Deskripsi Obyek Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN

74 3. Perkembangan PDRB di DKI Jakarta Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Bruto PDRB, baik atas harga berlaku maupun berdasarkan atas harga konstan. Data laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta tahun 1987-2007 yang ditunjukkan oleh BPS Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat Tabel 4.2 Tabel 4.2 Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Tahun 1987- 2007 dalam persen Tahun Tingkat Pertumbuhan 1987 - 1988 7 1989 9,4 1990 8,6 1991 7,8 1992 8,6 1993 8,4 1994 22,1 1995 9,3 1996 9,1 1997 5,1 1998 -17,5 1999 -0,3 2000 4,3 2001 4,7 2002 4,9 2003 5,3 2004 5,7 2005 6 2006 5,9 2007 6,4 Rata-rata 6,04 Sumber : DKI Jakarta dalam angka, BPS,Berbagai Tahun Terbitan, diolah 75 Gambar 4.1 PDRB di DKI Jakarta tahun 1987-2007 Pada gambar terlihat bahwa pertumbuhan perekonomian DKI Jakarta selama tahun 1987-2007 berfluktuatif. Pada periode sebelum krisis 1987-1996 pertumbuhan ekonomi relatif lebih stabil dibandingkan pada periode tahun 1997- 1998. Selama tahun pengamatan pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta rata- rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,04 dengan pertumbuhan paling rendah pada tahun 1998 sebesar -17.5 sebagai akibat krisis ekonomi tahun 1997. Namun pada tahun 2005 pertumbuhan mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar 6 dan tahun 2007 mencapai 6,4 hal tersebut cukup beralasan mengingat perjalanan perekonomian yang relatif terus membaik. 76 4. Perkembangan Investasi PMA dan PMDN Investasi merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Investasi yang masuk baik dari pemerintah maupun pihak swasta dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. DKI Jakarta memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif meningkat selama tahun penelitian. Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan ini menarik para investor khususnya pihak swasta untuk berinvestasi di Provinsi ini. Seperti yang di ungkapkan Myrdal dalan Jhingan 1999:120, di wilayah maju permintaan yang meningkat akan merangsang investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Selama tahun penelitian, jumlah investasi swasta baik yang berupa Penanaman Modal Asing PMA maupun Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN di DKI Jakarta mengalami peningkatan 77 Tabel 4.3 Perkembangan Investasi PMDN dan Investasi PMA di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1987-2007 Tahun Nilai Investasi PMA Ribu US Pertumbuhan Investasi Nilai Investsai PMDN juta rupiah Pertumbuhan Investasi 1987 530.550,00 - 1.225.525,00 - 1988 790.758,00 49,0 1.130.197,00 -7,8 1989 757.307,00 -4,2 1.436.324,00 27,1 1990 825.079,00 8,9 1.193.451,00 -16,9 1991 959.770,00 16,3 2.678.556,00 124,4 1992 1.090.996,00 13,7 2.524.649,00 -5,7 1993 1.166.727,00 6,9 3.453.764,00 36,8 1994 1.355.937,00 16,2 4.231.539,00 22,5 1995 4.046.441,00 198,4 9.760.943,00 130,7 1996 4.399.299,00 8,7 10.177.787,00 4,3 1997 6.122.951,00 39,2 8.457.448,00 -16,9 1998 1.721.367,00 -71,9 3.991.251,00 -52,8 1999 1.788.185,00 3,9 2.129.547,00 -46,6 2000 3.323.997,00 85,9 3.822.862,00 79,5 2001 1.200.620,00 -63,9 7.911.308,00 106,9 2002 3.456.015,00 187,9 3.784.071,00 -52,2 2003 5.938.845,00 71,8 2.749.976,00 -27,3 2004 3.733.498,00 -37,1 3.710.793,00 34,9 2005 5.206.190,00 39,4 4.097.855,00 10,4 2006 5.938.845,00 14,1 4.218.004,00 2,9 2007 6.733.498,00 13,4 5.638.339,00 33,7 Rata-rata 2.908.898,81 29,8 4.205.913,76 19,4 Sumber : DKI Jakarta dalam angka, BPS,Berbagai Tahun Terbitan, diolah Tabel 4.3. Terlihat nilai pertumbuhan investasi PMA di DKI Jakarta relatif tinggi besar dibandingkan nilai investasi PMDN. Nilai investasi PMA sepanjang tahun 1987-2007 sebesar 2.908.898,81 US sedangkan nilai PMDN dalam periode yang sama sebesar 4.205.913,76. Dalam periode yang sama terlihat bahwa nilai 78 realisasi PMA rata-rata tumbuh 29,8 lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan realisasi nilai PMDN sebesar 19,4. Sehingga terlihat pertumbuhan investasi PMA lebih berkembang lebih baik dibandingkan pertumbuhan investasi PMDN di DKI Jakarta. Tabel 4.4 Rata – rata Nilai Investasi dan Pertumbuhan Investasi PMA, PMDN di Provinsi DKI Jakarta Periode 1987-1996 dan Periode 1997-2007 PMA PMDN Tahun Investasi Ribu US Pertumbuhan Investasi Juta Rp Pertumbuhan 1987-1996 1.592.286 34,9 3.781.274 35,03 1997-2007 4.105.819 25,69 4.591.950 6,6 Sumber :Data yang diolah Dari Tabel 4.4. Bahwa sebelum krisis 1987-1996 rata-rata pertumbuhan nilai investasi PMA sebesar 34,9 dengan nilai nominal rata-rata sebesar 1.592.286. Ribu US. Sedangkan pada masa krisis nilai investasi PMA hanya tumbuh rata- rata sebesar 25,69 dengan nilai nominal rata-rata sebesar 4.105.819 Ribu US. Meskipun terlihat kenaikan nilai nominal pada investasi PMA pada masa krisis kenyataanya terjadi penurunan pada nilai investasi PMA di DKI Jakarta. Pada investasi PMDN, rata-rata pertumbuhan nilai nominal investasi PMDN pada masa sebelum krisis sebesar Rp. 3.781.274 juta dengan rata-rata nilai pertumbuhan sebesar 35,05 sedangkan pada saat krisis sebesar Rp.4.591.950 juta. Dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,6. Secara umum adanya krisis ekonomi tahun 1997 mempengaruhi investasi PMA dan PMDN terutama PMDN, hal ini terjadi 79 karena para penanam modal dari dalam negeri mengalami kerugian dari depresiasi nilai rupiah atas U dollar. 5. Perkembangan Angkatan Kerja Perkembangan angkatan bekerja di DKI Jakarta dari tahun ketahun mengalami peningkatan dinama terjadinya daya serap pekerjaan dan lapangan pekerjaan yang tersedia. Dimana di tahun 1997 terjadi penurunan yang signifikan pada angkatan kerja yang bekerja dikarenakan krisis ekonomi dimana tingkat pertumbuhan angkatan kerja -26,40. Hal ini terjadi karena krisis menciptakan mutidimensial mengakibatkan daya beli masyarakat relatif tetap bahkan cenderung turun. Keadaan ini ditunjukkan dengan dengan menurunnya permintaan atas barang dan jasa yang diproduksi, sehingga perusahaan cenderung mempertahankan kapasitas produksinya atau bahkan menurunkannya. Untuk menjaga tingkat keuntungan yang diperoleh maka perusahaan melakukan rasionalisasi jumlah tenaga kerjanya sehingga penyerapan akan tenaga kerja tidak terserap sehingga terjadi penurunan yang signifikan. Namun ditahun selanjutnya pertumbuhan angkatan kerja mengalami peningkatan dimana ditahun 1999 meningkat sebesar 28,85 dan juga terjadi peningkatan ditahun 2006 sebesar 20,41. Dan rata-rata nilai pertumbuhan angkatan kerja yang terserap di DKI Jakarta dari tahun 1987-2007 sebesar 5,99. Peningkatan ini terjadi dikarenakan semakin membaiknya perekonomian di DKI Jakarta. 80 Tabel 4.5 Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja Di DKI Jakarta Tahun 1987 sd 2007 Angkatan Kerja NO Tahun Bekerja Mencari Pekerjaan Jumlah Pertumbuhan Angkatan Kerja 1 1987 1.551.663,00 145.550,00 1.697.213,00 - 2 1988 1.732.077,00 178.890,00 1.910.967,00 11,63 3 1989 1.866.665,00 205.654,00 2.072.319,00 7,77 4 1990 2.113.619,00 230.670,00 2.344.289,00 13,23 5 1991 2.435.977,00 360.450,00 2.796.427,00 15,25 6 1992 2.745.045,00 288.550,00 3.033.595,00 12,69 7 1993 3.151.665,00 310.450,00 3.462.115,00 14,81 8 1994 3.366.619,00 350.640,00 3.717.259,00 6,82 9 1995 3.452.299,00 380.523,00 3.832.822,00 2,54 10 1996 3.545.230,00 405.350,00 3.950.580,00 2,69 11 1997 2.609.457,00 443.352,00 3.052.809,00 -26,40 12 1998 2.933.845,00 520.670,00 3.454.515,00 12,43 13 1999 3.780.278,00 668.345,00 4.448.623,00 28,85 14 2000 3.920.235,00 470.649,00 4.390.884,00 3,70 15 2001 3.815.000,00 606.326,00 4.421.326,00 -2,68 16 2002 3.207.522,00 567.665,00 3.775.187,00 -15,92 17 2003 3.379.252,00 589.705,00 3.968.957,00 5,35 18 2004 3.847.359,00 602.741,00 4.450.100,00 13,85 19 2005 3.265.331,00 615.917,00 3.881.248,00 -15,13 20 2006 3.931.799,00 590.022,00 4.521.821,00 20,41 21 2007 4.243.000,00 552.380,00 4.795.380,00 7,91 Rata-rata 5,99 Sumber : DKI Jakarta dalam angka, BPS,Berbagai Tahun Terbitan, diolah 81 6. Perkembangan PAD Pemberlakuan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pelimpahan sebagian wewenang pemerintah daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dalam rangka pembangunan nasional dan pemberlakuan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimaksudkan agar daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa tergantung dari bantuan pemerintah pusat. Pemerintah daerah haruslah berupaya secara terus menerus menggali dan meningkatkan sumber keuangannya sendiri melalui Pendapatan Asli Daerah. PAD tersebut berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil dari perusahaan daerah, pendapatan dinas- dinas dan pendapatan lain daerah yang sah . Pada tabel. Terlihat penerimaan PAD di DKI Jakarta tahun 1987-2007 mengalami fluktuatif, pada tahun 1997-1998 nilai penerimaan PAD mengalami penurunan yang signifikan sebesar 2,4 hingga mencapai -32,2 penurunan ini akibat dari dampak krisis ekonomi. Akan tetapi ditahun 1999, seiring dengan mulai pulihnya perekonomian regional di DKI Jakarta mengalami nilai penerimaan yang cukup tinggi mencapai 36,5. 82 Tabel 4.6 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah PAD Tahun Anggaran 1987-2007 Juta Rupiah Tahun Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba BUMN Pendapatan dinas-dinas Pendapatan lain yang sah Penermaan PAD Pertumbuhan PAD 1987 210.058 9.659 32.063 32.063 12.734 276.898 - 1988 210.055 22.248 9.695 32.063 12.385 286.447 3,4 1989 331.570 70.578 8.190 3.390 15.934 429.661 50,0 1990 290.864 83.581 7.974 87.623 97.274 567.316 32,0 1991 395.486 106.104 20.867 73.816 86.458 682.731 20,3 1992 583.887 115.385 21.353 3.924 64.975 789.524 15,6 1993 768.462 141.528 13.586 898 69.182 993.656 25,9 1994 1.048.342 191.132 12.020 1.273 85.226 1.337.993 34,7 1995 1.080.848 212.594 42.218 10.159 95.760 1.441.579 7,7 1996 1.067.172 220.920 27.864 32.888 438.532 1.787.376 24,0 1997 911.017 190.946 8.328 62.245 658.202 1.830.739 2,4 1998 816.876 143.515 5.210 42.422 232.381 1.240.402 -32,2 1999 1.481.393 102.296 32.239 4.115 72.885 1.692.928 36,5 2000 2.118.274 108.670 20.368 24.504 167.468 2.439.285 44,1 2001 3.056.748 201.967 34.995 38.045 312.396 3.644.151 49,4 2002 3.101.000 251.550 58.561 52.705 135.304 3.546.415 -2,7 2003 4.101.582 224.515 93.763 368.479 140.366 4.928.705 39,0 2004 5.124.265 210.470 69.450 135.248 103.232 5.642.664 14,5 2005 5.150.650 354.670 78.595 128.505 218.827 5.931.247 5,1 2006 6.045.540 72.150 59.990 30.104 12.046 6.219.831 4,9 2007 6.115.240 151.210 120.540 95.215 26.208 6.508.414 4,6 Rata- rata 2.094.553 151.699 37.042 59.985 145.608 2.486.570 19,0 Sumber : DKI Jakarta dalam angka, BPS,Berbagai Tahun Terbitan, diolah Dan terlihat bahwa penerimaan rata-rata PAD di DKI Jakarta dari tahun 1987-2007 sebesar 19 dari seluruh penerimaan PAD. Dari sumber penerimaan yang terdapat pada PAD, Pajak daerah selalu memberikan kontribusi terbesar tiap tahunya, dengan rata-rata nilai penerimaan dari pajak daerah sebesar 2.094.553 dan retribusi daerah memberikan kontribusi kedua terbesar, dengan rata-rata penerimaan retribusi daerah sebesar 151.699. 83 Tabel.4.7 Perkembangan PAD di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1987-1999 Sebelum Otonomi Daerah dan tahun 2000-2007 Otonomi Daerah PAD Tahun Nilai rata-rata PAD Juta Rp Pertumbuhan PAD 1987-1999 1.027.481 18 1999-2007 4.857.589 20 Sumber :Data yang diolah Nilai Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta dari tahun 1987-2007 di bagi menjadi dua periode, Karena PAD mengalami periode “ sebelum Otonomi Daerah “ dan “ setelah Otonomi Daerah”. Pendapatan Asli Daerah PAD pada tahun 1987-1999 sebelum otonomi daerah dengan nilai nominal rata-rata sebesar 1.027.481 dan tingkat pertumbuhan nilai penerimaan PAD sebesar 18 setelah terjadinya otonomi daerah tahun 2000-2007 PAD di DKI Jakarta naik sebesar 4.857.589 dan tingkat pertumbuhan nilai penerimaan PAD sebesar 20. Dan terlihat bahwa periode setelah otonomi daerah nilai penerimaan PAD di DKI Jakarta mengalami peningkatan.

B. Pengujian Asumsi Klasik

Pengujian ini untuk melihat apakah model yang diteliti terkena penyimpangan klasik atau tidak. Maka caranya adalah dengan memakai uji sebagai berikut : 1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas menunjukan adanya hubungan linear diantara variabelvariabel independen variabel penjelas. Dalam prakteknya multikolinearitas sempurna jarang ditemukan, melainkan dengan kasus 84 multikolinearitas dekat, tinggi, atau tak sempurna. Ada beberapa indikator untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam suatu model. Penelitian ini menggunakan indikator pengujian regresi parsial auxiliary regression untuk mendeteksi multikolinearitas dengan metode Klien, yaitu dengan membandingkan R 2 auxiliary regression dengan R 2 pada model utama. Pertama, lakukan regresi diantara variabel-variabel independen penjelas. Setelah itu, akan didapatkan nilai R 2 auxiliary . Jika nilai R 2 auxiliary lebih besar dari R 2 pada model utama maka terdapat multikolinearitas. Tabel 4.8 Regresi Auxiliary Regresi R 2 R 2 AK=ƒPMA,PMDN,PAD,DT 0.689682 0.972944 PMA=ƒAK,PMDN,PAD,DT 0.755534 0.972944 PMDN=ƒAK,PMA,PAD,DT 0.575980 0.972944 PAD=ƒAK,PMA,PMDN,DT 0.827132 0.972944 DT=ƒAK,PMA,PMDN,PAD 0.577162 0.972944 Sumber : Olah data Eviews 4.0. R 2 = R 2 hasil auxiliary regression R 2 = R 2 hasil regresi utama Tabel 4.8 hasil pengujian auxiliary regression diperoleh bahwa terdapat nilai R 2 auxiliary yang lebih besar dari nilai R 2 model utama sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat gejala multikolineritas pada model penelitian. Oleh karena itu, dilakukan pengujian lain untuk menguji ada tidaknya multikolinearitas yaitu menggunakan cara melihat koefisien korelasi antar variabel. Apabila koefisien korelasi di bawah angka 0,8 maka dapat dikatakan tidak terdapat 85 multikolinearitas sempurna. Tabel 4.9 menunjukkan bahwa koefisien korelasi antar variabel di bawah 0,8 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas pada model penelitian. Tabel 4.9 Koefisien Korelasi antar Variabel Independen AK PMA PMDN PAD DT AK 1 0.555507243 785 0.493501502 131 0.707677367 574 0.615259049 106 PMA 0.555507243 785 1 0.512565026 334 0.768856435 757 0.572778452 439 PMDN 0.493501502 131 0.512565026 334 1 0.212964507 189 0.152382234 29 PAD 0.707677367 574 0.768856435 757 0.212964507 189 1 0.741742078 895 DT 0.615259049 106 0.572778452 439 0.152382234 29 0.741742078 895 1 Sumber : Olah data Eviews 4.0. 2. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi hubungan yang terjadi diantara anggota- anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu seperti runtut waktu atau time series data atau yang tersusun dalam rangkaian ruang seperti pada data silang waktu atau cross section data. 86 Tabel 4.10 Uji Autokorelasi dengan Model Langrange Multiplier LM Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.399951 Probability 0.678325 ObsR-squared 1.217251 Probability 0.544098 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 012111 Time: 15:43 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. AK 2.722265 8.780424 0.310038 0.7614 PMA -0.468713 3.546715 -0.132154 0.8969 PMDN 0.277810 1.931407 0.143838 0.8878 PAD -0.258420 4.230875 -0.061079 0.9522 DT -1269115. 8937731. -0.141995 0.8893 C -6998491. 19643710 -0.356271 0.7274 RESID-1 0.028395 0.365210 0.077749 0.9392 RESID-2 -0.299889 0.340819 -0.879908 0.3949 R-squared 0.057964 Mean dependent var 6.47E-08 Adjusted R-squared -0.449286 S.D. dependent var 10871699 S.E. of regression 13088034 Akaike info criterion 35.89463 Sum squared resid 2.23E+15 Schwarz criterion 36.29254 Log likelihood -368.8936 F-statistic 0.114272 Durbin-Watson stat 1.965999 ProbF-statistic 0.996052 Sumber : Olah data Eviews 4.0 Dari tabel di atas diketahui bahwa koefisien determinasi R 2 sebesar 0.057964. Nilai chi-squares hitung sebesar 1.217251 yang diperoleh dari informasi ObsR-squares, sedangkan nilai kritis chi- squared  2 pada α = 5 dengan df sebesar 5 adalah 11.07. Karena nilai Chi-squares hitung lebih kecil dari nilai chi-quares kritis  2 maka dapat disimpulkan tidak ada masalah 87 autokorelasi, hal ini juga dibuktikan juga dengan prob chi-squares sebesar 0.544098 yang lebih besar dari nilai α sebesar 0.05 persen. 3. Uji Heteroskedastisitas Penelitian ini menggunakan teknik White yang prinsipnya adalah meregresikan variable bebas. Variable bebas dikuadratkan terhadap residu dari regresi awal. Jika hasil regresi uji white ini signifikan maka regresi awal yang diuji terkena ganguan heteroskedastisitas. Adanya heteroskedastisitas dalam model analisis mengakibatkan varian dan koefisien OLS tidak lagi minimum dan penaksir-penaksir OLS menjadi tidak efisien meskipun penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten. Dalam mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada penelitian ini, langkah pengujiannya melalui White, antara lain: a. estimasi persamaan model dan dapatkan residualnya. b. melakukan regresi pada persamaan berikut yang disebut regresi auxiliary. c. hipotesis nul dalam uji ini adalah tidak ada heteroskedastisitas. Uji White didasarkan pada jumlah sampel n dikalikan dengan R 2 yang akan mengikuti distribusi chi-square dengan degree of freedom sebanyak variable independen tidak termasuk konstanta dalam regresi auxiliary. d. jika nilai chi-squares hitung n. R 2 lebih besar dari nilai  2 kritis dengan derajat kepercayaan tertentu α mak ada heteroskedastisitas