13 Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi, tata cara pemilihan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi, susunan organisasi dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi diatur dengan Peraturan Bersama Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial. 14 Untuk mendukung pelaksanaan tugas Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi dibentuk sekretariat yang berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.
Bab VII Ketentuan Peralihan ditambah 1 satu pasal, yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 87A Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan tugas
sampai dengan terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Menurut pendapat Ahli, melalui pembentukan MKHK yang independen ini, maka pengawasan perilaku hakim MK dapat dilaksanakan secara kontinyu
tidak insidentil dan obyektif, serta tidak bertentangan dengan Putusan MK terkait pembatalan kewenangan pengawasan KY tidak ada anggota KY
dalam MKHK – sesuai putusan MK Nomor 005PUU-IV2006 mengenai Uji Materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan
Uji Materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, terhadap UUD 1945.
Penempatan sekretariat MKHK di KY juga lebih menjamin MKHK betul- betul menjadi pengawas eksternal yang independen dari MK dari tiga sisi,
yaitu independen secara fungsional, independen secara struktural, dan yang tak kalah penting adalah independen secara finansial, mengingat
kebutuhan MKHK nantinya akan dipenuhi oleh Sekretariat Jenderal Setjen KY, bukan Setjen MK.
3. Batas Waktu Paling Singkat 7 Tujuh Tahun Bagi Calon Hakim Konstitusi
Dalam Pasal 15 ayat 2 huruf i Perppu MK diatur mengenai syarat untuk menjadi hakim konstitusi, yaitu
”tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 tujuh tahun sebelum diajukan
sebagai calon hakim konstitusi.”
Menurut pendapat Ahli, penetapan batasan waktu ”paling singkat 7 tujuh tahun” tersebut dinilai cukup untuk memberikan jaminan independensi dan
imparsialitas seorang Hakim Konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum PHPU. Hal demikian juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
81PUU-IX2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, yang
dalam pertimbangan hukum Putusannya memberikan beberapa pertimbangan berikut ini:
e. ”....
Pelepasan hak anggota partai politik untuk menjadi anggota komisi
pemilihan umum
bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut
diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang artinya memenuhimelindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan
umum;....;”
f. ”...Namun, dalam ketentuan pengunduran diri dari keanggotaan
partai politik yang tidak ditentukan jangka waktunya tersebut, menurut Mahkamah
dapat dipergunakan sebagai celah oleh partai politik untuk masuknya kader partai politik ke dalam komisi pemilihan
umum. Hal ini justru bertentangan dengan sifat “mandiri” dari komisi pemilihan umum yang dinyatakan dalam Pasal 22E ayat 5 UUD
1945;...”;
g. ”...Mahkamah berpendapat syarat pengunduran diri dari keanggotaan
partai politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo, harus diberi batasan waktu. Secara sosiologis, untuk memutus hubungan
antara anggota partai politik yang mencalonkan diri dengan partai politik yang diikutinya, perlu ditetapkan tenggang waktu yang patut dan layak,
sesuai dengan prinsip-prinsip kemandirian organisasi penyelenggara pemilihan umum;...;”
h. Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut
Mahkamah
adalah patut dan layak jika ditentukan sekurang- kurangnya 5 lima tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan
diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum...”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sangat tepat kiranya, jika Hakim Konstitusi dengan kewenangan konstitusional yang jauh lebih strategis dan
nantinya akan memutus sengketa hasil pemilihan umum, membutuhkan jaminan independensi dan imparsialitas yang tinggi, sehingga perlu diberikan
masa jeda sebagai anggota Parpol selama 7 tujuh tahun, lebih lama daripada tenggat waktu pengunduran diri calon anggota KPU dari Parpol.
2. Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., M.H., M.Sc “Kegentingan yang memaksa”