Oleh karena itu jelas, norma Pasal 27A ayat 4 UU 42014 bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945.
D. Permohonan
Maka berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi, kiranya berkenan untuk memeriksa dan selanjutnya
memutuskan: 1 Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya;
2 Menyatakan Pasal 18A ayat 1, Pasal 18B, Pasal 18C ayat 3, dan Pasal
27A ayat 1 dan ayat 4 dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3 Menyatakan Pasal 18A ayat 1, Pasal 18B, Pasal 18C ayat 3 dan Pasal 27A ayat 1 dan ayat 4 dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang- Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4 Memerintahkan agar putusan perkara a quo oleh Mahkamah Konstitusi dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Atau apabila majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.
[2.3] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon I
mengajukan alat bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8.7.a, sebagai berikut:
1.
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang;
2. Bukti P-2
: Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Bukti P-3
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
4. Bukti P-4
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
5. Bukti P-5
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
6. Bukti P-6
: Fotokopi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
7. Bukti P-7
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
8. Bukti P-8
: Fotokopi Kartu
Tanda Penduduk
atas nama
A. Muhammad Asrun; 9.
Bukti P-8.a : Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama
A. Muhammad Asrun; 10. Bukti P-8.1
: Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Heru Widodo;
11. Bukti P-8.2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Samsul Huda;
12. Bukti P-8.2.a : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Samsul Huda;
13. Bukti P-8.3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Dorel Almir;
14. Bukti P-8.3.a : Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama Dorel Almir;
15. Bukti P-8.4 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Daniel Tonapa
Masiku; 16. Bukti P-8.4.a : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Daniel
Tonapa Masiku;
17. Bukti P-8.5 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Samsudin;
18. Bukti P-8.5.a : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Samsudin; 19. Bukti P-8.6
: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Dhimas Pradana;
20. Bukti P-8.6.a : Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama Dhimas Pradana
21. Bukti P-8.7 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Aan Sukirman;
22. Bukti P-8.7.a : Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama Aan Sukirman;
Selain itu, para Pemohon I juga mengajukan seorang Ahli, yang telah memberikan keterangan pada persidangan tanggal 4 Februari 2014 yang pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut: AHLI PARA PEMOHON I
Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M 1. Menurut UUD 1945 Perpu harus dikeluarkan dalam keadaa yang genting dan
memaksa, sebagaimana Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 bahwa Pasal ini mengenai nood verordeningsrecht president, aturan sebagian ini memang
perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting yang memaksa pemerintah untuk bertindak
cepat, bertindak lekas dan tepat.
2. Tidak terlihat dalam konsideran UU 42014 bahwa ada keadaan yang genting dan memaksa sehingga Presiden berhak mengeluarkan Perpu;
3. Dalam konsideran “menimbang” dicantumkan pasal, hal ini bukan merupakan hal yang lazim;
4. Mengenai kedudukan Komisi Yudisial yang diberi kewenangnan untuk membentuk Panel Ahli, merupakan ketentuan yang mengambil alih
kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang menetapkan bahwa sembilan Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang, oleh
Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 menetapkan bahwa Calon Hakim Agung ditetapkan oleh Komisi
Yudisial, sehingga kewenangan KY hanya mengusulkan calon Hakim Agung, tidak termasuk Hakim Konstitusi;
5. Mekanisme masing-masing lembaga negara untuk memilih Hakim Konstitusi yang akan diajukan dapat diatur oleh masing-masing lembaga negara
tersebut;
6. Pasal 24B UUD 1945 juga menyatakan bahwa KY berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku Hakim Agung, dan
ketentuan ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, bahwa kedudukan KY tidak ada kaitannya sama sekali dengan Mahkamah Konstitusi;
7. Dalam Pasal 87B ayat 2 Perpu 12013 disebutkan bahwa Peraturan Pelaksana dari Perpu harus ditetapkan paling lama tiga bulan, terhitung sejak
Perpu diundangkan, menjadi pertanyaan peraturan seperti apa yang akan ditetapkan sebagai peraturan pelaksana. Ketentuan Pasal 87B ayat 3 Perpu
12013 semakin janggal karena menetapkan bahwa jika dalam tiga bulan peraturan pelaksana tidak terbentuk, maka pembentukan Panel Ahli, dan
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh KY;
8. Peristiwa penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi bukan merupakan peristiwa kegentingan yang memaksa, karena Mahkamah tetap dapat
menjalankan kewenangannya.
[2.4]
Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon II mengajukan alat bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-2.1 sampai
dengan bukti P-2.2, sebagai berikut: 1.
Bukti P-2.1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang;
2. Bukti P-2.2
: Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Selain itu, para Pemohon II juga mengajukan dua orang ahli, yang telah memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 7 Februari 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
AHLI PARA PEMOHON II 1. Dr. Jayus S.H., M.Hum.
Sesungguhnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang, tidak secara
cermat dipahami oleh pemerintah khususnya Presiden, walaupun secara subyektif Presiden berhak menafsirkan ketentuan Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun
penafsiran tanpa menggunakan ukuran yang jelas justru dapat menimbulkan atau memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda.
Menurut hemat ahli kondisi Mahkamah Konstitusi pada waktu itu tidak dengan secara serta merta dapat dijadikan alasan bagi Presiden
pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau dengan kata lain tidak ada indikasi bahwa telah
terjadi suatu keadaan yang abnormal atau keadaan yang luar biasa dalam penyelenggaraan Peradilan Konstitusi atau Peradilan Ketatanegaraan. Hal
tersebut terbukti bahwa Mahkamah Konstitusi tetap eksis sampai sekarang dapat menjalankan tugas dan wewenangnya untuk mengawal Konstitusi
agar dijalankan sebagaimana mestinya, yaitu dengan tetap melaksanakan wewenangnya memeriksa, mengadili dan memutus semua permohonan
yang dimohonkan oleh Pemohon.
Rekruitmen terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
Ketentuan ini secara limitatif telah mengatur tentang rekruitmen hakim Mahkamah Konstitusi, dan ketentuan ini juga tidak secara atribusi
memerintahkan pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang, namun mekanisme seleksi terhadap setiap calon hakim Mahkamah Konstitusi
menjadi otoritas dan mengikuti aturan main dari masing-masing lembaga
tersebut. Dengan demikian keterlibatan Komisi Yudisial dalam rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pembentukan Panel Ahli untuk
melakukan uji kelayakan dan kepatutan merupakan suatu bentuk campur tangan, atau tindakan yang berlawanan dengan Konstitusi supremasi
konstitusi, dengan kata lain Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat 1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Bahwa mempunyai wewenang lain, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 24B ayat 1 tersebut, hanya sebatas yang berkaitan
dengan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim Mahkamah Agung beserta hakim lembaga peradilan yang berada di bawahnya, tidak
ada hubunganya sama sekali dengan mekanisme rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi.
Etika sangat berkaitan erat dengan hak dan kewajiban moral ahklak seseorang yang dianut dan berlaku secara internal bagi lingkungan
organisasi lembaga yang bersangkutan dan tidak pernah dimaksudkan berlaku secara eksternal. Oleh karena itu penyusun dan penetapan Kode
Etik yaitu aturan yang berhubungan dengan penggunaan akal budi perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan
dari tingkah laku seseorang terhadap orang lain, menjadi domainya organisasi atau lembaga yang bersangkutan dan tidak ada urusannya
dengan organisasi atau lembaga lainnya kode etik hakim, jaksa, penasehat hukum, kepolisian, notaris, dokter, dll.
Etika atau yang lazim disebut susila kesusilaan, adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana manusia memiliki kepatutan
hidup dalam organisasi kemasyarakatannya, atau bermakna terhadap kelakuan yang baik yang berwujud kaidah norma yaitu peraturan yang
secara sengaja dibuat dan disepakati guna mengatur sikap, perilaku dari setiap anggota di dalam organisasinya dan sudah barang tentu bagi
anggota yang melanggarnya akan dikenakan sanksi. Aturan ini
sesungguhnya dimaksudkan pula sebagai suatu pernyataan agar setiap anggota dalam organisasi yang bersangkutan mampu memberikan
pelayanan yang prima kepada masyarakat umum;
Oleh karenanya patut dipertanyakan keterlibatan Komisi Yudisal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat 1 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, yang secara bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi menyusun dan menetapkan Kode Etik bagi Hakim Konstitusi.
Ahli menegaskan kembali, penysunan dan penetapan Kode Etik merupakan hak penuh yang menjadi urusan secara internal bagi setiap
organisasi, termasuk Mahkamah Konstitusi, dan karenanya keterlibatan Komisi Yudisial dalam hal tersebut sesungguhnya merupakan bentuk
intervensi terhadap organisasi atau lembaga lain, yang justru dapat dimaknai bahwa Komisi Yudisial tidak menggambarkan adanya sinergi
dalam membangun hubungan sesama organisasi atau lembaga penyelenggara pemerintahan negara.
Sebagai akhir keterangan ini, Ahli sangat berharap Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan semua substansi Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang, karena bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1, Pasal 24B ayat 1, dan Pasal
24C ayat 3.
2. Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum