melepaskan agamanya. Hebatnya lagi, ia tidak pernah meninggalkan shalat fardhu. Sebagaimana penuturan Bapak Ateng sendiri:
”Hidup bisa saja dalam serba kekurangan, namun iman harus tetap dijaga dalam diri segetir apapun penderitaanya, iman sebagai satu-satunya bekal
perjalanan menuju akhirat harus tetap dipelihara”
79
Perilaku keagamaan kelurga miskin lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Iri yang berprofesi sebagai pedagang perabotan keliling:
”Bapak harus berkerja dari pagi sampai sore hari, karena lelah melakukan perkerjaan sehari penuh malamnya jadi ngantuk, akhirnya shalat Tarawih
Bapak tinggalkan, apalagi menjelang hari raya Idul Fitri Bapak dibebani untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti membeli pakain anak-anak dan lain
sebagainya. Bahkan kadang-kadang Bapak meninggalkan shalat Dzuhur dan Ashar. Puasapun kadang-kadang setengah hari. Begitu juga pengajian bapak-
bapak saya kadang-kadang ikut. Untuk zakat fitrah dan shadaqah sama kadang-kadang ”
80
Sama halnya yang dilakukan ibu Encih yang perkerjaan sehari-harinya sebagai pembantu rumah tangga dan buruh tani. Dalam hal ibadah dia kadang
melalaikannya, seperti hasil wawancara penulis dengannya. Ibu Encih menuturkan:
” Kadang-kadang kalau lagi sibuk banget banyak kerjaan ibu suka ninggalin shalat Dzuhur dan Ashar, lebih-lebih mau persiapan lebaran, puasa
Ramadhanpun suka batal, tidak kuat panas. Shalat Tarawihpun minggu pertama doang semangat, kesananya males, cape kerja seharian. Kalau zakat
fitrah dan shadaqah juga kadang-kadang, kalau ada uang ya shadaqah walaupun alakadarnya. Kalau membantu tetangga biasanya pas ada hajatan
ibu suka dimintai bantuan seperti memasak”
81
Tidak jauh beda dengan yang dilakukan Bapak Udin yang berprofesi sebagai
buruh bangunan ketika ditanya tentang akitivitas ibadah, katanya: ”Kadang-kadang saya meninggalkan shalat Dzuhur, karena teman-teman
bapak kebanyakkan tidak shalat, bahkan ketika tiba waktu Dzuhur biasanya
79
Wawancara Pribadi dengan Bapak ateng, Salah Satu Keluarga Miskin di Desa Cinangka, Bogor, Pada Tanggal 25 Desember 2007.
80
Wawancara Pribadi dengan Bapak Iri, Salah Satu Keluarga Miskin di Desa Cinangka, Bogor, Pada Tanggal 18 Oktober 2006.
81
Wawancara Pribadi dengan Ibu Encih, Salah Satu Keluarga Miskin di Desa Cinangka, Bogor, Pada Tanggal 25 Desember 2007.
diajak teman-teman untuk makan di warteg. Selasai makan saya kembali berkerja sampai sore. Ditambah karena badan dan pakaian Bapak kotor, malas
untuk bersih-bersih, bersuci dan ganti pakaian. Pada bulan Ramadhan puasa, shalat Tarawihpun kalau seharian kerja sering saya tinggalin, apalagi kalau
mau lebaran tuntutan banyak.
82
Hal di atas dicontohkan juga dengan Bapak Dodi yang berprofesi sebagai pedagang mainan keliling. Dalam hal ibadah, ia terbilang kurang peduli. Ini bisa
dilihat kalau ia sedang sibuk kerja, shlalat Dzuhur dan Ashar biasanya selalu ia tinggalkan. Pada bulan Ramadhan pun ia jarang berpuasa dan shalat Tarawih,
sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Dodi sendiri: ”Saya berdagang keliling dari pagi sampai sore, saya sering tinggalin shalat
Dzuhur dan Ashar. Shalat Tarawihpun sering saya tinggalin juga, karena kerja seharian, malamnya jadi ngantuk. Kadang-kadang tidak puasa, karena
enggak kuat panas yang membuat saya haus..”
83
Sama halnya dengan yang dilakukan bapak Sama yang berprofesi sebagai pemeriksa darah keliling. Pada bulan Ramadhan, kadang-kadang ia kalau lagi
kelehan banget ia sering buka puasa. Bahkan Waktu Dzuhurpun ia lewati, karena biasanya ia masih sibuk keliling langganan, pulang sore ke kontrakkannya. Shalat
Tarawihpun sering ia tinggalkan, karena kecapean seharian kerja, lebih-lebih cari tambahan unruk persiapan menghadapi lebaran. Apalagi pengajian bapak-bapak
dan kuliah Shubuhpun ia jarang sekali ikut. Soal zakat fitrah, bapak Sama menuturkan:
”Jangan untuk zakat fitrah, untuk bertahan hidup saja susah, begitu juga shadaqah, untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit.”
84
Terakhir, kondisi di atas dialami oleh bapak Maman yang berprofesi sebagai seorang pedagang baslok baso dicolok. Dalam hal ibadah, ia masih
82
Wawancara Pribadi dengan Bapak Udin, Salah Satu Keluarga Miskin di Desa Cinangka, Bogor, Pada Tanggal 28 Desember 2007.
83
Wawancara Pribadi dengan Bapak Dodi, Salah Satu Keluarga Miskin di Desa Cinangka, Bogor, Pada Tanggal 15 Oktober 2006.
84
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sama, Salah Satu Keluarga Miskin di Desa Cinangka, Bogor, Pada Tanggal 26 Desember 2007.
kurang taat dalam menjalankannya, karena ia lebih sibuk mencari uang tanpa menyempatkan waktu untuk ibadah dengan alasan kalau lagi sibuk kerja malas
mendirikan shalat, kebanyakan shalat Dzuhur sering ditinggalinnya, namun kalau puasa ia selalu berusaha untuk melaksanakannya. Sedangkan untuk shalat
Tarawih, kalau tidak kecapean, ia ikut berjamaah.
85
C. Pengaruh Kemiskinan Terhadap Perilaku Keagamaan Keluarga Miskin
Setelah di atas dijelaskan tentang profil keluarga miskin dan perilaku keagamaannya, dan pada bab-bab sebelumnya dijelaskan pula mengenai
gambaran geografis, sosial-politik dan keamanan, sosial keagamaan dan sosial ekonomi serta teori-teori yang membahas kemiskinan dan agama, maka terkait
dengan konteks ini, bagaimana pengaruh kemiskinan terhadap perilaku keagamaan miskin di desa Cinangka, maka didapati perilaku keagamaan yang
beragam sebagai pengaruh dari kemiskinanan itu sendiri, sebagaimana berikut:
Pertama, tidak didapatkan perubahan pola keberagaman di antara keluarga miskin
Cinangka. Satu sisi mereka harus memposisikan diri sebagai individu-individu sosial yang membutuhkan pangan dan sandang, maka harus bekerja
bagaimanapun hasilnya. Di sisi lain, mereka harus memposisikan diri sebagai individu-individu yang beragama dan mempunyai kewajiban ritual keagamaan.
Sedangkan dalam kondisi psikologi mereka tidak memperlihatkan gejala sosial, seperti takut untuk bersosialisasi, rendah diri, frustasi atau putus asa, walaupun
perekonomian mereka rendah. seperti perilaku bapak Ujang, ibu Nuria, ibu Arnah bapak Minta, dan bapak Ateng
85
Wawancara Pribadi dengan Bapak Maman, Salah Satu Keluarga Miskin di Desa Cinangka, Bogor, Pada Tanggal 26 Desember 2007.
Dari hasil observasi di atas, fenomena menarik ditemui sebagian beberapa kelompok keluarga kurang mampu yang ada di desa Cinangka, yakni kondisi yang
serba kekurangan tersebut tidak mempengaruhi kegiatan keagamaan mereka, karena dalam kehidupan sehari-hari mereka masih taat menjalankan ritual-ritual
keagamaan terlebih dalam melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Dengan demikian, kemiskinan dalam arti kekurangan dalam pemenuhan
hidup yang ada di desa Cinangka tidak menjadi pengaruh bagi sebagian kelompok keluarga miskin desa Cinangka. Semua tergantung pada masing-masing keluarga
itu sendiri dalam menghadapi keadaan yang sulit baik kondisi miskin ataupun dalam pelaksanaan keagamaannya.
Secara umum, pada sebagian keluarga misklin di Cinangka dikenal dengan keluarga yang religius, salah satu faktornya adalah sarana pendidikn yang berbasis
agama banyak ditemukan di desa Cinangka baik pondok pesantren maupun madrasah diniyyah dan banyak dibangunnya sarana ibadah umat Islam, sehingga
secara mendasar keluarga miskin Cinangka mendapat pendidikan agama, hal ini secara psikologis memberi pengaruh pemahaman yang mendalam tentang agama
dan menjadi pemeluk agama yang taat beribadah. Dari semangatnya, mereka tidak memperlihatkan sifat rendah diri dan putus asa, akan tetapi sebaliknya mereka
menjadikan agama sebagai kekuatan untuk hidup dan berkerja. Konteks keagamaan pada keluarga miskin Cinangka, yang digambarkan
sebagai keluarga miskin yang religius, karena secara subtansial mereka memahami agama sebagai sistem keyakinan dan sistem kaidah di mana kemudian
membawa pada keharusan bagi pemeluknya untuk melakukan ritual-ritual keagamaan, kendati realitanya belum seluruhnya. Bagi mereka pelaksanaan ritual
keagamaan merupakan bentuk dari penghayatan dari mereka terhadap agamanya.
Kedua, bila di satu sisi keluarga miskin Cinangka berada pada pemahaman dan
penghayatan agama yang mantap, di sisi lain ada keluarga miskin Cinangka yang menjadikan agama sebagai beban dan hanya menjadi tempat pelarian dari
ketidakberdayaan dan kemiskinan yang menimpanya, hingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk memisahkan secara dikotomis antara penghayatan
agama sebagai ruang trasendental dengan realitas kemiskinan yang menyebabkan mereka harus berkerja keras. Dengan pemahaman dan kondisi demikian, mereka
cenderung menjadikan agama sebagai hal yang tidak penting dan akhirnya hal tersebut membuat mereka melalaikan perintah-perintah agama.
Dari hasil penelitian penulis, hal di atas, dapat dibuktikan dengan kondisi perkembangan shalat Tarawih di desa Cinangka. Pada umumnya, kondisi
perkembangannya sama dengan daerah-daerah yang lain, yaitu minggu pertama sampai minggu kedua jumlah jama’ah terbilang banyak. Sedangkan pada minggu-
minggu berikutnya mulai mengalami penurunan, lebih seminggu sebelum hari raya.
Ada beberapa asumsi yang dapat dijadikan indikasi dari pasang surutnya jama’ah shalat Tarawih di desa Cinangka. Indikasi pertama karena kebiasan.
Indikator ini mengasumsikan bahwa naik turunnya jama’ah shalat Tarawih merupakan hal biasa, dan hampir menjadi kebiasaan di setiap bulan Ramadhan.
Karena di minggu pertama biasanya bersemangat dan bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan, sebagai tanda syukur dan cara penyambutan mereka
pada bulan Ramdhan. Namun minggu-minggu selanjutnya, timbulnya rasa malas untuk melaksanakan shalat Tarawih yang mulai mempengaruhinya.
Pada umumnya, masyarakat Cinangka mengakui bahwa hari pertama hingga hari kesepuluh bulan Ramadhan mereka rajin shalat Tarawih, membaca Al-
Qur’an, bahkan shalat lima waktupun mereka lakukan berjama’ah di mesjid. Namun hari-hari berikutnya mereka enggan untuk pergi ke mesjid, disebabkan
sifat malas dan rasa lelah setelah berkerja seharian. Sedangkan indikasi kedua adalah kesibukan. Indikator ini diasumsikan
karena adanya kesibukan di pagi hari yang memakan waktu dan tenaga, sehingga pada malam harinya mereka lelah dan enggan melakukan shalat Tarawih dan
membaca Al-Qur’an. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Iri, ibu Encih, bapak Udin, bapak Dodi, bapak Dudih, bapak Sama dan bapak Maman
Dari faktor-faktor di atas dapat diambil gambaran bahwa naik turunnya kesadaran untuk melaksanakan shalat Tarawih disebabkan kebutuhan ekonomi
yang tidak tercukupi, sehingga mereka malas melaksanakan shalat Tarawih setelah seharian berkerja. Dengan kata lain, disebabkan oleh dua faktor: pertama,
karena timbulnya rasa jenuh. Hal ini disebabkan kebutuhan ekonomi yang tidak mencukupi, lebih-lebih memikirkan persiapan untuk hari raya ’Idul Fitri ditambah
kebutuhan pokok yang biasa melonjak menjelang hari raya tersebut. Kedua, kesibukan dalam berkerja.
Secara umum, berdasarkan pengamatan penulis pada sebagian keluarga miskin yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang kurang terhadap Tuhannya,
mereka memiliki sifat yang tidak bisa menerima akan keadaan kehidupan kemiskinannya yang akhirnya berpengaruh terhadap perilaku kehidupan sehari-
hari, termasuk berpengaruh terhadap perilaku keagamaannya. Mereka sering meninggalkan perintah-perintah agama seperti meninggalkan shalat, bahkan
mereka sering melanggar norma agama dan soisial, seperti merampok dan memalak, mabuk-mabukan, dan berjudi.