161
semakin lebar, namun juga gagal menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan
negara kaya anggota OECD, karena penerimaan pajak OP karyawan bahkan hanya 1 saja dari keseluruhan penerimaan. Lalu dalam situasi demikian,
mengapa kebijakan pengampunan pajak diambil? Program Pengampunan Pajak sebagai second best policy ditempuh karena dapat menjadi jalan keluar yang
mengatasi kebuntuan, yang disebabkan penegakan hukum yang belum optimal karena berbagai kendala, ekstensifikasi pajak yang tidak berjalan mulus karena
keterbatasan kewenangan dan akses data, administrasi perpajakan yang belum sempurna, dan terdapat potensi harta milik WNI yang sangat besar dan disimpan
di luar negeri – sebagaian karena praktik penghindaran pajak – sehingga kita kesulitan memajaki. Di aras lain, dinamika perpajakan internasional menunjukkan
tegangan antara tuntutan transparansi dan pembagian penerimaan pajak yang adil antarnegara dan skema penghindaran pajak yang semakin canggih dan
menciptakan kondisi stateless income penghasilan yang sulit dipajaki. Ada kesenjangan antara mewujudkan yang ideal dan memanfaatkan momentum
secara taktis dan realistis.
2.0 PENGERTIAN PAJAK DAN TUJUAN PENGENAANNYA
Tujuan pengenaan pajak dapat kita pahami dari pengertian dan fungsi pajak itu sendiri. Secara umum, pengertian pajak adalah iuran wajib atau
pungutan yang dibayar oleh rakyat kepada pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pengeluaran
umum pemerintah yang balas jasanya tidak dirasakan langsung oleh rakyat .
Beberapa pengertian pajak yang sering disampaikan ke publik: • Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan UU KUP sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
• Menurut P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum Undang-Undang dengan tidak mendapat
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
162
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.
• Menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, S.H., pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan
jasa timbal balik secara langsung yang dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari pengertian pajak tersebut, dapat kita ketahui bahwa pajak memiliki unsur- unsur sebagai berikut:
• Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Ini sesuai dengan Pasal 23A
UUD 1945 perubahan ketiga yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam undang-undang”
; • Tidak mendapatkan jasa timbal balik kontraprestasi yang dapat ditunjukkan
secara langsung; • Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan;
• Pemungutan pajak dapat dipaksakan, yang berarti bahwa pelanggaran atas aturan perpajakan akan berakibat adanya sanksi, bahkan penagihan
utang pajak dapat dilakukan secara paksa.
Dari pengertian pajak tersebut, kita ketahui bahwa pajak memiliki fungsi budgetair anggaran, yaitu untuk mengisi KasAnggaran Negara bagi pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu pajak juga memiliki fungsi regulerend, yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara
dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Sifat memaksa yang secara generik melekat pada pengertian pajak kerap disalahpahami sebagai pertentangan
dengan sifat mengampuni, tanpa memahami sejarah ide dan latar belakang pemikiran yang melandasi
. Pasal 23A UUD 1945 mengambil apa adanya karakteristik “memaksa” dari pajak dan menekankan diatur dalam Undang-
Undang justru untuk menegaskan bahwa pemungutan pajak yang bersifat memaksa rawan jatuh dalam tindakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan,
maka harus dirumuskan dengan Undang-Undang melalui perwakilan rakyat taxation without representation is roberry.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
163
3.0 PAJAK DALAM PERSPEKTIF TEORI KEADILAN 3.1. Asal Usul Pajak, Karakteristik, dan Perkembangannya
Charles Tilly pernah mengajukan pertanyaan,”Meskipun sebagian besar dari kita merasakan seperti dirampok pemerintah dengan alasan yang tidak jelas,
mengapa kita tetap membayar pajak, pula para leluhur kita? ”
Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan pada pemikiran Joseph A. Schumpeter – ekonom masyhur dari Austria– yang secara meyakinkan menulis “Spirit sebuah
bangsa, tingkat budaya, struktur sosial, dan pelaksanaan kebijakannya – semuanya ini tertulis dalam sejarah perpajakannya. Ia yang paham bagaimana
mendengar pesan ini akan mampu menemukan guntur peradaban yang lebih nyaring daripada di tempat mana pun.” Schumpeter benar belaka karena ia
mencermati derap peradaban yang digerakkan oleh perang yang selalu membutuhkan anggaran dan karenanya pajak menjadi penting. Pajak adalah nadi
peradaban yang meskipun keberadaannya tidak disukai seperti mala tetapi harus ada demi tegaknya peradaban itu necessary evil.
Charles Adams – sejarawan pajak – dalam Fight Fraud Flight: the Story of Taxation
1982 menegaskan bahwa jatuh bangunnya kekuasaan dan peradaban sejak Mesopotamia, Mesir, Yunani, Romawi, hingga Islam, Abad Pertengahan,
sampai Eropa modern disebabkan karena kebijakan pajak yang agresif, moderat, atau terlalu longgar. Menurut penelitiannya, sejarah pajak setidaknya dapat
dilacak sejak 6000 SM, ketika Urukagina berkuasa di Babilonia. Saat itu muncul slogan “Kamu boleh punya Tuhan, kamu boleh punya Raja, tapi manusia takut
pada Petugas Pajak
”. Ia adalah raja yang baik karena meniadakan pemungut pajak, tetapi sejak itulah Babilonia jatuh ke tangan musuh. Kemudian Mesir
mempraktikkan sistem administrasi pajak yang rapi. Mereka mengenal pencatatan, petugas pemungut, penetapan pajak, dan keberatan di pengadilan.
Dari prasasti purba Rosetta Stone terekam jejak peradaban tinggi Mesir: bagaimana, siapa, dan apa yang dipajaki. Di sini pula tercatat tax amnesty yang
diberikan Ptolemus V. Mesir Kuno merupakan bayang-bayang bagi administrasi pajak modern.
Rostovtzeff -ahli sejarah Mesir- menilai kemunduran Mesir dikarenakan perilaku birokrasi pajak yang memungut pajak terlalu tinggi dan korup sehingga memicu
penghindaran pajak. Di aras lain sejarah Israel kuno juga mencatat kisah agung. Istilah ‘tithe’ sebagai asal usul istilah ‘tax’ muncul pertama kali. Tithe adalah pajak
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
164
bagi imam di rumah ibadah dan kaum miskin. Dalam “tithe” ini, dimensi vertikal- horisontal, habluminallah-habluminannas, sakral-profan – memperoleh makna
hakiki untuk pertama kalinya. Israel juga merayakan pesta keagamaan Hanukkah sebagai kenangan pemberontakan pajak terhadap penguasa Mesir.
Sejarah pun mencatat kecerdasan Yunani membangun sistem perpajakan. Para pemikir Yunani Kuno mencoba keluar dari sistem tiran dengan menciptakan
sistem pajak yang adil. Penghargaan pada hak milik pribadi sebagai basis kebebasan adalah prestasi Yunani—demikian sejarawan Gustav Gotz menulis.
Pajak tidak dikenakan secara langsung kepada individu tetapi pada transaksi perdagangan. Ini adalah cikal bakal mazhab pajak tak langsung – yang kelak
dikembangkan Jean-Baptiste Colbert di era Raja Louis XIV di Prancis. Yunani memungut pajak tanpa birokrasi, melainkan melalui mekanisme religius yang
disebut liturgy. Kebutuhan akan fasilitas publik dibicarakan bersama dan beban ditanggung secara proporsional. Pengemplang pajak didenda hingga sepuluh kali.
Plutarchus dalam The Life of Aristides mencatat Aristides sebagai Bapak Keadilan Pajak. Ia tidak saja menetapkan pajak dengan penuh integritas dan adil tetapi
juga melalui cara yang membuat senang semua pihak. Hingga akhirnya Perang Peloponnesia mengakhiri kejayaan sistem perpajakan Yunani. Kebutuhan uang
untuk perang mendorong pemungutan pajak yang masif. Publicani—istilah untuk petugas pajak zaman itu, tak terhindarkan melakukan pemerasan terhadap
warga. Babak akhir sejarah perpajakan kuno dicatat Romawi. Fase awal Romawi ditandai
pemungutan cukai untuk membiayai perang. Romawi menemukan klasifikasi tarif pajak: progresif, proporsional, dan regresif. Pilar pemungutan pajak adalah
publicani
, yang secara khusus ditujukan ke wilayah jajahan. Sejarah mencatat Augustus adalah ahli strategi pajak terbaik sepanjang masa. Ia mengambil alih
kontrol terhadap manajemen uang pajak, melakukan desentralisasi kewenangan pemungutan, dan pembagian yang lebih adil. Hingga akhirnya
Romawi runtuh karena terpaksa menaikkan pajak. Walter Goffart dalam Caput and Colonate
1974 berpendapat kejatuhan Imperium Romawi akibat penghindaran pajak yang masif. Romawi adalah pengulangan paripurna Mesir
dan Yunani. Kehadiran Islam juga meramaikan perebutan wilayah di kawasan Asia Kecil dan
Eropa, dan menorehkan sejarah pajak. Berbeda dengan bias yang selama ini
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
165
dipahami, kehadiran Islam di wilayah Romawi disambut hangat sebagai bentuk pembebasan rakyat dari penindasan pajak. Pemimpin Islam pandai mengambil
hati rakyat dengan mengurangi jenis pajak, menurunkan tarif dan membebaskan yang tak mampu. Pencapaian brilian Islam—terutama di era Khalifah Ummayah—
adalah menggunakan kebijakan pajak sebagai sarana konversi. Sistem pajak Islam yang lebih adil mendorong non-Muslim untuk berpindah memeluk Islam
tanpa paksaan. Ini sekaligus merehabilitasi tuduhan bahwa Islam melebarkan pengaruh dengan pedang dan ancaman. Kisah Khalifah Ummayah ini sekali lagi
menabalkan betapa vitalnya pajak dalam sejarah peradaban.
Bertolak dari rintisan Schumpeter dan penelusuran Adams, satu dasawarsa terakhir tumbuh minat yang meluas di bawah mazhab new fiscal sociology yang
memahami pajak dengan pendekatan historis-komparatif dari berbagai simpul: sosial-budaya, ekonomi, dan politik.
12
Dari perspektif sosiologi fiskal setidaknya dapat dirunut tiga akar pendekatan mengapa pajak penting dalam peradaban
manusia. Pertama, modernization theory yang dimotori adalah Edwin R.A. Seligman. Pendekatan ini meyakini modernisasi sistem ekonomi akan mendorong
pengembangan sistem perpajakan dan demokrasi. Dengan kata lain kualitas sistem perpajakan tergantung pada pembangunan ekonomi. Pendekatan ini
meskipun penting namun kurang meyakinkan karena modernisasi ternyata menghasilkan perbedaan sistem perpajakan, bahkan antarnegara yang
melakukan modernisasi. Kedua elite theory yang dipengaruhi pemikiran ekonom Italia Amilcare Puviani dan dikembangkan oleh James Buchanan
dan Gordon Tullock. Pajak menjadi penting karena berkaitan dengan kebutuhan pemerintah membiayai pembangunan dan belanja publik. Pendekatan
ini mendasarkan argumen pada hegemoni elite yakni persetujuan warganegara terhadap kebijakan elite yang dihasilkan oleh proses demokratik, meskipun pada
akhirnya kebijakan ini menciptakan ruang korupsi dan perburuan rente.
13
Ketiga, militarist theory
yang dirintis Joseph A. Schumpeter dan diilhami pemikiran Herbert Spencer dan teoretikus Jerman dan Austria pada awal abad ke-20.
Mengapa perhatian pada pajak sedemikian penting? Penganut militarist theory berpendapat bahwa ini disebabkan kompetisi antarnegara yang mendorong
penaklukan melalui militer. Konsekuensinya, negara pun mendapat legitimasi untuk memungut pajak sebagai sumber pembiayaan.
Ketiga pendekatan tradisional ini menempatkan pajak sebagai instrumen yang
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
166
dimiliki negara dan dipraktikkan secara top down bahkan dapat dipaksakan kepada warga negaranya
. Karakteristik memaksa melekat sejak pajak pertama kali dikenal dalam sejarah dan menjadi taken for granted sebagai prasyarat
eksistensi sebuah komunitasnegara. Tak puas dengan ketiga pendekatan tersebut, para pemikir mazhab new fiscal sociology merancang sebuah metode
pendekatan yang lebih komprehensif dan kontekstual. Didorong motif mengatasi keterbatasan teori sosiologi tradisional, teoretikus new fiscal sociology
meletakkan pokok perhatian pada tiga hal. Pertama, fokus pada informal social
institutions karena praktik perpajakan seringkali tertanam relasi sosial informal
bukan yang tertulis dan terlembaga. Kedua, studi yang menaruh perhatian sungguh-sungguh terhadap konteks dan sekuensi historis. New fiscal sociology
memperlakukan aneka fakta dan disiplin ilmu sebagai sebuah tenunan gagasan yang berkait kelindan dan saling mempengaruhi, bukan sesuatu yang berdiri
sendiri. Ketiga, perhatian yang lebih besar pada level kemasyarakatan societal daripada individual. Ranah seperti medan sosial, sistem perburuhan, corak
ekonomi, sistem demokrasi dikaitkan erat dengan gejala perang, perkembangan negara, dan solidaritas sosial. Semua aspek dan dimensi itu
berpengaruh terhadap perkembangan sistem perpajakan.
3.2. Pajak dalam Negara Demokrasi