menjadi suatu instrumen hukum yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk secepatnya memulihkan kerugian negara asset recovery.
62
Korupsi tidak hanya bersangkut-paut dengan perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara saja, tetapi juga menyangkut pengertian lain,
seperti penyuapan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, pemalsuan, merusak barang bukti, pemerasan dalam jabatan serta gratifikasi.
B. Korupsi sebagai Tindak Pidana Asal dalam Kejahatan Pencucian
Uang Money Laundering
63
1. Penyuapan atau Bribery
Perbuatan tersebut tidak saja merugikan negara, tetapi merugikan masyarakat. Korupsi
adalah suatu alat kebutuhan bagi kelompok penjahat terorganisasi dalam melakukan kegiatannya. Pencucian keuntungan yang diperoleh secara tidak halal
untuk ditanamkan kembali ke dalam ekonomi yang sah, tujuannya untuk meningkatkan keuntungan. Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 korupsi sebagai predicate crime atau tindak pidana
asal pada kejahatan money laundering diklasifikasikan ke dalam berberapa jenis kejahatan yaitu:
Penyuapan meliputi janji, penawaran atau pemberian sesuatu keuntungan yang seharusnya tidak pantas untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan
62
Marwan Efendy, op. cit, hal. 72.
63
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seorang pejabat publik.
64
Penyuapan itu terjadi tidak hanya terhadap pejabat publik itu semata, tetapi dapat juga meliputi anggota masyarakat yang melayani
komisi pemerintahan. Penyuapan dapat terdiri atas uang, saham, layanan seksual atau pemberian-pemberian lainnya, hadiah, hiburan, pekerjaan, janji, dan lain-lain.
Penyuapan atau bribery diatur dalam pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 dan diklasifikasikan ke dalam 2 jenis yaitu, suap aktif dan suap pasif.
65
Suap pasif berarti pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji. Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 menjelaskann
bahwa bukan hanya orang yang menyuap saja yang dapat dihukum, melainkan juga orang yang menerima suap tersebut. Ketentuan demikian dapat merangsang
Suap aktif berarti setiap orang perseorangan dan korporasi yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Pelaku dari tindak pidana korupsi menurut Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 ini adalah setiap orang, yakni orang perseorangan dan korporasi. Tujuan dari
pemberian atau janji itu diberikan kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara adalah agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajiban, atau karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Ukuran dari perbuatan yang dilarang tersebut adalah harus bertentangan dengan kewajiban. Artinya, perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang tidak
dilakukan itu haruslah bertentangan dengan kewajiban.
64
M. Arief Amrullah, Money Laundering, Tindak pidana pencucian uang, Bayumedia, Malang, 2004, hlm. 71.
65
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 35.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
orang untuk tetap merahasiakan telah terjadinya tindak pidana korupsi. Pelanggaran terhadap Pasal tersebut di atas diancam dengan pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 250.000.000,- dua
ratus lima puluh juta rupiah.
66
2. Perbuatan Curang
Perbuatan curang adalah tipu daya, memakai nama palsu, atau keadaan tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Perbuatan-perbuatan
tersebut dapat berupa distorsi publik, harga atau jumlah yang di-mark up ditinggikan atau di-mark down diturunkan sehingga terjadi data fiktif yang
tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
67
Perbuatan tersebut dapat membahayakan keamanan orang atau barang, keselamatan negara, mengakibatkan
kecelakaan kepada manusia atau barang. Perbuatan curang diatur di dalam pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam dengan
pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah dan paling
banyak Rp. 350.000.000,- tiga ratus lima puluh juta rupiah.
68
3. Penggelapan dalam Jabatan
Penggelapan dalam jabatan dapat diartikan sebagai kejahatan-kejahatan yang meliputi pencurian harta kekayaan oleh orang kepercayaan dengan
66
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001.
67
Darwin Prinst, op. cit, hlm. 42.
68
Pasal 7 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kewenangan dan pengawasan terhadap kekayaan pemerintah.
69
Perbuatan yang dilarang di dalam Pasal tersebut adalah dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, atau membantu melakukan perbuatan tersebut.
Perbuatan- perbuatan itu dapat melibatkan pejabat-pejabat publik dan orang perseorangan
secara pribadi. Penggelapan juga meliputi perubahan kekayaan pemerintah untuk kepentingan pribadi. Penetapan larangan hukum terhadap tipe korupsi ini
memiliki cakupan yang luas yang meliputi setiap cara yang tidak jujur berupa penyelewengan kekayaan publik yang dilakukan atas kelihaian penjahatnya.
Penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001.
70
4. Pemalsuan
Pelanggaran terhadap pasal ini diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15
lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.00,- seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 750.000.000,- tujuh ratus lima puluh
juta rupiah.
Pemalsuan adalah perbuatan dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
71
69
M. Arief Amrullah, op. cit, hal. 72
70
Pasal 8 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001.
71
Darwin Prinst, op.cit, hlm. 45
Pemalsuan tersebut dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu. Pengenaan sanksi terhadap perbuatan memalsukan buku atau daftar khusus
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemeriksaan administrasi tersebut tidak diperlukan timbulnya kerugian sebagai akibat perbuatan tersebut, bila sudah ada pemalsuan maka barang tentu perbuatan
tersebut sudah dapat dipidana. Pemalsuan diatur di dalam Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam dengan pidana penjara
paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.
250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah.
72
5. Merusak barang bukti
Menggelapkan berarti dengan sengaja memiliki suatu barang secara melawan hak yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dan barang tersebut
ada bukan karena kejahatan.
73
Perbuatan atau kejahatan ini diatur dalam Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001. Perbuatan yang dilarang menurut pasal tersebut adalah
menggelapkan, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakainya suatu barang. Barang yang dimaksud adalah akta, surat, daftar atau tulisan-tulisan yang
dibuat untuk kepentingan tertentu seperti daftar gaji dan daftar pemberian barang.
74
Pengrusakan terhadap barang tersebut bertujuan untuk menghilangkan barang bukti yang dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
Pelanggaran terhadap perbuatan ini diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun paling lama 7 tujuh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
Barang tersebut digunakan untuk meyakinkan atau sebagai alat pembuktian di muka pejabat yang berwenang.
72
Pasal 9 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001.
73
Darwin Prinst, op.cit, hlm. 46.
74
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100.000.000,- seratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 350.000.000,- tiga ratus lima puluh juta rupiah.
75
6. Pemerasan Extortion
Perbuatan pemerasan meliputi pemaksaan seseorang untuk membayar uang atau menyediakan barang-barang berharga. Pemerasan dapat juga diartikan
sebagai Penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan pemaksaan, meminta, menerima, atau memotong pembayaran, menjadikan seolah-olah hutang yang
dilakukan oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri.
76
7. Gratifikasi
Pemerasan diatur di dalam Pasal 12 huruf e, f, dan g UU No. 20 Tahun 2001. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam dengan
pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Objek dari tindak pidana korupsi adalah gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, kerabat
diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
75
Pasal 10 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001.
76
Pasal 12 huruf e, f, dan g Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No.
20 Tahun 2001.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perjalanan wisata, dan fasilitas lainnya.
77
Gratifikasi tersebut, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap pemberian suap. Pemberian itu harus
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi diberikan kepadanya karena jabatan yang dipegangnya dan menerima
gratifikasi itu bukan menjadi tugasnya
78
. Gratifikasi Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah atau lebih, penerima harus dapat membuktikan bahwa penerimaan
gratifikasi tersebut bukan suap. Penerima gratifikasi apabila tidak
membuktikannya maka penerimaan gratifikasi tersebut adalah suap. Prinsip ini dikenal dengan pembuktian terbalik.
79
Gratifikasi yang kurang dari Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah untuk membuktikannya sebagai suap dilakukan
oleh penuntut umum. Apabila penuntut umum tidak dapat membuktikannya maka dianggap halal bukan suap. Ketentuan mengenai gratifikasi diatur dalam pasal
12B UU No. 20 Tahun 2001. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat
tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.- satu
milyar rupiah.
80
Pola kejahatan korupsi sebagai tindak pidana asal predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang masih menempati urutan pertama berdasarkan hasil
77
Darwin Prinst, op. cit, hlm. 57.
78
Ibid.
79
Ibid.
80
Pasal 12B Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK. Berdasarkan laporan data sepanjang tahun 2011, ketua PPATK Muhammad Yusuf
mengungkapkan bahwa sebesar 43,4 persen hasil analisis mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.
81
Korupsi masih menjadi tindak pidana urutan pertama berdasarkan analisis di PPATK dengan persentase 43,4. Peningkatannya pun
sangat signifikan dari 2010, kini mencapai 71. Secara presentase, uang dari hasil tindak pidana korupsi menempati peringkat pertama dalam kasus pencucian uang
sepanjang tahun 2011, selebihnya baru dari tindak pidana lain.
82
Tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang keterkaitannya dapat kita dalami dalam kasus yang saat ini sedang hangat
diperbincangkan di media, yaitu kasus Dhana Widyatmika DW, pegawai pajak golongan IIIC, yang disinyalir mempunyai kekayaan melebihi kewajaran. Hal ini
membuktikan penanganan terhadap pelaku kejahatan ini tidak menjerakan, bahkan masih ada oknum-oknum yang belum terungkap. Dhana Widyatmika terancam
sangkaan Pasal 2, 3, 5,dan 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi UU Tipikor dan Pasal 3 dan 4 Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang UU
TPPU, yang mungkin bisa berkembang adanya tersangka baru. Belajar dari kasus Gayus, pengembangan kasusnya tidak dilakukan, sehingga terkesan korupsi dan
pencucian uang hanya melibatkan Gayus seorang. Korupsi yang begitu besar bila dicermati modusnya, mustahil terjadi sekian lama tanpa melibatkan pihak lain.
83
Dugaan korupsi pegawai pajak Dhana Widyatmika, juga perlu didalami keterlibatan orang lain di Ditjen Pajak maupun pihak wajib pajak untuk
81
Koran kota, Korupsi Masih Nomor Satu,
82
Ibid.
83
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
korupsinya dan pihak lain yang terlibat pencucian uang. Dugaan korupsi tersebut jika ternyata terbukti dan kemudian hanya DW sendiri yang dijerat maka tidak
heran akan bermunculan koruptor baru di institusi tersebut. Penegakan hukum tidak tuntas pada Gayus bisa memicu terulangnya kejahatan ini. Pasalnya, selain
faktor pengawasan internal yang lemah, reformasi birokrasi juga tidak berhasil, termasuk renumerasi tidak mampu mencegah pejabat melakukan kejahatan pada
institusinya. Kejaksaan berpendapat, dugaan kejahatan DW diawali dari laporan masyarakat sekitar pada Desember 2011, kemudian diselidiki dan meminta
analisis atas rekening mencurigakan milik DW dan pada akhirnya Kejaksaan menyangkakan Pasal 2, 3, 5,dan 12 Undang-Undang Tipikor dan pasal 3 dan 4
Undang-Undang TPPU.
84
Dugaan korupsi yang dilakukan dalam kasus tersebut adalah perbuatan memperkaya diri dengan modus penggelapan pajak, atau menawarkan jasa pada
wajib pajak untuk meringankan pajak yang harus dibayar atau menerima suap, gratifikasi atau bermain pada proses banding pajak yang memenangkan wajib
pajak.
85
Hasil korupsi kemudian disimpan di rekening maupun dalam safety box, untuk membeli berbagai barang dan ada juga yang diinvestasikan. Perbuatan
terhadap hasil kejahatan itulah yang disebut sebagai praktik pencucian uang. Siapa saja yang menerima hasil kejahatan, seperti memberikan rekening untuk
menampung hasil kejahatan, menerima hibah atau untuk melakukan kegiatan usaha dan lain-lain, maka dikategorikan sebagai pelaku pencucian uang pasif.
86
84
Ibid.
85
Yenti Garnasih, Korupsi Pasti diikuti Pencucian Uang, loc. cit.
86
Ibid.
Perbuatan pencucian inilah yang harus didalami oleh Penyidik kemana hasil itu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan siapa saja yang menerima. Selain itu juga siapa saja yang terlibat korupsi pajaknya, sebab mustahil dilakukan sendiri. Uang hasil korupsi hampir pasti
dilakukan pencucian uang, yaitu ketika koruptor menyembunyikan atau menikmati hasil korupsinya. Kejahatan korupsi yang ditangani jangan hanya
dikenakan UU Anti Korupsi tetapi juga dengan UU Anti Pencucian Uang, agar bisa ditelusuri kemana uang hasil korupsi harus disita dan yang menguasai juga
dipidana karena terlibat pencucian uang. Pejabat dan aparat yang terlibat korupsi, berarti juga terlibat pencucian
uang kecuali dalam hal korupsi tertangkap tangan maka tidak ada pencucian uang, bahkan pada umumnya hasil korupsi dinikmati keluarga. Istri dan anak
koruptor ada kecenderungan juga terlibat pencucian uang. Hasil korupsi pada umumnya dialirkan atau dimasukkan ke rekening keluarga. Penerapan anti
pencucian uang pada pelaku korupsi menjadikan upaya menyita hasil korupsi akan lebih optimal dan sekaligus bisa memenjara mereka yang menikmati hasil
jarahan uang rakyat tersebut. UU TPPU mengenal atau memuat tentang ketentuan pembuktian terbalik, yaitu koruptor yang menyangkal hartanya berasal dari
korupsi, diperintahkan oleh hakim untuk membuktikan asal usul hartanya.
87
87
Ibid.
Pelaku dalam sidang perkara di pengadilan jika tidak bisa membuktikan sumbernya dari kegiatan yang sah, maka harus disita untuk negara, dan pelaku
dipidana. Penegak hukum tentu tidak mempunyai alasan untuk tidak menerapkan UU TPPU dalam perkara korupsi, bila mau menuntaskan perkara dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menjangkau mereka yang terlibat termasuk yang menerima aliran dana hasil korupsi.
C. Proses Pencucian Uang dari Hasil Kejahatan Tindak Pidana Korupsi