Aspek Ekonomi Penerbangan Internasional Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944

26 tercipta keselamatan dan keamanan yang tinggi yang merupakan peluang dalam meraih keuntungan. Organisasi ini dapat keuntungan ekonomi bila perusahaan ini bisa melaksanakan standar-standar keselamatan yang tinggi. Perusahaan ini bisa membuat peraturan sendiri yang lebih tinggi dari peraturan standar. Organisasi ini disebut organisasi proaktif. Dalam kategori kelima adalah organisasi yang memadukan keselamatan dan keamanan penerbangan secara terintegrasi secara penuh dalam bisnisnya. Keselamatan telah terintegrasi penuh kedalam sistem. Perusahaan berpikir tentang bussiness sustainbility dan memaksimalkan profit dalam jangka panjang. Strateginya adalah membangun keselamatan dan isu-isu sosial lainnya dalam model bisnis perusahaan. Organisasi terbaik ini disebut organisasi generatif. 35

C. Aspek Ekonomi Penerbangan Internasional Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944

Pada dasarnya masalah ekonomi mengatur terkait rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas tempat duduk, dan tarif transportasi udara. Dalam konfrensi Chicago masalah terkait dengan pembahasan ekonomi ini mengalami banyak kesulitan. Amerika berpendapat bahwa hal tersebut biarlah diatur sendiri oleh perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar supply Demand. Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan kemampuannya, bilamana mampu bersaing biarlah berkembang dengan pesat, tetapi bilamana tidak mampu biarlah bangkrut dengan sendirinya. 35 Yaddi Supriyadi, Op.cit, hal.8. Universitas Sumatera Utara 27 Sedangkan posisi Inggris menyatakan aspek ekonomi biarlah pemerintah yang mengatur. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan pemerintah Inggris. Posisi demikian memang disadari oleh Inggris tidak ada jalan lain kecuali arus melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada lain termasuk dengan Amerika Serikat. Usul gabungan join proposal yang disampaikan oleh australia dengan Selandia baru adalah dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamya dimilki oleh negara negara anggota organisasi penerbangan sipil internsional. Perusahaan penerbangan yang dibentuk tersebut melakukan rute-rute penerbangan internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di wilayah bersangkutan. Usul yang diajukan oleh Australia dan Selandia baru ini ditolak oleh konfrensi namun usul ini mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi Chicago 1944. 36 Semua usul yang dikemukakan ditolak oleh konferensi penerbangan sipil internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944. 37 Menurut Pasal tersebut “tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan di negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin 36 Nothing in this Convention shall prevent two or more contracting states from constituting joint air transport operating organiczation or international operating agencies and from pooling their air serviceces on any routes or in any regions, but such organization or agenies and such pooled services shall be subject to all the provisions of this Convention. Including those relating to the registration of aggrements with the council. The Councill shall determine in what mannerthe provisions of this convention relating to nationality or aircraft shall apply to aircraft operated by international operating agencies. 37 Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 “No Scheduled international air services may be operated over or into the teritory of a contaracting state, except with the special permission or other authorization of that state, and in accordance with the terms of such permission or autoriztion. Universitas Sumatera Utara 28 demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbal balik yang akan dibahas pada kesempatan yang lain.” Di samping Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 yang mengatur pertukaran penerbangan internasional secara multilateral adalah Pasal 5 Konvensi Chicago 1944. Menurut pasal tersebut, “pesawat udara negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional yang melakukan penerbangan sipil internasional tidak berjadwal dapat melakukan ke negara anggota lainnya tanpa memperoleh izin lebih dahulu, tetapi negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan flown states berhak menentukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerbangan internasional tidak berjadwal tersebut. Dalam praktiknya persyaratan-persyaratan tersebut begitu sulitnya sehingga ketentuan dalam Pasal 5 Konvensi Chicago 1944 praktis tidak dapat dilaksanakan atau dapat dikatakan Pasal yang mati dead Letter. Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan secara multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, karena itu konform Aggrement yang akan digunakan sebagai panduan dalam referensi penerbangan sipil Internsional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan International Air Service Transit Aggrement dan International Air Transport Aggrement akan dibahas lebih lanjut. Di samping itu, konfrensi penerbangan sipil Internasional juga mengesahkan dokumen tentang International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944, interim Aggrement on International Civil Aviation Organization yang melahirkan Provisional International Civil Aviation Organization dan Chicago standard Form Aggrement yang akan digunakan Universitas Sumatera Utara 29 sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal balik. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa konfrensi Chicago yang ditandatangani pada 7 desember 1944 tersebut gagal menyetujui pertukaran secara multilateral mengenai hak-hak penerbangan, untuk mengurangi tingkat kegagalan tersebut, Konfrensi Chicago menyepakati persetujuan penerbangan lintas yang tercantum dalam international Air Service Transit Aggrement IASTA, dan International Air Transport Aggrement IATA sebagai berikut.

a. International Air Srvices Transit greement IASTA

persetujuan penerbangan lintas internasional atau International Air Service Transit agreement IASTA 38 of 1944 yang ditanda tangani di Chicago tersebut merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral mempertukarkan hak-hak penerbangan five freedom of the air , yang sering dipertukarkan dalam perjanjian angkutan udara internasional. Hak-hak kebebasan udara tersebut adalah kebebasan udara ke-1 1 st freedom of the air, yaitu hak untuk terbang melintasi over fly negara lain tanpa melakukan pendaratan, dan hak kebebasan udara ke-2 2 nd freedom of the air, yaitu hak untuk melakukan pendaratan di negara lain untuk keperluan operasional technical landing, dan tidak berhak untuk mengambil dan atau menurunkan penumpang danatau kargo secara komersial.

b. International Air Transport Agerement IATA

Persetujuan trasportasi udara internasional atau International Air Transport Aggreement IATA of 1944 yang ditanda tangani di Chicago pada 7 38 Lihat ICAO Doc.7500, International Air Services Transit aggrement, signed at Chicago on 7 December 1944. Universitas Sumatera Utara 30 Desember 1944 tersebut juga merupakan perjanjian internasional secara multilateral yang mempertukarkan hak-hak kebebasan udara five freedom of the air masing-masing kebebasan udara ke1,2,3,4,dan 5. 39 Kebebasan udara ketiga 3 rd freedom of the air adalah hak untuk mengangkut penumpang, barang, dan pos secara komersial dari negara pendaftar pesawat udara ke-4 4 th freedom of the air adalah hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari negara yang berjanji lainnya ke negara pesawat udara didaftarkan, sedangkan kebebasan udara ke lima 5 th freedom of the air ke negara ketiga di luar negara yang berjanji. 40 Kebebasan udara tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian angkutan udara internasional timbal balik bilateral air transport agreement. 41 Sebenarnya secara teoritis terdapat delapan kebebasan udara eight freedom of the air, namun dalam praktik hanya terdapat lima hak kebebasan udara five freedom of the air. Kebebasan udara keenam 6 6th freedom of the air adalah pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial dari negara ketiga melewati negara tempat pesawat udara didaftarkan, kemudian diangkut kembali ke negara tujuan, misalnya penumpang dari Melbourne Australia diangkut oleh Garuda Indonesia melalui Jakarta, kemudian diangkut ke Bangkok Thailand kebebasan udara ke 7 7 th freedom of the air adalah 39 Kebebasan udara traffic right 1,2,3,4 dan 5, dijelaskan secara lengkap dalam McWhinney and Bradley Eds., Freedom of the Air. Leyden: Oceana Publication.Dobb Press NY 1968. 40 Perjanjian transportasi udara timbal balik dan praktik angkutan udara internasional dapat dibaca Lambtus Hendrik Slotemaker, Freedom Of Passage for International Air Services. Leiden:A.W sijthoff’s Uitgevermijs NV, 1932. 41 Sesudah perang dunia ke II, pembuatan perjanjian angkutan udara timbal balik biasanya mengacu pada Bermuda agreement of 1946. Suatu perjanjian yang dibuat antara Inggris dengan amerika Serikat. Baca Diamond B.R. The Bermud Aggrement Revisited: A Look at the Past, Present and future of Bilateral Air Transport Agreement Vol.413 ALC 419-496 1975. Universitas Sumatera Utara 31 pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial semata-mata di luar negara yang mengadakan perjanjian, misalnya dalam perjanjian antara Indonesia dengan Thailand, suatu pengangkutan dari melbourne Australia ke Singapura, sedangkan kebebasan udara ke-8 8 th freedom of the air adalah pengangkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah negara berdaulat yang biasa disebut dengan cabotage . Cabotage adalah hak prerogatif negara berdaulat untuk menentukan transportasi dalam negeri guna kemanfaatan perusahaan penerbangan nasional. Hak tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing mana pun, ibaratnya uang dari kantong kiri akan dipindahkan ke kantong kanan, pasti tidak akan menyuruh kepada anak orang lain, melainkan menyuruh anaknya sendiri. 42 42 H.K.Martono, Op.cit, hal.63. Universitas Sumatera Utara 32 BAB III PENGATURAN ASPEK TEKNIS DAN OPERASIONAL PENERBANGAN SIPIL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944

A. Kedaulatan Negara Dalam Konteks Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

3 100 84

Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi Internasional

2 116 109

TANGGUNG JAWAB HUKUM MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIDERITA OLEH PENUMPANG PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA DI INDONESIA.

0 2 9

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP PENUMPANG ATAS TERTUNDANYA PENERBANGAN (DELAY) BERDASARKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA.

1 5 49

Tanggung Jawab Negara Untuk Keselamatan Lalu Lintas Penerbangan Di Timor Leste Berdasarkan Chicago Convention 1944 Dan Timor Leste Civil Aviation Basic Law.

0 0 14

TANGGUNG JAWAB SQ TERHADAP RUSAKNYA BAGASI MILIK AM KARENA KELALAIAN MASKAPAI PENERBANGAN BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.

0 0 1

STATUS HUKUM PESAWAT UDARA SIPIL YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA PENGHANCUR BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944.

0 0 2

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 2 36

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 16