232
hal-hal tersebut? Di bawah ini akan dijelaskan kebijakan-kebijakan pajak yang dapat diambil, yaitu sebagai berikut:
2.1. Penegakan Hukum
Opsi kebijakan pertama adalah penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Sejatinya, terdapat banyak faktor yang memengaruhi
kepatuhan pajak, yang pada dasarnya bisa diupayakan melalui dua hal, yaitu: secara sukarela voluntary compliance maupun secara ‘paksaan’ enforced
compliance
. Kepatuhan sukarela berasal dari suatu rasa percaya dan keinginan untuk berkontribusi tanpa suatu paksaan. Hal ini tercipta dari
bagaimana perlakuan pemerintah terhadap wajib pajak dalam penyediaan barang publik maupun kemampuan Ditjen Pajak dalam hal pelayanan dan
pemberian pemahaman sosialisasi.
Sedangkan enforced compliance bisa dilakukan dengan suatu paksaan dan penegakan hukum dari otoritas pajak untuk menilai tingkat kepatuhan wajib
pajak. Kepatuhan melalui penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh besaran sanksi serta kemungkinan untuk terdeteksi melalui pemeriksaan audit.
Di Indonesia, tingginya angka hard-to-tax sector serta rendahnya tingkat coverage
pemeriksaan hingga di bawah 5, telah menciptakan ketidakmampuan dalam mengoptimalkan kepatuhan wajib pajak. Kapasitas
Ditjen Pajak dalam menegakkan kepatuhan hukum pajak ditenggarai menjadi salah satu penyebabnya. Di tahun 2014, rasio antara petugas pajak terhadap
jumlah penduduk adalah sebesar 1: 7.884, artinya 1 petugas pajak harus melayani 7.884 penduduk tiap tahunnya. Rasio ini berada jauh di bawah rasio
di negara-negara maju, yang berkisar antara 1 : 732 penduduk Jerman hingga 1 : 3.666 Amerika Serikat. Isu keterbatasan kapasitas ini tidak dapat
dilepaskan dari minimnya otonomi kewenangan yang dimiliki Ditjen Pajak dalam bidang SDM, organisasi, dan penganggaran.
Kapasitas lembaga Ditjen Pajak sendiri belumlah cukup. Data akan sangat dibutuhkan dalam memetakan perilaku kepatuhan dari wajib pajak compliance
behavior
. Kemauan mengungkap data sebagai wujud dari transparansi juga
merupakan elemen penting dari enhanced relationship, yaitu suatu hubungan yang dibangun atas dasar rasa saling percaya mutual trust antara wajib pajak
dan otoritas pajak. Otoritas pajak membutuhkan suatu data yang relevan,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
233
terkini, dan andal dalam implementasi risk management yang kemudian dapat dipergunakan sebagai alat memetakan potensi penerimaan, alat verifikasi
dalam pemeriksaan, hingga upaya penagihan wajib pajak. Informasi mengenai harta wajib pajak juga dapat digunakan sebagai basis cross-referencing
maupun kesesuaian data data matching untuk mendeteksi adanya perilaku
tax evasion atau juga praktik pencucian uang yang melibatkan tax fraud. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika terdapat korelasi positif antara ketersediaan data dan tingkat kepatuhan
. Dalam konteks Indonesia, tidak adanya integrasi data keuangan,
kependudukan, serta perpajakan telah membuat Ditjen Pajak sulit untuk membuktikan kebenaran SPT PPh Tahunan wajib pajak. Lebih lanjut lagi,
upaya mengakses data perbankan untuk kepentingan pajak terbentur persoalan hukum dan penolakan dari publik.
Dengan demikian, opsi penegakan hukum pada dasarnya tidak feasible terutama mengingat kapasitas kelembagaan Ditjen Pajak serta terbatasnya
akses data dan informasi.
2.2. Menunggu Perubahan Lanskap Pajak di Masa yang Akan Datang