2.7. Berdasarkan hal itu maka seluruh dasar argumentasi Pemohon menjadi tidak relevan dan tidak logis atau tidak memiliki landasan hukum yang
kuat, oleh karena itu sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi “tidak menerima” permohonan Pemohon yaitu tidak melanjutkan kepada
pemeriksaan substansi atau menolak seluruh permohonan Pemohon tersebut.
III. Tentang makna kerugian dengan Potensi Kerugian.
3.1. Bahwa Pemohon, telah mempersoalkan tentang phrase “potensi kerugian yang dapat muncul dari beberapa materi muatan” Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2014 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
3.2. Pemohon tidak dapat membedakan atau dapat dikatakan mengalami kekeliruan bernalar ketika menyamakan makna “kerugian” dengan
“potensi yang dapat menimbulkan kerugian”, dan “persepsi tentang kerugian yang dapat muncul”, seolah-olah seluruhnya memiliki makna
yang sama.
3.3. Pemohon menyatakan bahwa kualifikasi akademik minimal Magister dari Panel Ahli dianggap dapat menimbukan kerugian atau potensi kerugian,
dengan alasan bahwa “tidak layak seorang Magister S2 menguji seorang Doktor S3”. Pemohon menyamakan begitu saja proses pengujian yang
dilakukan oleh Tim Panel Ahli terhadap calon hakim dengan pengujian program pendidikan tinggi, yaitu dosen terhadap mahasiswanya.
Argumentasi Pemohon memperlihatkan kerancuan berpikir yaitu menyamakan model seleksi untuk “keahlian professional” dalam “seleksi
hakim” dengan model ujian di pendidikan tinggi yang lebih berorientasi akademik keilmuan.
3.4. Bahwa aspek keilmuan sangat penting dalam uji kelayakan dan kepatutan untuk professional seperti hakim hal itu tidak dapat dipungkiri, namun
mengatakan bahwa ujian di perguruan tinggi bagi mahasiswa sama dengan ujian kelayakan untuk seleksi professional calon hakim jelas
merupakan kekeliruan. Di perguruan tinggipendidikan tinggi penguji disyaratkan untuk memiliki jenjang pendidikan dengan level tertentu serta
linieritas. Namun tidak demikian di bidang “professional” seperti hakim. Ukuran tidak semata mata didasarkan kepada jenjang pendidikan, tetapi
juga kompetensi lainnya seperti pengalaman dan juga kebijaksanaan. Seorang pensiunan hakim senior yang memiliki integritas tinggi, sekalipun
tidak memiliki pendidikan setingkat Doktor secara formal akan menjadi sangat kompeten untuk menguji kelayakan calon hakim sekaliber bergelar
Doktor atau Professor sekalipun. Seorang Magister S2 bidang filsafat dan etika akan sangat kompeten di bidangnya dan menjadi layak untuk
menguji seorang calon hakim bergelar S3 yang hanya memahami bidang ilmu hukum.
3.5. Bahwa apa yang dimaksud dengan “kerugian” atau “potensi kerugian”, harus dipahami sebagai sesuatu yang “memiliki kemampuan atau daya
sehingga dapat menimbulkan sesuatu” yaitu dapat menimbulkan kerugian. Hal itu berarti terdapat kausalitas yang erat antara satu
perbuatantindakan yang akan dilakukandengan kerugian yang dapat timbul, sekalipun bersifat potensi. Ada ukuran yang jelas dan bukan
sesuatu yang hanya diduga-duga persepsi tentang kerugian dan juga bukan kemungkinan. Pemohon hanya menggunakan persepsinya untuk
menilai seolah-olah mungkin hal itu menimbulkan kerugian, tetapi tidak dapat menunjukan secara akurat tentang aspek “dapat” menimbulkan
“kerugian” danatau potensi kerugian”, yaitu menyajikan relasi kausalitas antara perbuatantindakan yang akan dilakukan dengan kerugian yang
dapat muncul dari perbuatan atau tindakan itu.
3.6. Pemohon juga mempersoalkan tentang batasan usia 50 tahun bagi calon Panel Ahli yang dianggapnya sebagai “tindakan diskriminasi” dengan
argumentasi bahwa untuk mengukur seseorang bijaksana tidak berhubungan dengan usia 40 tahun atau dengan usia 50 tahun. Cara
bernalar demikian sama saja dengan mengatakan bahwa anak usia 5 tahun sama dengan anak usia 15 tahun, dilihat dari tingkat kematangan
dan kedewasaannya? Pemohon nampaknya tidak memperhatikan aspek psikologi perkembangan bahwa kematangan itu berkembang sejalan
dengan usia seseorang. Bahwa ada orang berusia lebih muda dan lebih matang, jelas sebuah pengecualian bukan sesuatu yang bisa dianggap
kelaziman, atau sesuatu hal yang biasa.
3.7. Batasan usia beriringan dengan tingkat kematangan, dan batasan usia 50 tahun dimaksudkan untuk membangun kebijaksanaan, visi yang jelas
serta kematangan dalam bertindak dan berfikir, sehingga diharapkan proses seleksi dapat berlangsung dengan standart yang lebih terukur dan
komprehensif.
IV. Tentang Komisi Yudisial sebagai lembaga Auxilary organ of State Auxilary Body