Perayaan Maulid Nabi saw Perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad saw menurut sebagian
125
Ketiga: Pendekatan Politik Untuk menghadapi perjuangan besar 2009, kita perlu memetakan
kekuatan kompetitor kita, termasuk kompetitor yang ‘potensial’ menghambat atau bahkan ‘memukul’ kita. Kita menggunakan kata
‘potensial’ disini, bukan berarti bahwa sudah ada agenda memukul atau menghambat dari mereka. Ini penting, karena kita ingin memasuki ruang
besar yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah, kekuatan kekuatan yang kita petakan akan berpotensi menghambat itu
perlu kita lunakkan, atau paling tidak kita lemahkan daya benturnya terhadap kita. Kenapa? Karena kita obyektif melihat political real power
kita. Memang kita memiliki nilai intrinsik nama besar PKS yang solid, bersih, peduli, dan professional. Alhamdulillah, semua itu berkat rahmat
Allah dan kerja-kerja kita semua.
Tetapi harus sama-sama kita sadari bahwa political real power kita hanya 8,35. Meminjam perumpaan dari MA, dengan political real
power kita yang hanya 8,35 itu, dan penampilan kita yang simpatik,
kita bagaikan seekor kucing, yang berbulu indah, bermata bulat, lucu dan menggemaskan. Artinya, meski orang-orang diluar kita menyebut kita
solid, bagus, besar, kita tetap tidak boleh tertipu, karena political real power
kita hanya 8,35. Maka, seekor kucing ketika menyadari adanya potensi ancaman, tidak perlu mengaum seperti singa. Jika kita mengaum
seperti singa karena tertipu oleh nilai intrinsik kita, maka sangat mungkin kekuatan ancaman ituakan menghadapi kita seperti menghadapi seekor
singa, bukan lagi menghadapi seekor kucing. Ini tentu membahayakan kita. Kekuatan kita yang baru sebesar kucing, tak akan mampu bertahan
menghadapi serangan lawan yang menghadapi kita dengan mengerahkan kekuatan sebagaimana mereka menghadapi singa.
Menampilkan sosok Jenderal Suharto dalam iklan kita, bisa dipahami sebagai upaya sang kucing manis melunakkan kekuatan-kekuatan yang
potensial akan menghambat di 2009. Bagaimanapun, Jenderal Suharto adalah ‘kebanggaan’ TNI, karena ia merupakan salah satu dari 3 tiga
Jenderal yang mendapat anugerah bintang lima dari TNI selain Jenderal Sudirman dan Jenderal AH Nasution. Disamping itu, Suharto juga salah
satu tokoh yang paling disegani oleh masyarakat dengan kultur Jawa yang kental, yang jumlahnya hampir sekitar 70 tujuh puluh juta jiwa di
negeri ini, selain ia juga salah satu tokoh pendiri yang paling dihormati
126 dari partai besar yang menguasai negeri ini selama 32 tahun.
Terkait penyebutan gelar-gelar kepada Jenderal Suharto sebagai Pahlawan atau Guru Bangsa, menurut saya bukan persoalan dan tak
sampai menodai aqidah kita, karena sejak dulu kita tidak pernah mensakralkan gelar-gelar itu ataupun gelar lainnya. Kita memahami
bahwa hanya Rasulullah SAW lah yang ma’shum, selain ia pasti ada salah dan kurangnya, apakah ia pahlawan, atau guru bangsa, atau
pahlawan reformasi, atau tokoh, atau presiden, atau diri kita sendiri.
Terakhir, dan ini yang terpenting, kita tidak pernah kehilangan pandangan obyektif terhadap siapapun. Jika ada kebaikan kita akui, kita
hargai, kita manfaatkan dan kita lanjutkan, jika ada keburukan dan mesti dihukum, kita dukung bahkan kita menjadi pelopor prosesnya. Jadi,
dalam hal ini tidak ada istilah keyakinan kita terbeli. Itulah sebabnya kita tetap menjalankan agenda reformasi 1998 yang salah satu agenda
utamanya adalah menurunkan Suharto. Padahal saat itu banyak lembaga- lembaga Islam yang meyayangkan Suharto jatuh, bahkan menuduh
tindakan menjatuhkan Suharto sebagai konspirasi Amerika, karena kurun waktu itu 1988-1997 justru Suharto sedang dekat dengan umat Islam.
Unsur-unsur lembaga Islam bahkan membentuk Pamswakarsa, yang dengan gigih membela dan mempertahankan Suharto, dengan jiwa dan
raga mereka. Menghadapi berbagai situasi pelik waktu itu, kita tetap meneruskan agenda tersebut. Bahwa banyak kerja-kerja yang bermanfaat
bagi umat Islam yang dilakukan Suharto, kita akui dan mudah-mudahan dicatat sebagai amal shaleh disisi Allah SWT. Tetapi bahwa ia adalah
diktator, kekuasannya mesti dihentikan. Jadi sekali lagi, kita tidak kehilangan obyektifitas dalam memandang siapapun.
Keempat: Pendekatan Marketing Communication Iklan yang menghebohkan itu hanya berdurasi 15 detik dan ditayangkan
selama 3 tiga hari melalui media televisi lokal. Menampilkan flash back para tokoh bangsa yang dimaksudkan untuk merepresentasikan berbagai
segmen. Ada KH. Achmad Dahlan yang merepresentasikan segmen Muhammadiyah. Ada KH. Hasyim Asy`ari yang merepresentasikan
segmen NU, lalu Bung Tomo yang merepresentasikan segmen TNI pejuang nasionalis, kemudian Panglima Besar Jenderal Sudirman yang
merepresentasikan segmen pejuang Islamis.