Kolektivitas dan keberagaman di PKS

123 Terhadap berbagai komentar, diskusi, pendapat, tanggapan, atau reaksi yang muncul itu menurut saya seharusnya tidak menjadi persoalan buat kita, karena sebagai kader dakwah kita tentu memahami bahwa setiap komentar, pendapat, atau persepsi, atau reaksi yang muncul terkait iklan tersebut dari setiap orang adalah hak asasi setiap orang dan harus dihargai. Sekarang, sebagai kader dakwah, dengan berbekal tarbiyah yang sudah kita jalani bertahun-tahun, semenjak kita berada di mihwar tanzhimi hingga sekarang di mihwar mu’assasi, setidaknya kita dapat memaknai smua hal di atas dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pertama: Pendekatan Dakwah Kita adalah Partai Dakwah, dan kita punya slogan “Nahnu Du’at Qabla Kulli Syai’in”. Diantara esensi dakwah adalah menebar hidayah kepada setiap manusia dan mengajak mereka ke jalan Allah. Intinya, untuk menebar hidayah dan mengajak manusia ke jalan Allah itu kita perlu membangun komunikasi dengan seluruh manusia, untuk menyampaikan dakwah kita, agar mereka memahami apa yang kita perjuangkan. Dalam pandangan kita, setiap orang berhak menerima dakwah, setiap orang berhak menerima hidayah, apapun sukunya, apapun agamanya, apapun bangsanya, apapun ideologinya, tua, muda, besar, kecil, kaafatan linnaas. Siapapun yang kita temui adalah obyek dakwah, termasuk Soeharto dan keluarganya. Ada satu hal penting lagi yang patut kita renungkan, bahwa dengan siapapun, apakah dengan Suharto, dengan Sukarno, atau dengan siapapun, kita memiliki alaqoh hubungan yang tidak terputus, yaitu hubungan sebagai sesama muslim. Ya, karena kita bukan kaum takfiriyyin yang mudah mengkafirkan orang lain secara serampangan. Dan sebagai sesama muslim, tentu ada huquq baina muslimin hak dan kewajiban terhadap sesama muslim antara kita dengan siapapun sesama muslim yang harus kita penuhi sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya. 124 Kedua: Pendekatan Sejarah Bahwa membangun sebuah Negara bukanlah persoalan kecil. Ia bukanlah sekedar membangun hal-hal yang bersifat fisik seperti membangun gedung, jembatan, atau membangun teknologi maju. Membangun Negara adalah membangun sebuah peradaban. Lebih jelas lagi, kita ingin membangun sebuah peradaban yang besar dan langgeng. Membangun sebuah peradaban besar dan langgeng tidak bisa selesai dilakukan oleh satu generasi. Ia harus merupakan mata rantai estafeta kerja antar generasi. Mempelajari sejarah Indonesia, setiap pergantian antar pemerintahan selalu terjadi dalam bentuk tesis dan anti tesis. Bentuk ini terjadi sejak zaman kerajaan dahulu hingga sekarang. Setiap rezim pemerintahan di akhir masa kekuasaannya selalu dihabisi oleh rezim yang menggantikannya. Tindakan cut off seperti ini memiliki ekses opini bahwa rezim yang berkuasa tidak memiliki kebaikan sama sekali karena itu pantas dihabisi, jasadiyan, ruhiyan, wa fikriyan, tak bersisa. Akibatnya adalah, setiap kali rezim yang baru memulai pemerintahannya, ia harus memulai dari nol. Nah, jika bentuk tesis dan anti tesis seperti ini dipertahankan terus, kapan kita bisa menyelesaikan proyek membangun peradaban itu? Jika antar generasi saling mengutuk dan saling dendam, kapan kita bisa membangun negeri ini dengan benar? Karena itulah kita memilih bentuk lain dalam mensikapi sejarah panjang bangsa kita. Tidak lagi dalam bentuk tesis dan anti tesis, tetapi kita melakukan sintesa, yaitu mengambil dan mengkombinasikan seluruh elemen positif dari rangkaian panjang sejarah perjuangan nasional sebagai bangsa. Artinya, kita menerima dengan bijak seluruh mata rantai sejarah perjuangan bangsa kita, mengambil, memanfaatkan, dan melanjutkan kebaikan-kebaikan yang ada di tiap generasi, memperbaiki kekurangannya dan meninggalkan keburukannya. Bahwa generasi sebelumnya pernah melakukan kesalahan dan patut dihukum, kita juga tak akan menghalangi proses hukumnya. Tetapi kebaikan-kebaikan dan nilai-nilai yang relevan untuk dilanjutkan, akan kita lanjutkan dan kembangkan. Singkatnya, apa yang baik-baik dari generasi terdahulu kita ambil, yang jelek-jelek kita buang. Dengan memilih bentuk sintesa ini, dimana rekonsiliasi menjadi kata kuncinya, kita tak perlu lagi mulai dari nol untuk membangun peradaban, sehingga kerja-kerja membangun peradaban bisa lebih efektif dan efisien.