substansinya juga bersangkut paut dengan kepentingan rakyat dan hak- hak warga negara yang harus dilindungi oleh negara. Keempat, bahwa
ada kekhawatiran atau dugaan, jika hakim-hakim konstitusi menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 akan bertindak subyektif atau tidak
fair, maka dugaan atau prasangka seperti ini kurang beralasan, karena dalam sistem bernegara yang sudah sangat demokratis seperti dewasa
ini, masyarakat dapat langsung melakukan kontrol dan memberikan penilaian terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap
subyektif atau tidak fair. Yang ingin Ahli kemukakan terkait dengan masalah ini adalah, bahwa akibat yang ditimbulkan jika tidak menerapkan
asas hukum: pengadilan atau hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak lengkap,
atau tidak ada, melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya dengan akibat yang ditimbulkan karena tidak menerapkan
asas hukum: nemo iudex in causa sua, masih jauh lebih berbahaya diabaikannya atau dikesampingkannya asas yang pertama ‘pengadilan
atau hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak lengkap, atau tidak ada,
melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya.
2. Pendapat tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial menurut UUD NRI Tahun 1945
Berbagai kepustakaan hukum ketatanegaraan di Indonesia menyebutkan bahwa kedudukan Komisi Yudisial menurut UUD 1945 adalah sebagai
lembaga negara penunjang auxiliary state body. Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang memberikan dukungan supporting kepada
lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman yudikatif. Ia, karena itu, bukan merupakan lembaga negara utama main stats body
yang kedudukannya setara atau equal dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mengenal hal ini, Ahli kira Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006 dengan jelas telah mempertegas posisi atau kedudukan Komisi Yudisial yang demikian itu. Dan apabila
Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 dicermati, baik dari segi sejarah pembentukannya maupun dari segi perumusannya secara gramatikal,
maka kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara penunjang
supporting state body itu, tidak lain adalah untuk menunjang fungsi yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Agung, bukan fungsi yudikatif
yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, Ahli
melihat, bahwa pengaturan tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial terkesan dipaksakan oleh Presiden dengan menggunakan instrumen
hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu Nomor 1 Tahun 2013. DPR dan Presiden juga terkesan memaksakan pengaturan
tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial ini dengan cara menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 itu menjadi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2014. Upaya memaksakan kehendak ini menurut pandangan Ahli bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang
Dasar NRI Tahun 1945, karena paling tidak 2 dua hal. Pertama, tidak dipahami baik oleh Presiden maupun oleh DPR, bahwa secara histori
pada saat pembahasan Rancangan Perubahan UUD 1945, dan juga berdasarkan UUD 1945, Komisi Yudisial itu adalah lembaga penunjang
auxiliary state body. Mengenai hal ini lihat pula Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006. Kedua, Komisi Yudisial berdasarkan
Pasal 24B ayat 1 memiliki fungsi atau kewenangan yang secara limitatif telah diatur dalam UUD 1945.
Upaya untuk memaksakan fungsi Komisi Yudisial agar ikut serta dalam proses seleksi kelayakan dan kepatutan, termasuk juga dalam institusi
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dapat dicermati, misalnya pada: 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang memberikan wewenang untuk
membentuk Panel Ahli, padahal UUD 1945, tidak pernah mengatur dan memerintahkannya; 2 Komposisi Panel Ahli yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial 4 empat orang, padahal lembaga-lembaga negara lainnya hanya 1 satu orang [lihat, Pasal 18C ayat 2 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014]; 3 Komisi Yudisial diperintahkan untuk bersama-sama Mahkamah Konstitusi menyusun dan menetapkan kode etik dan pedoman
perilaku hakim konstitusi [Pasal 27A ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014], termasuk memerintahkan untuk membentuk Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi MKHK bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi Pasal 27A ayat 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014.
Kebijakan negara berupa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini substansi tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
akan tetapi juga a histori dan tidak sesuai dengan maksud pembentuk Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada saat pembahasan di
sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Pendapat tentang Pengaturan Kewenangan Komisi Yudisial untuk membentuk Panel Ahli