32
BAB III PENGATURAN ASPEK TEKNIS DAN OPERASIONAL
PENERBANGAN SIPIL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944
A. Kedaulatan Negara Dalam Konteks Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944
Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi supreme authority
bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas- luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus
memperhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya. Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara,
bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun keluar, mengatur hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain,
membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksananya, mengatur politik keluar negeri maupun dalam negeri, mengadakan hubungan internasional dengan
negara lain, melindungi warga negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak mempunyai
kewarganegaraan stateless, mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan
sosial lainnya.
43
Dalam Konvensi Montevedeo 1933,
44
negara berdaulat harus memenuhi unsur-unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat
mengadakan hubungan internasional, mempunyai wilayah darat, laut maupun
43
H.K.Martono, Op.cit, hal.64.
44
Convention on The right and Dutie on States.
Universitas Sumatera Utara
33
udara,
45
walaupun persyaratan wilayah tidak merupakan persyaratan mutlak
46
untuk negara berdaulat. Negara berdaulat melaksanakan prinsip yurisdiksi teritorial territorial jurisdiction principle di samping prinsip-prinsip yurisdiksi
lainnya.
47
Wilayah kedaulatan suatu negara dapat diperoleh karena penguasaan Ocupation,
aneksasi, pertumbuhan accrestion, Cessie, kedaluwarsa dan perang. Perolehan wilayah karena pengusaan seperti Eastern greenland yang
disengketakan oleh Denmark dan Swedia, Pulau Palmas Yang disengketakan antara Amerika Serikat dengan Belanda, Pulau Ligitan dan Sipadan yang
disengketakan antara Indonesia dengan Malaysia, sedangkan perolehan karena aneksasi misalnya Kuwait diserbu dan diduduki oleh Irak kemudian dijadikan
Provinsi ke-19, Korea Utara diduduki oleh Jepang pada 1910. Perolehan wilayah karena pertumbuhan accrestion berdasarkan teori hukum Romawi terjadi secara
alamiah, sedangkan perolehan wilayah karena cessie misalnya Alaska yang diberikan Uni Soviet kepada Amerika Serikat, Lotharingen diberikan oleh Prancis
kepada Jerman. wilayah kedaulatan Republik Indonesia diperoleh karena perang kemerdekaan Indonesia dengan Belanda.
48
a. Batas Wilayah Udara
1. Batas Wilayah Udara Secara Horizontal Batas wilayah udara secara horizontal mengacu kepada Pasal 2 konvensi
Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan konvensi Chicago
45
Menurut Konvensi Montevedeo 1933, persyaratan negara berdaulat adalah a permanent populations; a defined territory; a government and a capacity to enter into relation with other
states.
46
Dalam praktik hukum internasional, Israel dalam Tahun 1948 tidak mempunyai wilayah, tetapi tetap diakui sebagai negara berdaulat.
47
Prinsip-prinsip yurisdiksi lainnya adalah Passive National Jurisdiction principole, active national jurisdiction principle Universal jurisdiction principle.
48
H.K.Martono, Op.cit, hal.65.
Universitas Sumatera Utara
34
1944 yang dimaksudkan wilayah adalah batas wilayah negara state teritory, walaupun tidak secara tegas disebutkan, semua negara mengakui bahwa tidak ada
negara negara manapun yang berdaulat di laut lepas high seas,
49
demikian dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional Permanent Court of International
Justice dalam kasus sengketa Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut
ditafsirkan “The natural meaning of the term is its geographical meaning” yaitu ruang dimana terdapat “udara air”. Lingkup yurisdiksi teritorial suatu negara
diakui dan diterima oleh negara anggota konvensi Chicago 1944 terus keatas sampai tidak terbatas.
Dalam hubungannya dengan kedaulatan laut teritorial, masih banyak negara-negara yang menuntut lebar laut teritorial ke arah laut lepas.
50
Mereka menuntut lebar laut teritorial sampai 200 mil laut ke arah laut lepas seperti
Inggris. Tuntutan lebar laut teritorial ke arah laut lepas demikian dapat dimengerti karena adanya tuntutan negara pantai terhadap Zona Ekonomi Ekslusif ZEE
untuk memperoleh hak berdaulat atas sumber daya alam hayati maupun non hayati, apalagi dengan adanya praktik secara sepihak Amerika Serikat untuk
menetapkan jalur tambahan di ruang udara yang dikenal dengan Zona Identifikasi Pertahanan Udara Air Defence Identification Zone- ADIZ yang kemudian diikuti
oleh Kanada dengan konsep CADIZ Canada Air Defense Identification Zone . Amerika Serikat dalam ADIZ menyatakan bahwa setiap pesawat udara
yang terbang ke Amerika Serikat, dalam jarak 200 mil Laut sebelum memasuki wilayah Amerika Serikat harus jati Diri Ident. Mengenai tindakan sepihak oleh
49
Cheng.B, The Law of International Air Transport. London:Institute of World affair, 1982 hal.120-127.
50
Milde, United Nations Convention on the law of the sea : Possible Implication For air International Law.
Lihat Matte N.M.,E.d., Annals of Air Law and Space Law, Vol.III. Toronto, Kanada: The Carswell Company Ltd, 1983, hal.168.
Universitas Sumatera Utara
35
Amerika Serikat dan Kanada berbagai penulis berpendapat tindakan tersebut tidak ada jaminan dan merupakan pelanggaran hukum internasional,
51
sedangkan penulis lain berpendapat bahwa tindakan sepihak oleh Amerika Serikat dan
Kanada tersebut merupakan “precedent” berdasarkan teori dan perlindungan yang sejalan dengan konsep jalur tambahan contiquous zone dalam hukum laut
internasional. Walaupun tindakan sepihak oleh Amerika Serikat dan Kanada tersebut
masih dipertanyakan legalitasnya, kedua negara tersebut tetap mempertahankan jalur tambahan di ruang udara tersebut meskipun tidak berdaulat secara penuh dan
utuh di jalur tambahan tersebut. Mengenai wilayah udara di Amerika Serikat juga diatur dalam section 101 Federal Aviation Act of 1958.
52
Menurut Section 101 Federal Aviation Act of 1958
tersebut wilayah udara Amerika Serikat terdiri dari beberapa negara, distrik Columbia dan beberapa wilayah di bawah otoritas
Amerika Serikat termasuk laut teritorial beserta ruang udara di atasnya. 2. Batas wilayah Udara secara Vertikal
Konvensi Chicago 1944, tidak mengatur batas wilayah udara secara vertikal, walaupun Konvensi Chicago 1944 telah mengatur berbagai masalah
penerbangan seperti ketentuan-ketentuan mengenai cabotage
53
, pengawasan
pesawat udara tanpa awak pesawat udara,
54
kewenangan menetapkan daerah terlarang prohibited Area,
55
dll. Namun dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944
telah dinyatakan kewenangan pengaturan kedaulatan mengakui bahwa setiap
51
Shawcross and Beumont, 1977: hal. 182.
52
Section 501 Federal Aviation Act of 1958: “United States Means Severl States, the district of Columbia and the Several territorial and possesions of the Unied State including the
teritorial waters and overlying airspace.
53
Lihat Pasal 7 Konvensi Chicago 1944.
54
Pasal 8 Konvensi Chicago 1944.
55
Pasal 9 Konvensi Chicago 1944.
Universitas Sumatera Utara
36
negara berdaulat mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang di atas wilayahnya.
56
Pasal ini mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919 “the high contracting states recognize that ever power has complate and exclusive over the
air space above its territory” yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara
tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum
laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan tersebut dapat diselesaikan saat konvensi Paris 1919 ditandatangani.
57
Intinya setelah Perang dunia pertama berakhir disepakati bahwa tiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh berdasarkan hukum
kebiasaan internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang diambil kembali dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam hubungan
ini, pengakuan kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara anggota, melainkan juga berlaku terhadap bukan negara anggota Konvensi Chicago 1944. Hal ini jelas
dengan adanya istilah every state. Pasal 2 konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk
keperluan konvensi Chicago 1944 yang dimaksudkan adalah batas wilayah negara state territory.
Dengan demikian, secara tegas bahwa berlaku juga terhadap bukan negara anggota. Lebih lanjut walaupun tidak secara tegas disebutkan semua
negara mengakui bahwa tidak ada negara manapun yang berdaulat di laut lepas high seas.
Lebih lanjut konvensi chicago 1944 juga tidak membuat pengertian apa yang dimaksudkan dengan wilayah udara airspace, namun demikian,
pengertian tersebut dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional
56
The Contracting Parties recognize that every sovereign state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its teritory.
57
Pasal 1 Konvensi Paris 1919.
Universitas Sumatera Utara
37
Permanent Court Of International Justice dalam kasus sengketa Eastern
Greenland. Dalam kasus tersebut ditafsirkan “the natural meaning of the term is
its geographical meaning”. Yaitu ruang dimana terdapat udara air. Lingkup
yurisdiksi teritorial suatu negara diakui dan diterima oleh negara anggota Konvensi Chicago 1944 terus keatas sampai tidak terbatas dan ke bawah bumi
sepanjang dapat diekploitasi.
58
Kedaulatan ini ditunjukkan dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944.
59
Menurut pasal tersebut setiap negara termasuk Indonesia berhak menolak pemberian izin pesawat udara asing yang melakukan angkutan penumpang,
barang dan pos secara komersial dalam negeri.
60
Secara historis ini dikenal dengan asas cabotage berasal dari hukum maritim. Istilah “cabotage” berasal dari kata
“cabot” atau “chabot” dari bahasa Perancis yang artinya kapal kecil. Istilah
tersebut mungkin berasal dari bahasa spanyol asal perkataan “cabo” yang berarti “cape”
tanjung yang artinya angkutan dari tanjung tanjung ke tanjung yang lain dalam satu pantai misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta ke Tanjung Emas di
semarang, kemudian berkembang dari satu tanjung ke tanjung lain dalam pantai yang berbeda, misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta Ke Banjarmasin.
61
Intinya dalam Pasal 7 Konvensi chicago 1944 asas cabotage merupakan hak prerogatif kepada negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
ICAO untuk mengatur angkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial
58
H.K.martono, Op.cit, hal.18-19.
59
Pasal 7 Konvensi Chicago menyatakan : “’Each Contracting state shall have the right to refuse permission to the aircraft of other contracting States to take on in its territory
passangers, mail and cargo carried for remuneration or hire and destined for another point within its territory. Each cotracting state undertakes not enter into any arrangements which specifically
grant any such privilege on an exclusive basis to any other state or an airline of any other state, and not to obtain any such exclusive privilege from any other state.
60
H.K.Martono Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Jakarta:Rajawali Pers,2011, hal.50.
61
Ibid, hal.51.
Universitas Sumatera Utara
38
penerbangan secara komersial penerbangan dalam negeri. Dahulu penerbangan dari Singapura ke London atau dari Hongkong ke London, atau dari Melbourne ke
London merupakan asas cabotage karena Singapura, hongkong, maupun Australia merupakan wilayah jajahan kedaulatan Inggris. Berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 1970, perjanjian Indonesia-Thailand, entah sadar atau tidak, Indonesia pernah memberi cabotage kepada Thailand yang mengijinkan
penerbangan Jakarta-Medan-Singapura-Kuala Lumpur-Bangkok-Hongkong- Tokyo-PP. Jakarta Medan adalah ruas cabotage.
62
Indonesia sendiri telah menyertakan asas cabotage dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dalam Buku bagian pertama.
Hak Prerogatif
63
negara anggota dilakukan untuk menghindari konsekuensi prinsip kedaulatan di udara sebagaimana yang telah diuraikan. Sepanjang
menyangkut hak penerbangan traffic Right, Konvensi Chicago 1944 membedakan antara penerbangan internasional tidak berjadwal dengan
penerbangan internasional berjadwal. Kepada penerbangan internasional tidak berjadwal diberi sedikit kelonggaran, sedangkan untuk penerbangan internasional
berjadwal tetap harus memperoleh izin terlebih dahulu. Mengenai penerbangan internasional berjadwal, pesawat udara asing diberi hak yang sama dengan
perusahaan penerbangan nasional dalam penggunaan fasilitas bandar udara dan navigasi penerbangan, sedangkan daerah terlarang prohibited area berlaku
terhadap pesawat udara nasional, pesawat udara asing baik berjadwal maupun tidak berjadwal.
62
Ibid.
63
Hak Istimewa, J.C.T.Simorangkir, DKK, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.133.
Universitas Sumatera Utara
39
B.
Aspek Teknis Operasional Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944
Konvensi Chicago 1944 yang disahkan pada 7 Desember 1944 dan mulai berlaku 4 April 1947 Mengatur prinsip-prinsip dasar berkenaan dengan kedaulatan
wilayah udara, klasifikasi pesawat udara negara state aircraft pesawat udara sipil, pesawat udara tanpa awak, zona larangan terbang, bea cukai, lalu lintas
udara, pemeriksaan dokumen, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, langkah-langkah untuk memfasilitasi navigasi penerbangan, bea cukai, imigrasi,
karantina, pencarian dan pertolongan pesawat udara, investigasi kecelakaan pesawat udara, dokumen penerbangan internasional, peralatan radio, sertifikat
kelaikudaraan, sertifikat kecakapan, pengakuan sertifikat, catatan perjalanan, larangan kargo, peralatan foto, amandemen, pengesahan sertifikat, pengambil
alihan tanggung jawab endorsement,pembentukan organisasi penerbangan sipil internasional yang terdiri atas sidang umum, Badan Harian dan Badan-Badan Lain
yang diperlukan, komisi navigasi, penerbangan, personel, keuangan, penyelenggaraan keamanan, fasilitas navigasi penerbangan maupun bandar udara,
pengoperasian bersama secara internasional joint internasional operation , penyelesaian sengketa dan ketentuan-ketentuan administrasi lainnya.
c. Aspek Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944
Secara historis pendaftaran pesawat udara sudah dimulai pada Konvensi Paris 1919.
64
Konvensi Madrid 1926, Konvensi Havana 1928
65
dan Konvensi
64
Convention to the regulation of Aerial Navigation, signed at Paris, on 13 october 1919. Teks Konvensi Paris dapat ditemukan di DEMPSEY p.s., e.d., Annals of air and space law,
Volume XXX Part I-2005, Toronto, Kanada. The Carswel Company Ltd, hal.5-19.
Universitas Sumatera Utara
40
Chicago 1944. Sebagaimana disebutkan di atas, pendaftaran dan kebangsaan dalam konvensi Paris 1919 diatur dalam Chapter II yang berjudul Nationality of
Aircraft
66
dari Pasal 5 sampai dengan pasal 10 Konvensi Paris 1919. Pesawat udara harus mempunyai kebangsaan nationality menurut Pasal 5 Konvensi Paris
1919 “tidak ada pesawat udara kecuali atas izin khusus atau sementara terbang di atas wilayah negara anggota yang tidak terdaftar di negara anggota konvensi
paris 1919. Dalam Pasal 6 Konvensi Paris 1919 diatur pendaftaran pesawat udara.
67
Menurut Pasal tersebut, pesawat udara mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaaan dari negara tempat pesawat udara didaftarkan, karena itu pesawat
udara akan memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia.
68
Menurut Pasal 6 konvensi Paris 1919 “ pesawat udara dapat didaftarkan bilamana pesawat udara tersebut, seluruh maupun sebagian dimiliki oleh warga
negara maupun badan hukum dari tempat pesawat didaftarkan, Presiden atau Ketua badan hukum paling tidak dua pertiga dari direksi harus warga negara dari
tempat negara pesawat udara didaftarkan, kecuali badan hukum tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan hukum nasional masing-
masing negara.
69
65
Convention on Commercial Aviation, signed at Havana on 20 Februari 1928.
66
Cooper J.C., The Right to Fly, 1947 halaman 293.
67
Pasal 6 Konvensi paris 1919: “Aircraft posses the nationality of the state on the register of which they are entered, in accordance with the proviision of section Ic of Annex A.
68
Pada saat ini tanda kebangsaan Indonesia adalah PK. Tanda pendaftaran dan kebangsaan terdiri atas kelompok huruf lima huruf atau sekelompok huruf campuran dengan
angka. Dua huruf pertama menunjukkan tanda tanda kebangsaan, tiga huruf berikutnya menunjukkan tanda pendaftaran misalnya tanda pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara
Boeing 737-200 milik Mandala Airlines PK-RII artinya PK bangsa Indonesia, RII artinya milik Republik Indonesia Nomor 1 ini dengan angka. Dua huruf pertama menunjukkan tanda
kebangsaan, tiga huruf berikutnya menunjukkan t.
69
Pasal 7 Konvensi Paris 1919: ‘No aircraft shall be entered on the registration of one of the contracting state the unless it belongs wholly to nationals of such state. No incoporate
company can be registered as the owner of an aircraft unless it posses the nationality of the state in which the aircraft is registered, unless the president or chairman of the company and at least
Universitas Sumatera Utara
41
Kepemilikan pesawat udara sebagai salah satu persyaratan pendaftaran adalah mutlak, tetapi dalam perkembanganya kepemilikan sebagai persyaratan
pendaftaran dan kebangsaan mulai dihapuskan sejak 1928. Setelah lahirnya konvensi havana 1928.
70
Sistem pendaftaran yang digunakan dalam konvensi Paris adalah sistem pendaftaran tunggal single registration system.
71
Sistem pendaftaran tunggal single registration system
dengan maksud untuk menghindari terjadinya kewarganegaraan ganda double nationality, sebab setiap pesawat udara yang
didaftarkan akan memperoleh kewarganegaraan dari negara tempat pesawat udara didaftarkan, karena itu pesawat udara yang telah mempunyai pendaftaran yang
akan dipindahkan ke negara lain, harus lebih dahulu pendaftarannya. Penghapusan pendaftaran pesawat udara tersebut dibuktikan dengan export certificate dari
negara tempat pesawat udara didaftarkan. Negara anggota konvensi Paris 1919 setiap bulan harus saling mempertukarkan dan memberi tahu kepada komisi
navigasi penerbangan Internasional CINA sesuai dengan ketentuan Pasal 34 konvensi Paris 1919 dokumen pendaftaran dan penghapusan pesawat udara yang
dilakukan di negara.
72
Menurut Konvensi Havana 1928, kepemilikan pesawat udara bukanlah merupakan persyaratan mutlak untuk pendaftaran pesawat udara sipil. Persyaratan
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara sangat mudah, kadang-kadang sangat
two-thirds of the directors posses such nationality, and unless the company fulfils all others conditions which may be prescribed by the laws of the said state.”
70
Joniq J.P., The Legal Status of aircraft. The Netherlands: The Haque.
71
Pasal 8 Konvensi Paris 1919: “An Aircraft cannot be registered in more than one state”.
72
Pasal 9 “the contracting states shall exchange month among themselves nd transit the information to the International Commisions for air navigation referred to in Article 34 copies of
registration and cancellations of thregistration which shall have been entered on their official registers the procceding month”.
Universitas Sumatera Utara
42
sulit tergantung hukum nasional mereka, terutama bagi pesawat udara yang dimiliki oleh badan hukum atau perseorangan karena pesawat udara harus
mempunyai kebangasaan tersendiri. Apabila pesawat udara sipil tersebut dimiliki oleh pemerintah, sudah pasti
tidak ada masalah karena pesawat udara tersebut otomatis memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan negara tersebut, tetapi yang menjadi masalah adalah
apabila pesawat udara dimiliki oleh warga negara atau badan bukum. Hal ini akan menjadi masalah karena pendaftaran pesawat udara akan melibatkan masalah
kebangsaan sehingga pemilik pesawat udara harus warga negara atau badan hukum negara pendaftar agar pesawat udara memperoleh tanda pendaftaran dan
kebangsaan, sehingga akan menimbulkan hak dan kewajiban yang dijamin dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang memperoleh
tanda pendaftaran dan kebangsaan mempunyai hak dan memperoleh pelayanan di manapun mereka terbang, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi
hukum nasional maupun internasional di manapun mereka terbang. Sebenarnya sebelum konvensi Havana sebelum 1928, konvensi Ibero-
American yang dikenal sebagai konvensi Madrid 1926 telah melepaskan kepemilikan ownership sebagai persyaratan pendaftaran dan kebangsaan
pesawat udara. Menurut konvensi Madrid 1926 pesawat udara sipil harus didaftarkan di negara anggota, dengan pendaftaran tersebut akan memeroleh tanda
pendaftaran dan kebangsaan, tetapi persyaratan pendaftaran diserahkan kepada hukum nasional masing-masing negara anggota konvensi Madrid 1926.
73
73
Martono K, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional. Buku Kedua,
Bandung: Mandar Maju, 1995, hal.32.
Universitas Sumatera Utara
43
Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara diatur dalam chapter III dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 Konvensi Chicago 1944. Di dalam hukum
internasional, khususnya Konvensi Chicago 1944, “setiap pesawat udara mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan dari negara pesawat udara
didaftarkan.”
74
Prinsip pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara adalah pendaftaran tunggal single registration, seperti halnya berlaku dalam konvensi
Paris 1919, karena itu pesawat udara tidak dapat memperoleh pendaftaran ganda double registration.
75
Menurut konvensi Chicago 1944 pendaftaran dan kebangsaan maupun peralihannya diatur berasarkan hukum nasional masing-
masing negara
76
seperti halnya diatur dalam Konvensi Havana 1928. Apabila pesawat udara melakukan penerbangan internasional harus menampilkan tanda
pendaftaran dan kebangsaan.
77
Setiap negara anggota harus memasok kepada negara anggota lainnya atau kepada organisasi penerbangan sipil internasional, atas permintaan, informasi
berkenaan dengan pendaftaran dan kebangsaan serta kepemilikan pesawat udara yang didaftarkan. Di samping itu, setiap negara anggota organisasi penerbangan
sipil internasional harus memberi laporan, berdasarkan hukum nasional masing- masing negara, mengenai data yang tersedia berkenaan dengan kepemilikan
pesawat udara kepada data-data tersebut dapat diperoleh dari organisasi penerbangan sipil internasional atas permintaan dari negara anggota.
78
Di dalam hukum internasional, setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran
74
Pasal 17 Konvensi Chicago 1944.
75
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944.
76
Pasal 19 Konvensi Chicago 1944.
77
Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.
78
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944.
Universitas Sumatera Utara
44
dan kebangsaan nationality and registration mark
79
. Pendaftaran dan
kebangsaan pesawat udara menggunakan prinsip pendaftaran tunggal, tidak ada pesawat udara secara resmi diakui mempunyai pendaftaran ganda double
registration,
80
Sehingga pesawat udara dapat didaftarkan bilamana telah dihapuskan pendaftaran sebelumnya. Pesawat udara yang melakukan penerbangan
internasional harus menampilkan display tanda pendaftaran dan kebangsaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.
Konvensi Chicago
1944 tidak mengatur persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919. Menurut Konvensi Chicago 1944
prosedur dan tata cara serta persyaratan pendaftaran pesawat udara diatur berdasarkan hukum dan regulasi hukum nasional negara yang bersangkutan,
karena itu sebagaimana disebutkan di atas, dapat terjadi perbedaan persyaratan pendaftaran pesawat udara dari satu negara ke negara negara lain. Persyaratan
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara di Indonesia diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No.15 Tahun 1992 dan Bab VII dari Pasal 24 sampai dengan
Pasal 33, Bab IX dari Pasal 71 sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh
pendaftaran dan kebangsaan, mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban
sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan mempunyai hak untuk
79
Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.
80
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944.
Universitas Sumatera Utara
45
memperoleh pelayanan bilamana melakukan penerbangan dalam negeri maupun penerbangan internasional. Sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan,
pesawat udara sebagai subjek hukum internasional, karena itu pesawat-pesawat udara juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal pesawat
udara melakukan pelanggaran hukum, maka pesawat udara tersebut disita oleh negara yang bersangkutan.
81
Pesawat udara harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Demikian pula pesawat angkasa maupum kapal laut. Hal ini berbeda dengan
kendaraan darat. Kendaraan darat tidak wajib mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Dahulu sebelum 1926 ada konvensi internasional yang
mengharuskan pendaftaran dan kebangsaan kendaraan darat, tetapi sesudah 1926 tidak ada konvensi yang mengharuskan kendaraan darat mempunyai tanda
pendaftaran dan kebangsaan. Pendaftaran kendaraan darat yang sekarang ada bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan, tetapi untuk
keperluan statistik, kriminal, dan administrasi, bukan untuk memmperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan.
Setiap negara anggota Organisasi penerbangan sipil internasional mempunyai kewajiban melaporkan pendaftaran pesawat udara yang didaftarkan di
negara tersebut, di samping itu, atas permintaan negara lain, negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional juga mempunyai kewajiban untuk
memberi tahu pesawat udara yang didaftarkan dengan kepemilikannya. Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi
sertifikat pendaftaran dan kebangsaan certificate of registration mark. Dalam
81
Indonesia telah menyita pesawat udara kebangsaan Australia karena digunakan untuk membawa narkoba di Bali.
Universitas Sumatera Utara
46
hal pesawat udara yang terbang internasional tidak dilengkapi dengan sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara merupakan pelanggaran hukum
nasional maupun internasional. Di atas disebutkan bahwa sistem pendaftaran dan kebangsaan pesawat
udara yang dianut dalam Konvensi Chicago 1944 adalah sistem pendaftaran tunggal
singel registration principle untuk mencegah terjadinya
kewarganegaraan ganda sebab setiap pesawat udara yang telah memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan akan memperoleh kewarganegaraan dari negara
tempat pendaftaran pesawat udara. Negara anggota mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya pendaftaran ganda, karena itu di Indonesia
82
maupun Amerika Serikat
83
sebagai negara anggota mensyaratkan pendaftaran pesawat udara tidak didaftarkan di luar negeri.
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara dapat dipindahkan dari satu negara ke negara lain,
karena itu negara anggota Konvensi Chicago 1944 wajib melepaskan pendaftaran pesawat udara yang didaftarkan bilamana pesawat udara tersebut akan
dipindahkan transfer ke negara anggota organisasi penerbangan sipil Internasional lainnya, untuk mencegah terjadinya pendaftaran ganda double
registration. Pelepasan tanda pendaftaran dan kebangsaan tersebut dibuktikan
dengan sertifikat ekspor export certificate. Di Indonesia pelepasan tanda pendaftaran dan kebangsaan diatur dalam Pasal 75 ayat 2 UU penerbangan yang
82
Lihat Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 1958, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia
Nomor 3481 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4936.
83
Lihat Federal Aviation Act of 1958 Section 501.
Universitas Sumatera Utara
47
ditindaklanjuti dengan peraturan menteri perhubungan Nomor KM 33 Tahun 2008.
Pasal 77 Konvensi Chicago menyatakan bahwa tidak ada halangan dua atau lebih negara anggota untuk membentuk organisasi atau yang
mengoperasikan transportasi udara bersama secara internasional internasional joint opertion
pada setiap rute atau wilayah tertentu, tetapi organisasi atau badan tersebut tetap berlaku ketentuan Konvensi Chicago 1944, termasuk ketentuan
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, dalam hal ini sistem pendaftaran dan kebangsaan tunggal, karena itu negara anggota yang membentuk organisasi atau
badan yang mengoperasikan pesawat udara secara bersama-sama joint air transport operating organization or agency
tersebut harus menunjuk salah satu negara sebagai negara pendaftar pesawat udara state of registry, sehingga hukum
yang berlaku adalah hukum nasional dari negara tersebut. Contoh negara yang membentuk organisasi atau badan yang mengoperasikan bersama secara
internasional adalah negara-negara skandinavia yang terdiri atas Swedia, Nowegia, dan Denmark yang mengoperasikan perusahaan penerbangan
Schandinavian Airlines System SAS. Pasal 29 Konvensi Chicago 1944 menetapkan bahwa setiap pesawat udara
yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan dokumen sertifikat pendaftaran registration certificate, sertifikat kelaikan udaraan,
sertifikat kecakapan semua awak pesawat udara baik awak ruang kemudi cockpit crew
maupun awak Kabin cabin crew, buku harian semua sertifikat peralatan radio yang digunakan, bilamana mengangkut kargo harus disertai daftar barang
dan deklarasi umum, karena itu Pasal 16 Konvensi Chicago 1944 memberi
Universitas Sumatera Utara
48
wewenang kepada negara anggota untuk mencari dan memeriksa dokumen- dokumen, termasuk sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, yang
harus dibawa dalam penerbangan internasional. Negara pendaftar pesawat udara state of registry mempunyai peran
sentral dalam penerbangan internasional maupun sebab yang berhak mengeluarkan sertifikat kelaikudaraan, sertifikat kecakapan semua awak pesawat
udara baik awak ruang kemudi maupun awak kabin adalah negara tempat pesawat udara didaftarkan state of registry, namun demikian semua sertifikat tersebut
harus diakui sah oleh negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan. Semua sertifikat tersebut dapat diakui oleh organisasi penerbangan sipil
internasional.
84
Dalam hubungannya dengan sewa guna usaha leasing tanpa awak pesawat udara dry lease
85
, negara pendaftar pesawat udara sebagai negara
badan hukum atau warga negara yang menyewakan pesawat udara lessor harus memberi kuasa kepada negara operator lessee untuk menerbitkan sertifikat
kelaikudaraan maupun sertifikat kecakapan awak pesawat udara, misalnya Garuda Indonesia sebagai lesse menyewa pesawat udara Martin Air sebagai lessor, maka
Belanda sebagai negara pendaftar dari lessor memberi kuasa kepada pemerintah Indonesia sebagai negara operator lessee untuk mengeluarkan sertifikat
kelaikudaraan maupun sertifikat kecakapan awak pesawat udara. Pengakuan sertifikat kelaikudaraan dan kecakapan tersebut hanya berlaku
terhadap Indonesia dan Belanda karena hal itu hanya suatu perjanjian bilateral, sehingga tidak berlaku bagi negara ketiga yaitu negara selain Belanda dan
84
Pasal 33 Konvensi Chicago 1944.
85
Ada tiga macam sewa guna usaha leasing masing-masing dry lease, yaitu sewa guna usaha tanpa awak pesawat udara, damp lease yaitu sewa guna usaha tanpa awak kabin, tetapi
dengan awak ruang kemudi cockpit dan we lease, yaitu sewa guna usaha dengan awak pesawat udara.
Universitas Sumatera Utara
49
Indonesia, kecuali Belanda, Indonesia dan negara ketiga tersebut telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 yang mengikat kepada semua
negara yang menjadi anggota Pasal 83 bis konvensi Chicago 1944 tersebut. Hak, kewajiban dan tanggung jawab negara pendaftar tidak terbatas untuk
menerbitkan danatau membatalkan sertifikat kelaikudaraan, sertifikat awak pesawat udara baik awak ruang kemudi maupun awak kabin, melainkan sertifikat
tipe, uji coba, sertifikat sementara, operasi pesawat udara, para teknisi, perawatan pesawat udara, pengoperasian pesawat udara, bahkan bilamana terjadi kecelakaan
negara pendaftar akan terlibat karena negara pendaftarlah yang menyimpan semua dokumen dan tahu soal yang berkenaan dengan pesawat udara yang
bersangkutan. Bilamana negara negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional ingin mengetahui tentang pesawat udara yang bersangkutan negara
pendaftar wajib memberi tahu dan sekaligus mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan nama, alamat, pemilik pesawat udara yang didaftarkan negara
tersebut. Apabila dicermati ketentuan pendaftaran dalam konvensi Paris 1919
dengan konvensi Havana 1928, dan Konvensi Chicago 1944 berbeda-beda. Menurut Pasal 6 Konvensi Paris 1919, pesawat udara dapat didaftarkan bilamana
pesawat udara dimiliki oleh badan hukum dari negara tempat pesawat udara didaftarkan, Presiden atau ketua badan hukum dan paling tidak dua pertiga dari
direksi harus warga negara dari negara tempat pesawat udara didaftarkan, kecuali badan hukum tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan hukum
nasional masing-masing negara.
86
Kepemilikan pesawat udara sebagai salah satu
86
Pasal 7 Konvensi Paris 1919 “No aircraft shall be entered on the registration of one of the contracting states unless it belongs wholly to nationals of such state. No. Incoporate company
Universitas Sumatera Utara
50
persyaratan pendaftaran dan kebangsaan adalah mutlak, tetapi sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam perkembangannya kepemilikan sebagai
persyaratan pendaftaran dan kebangsaan sejak tahun 1928 dihapuskan, sehingga menurut Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Chicago 1944 kepemilikan
bukanlah merupakan persyaratan mutlak untuk pendaftaran pesawat udara. Menurut Pasal 19 Konvensi Chicago 1944 sebagaimana diuraikan di atas,
pendaftaran dan kebangsaan serta peralihannya diatur berdasarkan hukum nasional masing-masing negara, karena itu peraturan pendaftaran dan kebangsaan
pesawat udara negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional yang berbea satu dengan yang lain.
can be registered as the owner of an aircraft unless it possess the nationality of the state in which the aircraft registered, unless the president or chairman of the company ad at least two-thirds of
directors posses such nationality, and unless the company full fills all other conditions which may be prescribed by the laws of the said state”.
Universitas Sumatera Utara
51
BAB IV Pertanggungjawaban Terkait Dengan Kerugian Yang Timbul
Akibat Kesalahan Maskapai Penerbangan Internasional Menurut Ketentuan Yang Berlaku.
A. Pengaturan Kerugian Yang Timbul Dari Penerbangan Sipil Menurut UU No.12009 Tentang Penerbangan Udara
Kerugian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bentuk tanggung jawab dari pihak angkutan udara yang mana tanggung jawab di sini dapat kita
asumsikan oleh Peter Salim dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar masing-masing accountability, responsibility dan liability.
87
Tanggung Jawab accountability biasanya berkaitan dengan suatu kepercayaan terhadap lembaga tertentu yang berkaitan dengan keuangan,
misalnya dalam kalimat Komisi Hak-Hak Asasi Manusia HAM harus membuat laporan “pertanggungan jawab”kepada sekretariat negara sebab Sekretaris Negara
memberi subsidi kepada Komisi HAM.
88
Tanggung jawab dalam arti responsibility dapat diartikan “ikut memikul beban” akibat suatu perbuatan, seperti pernah disampaikan oleh mantan Kepala
Staf angkatan Darat KSAD dan mantan Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto dalam kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan
oleh prajurit. Beliau pernah mengatakan yang “bertanggung jawab” responsible adalah mereka yang memegang tongkat komando perintah prajurit. “Tanggung
Jawab yang diartikan di sini diartikan yang memikul beban”.
89
87
Peter salim, Op.cit, Contemporary English Indonesia Dictionary.Edisi Pertama, Jakarta : Modern English Press, 1985
88
Diskusi Problem Masa Depan Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia HAM, diselenggarakan oleh Laboratorium Sosiologi Fakultas Sosiologi dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia tanggal, 26 Februari 2002 di Jakarta.
89
H.K.Martono dkk, Hukum Angkutan Udara, Jakarta:Rajawali Press,2011, hal.214.
Universitas Sumatera Utara
52
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanggung jawab dalam arti responsibility
dapat berarti “wajib menanggung segala sesuatunya”, kalau terjadi sesuatu dapat disalahkan, dituntut, dan diancam hukuman pidana oleh penegak
hukum di depan pengadilan, menerima beban akibat tindakan sendiri atau orang lain, misalnya dalam kalimat: misalnya seorang dokter yang menyimpang dari
standar medikal mal praktik harus “bertanggung jawab”, demikian pula seorang istri dokter yang menyuntik orang dengan alat suntik milik suaminya seorang
dokter sampai meninggal dunia harus “bertanggung jawab”. Perkataan “tanggung jawab” di sini diartikan istri maupun dokter tersebut dapat dituntut hukuman
pidana di depan pengadilan oleh penegak hukum.
90
Liability dapat diartikan sebagai kewajiban membayar ganti kerugian yang
diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan “bertanggung jawab” atas keselamatan penumpang danatau barang-barang
kiriman, karena itu apabila timbul kerugian yang diderita oleh penumpang danatau pengirim barang, maka perusahaan penerbangan harus “bertanggung
jawab” dalam arti liability. Tanggung jawab di sini diartikan perusahaan penerbangan “wajib membayar” ganti kerugian yang diderita oleh penumpang
danatau pengirim barang akibat perusahaan penerbangan melakukan wanprestasi. Perusahaan penerbngan dapat digugat di depan pengadilan perdata . dalam uraian
ini yang dimaksud dengan dengan “tanggung jawab” adalah tanggung jawab hukum dalam arti legal liability dimaksudkan kewajiban membayar segala
kerugian atau biaya yang timbul akibat kecelakaan pesawat udara yang dilakukan
90
Lukman Ali, Ed., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1995, hal.234.
Universitas Sumatera Utara
53
oleh kapten penerbang dan kewajiban tersebut dapat diajukan gugatan di depan pengadilan perdata.
91
Dalam UU No 1 Tahun 2009 Pasal 141 ayat 1 menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia,
cacat tetap misalnya kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya
tangan, kaki, atau mata yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara danatau karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak
diakibatkan pengawasan pengangkut sesuai dengan Pasal 144 UURI No. 1 Tahun 2009, kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim
hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut berdasarkan Pasal 145 UURI No. 1
Tahun 2009. Berdasarkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 141 ayat 1,
Pasal 144 dan Pasal 145 UURI No.1 Tahun 2009 tersebut pengangkut otomatis bertanggung jawab tanpa dibuktikan lebih dulu, sehingga pengangkut berhak
menikmati batas ganti kerugian yang ditetapkan oleh UURI No.1 Tahun 2009, batas ganti kerugian yang ditetapkan oleh UURI No.1 Tahun 2009, namun
demikian menurut Pasal 141 ayat 2 UURI No. 1 Tahun 2009, batas ganti kerugian tersebut tidak dapat dinikmati oleh pengangkut bilamana kerugian
tersebut timbul karena tindakan sengaja willful misconduct atau ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke Pengadilan atau orang yang ditetapkan yang
diperkerjakannya, sehingga ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke
91
H.K.Martono, Op.cit, hal.217.
Universitas Sumatera Utara
54
pengadilan untuk ditetapkan unlimitted liability principle sesuai dengan Pasal 141 ayat 3 UURI No.1 Tahun 2009.
B. Pengaturan Kerugian Yang Timbul Menurut Konvensi Chicago 1944