’s

Faktor Hiperkoagulasi

• Antibodi Antifosfolipid, Lupus Antikoagulan

• Homocysteinemia

• Disfibrinogenemia

• Gangguan Myeloproliferatif

• Defisiensi Antithrombin

• Faktor V Leiden

Disseminated intravascular

coagulation (DIC)

• Gangguan plasminogen dan aktivasinya

Heparin induced

thrombocytopenia (HIT) • Defisiensi protein C

• Defisiensi protein S

• Sindroma hiperviskositas

• Mutasi gen protrombin 20210A

Kanker (malignansi) adalah faktor risiko yang paling sering dan penting untuk terjadinya tromboemboli vena. Lee dan Levine memperkirakan insidensi annual tromboemboli vena pada pasien kanker adalah 1 dari 200 orang. Dua puluh persen kasus tromboemboli vena terjadi pada pasien yang menderita kanker. Pada seluruh penderita kanker, 15% akan menderita tromboemboli vena simptomatik, 50% menderita tromboemboli vena asimptomatik dan 50% dijumpai tromboemboli vena pada saat otopsinya. 16

Tabel 2.2 Faktor risiko tromboemboli vena dengan tingkatannya 16

Tingkatan Risiko Karakteristik

Tinggi (Odds ratio >10) Tindakan bedah dengan institusionalisasi Trauma

Penggantian lutut atau total hip Cedera medulla spinalis


(16)

Malignansi dengan kemoterapi Pemasangan CVC atau pacemaker Trombosis vena superfisial sebelumnya Malignansi tanpa kemoterapi

Penyakit neurologis dengan paresis ekstremitas

Penyakit hati berat Rendah (Odds ratio <2) Tirah baring >3 hari

Duduk lama Obesitas

Peningkatan usia

Karena rendahnya kepatuhan terhadap protokol profilaksis tromboemboli dan kesulitan klinisi dalam menentukan stratifikasi faktor risiko menurut panduan yang ada sekarang ini, maka Joseph A. Caprini dan timnya mengembangkan suatu Risk Assessment Models (RAMs) untuk dengan tegas menggunakan perhitungan faktor risiko.

2.2 PATOFISIOLOGI

Sistem koagulasi terdiri dari dua komponen, yaitu komponen seluler dan komponen molekuler. Komponen seluler adalah trombosit, sel endotel, monosit dan eritrosit, sedangkan komponen molekuler adalah faktor-faktor koagulasi dan inhibitornya, faktor fibrinolisis dan inhibitornya, protein adhesif (cth von Willebrand factor, vWF), protein interseluler, acute-phase proteins, immunoglobulin, ion kalsium, fosfolipid, prostaglandins dan beberapa sitokin lain. Meskipun begitu, protein-protein koagulasi adalah komponen inti dari sistem hemostasis. 18


(17)

Tabel 2.3 VTE Risk Assessment Model

17

Tabel 2.4 Prophylaxis Decision Making Tools–Berdasarkan Skoring Faktor Risiko 17

Berikut ini adalah jalur (pathway) koagulasi yang berdasarkan waktu ( time-based): 18

1. Inisiasi ; Tissue factor (TF) yang diekspresikan oleh vaskular yang rusak mengikat FVIIa (yang bersirkulasi dalam jumlah kecil), yang kemudian


(18)

memicu koagulasi dengan mengaktivasi FIX menjadi FIXa dan FX menjadi Fxa. Fxa kemudian mengikat FII, menghasilkan thrombin (FIIa) dalam jumlah kecil. Pada reaksi yang lebih lambat, FIXa mengikat dan mengaktivasi FX menjadi FXa. Kebanyakan proses koagulasi invivo diinisiasi oleh tissue factor, sedangkan aktivasi kontak (aktivasi FXII) masih belum jelas perannya secara klinis, akan tetapi kemungkinan diduga karena RNA dari sel yang rusak menjadi aktivator FXII invivo.

2. Amplifikasi ; Karena pada tahap inisiasi thrombin yang dibentuk masih sedikit untuk dapat mengaktivasi fibrinogen menjadi fibrin, maka ada beberapa mekanisme amplifikasi umpan balik. Yang pertama, pembentukan FVIIa ditingkatkan oleh aktivasi FVII yang terikat pada

tissue factor oleh FVIIa, FIXa dan Fxa. Thrombin kemudian mengaktivasi kofaktor non enzymatik FV dan FVIII, yang mengakselerasi aktivasi FII oleh Fxa dan Fxa oleh FIXa secara berurutan. Pada umpan balik berikutnya, thrombin juga mengaktivasi FXI menjadi FXIa yang meningkatkan pembentukan FIXa.

3. Propagasi ; Untuk mempertahankan pembentukan thrombin kontinu, memastikan pembentukan bekuan yang besar, sejumlah besar FXa diprodukasi oleh aktivasi FX oleh FIXa dan FVIIIa (intrinsic tenase complex). FIXa utamanya dari aktivasi FIX oleh kompleks FVIIa/TF. 4. Stabilisasi ; pembentukan thrombin maksimal terjadi setelah pembentukan

monomer-monomer fibrin. Hanya setelah itu terjadi maka jumlah trombin cukup untuk mengaktivasi FXIII, sebuah tranglutaminase, yang kemudian mengcross-link monomer-monomer fibrin menjadi jaringan fibrin yang stabil. Sebagai tambahan, thrombin kemudian mengaktivasi thrombin-activatable-fibrinolysis-inhibitor (TAFI) yang melindungi bekuan fibrin dari aktifitas fibrinolisis.

Tindakan bedah sering menganggu keseimbangan sistem ini yang dapat menyebabkan kecenderungan terjadinya trombosis ataupun perdarahan. Selain tindakan bedah, banyak faktor risiko klinis lain yang dapat menyebabkan gangguan yaitu immobilisasi, infeksi, kanker (keganasan) dan obat-obatan, dan


(19)

juga berbagai macam faktor perioperatif seperti hipotermia, asidosis metabolik, penggunaan volume expander dan sirkulasi ekstrakorporeal. Beberapa jam setelah operasi terdapat peningktan tissue factor, tissue plasminogen activator,

plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan vWF yang menyebabkan hiperkoagulasi dan hipofibrinolitik. 18

Sedangkan mekanisme bagaimana kanker dapat menyumbang risiko besar pada tromboemboli vena belum dapat sepenuhnya dimengerti, akan tetapi ada beberapa faktor yang telah diidentifikasi: tipe kanker tertentu, terapi terhadap kanker, usia, indeks massa tubuh dan genetik. Secara umum dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor intrinsik (sel tumor dan microenvironment) dan ekstrinsik (intervensi teraupetik).19

Sel tumor dapat menyebabkan upregulasi banyak faktor koagulasi, down

regulasi sistem protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau protein regulator yang berkaitan dengan pembentukan trombus, sehingga rentan terhadap keadaan protrombotik. Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem koagulasi/antikoagulasi, kerusakan endotel pembuluh darah dan mengaktivasi trombosit. Profil dari tumor juga berpengaruh, karena beberapa jenis sel tumor mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs (faktor III) dan trombin (faktor IIa). Juga dijumpai peningkatan faktor koagulasi dan protein regulator pada peritoneum pasien dengan kanker ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor XIII, faktor II-reseptor faktor II, faktor VII, faktor X dan faktor I, fibrin,


(20)

Gambar 1. Efek protrombotik sel tumor 16

Protein prokoagulan penting yang dihasilkan oleh sel tumor adalah TF (tissue factor) dan CP (cancer procoagulant), meskipun TF adalah produk sel normal, akan tetapi tidak diekspresikan dalam keadaan normal atau istirahat, dan produksinya distimulasi oleh inflamasi. Sedangkan, sel kanker mengekpresikan TF secara kontinu, sedangkan CP adalah cyteine protease dengan substrat koagulasi faktor X. Tumor juga dapat menimbulkan efek massa/penekanan yang menyebabkan stasis aliran darah vena.16

Terapi terhadap kanker adalah faktor ekstrinsik pencetus tromboemboli vena. Beberapa obat antineoplastik dapat menyebabkan upregulasi protein prokoagulan, downregulasi antikoagulan (antithrombin, protein C dan protein S), menekan aktifitas fibrinolitik, meningkatkan aktifitas trombosit, meningkatkan adhesi neutrofil dan memicu pelepasan beberapa sitokin dan tumor prokoagulan dari sel tumor yang lisis.Tindakan bedah juga meningkatkan risiko tromboemboli vena 2-3 kali lipat pada keganasan ginekologi dibandingkan dengan operasi non malignansi.16,19


(21)

Gambar 2. Model koagulasi dan fibrinolisis. FX (1) dan FIX (2) = fase inisiasi, (3) = fase amplifikasi, (4) = stabilisasi. 18

Mayoritas kejadian tromboemboli vena bermula dari deep calf veins, dimana mayoritas trombosis akan menghilang spontan, sekitar 15% akan berlanjut ke vena proksimal yang menyebabkan sumbatan dan rentan terjadi embolisasi. Bila tidak ditata laksana, maka trombosis vena yang terjadi di atas lutut, sekitar lebih dari 50% akan menyebabkan emboli paru. 14

2.3 DIAGNOSIS

Tromboemboli vena dapat bermanifestasi sebagai deep vein trombosis

(DVT) ataupun emboli paru. Diagnosis DVT secara klinis sulit dipercaya, karena 75% pasien yang disangkakan DVT ternyata tidak menderita DVT. Diagnosis pasti DVT hanya dapat ditegakkan dengan venografi, dimana sensitifitas dan spesifisitas mencapai 100%. Kelemahan venografi adalah tindakan invasif dan mempunyai efek samping phlebitis dan pembentukan trombosis, oleh karena itu venografi tidak digunakan sebagai alat bantu pertama dalam mendiagnosis DVT.


(22)

D-dimer dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang, apalagi bila dikombinasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dengan nilai prediksi negatif yang baik sehingga hasil negatif benar-benar dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Akan tetapi, pemeriksaan D-dimer tidak begitu akurat pada pasien dengan malignansi dan kehamilan atau pada pasien paska operatif, hal ini disebabkan pada pasien malignansi, hamil dan paska operatif nilai D-dimer dapat meningkat meskipun tanpa adanya DVT. Oleh karena itu, pada pasien dengan malignansi, kehamilan dan paska operatif sangat dianjurkan untuk mengkombinasi pemeriksaan D-dimer dengan ultrasonografi. 12

Dapat juga digunakan pemeriksaan impedance pletysmography dan

radiolabeled fibrinogen uptake, akan tetapi karena kompleksitas pemeriksaan ini sudah tidak dipakai lagi dan digantikan dengan pemeriksaan ultrasonografi. 12

Gambar 3. Algoritma penegakan diagnosis DVT 20 2.3.1 Ultrasonografi Duplex


(23)

Kombinasi dari pencitraan B-mode dan Doppler pada satu instrumen, duplex, awalnya dilakukan sebagai penunjang diagnosis pada pembuluh darah arteri. Selain itu, ternyata ultrasonografi duplex juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya obstruksi dan refluks vena. Selama lebih dari 25 tahun, kualitas teknologi pencitraan B-mode meningkat secara dramatis. Tampilan dengan kode warna juga power doppler banyak terdapat pada hampir semua instrumen, kedua mode ini sangat membantu dalam menentukan lokasi vena dan menegaskan defek intraluminal. 21

Tabel 2.5 Temuan USG Duplex pd penilaian DVT 21


(24)

Gambar 4. USG Duplex dari vena normal. Vena sepenuhnya dapat dikompresi.21

Temuan ultrasonografi duplex pada DVT ekstremitas bawah dijabarkan pada 5. Hampir semua laboratorium vaskular menggunakan kriteria pertama, yaitu tidak dapatnya dilakukan pengempisan/kolaps vena dengan penekanan probe usg sebagai metode diagnostik utama. Meta analisis telah menunjukkan bahwa tanda ini sensitifitasnya 95% dan spesifisitasnya 98% untuk DVT proksimal pada ekstremitas bawah. Ketika semua kriteria pada tabel dipakai, maka sensitifitasnya adalah 98% dan spesifisitasnya 94%. 21

Meskipun akurasinya sangat baik, akan tetapi kebanyakan data pada pasien dengan obstruksi vena femoral dan/atau popliteal. Mayoritas pasien dengan DVT simptomatik memiliki trombus pada vena femoral dan popliteal. Pada beberapa kasus, trombus juga dapat melibatkan vena iliaka dan vena calf, dimana pemeriksaan ultrasonografi dupleks pada vena ini tidak begitu akurat. 21


(25)

Gambar 5. USG Duplex dari DVT akut. Tampak bahwa vena tidak dapat dikompresi. Juga dapat dilihat bahwa vena membesar dan trombus echolucent dan terkompresi sebagian, yang merupakan petanda trombus

akut. 21

Sebagai tambahan, ultrasonografi dupleks dapat menyediakan informasi apakah trombus tersebut akut atau kronis. Kriterianya diuraikan pada tabel 6. Temuan trombus yang sebagian terkompresi adalah tanda DVT akut yang dapat dipercaya. Trombus yang mengambang bebas, atau yang tampaknya bergerak pada lumen vena hanya dilihat sesekali. Banyak klinisi yang menggunakan kriteria derajat ekogenisitas dari trombus untuk menentukan usia trombus. Meskipun ekogenisitas trombus meningkat seiring usia, juga bergantung pada setting alat. 21


(26)

Tabel 2.6 Kriteria USG Duplex untuk menilai trombosis akut atau kronis.21

Penentuan usia trombus khususnya penting bila klinisi menghadapi pasien dengan riwayat DVT sebelumnya yang tampil dengan gejala nyeri ekstremitas bawah yang baru atau pembengkakan ekstremitas bawah yang baru tanpa adanya pemeriksaan sebelumnya sebagai pembanding. Karena 10-20% DVT akut menjadi kronis, menentukan apakah pasien tersebut memiliki trombus baru atau adanya insufisiensi vena kronis merupakan suatu tantangan tersendiri. Tabel penentuan usia trombus cukup dapat dipercaya, akan tetapi perlu diingat bahwa trombus akut dan kronis dapat terjadi bersamaan. Pada kasus seperti ini harus dicari trombus yang terkompresi parsial (akut) pada ujung proksimal atau distal dari DVT yang lama.21

Pemeriksaan duplex juga dapat menentukan penyebab nyeri atau pembengkakan ekstremitas bawah ketika DVT tidak ditemukan. Hematoma intramuskular (kadang berkaitan dengan robekan otot), kista Baker's yang ruptur dan tidak ruptur, dan penyakit refluks vena merupakan penyebab yang umum dijumpai dan menyerupai DVT dan juga dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ultrasonografi duplex.21


(27)

2.4 TERAPI

Terapi tromboemboli vena pada pasien kanker merupakan suatu tantangan tersendiri, dimana terapi harus individual dan disesuaikan dengan tatalaksana yang sedang dilakukan untuk malignansinya. Pasien kanker sering membutuhkan tindakan bedah yang radikal, rentan terhadap infeksi dan mendapat kemoterapi yang mensupresi pembentukan komponen darah seperti trombosit sehingga dapat meningkatkan risiko perdarahan. Oleh karena itu terapi terhadap tromboemboli pada pasien kanker harus diindividualisasi.20

Terapi standar untuk DVT adalah unfractionated heparin intravena. Heparin dapat membatasi pembentukan bekuan darah dan meningkatkan proses fibrinolisis. Heparin lebih unggul dibandingkan dengan antikoagulan oral tunggal sebagai terapi awal untuk DVT, karena antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli disebabkan inaktivasi protein C dan protein S sebelum menghambat faktor pembekuan eksternal. Sasaran yang harus dicapai adalah

activated PTT 1,5 sampai 2,5 kali lipat untuk mengurangi risiko rekurensi DVT, biasanya dapat dicapai dengan dosis heparin ≥30.000 U/hari atau >1250 U/jam. Metode yang sering dipakai adalah bolus intravena inisial diikuti dengan infus heparin kontinu. Selain itu metode pemberian subkutan dua kali sehari juga efektif. Pada tahun 1991 Cruikshank dkk mempublikasikan normogram standar untuk dosis heparin. Menurut protokol ini, pasien diberikan bolus inisial 5000 U UFH diikuti dengan 1280 U/jam UFH. Dosis heparin dititrasi menurut nilai aPTT selanjutnya. Pada penelitian Cruikshank tersebut nilai aPTT sasaran tercapai dalam 24 sampai 48 jam. Untuk sebagian besar pasien dengan DVT, heparin harus diberikan ≥5 hari dan tidak dihentikan sampai INR (internationalized normalized ratio) pada kisaran terapeutik ≥2 hari.22

Low molecular weight heparin (LMWH) juga efektif terhadap DVT, bila dibandingkan dengan UFH, maka LMWH lebih mempunyai keuntungan yaitu pemberian subkutan satu atau dua kali sehari dengan dosis yang sama dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Keuntungan yang lain yaitu kemungkinan


(28)

risiko perdarahan yang lebih sedikit dan dapat diberikan dengan sistem rawat jalan di rumah tanpa memerlukan pemberian intravena kontinu.22

Warfarin adalah antikoagulan oral yang paling sering digunakan untuk tatalaksana jangka panjang DVT. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat produksi faktor II, VII, IX dan X, protein C dan protein S. Efek warfarin dimonitor dengan pemeriksaan protrombin time (PT) dan diekspresikan sebagai internationalized normalized ratio (INR). Terapi warfarin harus dimulai segera setelah PTT berada pada level terapeutik, baiknya dalam 24 jam setelah inisiasi terapi heparin. Sasaran INR yang ingin dicapai adalah 2.0 sampai 3.0. Dosis inisial warfarin adalah 5 mg dan biasanya mencapai INR sasaran pada hari ke-4 terapi. Dosis warfarin selanjutnya harus diindividualisasi menurut nilai INR.22

Terapi trombolitik jarang diindikasikan untuk DVT, biasanya diberikan pada pasien dengan DVT iliofemoral yang ekstensif dan risiko rendah terhadap perdarahan. Kontraindikasi absolut untuk terapi trombolitik adalah perdarahan internal aktif, stroke dalam kurun waktu 2 bulan belakangan, abnormalitas intrakranial, hipertensi berat tidak terkontrol dan adanya kelainan diatesis perdarahan. Kontraindikasi relatif terhadap terapi trombolitik adalah tindakan bedah mayor atau persalinan pervaginam dalam kurun waktu 10 hari sebelumnya, riwayat perdarahan gastrointestinal, tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg, kehamilan, usia >75 tahun dan hemorrhagic diabetic retinopathy.22

Penggunaan filter vena cava inferior pada pasien dengan emboli paru rekuren meskipu sudah diterapi dengan antikoagulan dan pada pasien dimana pemberian antikoagulan merupakan kontraindikasi atau alergi terhadap pemberian antikoagulan.22

Terapi untuk emboli paru juga menggunakan unfractionated heparin atau LMWH dengan dosis dan cara pemberian yang sama dengan terapi DVT.


(29)

Trombolitik diindikasikan pada pasien dengan emboli paru masif, adanya syok kardiogenik atau keadaan hemodinamik tidak stabil. Trombolitik yang dipakai adalah streptokinase, urokinase, dan tissue plasminogen activator. Streptokinase diberikan bolus 250.000 IU diikuti bolus 100.000 U/jam selama 24 jam. Bila trombolitik gagal, maka dapat dilakukan transvenous catheter embolectomy atau open surgical embolectomy.22

2.5 PENCEGAHAN

Metode profilaksis tromboemboli vena harus aman, efektif, ekonomis, dan dapat diterima penggunaannya. Strategi pencegahan yang ada sekarang ini adalah ambulasi dini, graduated compression stockings, pneumatic compression devices

dan antikoagulan seperti warfarin, UFH subkutan, dan LMWH.12

Penggunaan regimen profilaksis tertentu harus didasarkan pada pertimbangan klinis dan faktor risiko. Graduated compression stockings dipasang pada ekstremitas bawah dan memiliki profil tekanan yang berbeda sepanjang

stocking dengan tujuan mengurangi penumpukan darah vena. Penelitian telah menunjukkan bahwa stocking ini efektif mencegah tromboemboli dengan efek samping minimal. Pneumatic compression devices juga disebut sequential compression devices memanjang sampai ke lutut atau paha dan juga digunakan sebagai profilaksis DVT. Penggunaan pneumatic compression devices

mengurangi risiko pembentukan gumpalan darah dengan menstimulasi pelepasan faktor fibrinolisis juga dengan kompresi mekanis dan pencegahan pengumpulan darah vena. Penggunaan pneumatic compression devices akan efektif mencegah DVT bila digunakan intraoperatif dan post operatif sampai 5 hari. Akan tetapi pada beberapa pasien dengan faktor risiko tinggi seperti riwayat DVT sebelumnya, kanker dan usia >60 tahun risiko DVT tetap tinggi meskipun telah menggunakan pneumatic compression devices.12

Pencegahan DVT secara farmakologis mencakup antagonis vitamin K (warfarin), UFH, dan LMWH. UFH adalah campuran rantai polisakarida dengan berat molekul bervariasi, dari 3000 dalton sampai 30.000 dalton yang


(30)

mempengaruhi faktor Xa dan thrombin. LMWH terdiri dari fragmen UFH yang mempunyai respon antikoagulan yang dapat diprediksi dan aktifitas yang lebih terhadap faktor Xa. Pada meta analisis pasien yang mengalami operasi urologi, ortopedi dan bedah umum, disimpulkan bahwa UFH subkutan efektif mencegah DVT pada pasien risiko menengah sampai risiko tinggi, dengan sedikit peningkatan komplikasi perdarahan. Pada pasien ginekologi penggunaan heparin telah dibandingkan dengan kontrol, dimana dijumpai penurunan deteksi DVT pada kelompok yang menggunakan heparin dibandingkan dengan kontrol (3% vs 29%), dengan pemberian 5000 U UFH subkutan 2 jam sebelum operasi dan paska operasi dua kali sehari selama 7 hari.12

LMWH diperkenalkan sebagai profilaksis dengan beberapa kelebihan seperti pemberian hanya 1 kali sehari dan keuntungan teoretis berkurangnya risiko perdarahan. Beberapa penelitian telah membandingkan penggunaan LMWH dalteparin 2500 U satu kali sehari dengan UFH 5000 U dua kali sehari untuk perioperatif operasi abdominal, dan tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam hal kejadian DVT ataupun episode perdarahan.12

Terapi antikoagulan dengan UFH dan LMWH mempunyai risiko. Risiko utama adalah perdarahan, osteoporosis (terapi UFH berkepanjangan) dan heparin induced trombocytopenia. Risiko perdarahan dengan UFH tampaknya lebih tinggi dan respon individu yang bervariasi.12

Terapi inisial menunjukkan bahwa 50% kasus DVT mulai terbentuk pada saat operasi dan 25% terjadi dalam kurun waktu 72 jam setelah operasi. Oleh karena itu, penting untuk memulai profilaksis sebelum dilakukan induksi anestesi pada pasien risiko menengah sampai risiko tinggi. Graduated compression stocking dan pneumatic compression devices dapat dipasang sebelum operasi. Pemberian LMWH atau UFH juga dapat diberikan sebelum operasi pada pasien risiko tinggi. Adanya peningkatan risiko perdarahan selama operasi tidak banyak dibuktikan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan.12


(31)

Pemilihan metode profilaksis bergantung pada penilaian risiko tromboemboli, apakah risiko ringan, sedang ataupun risiko tinggi. American College of Chest Physicians Evidence Based Clinical Practice Guidelines

membagi beberapa tingkatan risiko menderita tromboemboli yang dapat dilihat pada tabel 3.10

Tabel 2.7 Tingkat risiko tromboemboli dan tromboprofilaksis yang direkomendasikan 10

Tabel 2.8 Kategori risiko thrombosis vena dalam (DVT-deep vein thrombosis) dan profilaksis yang dianjurkan 12

Risiko Rendah (low risk) ‐ Bedah minor (cth : ligasi tuba bilateral), tanpa tambahan faktor risiko lain

Profilaksis : tidak diperlukan secara khusus, dapat digunakan stocking elastic dengan kompresi gradual atau ambulasi dini

Risiko Sedang (intermediate risk) ‐ Bedah minor dengan tambahan faktor risiko lain


(32)

‐ Bedah mayor pada pasien usia 40-60 thn (cth : histerektomi total) tanpa tambahan faktor risiko lain

Profilaksis : pneumatic compression devices atau LMWH atau UFH. Risiko Tinggi (high risk) ‐ Bedah mayor (cth : debulking

kanker ovarium) dengan tambahan faktor risiko lain

Profilaksis : LMWH, UFH subkutan 3x/hari dan pneumatic compression devices.

Risiko Sangat Tinggi (very high risk) ‐ Bedah mayor (cth : exenterasi pelvis total) dengan faktor risiko multiple

‐ Riwayat tromboemboli ‐ Riwayat thrombophilia ‐ Dengan kanker

Profilaksis : LMWH 1x/hari, UFH subkutan 3x/hari, pertimbangkan kombinasi dengan LMWH dan pneumatic compression devices atau stoking elastic dengan kompresi gradual dan LMWH.


(33)

(34)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan disain potong lintang.

3.2 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi dan Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – RS H. Adam Malik Medan

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target adalah semua pasien tumor ginekologi dengan stratifikasi risiko tinggi dan risiko rendah untuk menderita tromboemboli vena. Populasi terjangkau adalah populasi target yang dirawat inap dan rawat jalan di RS H. Adam Malik Medan. Sampel adalah populasi terjangkau yang dapat dilakukan pemeriksaan USG yang dikumpulkan secara consecutive sampling sampai jumlah minimal sampel terpenuhi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi adalah semua pasien tumor ginekologi yang dirawat inap atau rawat jalan di RS H. Adam Malik Medan. Sedangkan kriteria eksklusi adalah subjek yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan USG kompresi ekstremitas bawah.

3.5. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan setelah dilakukan penjelasan.

3.6. Etika Penelitian

Penelitian ini telah diminta persetujuan oleh Komite Etis Penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(35)

3.7 Cara Kerja

1. Semua pasien tumor ginekologi yang dirawat inap dan dirawat jalan dilakukan penilaian faktor risiko dengan Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment dari Joseph A. Caprini.

VENOUS THROMBOEMBOLISM RISK FACTOR ASSESSMENT (Joseph A. Caprini, MD, MS, FACS, RVT)

Faktor Risiko Skor

‐ Usia 41-60 thn ‐ Bedah minor elektif

‐ Riwayat bedah mayor sebelumnya ‐ Varises vena

‐ Riwayat Inflammatory bowel disease ‐ Kaki bengkak

‐ Obesitas (BMI >30)

‐ Infark miokard akut (< 1 bulan) ‐ Gagal jantung kongestif (<1 bulan) ‐ Sepsis (<1 bulan)

‐ Penyakit paru berat termasuk pneumonia (<1 bulan)

‐ Fungsi paru abnormal (PPOK) ‐ Tirah baring

‐ Gips pada ekstremitas bawah

‐ Penggunaan KB oral atau terapi sulih hormon ‐ Kehamilan atau postpartum (<1 bulan) ‐ Riwayat KJDK yang tidak dapat dijelaskan,

abortus spontan berulang (≥3), partus prematurus karena pertumbuhan janin terhambat atau preeklampsia berat.

1

‐ Usia 60-74 tahun

‐ Bedah mayor (>60 menit) ‐ Bedah arthroscopy (>60 menit) ‐ Bedah laparoskopi (>60 menit)


(36)

‐ Riwayat kanker sebelumnya ‐ Akses vena sentral

‐ Obesitas morbid (BMI>40) ‐ Usia >75 tahun

‐ Bedah mayor selama 2-3 jam ‐ BMI >50 (sindroma stasis vena)

‐ Riwayat DVT atau emboli paru sebelumnya ‐ Riwayat keluarga DVT atau emboli paru ‐ Kanker sekarang ini atau dalam pengobatan

kemoterapi untuk kanker ‐ Faktor V leiden positif ‐ Prothrombin 20210A positif ‐ Peningkatan serum homocysteine ‐ Lupus anticoagulant positif

‐ Peningkatan antibodi antikardiolipin ‐ Heparin induced thrombocytopenia ‐ Trombofilia lain

3

‐ Arthtoplasty mayor elektif pada ekstremitas bawah

‐ Fraktur pelvik, kaki ‐ Stroke (<1 bulan)

‐ Trauma multipel (< 1 bulan)

‐ Cedera spinal akut /paralisis (<1 bulan) ‐ Bedah mayor lebih dari 3 jam

5

Risiko Tromboemboli Vena

Skor Total Faktor Risiko Tingkat Risiko

0-1 Risiko rendah

2 Risiko sedang

3-4 Risiko tinggi


(37)

2. Pasien kemudian dikelompokkan atas risiko rendah, sedang, tinggi dan paling tinggi berdasarkan Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment dari

Joseph A. Caprini. Pada penelitian ini risiko rendah dan risiko sedang dimasukkan ke kelompok risiko rendah, dan risiko tinggi dan sangat tinggi dimasukkan ke kelompok risiko tinggi.

Skor Total Faktor Risiko

Tingkat Risiko Kelompok Penelitian

0-1 Risiko rendah

2 Risiko sedang

Risiko rendah

3-4 Risiko tinggi

5 atau lebih Risiko sangat tinggi

Risiko tinggi

3. Kemudian dilakukan anamnesis pribadi, dan data penyakit yang sedang diderita dan terapi yang sudah dilakukan, khususnya dinilai diagnosis akhir berdasarkan histopatologi apakah tergolong tumor jinak atau tumor ganas ginekologi, juga dinilai apakah ada gejala klinis seperti kaki bengkak, nyeri pada kaki, dan perubahan warna pada kaki.

4. Kemudian dilakukan pemeriksaan compression ultrasound B-mode image oleh satu orang dokter spesialis radiologi untuk menilai apakah ada tromboemboli atau tidak dengan alat USG yang digunakan dengan merk Ultrasonix dengan frekuensi probe 7-10 MHz.


(38)

Semua Pasien Tumor Ginekologi  Rawat Jalan dan Rawat Inap 

Penilaian Faktor Risiko  Risiko Sangat 

Tinggi 

Risiko Tinggi 

Risiko Sedang 

Risiko Rendah 

Gambar 8. Diagram Cara Kerja

3.8 Identifikasi Variabel

Variabel Bebas Skala

Pasien Tumor Ginekologi risiko rendah Ordinal

Pasien Tumor Ginekologi risiko tinggi Ordinal

Compression Ultrasound B‐mode image pada kedua ekstremitas bawah  DVT (+)  DVT (‐) 

Risiko Rendah  Risiko Tinggi 


(39)

Variabel Terikat Skala

Kejadian Trombosis Vena Dalam/DVT Nominal

3.9 Kerangka Konsep

Pasien Tumor Ginekologi risiko rendah DVT 

Compression USG B-mode image

DVT (-)

DVT (+) risiko tinggi DVT 

Pasien Tumor Ginekologi

3.10 Batasan Operasional

- Pasien tumor ginekologi risiko rendah DVT : adalah semua pasien dengan tumor ginekologi yang nilai total skornya 0-2 berdasarkan Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment dari Joseph A. Caprini

- Pasien tumor ginekologi risiko tinggi DVT : adalah semua pasien dengan tumor ginekologi yang nilai total skornya ≥ 3 berdasarkan Venous Thromboembolism Risk Factor Assessment dari Joseph A. Caprini

- Compression USG B-mode image :adalah pemeriksaan ultrasonografi B-mode image dengan menggunakan penekanan transduser USG untuk melakukan kompresi vena, dilakukan pemeriksaan sepanjang vena femoralis dan vena popliteal kanan dan kiri. Alat USG yang digunakan dengan merk Ultrasonix dengan frekuensi probe 7-10 MHz.

- DVT (-): didapatnya pengempisan/kolaps vena dengan penekanan probe USG - DVT (+): tidak dapatnya dilakukan pengempisan/kolaps vena dengan penekanan probe USG


(40)

3.11 Pengolahan Data dan Analisis Statistik

Data dianalisis secara deskriptif untuk menghitung proporsi, dan kemudian dilakukan uji chi square untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan proporsi pada kedua kelompok risiko tinggi dan risiko rendah. Juga dilakukan penghitungan proporsi DVT pada pasien tumor jinak ginekologi dan tumor ganas ginekologi dan dilakukan uji chi square untuk mengetahui apakah ada perbedaan proporsi kejadian DVT pada tumor jinak dan tumor ganas ginekologi. Kemudian dilakukan penghitungan resiko relatif menderita trombosis pada pasien risiko tinggi dibandingkan dengan risiko rendah.


(41)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2010 sampai Agustus 2010, dengan jumlah total subjek penelitian yang didapat adalah 207 orang. Dari 207 subjek penelitian ini, hanya 1 subjek yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan USG kompresi pada ekstremitas bawah karena pasien sudah dilakukan amputasi sebatas femur pada salah satu ekstremitasnya sehingga 1 subjek dieksklusi.

Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1. Sebaran usia pasien paling banyak pada kelompok usia 40-49 tahun sebanyak 87 subjek (42.2%) dengan median usia subjek adalah 45 tahun (15-79 tahun). Sebaran histogram usia pasien dapat dilihat pada gambar 8.

Indeks massa tubuh yang terbanyak pada kelompok normoweight (18-24.9 Kg/m2) yaitu sebanyak 126 subjek (61.2%), kemudian overweight (25-29.9 Kg/m2) sebanyak 61 subjek (29.6%) dan underweight (<18 Kg/m2) sebanyak 19 subjek (9.2%).

Dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien kanker serviks merupakan pasien terbanyak yang berobat ke RS. H Adam Malik Medan, yaitu sebanyak 66 subjek (32%), diikuti oleh mioma uteri sebanyak 45 subjek (21.8%), tumor jinak ovarium 29 subjek (14.1%), kanker ovarium 20 subjek (9.7%), suspect kanker ovarium 18 subjek (8.7%), kista bartolin 7 subjek (3.4%), kanker endometrium 5 subjek (2.4%), mola hidatidosa 4 subjek (1.9%), adenomiosis 3 subjek (1.5%), kanker vulva, PTG (penyakit trofoblas ganas), KET (kehamilan ektopik terganggu), hiperplasia endometrium sebanyak masing-masing 2 subjek (1%) dan hanya 1 subjek (0.5%) yang dijumpai kejadian dua primer keganasan yaitu kanker serviks dan kanker ovarium. Sebaran diagnosis pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 9.


(42)

Dari 206 subjek, hanya diperoleh 179 hasil histopatologi (86.9%), dimana ada 27 subjek tanpa adanya hasil histopatologi, hal ini disebabkan karena pasien memang belum dilakukan tindakan operasi karena meninggal, atau tidak pernah kontrol lagi (lost of follow up). Dari 180 hasil histopatologi, hasil histopatologi yang menunjukkan keganasan sebanyak 97 (47.1%), sedangkan yang jinak sebanyak 82 (39.8%).

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian

KARAKTERISTIK n %

10-19 thn 4 1.9

20-29 thn 8 3.9

30-39 thn 39 18.9

40-49 thn 87 42.2

50-59 thn 49 23.8

60-69 thn 16 7.8

Umur

≥70 thn 3 1.5

TOTAL 206 100

<18 19 9.2

18-24.9 126 61.2

Indeks Massa Tubuh Kg/M2

25-29.9 61 29.6

TOTAL 206 100

Ca Cervix 66 32.0

Ca Ovarium 20 9.7

Ca Vulva 2 1

Ca Endometrium 5 2.4

PTG 2 1

Suspect Ca Ovarium 18 8.7

Ca Cervix + Ca Ovarium 1 0.5

Tumor Jinak Ovarium 29 14.1

Mioma Uteri 45 21.8

Hiperplasia Endometrium 2 1

Adenomiosis 3 1.5

KET 2 1

Mola Hidatidosa 4 1.9

Diagnosis

Kista Bartolin 7 3.4

TOTAL 206 100

Jinak 82 39.8

Ganas 97 47.1

Histopatologi

Tidak ada data 27 13.1


(43)

Gambar 9. Histogram sebaran usia pasien


(44)

Tabel 4.2. Sebaran pasien berdasarkan skoring risiko, kriteria risiko dan hasil USG kompresi untuk menilai DVT (deep vein thrombosis).

KARAKTERISTIK n %

0 6 2.9

1 46 22.3

2 37 18.0

3 12 5.8

4 52 25.2

5 31 15

6 16 7.8

7 4 1.9

Skoring risiko

8 2 1

TOTAL 206 100

Rendah 89 43.2

Kriteria Risiko Tinggi 117 56.8

TOTAL 206 100

Negatif 172 83.5

Hasil USG Kompresi

Positif 34 16.5

TOTAL 206 100

Dari skoring risiko, didapati ada 52 subjek (25.2%) dengan jumlah skor 4, dengan minimum jumlah skor adalah 0, dan maksimum jumlah skor yang didapat adalah 8 sebanyak 2 orang (1%). Pada penelitian ini didapati ada 117 subjek (56.8%) dengan risiko tinggi terhadap trombosis vena, dan 89 subjek (43.2%) dengan risiko rendah terhadap trombosis. Dari 206 subjek yang dilakukan pemeriksaan USG kompresi pada ekstremitas bawah didapati sebanyak 34 subjek (16.5%) yang hasilnya positif atau dijumpai adanya trombus. Angka ini cukup tinggi, sedangkan Levitan dkk dan Silverstein dkk menemukan angka kejadian trombosis vena sekitar 4-20% pada pasien-pasien kanker.4,5 Khusus pada kanker ginekologi angka kejadian trombosis vena dalam sekitar 11-18%.7


(45)

Gambar 11. Diagram frekuensi skoring risiko

Tabel 4.3. Proporsi kejadian DVT pada kelompok kriteria risiko rendah dan risiko tinggi

Hasil USG Kompresi Positif Negatif Kriteria

n % N %

TOTAL p* OR

Period Prevalence

(per 1000)

Risiko Tinggi 31 26.5 86 73.5 117 149

Risiko Rendah 3 3.4 86 96.6 89 14

TOTAL 206

0.000 10.3

*Chi square

Dari tabel 4.3 didapati proporsi kejadian trombosis vena dalam pada kelompok risiko tinggi adalah 26.5%, sedangkan proporsi kejadian trombosis vena dalam pada kelompok risiko rendah adalah 3.4%. Dan setelah dilakukan uji chi square, maka didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik (p<0.05). Caprini menemukan bahwa insidensi trombosis vena dalam pada risiko rendah <10%, risiko sedang 10-20%, risiko tinggi 20-40%, dan risiko sangat tinggi 40-80%.17 Angka kejadian trombosis vena dalam pada kelompok risiko rendah kemungkinan tidak merupakan angka yang sebenarnya, karena pada penelitian ini hanya digunakan USG kompresi sebagai modalitas diagnostik, bukan


(46)

menggunakan venografi yang merupakan gold standard, sehingga kemungkinan ada kasus-kasus yang tidak terdiagnosis.

Sedangkan bila kita lakukan perhitungan odds ratio, maka didapatkan OR 10.3, sehingga pada penelitian ini kelompok risiko tinggi mempunyai kemungkinan 10,3 kali lipat dibandingkan dengan kelompok risiko rendah untuk menderita DVT. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi DVT pada kelompok risiko tinggi adalah 149 per 1000, dan pada kelompok risiko rendah adalah 14 per 1000. Kessler menemukan odds ratio untuk menderita tromboemboli vena pada risiko tinggi sebesar lebih dari 10 kali lipat. Penelitian ini menunjukkan hasil odds ratio yang sama dengan Kessler akan tetapi pada penelitian ini penilaian hanya dilakukan pada pasien tumor ginekologi saja sedangkan Kessler pada semua pasien medikal dan surgikal tanpa membatasi khusus pada pasien ginekologi.

Tabel 4.4 Proporsi kejadian DVT dikaitkan dengan kategori histopatologi tumor jinak atau tumor ganas

Hasil USG Kompresi Positif Negatif Kriteria Histologi

n % n %

TOTAL p* OR

Period Prevalence

(per 1000)

Ganas 24 24.7 73 75.3 97 116

Jinak 3 3.7 79 96.3 82 14

TOTAL 179

0.000 8.7

*Chi square

Dari tabel 4.4 didapati proporsi kejadian DVT pada tumor ganas ginekologi adalah 24,7% sedangkan pada tumor jinak ginekologi hanya sekitar 3,7%, bila diuji secara statistik maka didapati adanya hubungan yang bermakna (p=0.000, 95%CI, p<0.05), dengan odds ratio 8,7, sehingga dapat dikatakan bahwa penderita tumor ganas ginekologi kemungkinan menderita DVT 8,7 kali lipat bila dibandingkan dengan penderita tumor jinak ginekologi. Prevalensi DVT pada tumor ganas ginekologi pada penelitian ini adalah 116 per 1000 orang, prevalensi DVT pada tumor jinak ginekologi pada penelitian ini adalah 14 per 1000 orang. Levitan dkk menemukan bahwa kanker meningkatkan risiko trombosis sekitar 4 kali lipat dan kemoterapi meningkatkan risiko trombosis sekitar 6,5 kali lipat. 4


(47)

Tabel 4.5 Hubungan gejala klinis dengan kejadian DVT

Gejala p* 

Diagnosis

Tidak ada gejala

% Ada 1 gejala % Lebih dari 1

gejala

%

DVT negatif 164 95.3 8 4.7 0 0

DVT positif 11 32.4 13 38.2 10 29.4

TOTAL 175 21 10

0.00 

*Kolgomorov-Smirmov

Pada penelitian ini, dari semua pasien dengan DVT positif, hanya 10 subjek (29.4%) yang memiliki lebih dari satu gejala (kaki bengkak, nyeri kaki dan perubahan warna kulit pada ekstremitas bawah), 13 subjek (38.2%) yang memiliki hanya satu gejala (kaki bengkak atau nyeri kaki), dan 11 subjek (32.4%) yang tidak ada gejala. Bila dilakukan uji statistik, maka dijumpai adanya hubungan yang bermakna antara gejala klinis dengan diagnosis DVT (p<0.05). Akan tetapi ketiadaan gejala klinis tidak dapat menyingkirkan kejadian trombosis vena dalam pada populasi risiko tinggi, dimana kemungkinan adanya trombus kronik dan hanya parsial. Gejala klinis saja juga tidak dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis DVT, karena 75% pasien yang disangkakan menderita DVT ternyata tidak menderita DVT.20 Pada penelitian ini ada 8 dari 31 subjek penelitian (25.8%) yang disangkakan menderita DVT dari gejala klinis ternyata tidak menderita DVT.


(48)

Tabel 4.6 Karakteristik penderita DVT positif

Karakteristik n %

10-19 thn 0 0

20-29 thn 1 2.9

30-39 thn 1 2.9

40-49 thn 13 38.2

50-59 thn 14 41.2

60-69 thn 5 14.7

Umur

≥70 thn 0 0

TOTAL 34 100

<18 7 20.6

18-24.9 17 50

Indeks Massa Tubuh Kg/M2

25-29.9 10 29.4

TOTAL 34 100

Ca Cervix 14 41.2

Ca Ovarium 5 14.7

Ca Vulva 2 5.9

Ca Endometrium 2 5.9

PTG 0 0

Suspect Ca Ovarium 6 17.6

Ca Cervix + Ca Ovarium 1 2.9

Tumor Jinak Ovarium 2 5.9

Mioma Uteri 2 5.9

Hiperplasia Endometrium 0 0

Adenomiosis 0 0

KET 0 0

Mola Hidatidosa 0 0

Diagnosis

Kista Bartolin 0 0

TOTAL 34 100

Jinak 3 8.8

Ganas 24 70.6

Histopatologi

Tidak ada data 7 20.6

TOTAL 34 100

0 0 0

1 2 5.9

2 1 2.9

3 0 0

4 9 26.5

5 11 32.4

6 8 23.5

7 2 5.9

Skoring Risiko

8 1 2.9

TOTAL 34 100

Pada tabel 4.6 diatas, didapati penderita DVT positif paling banyak pada kelompok usia 50-59 thn (41.2%), dengan indeks massa tubuh normoweight


(49)

(50%). Juga didapati penderita DVT positif paling banyak dari kanker serviks sekitar 41.2%, sedangkan kanker ovarium hanya 14.7%. Sedangkan dari literatur yang paling sering berkaitan dengan trombosis adalah kanker ovarium.7,8 Hal ini dapat dijelaskan dengan prevalensi kanker serviks yang memang tinggi di negara-negara berkembang, juga pada penelitian ini penderita kanker serviks yang terbanyak. Kemudian pula, jumlah total penderita kanker ovarium pada penelitian ini adalah 12 subjek (35.3%) bila diperhitungkan ada suspect kanker ovarium yang belum dioperasi atau sudah meninggal sebelum operasi dan 1 subjek penelitian yang menderita kanker ovarium dan kanker serviks. Angka 35.3% dari kanker ovarium cukup besar bila dibandingkan dengan prevalensi seluruh kanker ovarium yang didapat dari penelitian ini hanya 18.8% (39 dari 207 total subjek penelitian).


(50)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1KESIMPULAN

1. Proporsi kejadian DVT pada kelompok risiko rendah DVT adalah 3,4% dengan prevalensi 14 per 1000, sedangkan pada kelompok risiko tinggi DVT adalah 26,5% dengan prevalensi 149 per 1000 populasi berisiko. 2. Odds ratio menderita DVT pada kelompok risiko tinggi DVT sekitar 10,3

kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok risiko rendah DVT.

3. Pada penelitian ini dijumpai adanya perbedaan bermakna proporsi penderita DVT pada penderita tumor ganas ginekologi dibandingkan dengan tumor jinak ginekologi dengan odds ratio 8,7, sehingga penderita tumor ganas ginekologi mempunyai odds ratio 8,7 kali lipat untuk menderita DVT bila dibandingkan dengan penderita tumor jinak ginekologi.

5.2 SARAN

1. Dengan tingginya proporsi kejadian DVT pada pasien-pasien risiko tinggi dan tumor ganas ginekologi, sangat direkomendasikan pemberian tromboprofilaksis dengan kombinasi antikoagulan dan mekanik untuk setiap pasien dengan risiko tinggi ataupun dengan tumor ganas ginekologi yang dirawat ataupun akan dilakukan tindakan operatif.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

1. Geerts WH, Pineo GF, Heit JA, Bergqvist D, Lassen MR, Colwell CW, et al. Prevention of venous thromboembolism: the Seventh ACCP Conference on Antithrombotic and Thrombolytic Therapy. Chest 2004 (Sep);126(3 Suppl):338S–400S.

2. Geerts WH, Heit JA, Clagett GP, Pineo GF, Colwell CW, Anderson Jr FA, et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest 2001 (Jan);119(1 Suppl):132S–75S.

3. Heit JA, Silverstein MD, Mohr DN, Petterson TM, O'Fallon WM, Melton III LJ. Risk factors for deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a population-based case-control study. Arch Intern Med 2000 (Mar 27);160(6):809–15.

4. Levitan N, Dowlati A, Remick SC, Tahsildar HI, Sivinski LD, Beyth R, et al. Rates of initial and recurrent thromboembolic disease among patients with malignancy versus those without malignancy. Risk analysis using Medicare claims data. Medicine (Baltimore) 1999 (Sep);78(5):285–91.

5. Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, et al: Trends in the incidence of deep vein thrombosis and pulmonary embolism: A 25-year population-based study. Arch Intern Med 158:585-593, 1998

6. Gallus AS: Prevention of post-operative deep leg vein thrombosis in patients with cancer. Thromb Haemost 78:126-132, 1997

7. Einstein MH, Pritts EA, Hartenbach EM. Venous thromboembolism prevention in gynecologic cancer surgery: A systematic review. Gynecol Oncol 105 (2007) 813-819.

8. Heit JA, Silverstein MD, Mohr DN, Petterson TM, O'Fallon WM, Melton III LJ. Predictors of survival after deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a population-based, cohort study. Arch Intern Med 1999 (Mar8);159(5):445–53.

9. Morgan MA, Iyengar TD, Napiorkowski BE, Rubin SC, Mikuta JJ. The clinical course of deep vein thrombosis in patients with gynecologic cancer. Gynecol Oncol 2002 (Jan);84(1):67–71.


(52)

10.Geerts WH, Bergqvist D, Pineo GF, et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest 2008;133;381S-453S.

11.Shojania KG, Duncan BW, McDonald KM, Wachter RM, Markowitz AJ. Making health care safer: a critical analysis of patient safety practices. Evid Rep/Technol Assess 2001;43(43:i-x):1–668.

12.Krivak TC, Zorn KK. Venous thromboembolism in obstetrics and gynecology. Obstet Gynecol 2007;109:761-77.

13.Martino MA, Borges E, Williamson E, Siegfried S, Cantor AB, Lancaster J, et al. Pulmonary embolism after major abdominal surgery in gynecologic oncology. Obstet Gynecol 2006 (Mar);107(3):666–71.

14.Peterson D, Harward S, Lawson J.H. Anticoagulation strategies for venous thromboembolism. Perspect Vasc Surg Endovasc Ther 2009; 21;125.

15.Agnelli G, Caprini J.A. The prophylaxis of venous thrombosis in patients with cancer undergoing major abdominal surgery: emerging options. J Surg Oncol 2007;96:265-272.

16.Kessler C.M. The link between cancer and venous thromboembolism: A review. Am J Clin Oncol 2009;32: S3-S7.

17.Caprini J.A, Arcelus J.I. Thrombotic Risk Assessment: A Hybrid Approach. In editor : Bergan J.J. The Vein Book. USA, Elsevier, 2007. p 359-367. 18.Bombeli T, Spahn D.R. Updates in perioperative coagulation: physiology and

management of thromboembolism and haemorrhage. Br J Anaesth 2004; 93: 275-87.

19.Wang X, Fu S, Freedman R.S, Kavanagh J.J. Venous thromboembolism syndrome in gynecological cancer. Int J Gynecol Cancer 2006, 16 (Suppl. 1), 458-471.

20.Sutherland D.E, Weitz I.C, Liebman H.A. Thromboembolic complications of cancer: Epidemiology, pathogenesis, diagnosis, and treatment. Am J Hematol. 72:43-52, 2003.

21.Bundens W.P. Diagnosis of Deep Vein Thrombosis. In editor : Bergan J.J. The Vein Book. USA, Elsevier, 2007. p 353-357.


(53)

22.Davis J.D. Prevention, diagnosis, and treatment of venous thromboembolic complications of gynecologic surgery. Am J Obstet Gynecol 2001;184:759-75.

23.Spyropoulos A.C, Brotman D.J, Amin A.N, et al. Prevention of venous thromboembolism in the cancer surgery patient. Cleve Clin J Med Vol.75 [suppl 3];April 2008.


(1)

Tabel 4.6 Karakteristik penderita DVT positif

Karakteristik n %

10-19 thn 0 0

20-29 thn 1 2.9

30-39 thn 1 2.9

40-49 thn 13 38.2

50-59 thn 14 41.2

60-69 thn 5 14.7

Umur

≥70 thn 0 0

TOTAL 34 100

<18 7 20.6

18-24.9 17 50

Indeks Massa Tubuh Kg/M2

25-29.9 10 29.4

TOTAL 34 100

Ca Cervix 14 41.2

Ca Ovarium 5 14.7

Ca Vulva 2 5.9

Ca Endometrium 2 5.9

PTG 0 0

Suspect Ca Ovarium 6 17.6

Ca Cervix + Ca Ovarium 1 2.9

Tumor Jinak Ovarium 2 5.9

Mioma Uteri 2 5.9

Hiperplasia Endometrium 0 0

Adenomiosis 0 0

KET 0 0

Mola Hidatidosa 0 0

Diagnosis

Kista Bartolin 0 0

TOTAL 34 100

Jinak 3 8.8

Ganas 24 70.6

Histopatologi

Tidak ada data 7 20.6

TOTAL 34 100

0 0 0

1 2 5.9

2 1 2.9

3 0 0

4 9 26.5

5 11 32.4

6 8 23.5

7 2 5.9

Skoring Risiko

8 1 2.9

TOTAL 34 100

Pada tabel 4.6 diatas, didapati penderita DVT positif paling banyak pada kelompok usia 50-59 thn (41.2%), dengan indeks massa tubuh normoweight


(2)

(50%). Juga didapati penderita DVT positif paling banyak dari kanker serviks sekitar 41.2%, sedangkan kanker ovarium hanya 14.7%. Sedangkan dari literatur yang paling sering berkaitan dengan trombosis adalah kanker ovarium.7,8 Hal ini dapat dijelaskan dengan prevalensi kanker serviks yang memang tinggi di negara-negara berkembang, juga pada penelitian ini penderita kanker serviks yang terbanyak. Kemudian pula, jumlah total penderita kanker ovarium pada penelitian ini adalah 12 subjek (35.3%) bila diperhitungkan ada suspect kanker ovarium yang belum dioperasi atau sudah meninggal sebelum operasi dan 1 subjek penelitian yang menderita kanker ovarium dan kanker serviks. Angka 35.3% dari kanker ovarium cukup besar bila dibandingkan dengan prevalensi seluruh kanker ovarium yang didapat dari penelitian ini hanya 18.8% (39 dari 207 total subjek penelitian).


(3)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

1. Proporsi kejadian DVT pada kelompok risiko rendah DVT adalah 3,4%

dengan prevalensi 14 per 1000, sedangkan pada kelompok risiko tinggi DVT adalah 26,5% dengan prevalensi 149 per 1000 populasi berisiko.

2. Odds ratio menderita DVT pada kelompok risiko tinggi DVT sekitar 10,3

kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok risiko rendah DVT.

3. Pada penelitian ini dijumpai adanya perbedaan bermakna proporsi

penderita DVT pada penderita tumor ganas ginekologi dibandingkan dengan tumor jinak ginekologi dengan odds ratio 8,7, sehingga penderita tumor ganas ginekologi mempunyai odds ratio 8,7 kali lipat untuk menderita DVT bila dibandingkan dengan penderita tumor jinak ginekologi.

5.2 SARAN

1. Dengan tingginya proporsi kejadian DVT pada pasien-pasien risiko tinggi dan tumor ganas ginekologi, sangat direkomendasikan pemberian tromboprofilaksis dengan kombinasi antikoagulan dan mekanik untuk setiap pasien dengan risiko tinggi ataupun dengan tumor ganas ginekologi yang dirawat ataupun akan dilakukan tindakan operatif.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Geerts WH, Pineo GF, Heit JA, Bergqvist D, Lassen MR, Colwell CW, et al.

Prevention of venous thromboembolism: the Seventh ACCP Conference on Antithrombotic and Thrombolytic Therapy. Chest 2004 (Sep);126(3 Suppl):338S–400S.

2. Geerts WH, Heit JA, Clagett GP, Pineo GF, Colwell CW, Anderson Jr FA, et

al. Prevention of venous thromboembolism. Chest 2001 (Jan);119(1 Suppl):132S–75S.

3. Heit JA, Silverstein MD, Mohr DN, Petterson TM, O'Fallon WM, Melton III

LJ. Risk factors for deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a population-based case-control study. Arch Intern Med 2000 (Mar 27);160(6):809–15.

4. Levitan N, Dowlati A, Remick SC, Tahsildar HI, Sivinski LD, Beyth R, et al. Rates of initial and recurrent thromboembolic disease among patients with malignancy versus those without malignancy. Risk analysis using Medicare claims data. Medicine (Baltimore) 1999 (Sep);78(5):285–91.

5. Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, et al: Trends in the incidence of deep

vein thrombosis and pulmonary embolism: A 25-year population-based study. Arch Intern Med 158:585-593, 1998

6. Gallus AS: Prevention of post-operative deep leg vein thrombosis in patients with cancer. Thromb Haemost 78:126-132, 1997

7. Einstein MH, Pritts EA, Hartenbach EM. Venous thromboembolism

prevention in gynecologic cancer surgery: A systematic review. Gynecol Oncol 105 (2007) 813-819.

8. Heit JA, Silverstein MD, Mohr DN, Petterson TM, O'Fallon WM, Melton III

LJ. Predictors of survival after deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a population-based, cohort study. Arch Intern Med 1999 (Mar8);159(5):445–53.


(5)

10.Geerts WH, Bergqvist D, Pineo GF, et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest 2008;133;381S-453S.

11.Shojania KG, Duncan BW, McDonald KM, Wachter RM, Markowitz AJ.

Making health care safer: a critical analysis of patient safety practices. Evid Rep/Technol Assess 2001;43(43:i-x):1–668.

12.Krivak TC, Zorn KK. Venous thromboembolism in obstetrics and

gynecology. Obstet Gynecol 2007;109:761-77.

13.Martino MA, Borges E, Williamson E, Siegfried S, Cantor AB, Lancaster J,

et al. Pulmonary embolism after major abdominal surgery in gynecologic oncology. Obstet Gynecol 2006 (Mar);107(3):666–71.

14.Peterson D, Harward S, Lawson J.H. Anticoagulation strategies for venous

thromboembolism. Perspect Vasc Surg Endovasc Ther 2009; 21;125.

15.Agnelli G, Caprini J.A. The prophylaxis of venous thrombosis in patients

with cancer undergoing major abdominal surgery: emerging options. J Surg Oncol 2007;96:265-272.

16.Kessler C.M. The link between cancer and venous thromboembolism: A

review. Am J Clin Oncol 2009;32: S3-S7.

17.Caprini J.A, Arcelus J.I. Thrombotic Risk Assessment: A Hybrid Approach. In editor : Bergan J.J. The Vein Book. USA, Elsevier, 2007. p 359-367. 18.Bombeli T, Spahn D.R. Updates in perioperative coagulation: physiology and

management of thromboembolism and haemorrhage. Br J Anaesth 2004; 93: 275-87.

19.Wang X, Fu S, Freedman R.S, Kavanagh J.J. Venous thromboembolism

syndrome in gynecological cancer. Int J Gynecol Cancer 2006, 16 (Suppl. 1), 458-471.

20.Sutherland D.E, Weitz I.C, Liebman H.A. Thromboembolic complications of

cancer: Epidemiology, pathogenesis, diagnosis, and treatment. Am J Hematol. 72:43-52, 2003.

21.Bundens W.P. Diagnosis of Deep Vein Thrombosis. In editor : Bergan J.J. The Vein Book. USA, Elsevier, 2007. p 353-357.


(6)

22.Davis J.D. Prevention, diagnosis, and treatment of venous thromboembolic complications of gynecologic surgery. Am J Obstet Gynecol 2001;184:759-75.

23.Spyropoulos A.C, Brotman D.J, Amin A.N, et al. Prevention of venous

thromboembolism in the cancer surgery patient. Cleve Clin J Med Vol.75 [suppl 3];April 2008.