Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

(1)

TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL BERDASARKAN

KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SAMUEL B NABABAN NIM: 090200375

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

    

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL BERDASARKAN

KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

SAMUEL B NABABAN NIM: 090200375

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Arif, SH.MH

NIP : 196403301993031002

Dosen Pembimbing I : Dosen Pembimbing II :

Sutiarnoto. SH.M.Hum Dr. Chairul Bariah, SH.M.Hum NIP : 1956101019866031003 NIP : 195612101986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

    Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan intensitas penerbangan antar pulau yang cukup tinggi, sehingga diperlukan perlindungan maksimal terhadap para pengguna fasilitas penerbangan dalam hal ini konsumen.

Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan meliputi pengaturan aspek ekonomi penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944, pengaturan aspek teknis dan operasional penerbangan menurut sipil menurut konvensi chicago 1944 dan bentuk pertanggungjawaban maskapai penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944.

Adapun yang menjadi tipe penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Dengan tujuan untuk membandingkan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dengan Konvensi chicago Tahun 1944 yang merupakan acuan hukum internasional dalam hal penerbangan sipil. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder, yang terdiri dari Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa undang-undang, konvensi hukum internasional, deklarasi, maupun protokol. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari buku-buku,surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa konvensi chicago telah mengatur secara tegas terkait dengan aspek ekonomi dan aspek teknis dari maskapai penerbangan guna meminimalisir kecelakaan yang terjadi maupun bentuk pertanggungjawaba n dari pihak maskapai penerbangan apabila kecelakaan terjadi yang tentu saja merugikan pihak konsumen.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna dan mengizinkan serta memampukan penulis untuk dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini. Penulis mengetahui bahwa tidak ada yang dapat penulis lakukan selain berkat Kasih KaruniaNya, oleh karena itu penulisan skripsi ini Penulis persembahkan kepada Tuhan yang telah memberikan saya kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul :

“TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL

BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944”

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih ada banyak kesalahan dan ketidaksempurnaan, Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak mana pun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan isi skripsi ini.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam kehidupan penulis, yakni:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum USU; 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku pembantu Dekan I;

4. Syafruddin,SH,DFN selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan;

5. Muhammad Husni,SH,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU;

6. Arif, SH, M.H. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

7. Dr. Jelly Leviza. SH. M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;


(5)

9. Dr. Chairul Bariah, SH. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II penulis; 10. Kepada seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum USU yang selama ini

telah banyak membantu Penulis;

11. Ucapan terima kasih yang besar kepada abangda Dedy Usmana, SE. selaku Sekretariat Departemen Hukum Internasional yang telah banyak membantu Penulis.

12. Ucapan terima kasih kepada abangda Satria Braja hariandja. SH. MH. yang telah banyak memberi ilmu dan sarannya kepada penulis;

13. Teristimewa kepada kedua orang Tua yang sangat Penulis cintai, Bapak Pangihutan Nababan. Spd dan Ibu Manganar Sihombing yang selalu sabar membimbing dan mengasihi Penulis sampai saat ini dan yang selalu memberikan dukungan Moril dan Materil kepada Penulis;

14. Seluruh Keluarga besar Penulis, Cahaya Desmita Nababan Amk, Mayerni Valentina Nababan Amk, Rosmawati Nababan SH, Sri Ningsih Spd dan keempat keponakan ku tercinta Erin, Amel, Evan dan Robin;

15. Kepada seluruh teman-teman ILSA stambuk 2009 yang baik-baik dan pintar-pintar dan seluruh teman-teman penulis stambuk 2009 terutama spesial buat apara tercinta Gerhad Nababan, SH;

Akhir kata, Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan, baik itu kata-kata maupun perbuatan. Semoga yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2013 Penulis ,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Permasalahan... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Keaslian Penelitian... 7

F. Tinjauan Kepustakaan... 7

G. Metode Penelitian... 13

H. Sistematika Penulisan... 15

BAB II : Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 ……….. 17

A.Latar Belakang Lhirnya Konvensi Chicago Tahun 1944... 17

B.Tujuan Konvensi Penerbangan sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 19

C.Aspek Ekonomi Penerbangan Internasional Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 26

BAB III : Pengaturan Teknis & Operasional Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 ……….. 32


(7)

A. Kedaulatan Negara Dalam Konteks Penerbangan Sipil

Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 32

B. Aspek Teknis & Operasional Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 39

C. Aspek Pendaftaran & Kebangsaan Pesawat Udara Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 39

BAB IV : Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Terkait dengan Kerugian Yang Timbul berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku ………. 51

A. Pengaturan Kerugian Yang Timbul Dari Penerbangan Sipil Menurut UU No.1/2009 Tentang Penerbangan... 51

B. Pengaturan Kerugian Yang Timbul menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 54

C. Perbandingan Antara UU No.1/2009 Tentang Penerbangan Dengan Konvensi Chicago Tahun 1944... 58

BAB V : KESIMPULAN & SARAN ………. 67

A. Kesimpulan... 67

B. Saran... 68

Daftar Pustaka... 69

Lampiran I Tentang Protokol Naskah Asli Bahasa Keenam dari Konvensi

Penerbangan Sipil Internasional (Chicago, 1944) Lampiran II Tentang Konvensi Chicago 1944


(8)

ABSTRAK

    Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan intensitas penerbangan antar pulau yang cukup tinggi, sehingga diperlukan perlindungan maksimal terhadap para pengguna fasilitas penerbangan dalam hal ini konsumen.

Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan meliputi pengaturan aspek ekonomi penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944, pengaturan aspek teknis dan operasional penerbangan menurut sipil menurut konvensi chicago 1944 dan bentuk pertanggungjawaban maskapai penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944.

Adapun yang menjadi tipe penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Dengan tujuan untuk membandingkan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dengan Konvensi chicago Tahun 1944 yang merupakan acuan hukum internasional dalam hal penerbangan sipil. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder, yang terdiri dari Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa undang-undang, konvensi hukum internasional, deklarasi, maupun protokol. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari buku-buku,surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa konvensi chicago telah mengatur secara tegas terkait dengan aspek ekonomi dan aspek teknis dari maskapai penerbangan guna meminimalisir kecelakaan yang terjadi maupun bentuk pertanggungjawaba n dari pihak maskapai penerbangan apabila kecelakaan terjadi yang tentu saja merugikan pihak konsumen.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengingat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh undang-undang maka guna mendukung pertumbuhan ekonomi, diperlukan sarana transportasi nasional dalam hal penerbangan yang memiliki standar pelayanan yang optimal dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan yang optimal.

Pada perkembangannya, banyak tumbuh perusahaan penerbangan sipil di Indonesia karena masih sangat terbukanya peluang usaha di bidang jasa penerbangan sipil ini oleh karena tingginya permintaan dari konsumen untuk melayani rute-rute penerbangan yang tentunya dari segi bisnis sangat menjanjikan keuntungan bagi para pelaku usaha.

Untuk itu, diperlukan tanggung jawab dari pihak maskapai penerbangan dalam memberikan pelayanan yang memberikan jaminan keselamatan dan keamanan kepada para konsumen yang berlaku secara umum.

Dalam hukum, konsep tanggung jawab ini terdiri dari tanggung jawab berdasarkan kesalahan sebagaimana yang kita kenal dalam teori pemidanaan di Indonesia yaitu kesalahan yang berdasarkan kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa).1

Tanggung jawab memiliki pengertian yang sangat luas, namun demikian menurut Peter Salim dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar

masing-      

1

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta:Rajagrafindo Persada,2007), hal.91.


(10)

masing tanggung jawab dalam arti accountability, responsibility, and liability.2

Demikian halnya dengan Ida Bagus Rahmadi Supancana yang memberikan defenisi dari tanggung jawab itu sama dengan pendapat dari Peter Salim3. Tanggung Jawab accountability biasanya berkaitan dengan suatu kepercayaan terhadap lembaga tertentu yang berkaitan dengan keuangan, misalnya dalam kalimat Komisi Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) harus membuat laporan “pertanggungan jawab” kepada sekretariat negara sebab Sekretaris Negara memberi subsidi kepada Komisi HAM.4

Tanggung jawab dalam arti responsibility dapat diartikan “ikut memikul beban” akibat suatu perbuatan, seperti pernah disampaikan oleh mantan Kepala Staf angkatan Darat (KSAD) dan mantan Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto dalam kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh prajurit. Beliau pernah mengatakan yang “bertanggung jawab” (responsible)

adalah mereka yang memegang tongkat komando perintah prajurit. “Tanggung Jawab yang diartikan di sini diartikan yang memikul beban”.5

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanggung jawab dalam arti

responsibility dapat berarti “wajib menanggung segala sesuatunya”, kalau terjadi sesuatu dapat disalahkan, dituntut, dan diancam hukuman pidana oleh penegak hukum di depan pengadilan, menerima beban akibat tindakan sendiri atau orang lain, misalnya dalam kalimat: misalnya seorang dokter yang menyimpang dari

      

2

Peter Salim, contemporary English-Indonesia Dictionary, Edisi Pertama,

(Jakarta:Modern English Press,1985),hal.11.

3 Ida Bagus Rahmadi Supancana,

Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan Kumpulan Makalah & Paparan Ilmiah, (Jakarta:CV.Mitra Karya,2003),hal.102-125.

4

Diskusi Problem Masa Depan Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), diselenggarakan oleh Laboratorium Sosiologi Fakultas Sosiologi dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tanggal, 26 Februari 2002 di Jakarta.

5


(11)

standar medikal (mal praktik) harus “bertanggung jawab”, demikian pula seorang istri dokter yang menyuntik orang dengan alat suntik milik suaminya seorang dokter sampai meninggal dunia harus “bertanggung jawab”. Perkataan “tanggung jawab” di sini diartikan istri maupun dokter tersebut dapat dituntut hukuman pidana di depan pengadilan oleh penegak hukum.6

Liability dapat diartikan sebagai kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan “bertanggung jawab” atas keselamatan penumpang dan/atau barang-barang kiriman, karena itu apabila timbul kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, maka perusahaan penerbangan harus “bertanggung jawab” dalam arti liability. Tanggung jawab di sini diartikan perusahaan penerbangan “wajib membayar” ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang akibat perusahaan penerbangan melakukan wanprestasi. Perusahaan penerbangan dapat digugat di depan pengadilan perdata . dalam uraian ini yang dimaksud dengan dengan “tanggung jawab” adalah tanggung jawab hukum dalam arti legal liability dimaksudkan kewajiban membayar segala kerugian atau biaya yang timbul akibat kecelakaan pesawat udara yang dilakukan oleh kapten penerbang dan kewajiban tersebut dapat diajukan gugatan di depan pengadilan perdata.7

Dengan di dasari oleh kepentingan khalayak luas maka diperlukan suatu pengaturan dalam hal penerbangan sipil ini yang dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian internasional. Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan

      

6 Lukman Ali, Ed.,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1995), hal.234.

7


(12)

antara anggota masyarakat bangsa-bangsa untuk memberikan akibat hukum tertentu.8

Dari batasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.

Dalam hukum internasional dewasa ini ada kecenderungan mengatur hukum perjanjian antara organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi internasional dengan subjek hukum internasional lain secara tersendiri. Kecenderungan yang disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari organisasi internasional di lapangan ini dan adanya ciri khusus perjanjian yang diadakan badan-badan demikian tampak misalnya dalam konferensi Internasional mengenai hukum perjanjian internasional yang diadakan di Vienna pada tahun 1968,9 dan seperti Konvensi Chicago Tahun 1944 Tentang Penerbangan sipil.

Berdasarkan uraian di atas konvensi Chicago tahun 1944 lahir untuk memberikan suatu batasan yang jelas yang mana konvensi ini mengatur aspek-aspek ekonomi penerbangan sipil disambung dengan kedaulatan atas wilayah udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, SAR, dokumen penerbangan dan organisasi penerbangan sipil internasional yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh operator penerbangan sipil di dunia yang kita ketahui bersama Indonesia sendiri telah mengeluarkan UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang mana pada kesempatan yang baik ini penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana

      

8

Mochtar Kusumaatmadja & Etty.R.Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

(Bandung:Alumni,2003),hal.117.

9

Konfrensi Vienna Tahun 1968 ini menghasilkan Konvensi Vienna mengenai hukum perjanjian tahun 1969 (Vienna Convention On The Law Of Treatis 1968). Dan mulai berlaku (entry into force) 27 Januari 1980 Mengantiispasi Konvensi ini Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 


(13)

pembanding bagi ketentuan hukum positif penerbangan yang berlaku di Indonesia karena peneliti merasa bahwa masih tingginya kerugian yang timbul akibat ulah operator maskapai penerbangan sipil yang telah merugikan konsumen dengan nilai kerugian yang tidak sedikit pula.

Penelitian ini membahas aspek ekonomi yang diatur dalam Konvensi Chicago Tahun 1944 dalam konteks penerbangan sipil dan juga membahas aspek teknis dan operasional penerbangan sipil dan juga pembahasan terkait dengan perbandingan antara ketentuan tanggung jawab terhadap kerugian yang timbul oleh maskapai penerbangan sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Chicago Tahun 1944 dan juga sebagaimana pengaturanya dalam UU No.1 tahun 2009.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu input

yang dapat menekan laju kerugian yang ditimbulkan oleh ulah oknum penerbangan sipil seperti terlambatnya pesawat yang memakan waktu yang sangat lama, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keselamatan penerbangan sipil yang tidak memadai dan ketidak cakapan dari sumber daya manusia dari operator penerbangan yang mengakibatkan tingginya resiko yang ditimbulkan.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian Yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah : 1. Bagaimana Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi


(14)

2. Bagaimana Pengaturan Aspek Teknis dan Operasional Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944?

3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan sipil menurut Konvensi Chicago Tahun 1944 Terkait dengan tinjauan Kerugian yang timbul dalam penerbangan sipil?

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Aspek Ekonomi dari pengaturan konvensi Chicago sebagai panduan resmi dari instrumen penerbangan sipil yang diantaranya meliputi: rute penerbangan, tiket pesawat, jadwal penerbangan, dll.

2. Untuk mengetahui Aspek teknis dan Operasional penerbangan sipil menurut Konvensi Chicago tahun 1944 meliputi : zona larangan terbang, navigasi penerbangan, dan pencarian dan pertolongan pesawat udara, dll.

3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban kerugian yang timbul dalam lingkup pernebangan sipil seperti kecelakaan yang mengakibatkan kerugian pesawat terbang, asuransi penerbangan, penanggungan biaya korban yang cacat.

D. Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat baik dari sisi teoritis maupun praktis.


(15)

1. Manfaat secara teoritis

Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Internasional pada khususnya. Serta memberikan sumbangan akademis dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penerbangan , khususnya yang berkaitan dengan penerbangan sipil.

2. Manfaat praktis

Membantu aparat penegak hukum dan pemerintah dalam penerapan pengaturan hukum internasional mengenai penerbangan sipil dan juga memberikan pengetahuan yang berguna bagi masyarakat mengenai haknya sebagai pengguna jasa penerbangan sipil.

E. Keaslian Penulisan

Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana, maka seyogyanya skripsi ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian ataupun seluruhnya dari karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Internasional.


(16)

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Hukum Internasional

Menurut Mochtar Kusumaatmadja10 Hukum Internasional adalah  keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:

(1) negara dengan negara;

(2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain.

Sebagai salah satu dari cabang ilmu Hukum Internasional maka hukum udara (air law) atau hukum penerbangan (aviation law) menurut verschoor adalah hukum dan regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan kepentingan umum dan bangsa-bangsa di dunia.11

Hukum atau keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek penerbangan sipil, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara, termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional.12

2. Tanggung Jawab

Penekanan dalam arti tangung jawab disini ialah kewajiban memperbaiki kembali kesalahan yang pernah terjadi.13

Liability dapat diartikan sebagai

      

10

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,(Bandung: Alumni, 2003), hal. 4.

11

H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, (Jakarta:Rajawali Pers,2012), hal.3-4.

12

Ibid. 13


(17)

kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan “bertanggung jawab” atas keselamatan penumpang dan/atau barang-barang kiriman, karena itu apabila timbul kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, maka perusahaan penerbangan harus “bertanggung jawab” dalam arti liability.

Tanggung jawab di sini diartikan perusahaan penerbangan “wajib membayar” ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang akibat perusahaan penerbangan melakukan wanprestasi. Perusahaan penerbangan dapat digugat di depan pengadilan perdata. dalam uraian ini yang dimaksud dengan dengan “tanggung jawab” adalah tanggung jawab hukum dalam arti legal liability

dimaksudkan kewajiban membayar segala kerugian atau biaya yang timbul akibat kecelakaan pesawat udara yang dilakukan oleh kapten penerbang dan kewajiban tersebut dapat diajukan gugatan di depan pengadilan perdata.14

3. Penerbangan Sipil

Penerbangan sipil yang dimaksudkan di sini ialah penerbangan yang ditujukan bukan untuk perang dan berlaku bagi kalangan umum bukan militer menjelang berakhirnya Perang dunia kedua yang mana penerbangan sipil ini dapat dimanfaatkan sebagai peningkatan persahabatan, memelihara perdamaian, dan saling mengerti antar bangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan sebagai kerjasama antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Karena itu, negara-negara peserta konfrensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional, menumbuh kembangkan

      

14


(18)

penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur, dan memberikan kesempatan yang sama kepada negara-negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah persaingan yang tidak sehat.15 Bila dirujuk pada konsep penerbangan dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang penerbangan, penerbangan merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainya.16

4. Sumber Hukum Udara Internasional

Pada hakekatnya sumber hukum udara internasional bersumber pada hukum internasional dan hukum nasional. Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan “international Custom, as evidence of a general practices accepted as law”. Sumber hukum udara internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral diantaranya :

a. Multilateral & Bilateral

Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai sumber hukum internasional.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional.

      

15

Convention on International Civil aviation, signed at Chicago on 7 December 1944.

16


(19)

Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan internasional. Namun demikian peran hukum kebiasaan internasional tersebut semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat hukum kebiasaan internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Namun dalam Konvensi Chicago Tahun 1944 diakomodasi dalam Pasal 1.

c. Ajaran Hukum (Doktrin)

Ajaran Hukum (Doktrin) dalam hukum internasional dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Dalam common law system, atau anglo saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang diderita korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban

(injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pada ajaran hukum (doktrine)

mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum bela diri suatu tindakan disebut sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu, pesawat udara sipil yang tidak dilengkapi dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara sipil juga tidak sesuai dengan dengan semangat konvensi Chicago Tahun 1944 yang mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut.

d. Yurisprudensi

Ada beberapa yurisprudensi yang dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber sumber hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1). Banyak


(20)

kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak dua macam yurisprudensi yang menyangkut hukum udara perdata, masing-masing gugatan Ny.Oswald terhadap Garuda Indonesia Airways, dalam tahun 1961 dan gugatan penduduk cengkareng VS Japan Airlines (JAL) pada tahun 2000. Dalam kasus penduduk cengkareng VS JAL mengenai tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan Ny.Oswald VS Garuda Indonesia Airways (GIA)

mengenai ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan hakim sebelumnya (The decision of the court has nobinding force except the parties and in respect if that particular cases).

Artinya keputusan mahkamah internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutan tertentu itu.

5. Sumber Hukum Nasional

Pada saat ini tataran hukum nasional terkait dengan hukum nasional terdapat pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Undang-Undang tersebut merupakan perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan. Dan juga Peraturan Menteri Perhubungan No.77 tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara guna mengakomodasi ketentuan dari Pasal 62 ayat (1) huruf c & d dan ayat (3), Pasal 165, Pasal 168, Pasal 170, Pasal 172, Pasal 179, Pasal 18 ayat (3), dan Pasal 186 ayat (2) UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.


(21)

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.17 a. Tipe Penelitian

Adapun yang menjadi tipe penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum.18 Dengan tujuan untuk membandingkan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dengan Konvensi chicago Tahun 1944 yang merupakan acuan hukum internasional dalam hal penerbangan sipil.

b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder, yang terdiri dari :19

1. Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa undang-undang, konvensi hukum internasional, deklarasi, maupun protokol.

      

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press, 2005), hal. 43.

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:UI Press, 2003), hal. 15.

19

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 113-114.


(22)

2. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari buku-buku,surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

3. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Cara mendapatkan data sekunder adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dimana selanjutnya dilakukan analisis dengan mengumpulkan fakta-fakta yang didapat dari studi kepustakaan sebagai acuan umum dan kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mencapai kejelasan masalah yang dimaksud berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.

c. Analisis Data

Setelah data terkumpul, analisis dilakukan dengan menggunakan analisis isi sebagaimana dirumuskan oleh Berndl Berson:20

“Content analysis is a research technique for the obyektive, systematic and quantitative description of the manifest content of communication.” (Kajian isi adalah teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi).

Sedangkan menurut Holsti bahwa kajian isi adalah tehnik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik

      

20

Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif,(Bandung: Remaja Karya, 1989), hal. 179.


(23)

pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. Secara keseluruhan analisis di atas dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkapkan secara mendalam mengenai pandangan dan konsep yang diperlukan dan kemudian akan diurai secara menyeluruh untuk menjawab persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta melakukan penarikan kesimpulan dengan pendekatan deduktif-induktif, yakni berawal dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis dalam suatu sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Berisi tentang gambaran dari seluruh isi skripsi, yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Meliputi latar belakang lahirnya Konvensi Chicago Tahun 1944, dan tujuan dari lahirnya konvensi Chicago tahun 1944 dan pembahasan aspek ekonomi dalam konteks penerbangan sipil dalam konvensi Chicago Tahun 1944.

Bab III : Mengenai aspek teknis dan operasional dari penerbangan sipil Internasional yang diatur dalam konvensi Chicago Tahun 1944 dan Aspek pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara menurut Konvensi Chicago Tahun 1944.

Bab IV : Mengenai pengaturan terhadap tanggung jawab kerugian yang timbul menurut Konvensi Chicago Tahun 1944 dan UU No.1


(24)

Tahun 2009 Tentang penerbangan di Indonesia serta perbandingan antara kedua Instrumen Hukum Positif ini.

Bab V : Sebagai penutup, berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan saran sebagai rekomendasi yang berkaitan dengan penelitian ini.


(25)

BAB II

Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut

Konvensi Chicago 1944

A. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Chicago 1944

Setelah ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum udara internasional mulai membahas masalah yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara. Hal ini dirintis dari tahun 1902 oleh Prancis yang telah membahas kompetensi yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil selama penerbangan maupun pelanggaran dan kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil selama penerbangan berlangsung. Lalu dilanjutkan dengan Konvensi warsawa 1929 beserta protokol serta suplemenya. Konvensi tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties liability) beserta protokolnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping hukum nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi internasional tersebut di atas dan kemudian dilanjutkan dengan Konvensi Chicago 1944.

Dalam hukum udara internasional ada beberapa hukum positif yang menjadi acuan penerbangan sipil diantaranya Konvensi Chicago 1944 yang merupakan konstitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk menyelenggarakan penerbangan sipil internasional tersebut.


(26)

Menjelang perang dunia kedua (PD II), Presiden Amerika Serikat Roosevelt mengundang sekutu-sekutunya pada PD untuk mengadakan konfrensi Penerbangan Sipil Internasional di Chicago Pada tahun 1944. Hadir dalam konfrensi tersebut lima puluh empat delegasi, dua delegasi dalam kapasitasnya sebagai pribadi, sedangkan lima puluh dua delegasi mewakili negara masing-masing. Dua negara yang diundang, masing-masing Saudi Arabia dan Uni Soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil internasional tersebut.21

Ketidak hadiran Saudi Arabia tidak ada yang memasalahkan, hal ini berbeda dengan ketidakhadiran Uni Soviet yang dipermasalahkan kenapa Uni Soviet tidak hadir dalam konfrensi, padahal delegasi Uni Soviet sudah dalam perjalanan menuju Chicago, tiba-tiba diinstruksikan oleh pemerintahnya untuk tidak ikut dalam konfrensi penerbangan sipil Internasional tersebut. Diantaranya spekulasi pendapat mengapa Uni Soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil antara lain :

a. Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara asing beroperasi di Uni Soviet, sebab angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri;

b. Uni soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan Internasional, karena Uni Soviet mengutamakan keamanan nasional (national security)

dari pada kesejahteraan nasional (national prosperity).22

Uni Soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan sipil Internasional dengan alasan angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri, walaupun delegasinya sudah dalam perjalanan, kemungkinan ada benarnya sebab Uni Soviet mempunyai daerah yang cukup luas dan angkutan udara yang cukup

      

21 H.K.Martono,

Hukum Udara Nasional & Internasional Publik (Publik Internasional And National Air Law), ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), Hal.55.

22


(27)

banyak, tidak perlu mengadakan tukar menukar hak-hak penerbangan dengan negara lain, cukup mengeksploitasi sendiri tanpa adanya perusahaan penerbangan asing melakukan penerbangan ke atau dari Uni Soviet.

Spekulasi Uni soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil internasional dengan alasan keamanan nasional (national security) kemungkinan juga ada benarnya sebab Uni Soviet tidak menghendaki adanya pesawat udara asing terbang di atas Uni Soviet tanpa melakukan pendaratan. Hal ini dibuktikan bahwa setiap perjanjian angkutan udara angkutan udara internasional timbal balik, posisi Uni freedom Soviet selalu tidak menukarkan hak-hak penerbangan pertama

(first freedom of the air) yang memberi hak pesawat udara terbang di atas negara yang bersangkutan tanpa pendaratan (over flying), Pada umumnya sebelumnya mempertukarkan hak-hak penerbangan pertama (traffic right), ketiga(3rd freedom of the air) dan hak-hak penerbangan (traffic right), keempat (4th freedom of the air) selalu didahului dengan pertukaran hak-hak penerbangan kesatu (1st freedom of the air) dan kebebasan udara kedua (2nd freedom of the air).23

B. Tujuan konvensi penerbangan sipil menurut konvensi chicago tahun 1944

Editorial Media Indonesia, Jumat 7 agustus 2009 menyatakan bahwa faktor keselamatan penumpang merupakan indikator yang paling gampang untuk melihat seberapa maju dan beradab suatu dan negara.24

Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah

      

23

Perjanjian angkutan udara internasional timbal balik antara Indonesia dengan Uni Soviet tidak mempertukarkan kebebasan udara pertama (1st freedom of the air), sebab Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara Indonesia terbang di atas Uni Soviet tanpa mendarat.

24


(28)

dituangkan dalam berbagai SARPs (Standard and Recomemmended Practices)25 keamanan dan keselamatan transportasi. Bila tidak yang terjadi adalah bencana

(cattasthrope) yang beruntun.

Untuk itu Konfrensi Chicago 1944 yang mengatur tentang penerbangan sipil Internasional tampak dengan jelas pada pembukaan konvensi Chicago 1944.26 Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian, dan saling mengerti antarbangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerja sama antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil international, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur, dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat.27

Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau sering dikenal dengan Konvensi Chicago 1944.

Tujuan dari Konfrensi Penerbangan sipil Internasional tampak dengan jelas pada pembukaan Konvensi Penerbangan sipil Internasional yang

      

25

Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus menerus diperbarui oleh ICAO.

26

Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944.

27


(29)

ditandatangani di Chicago Tahun 1944.28 Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian, dan saling mengerti antar bangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerjasama antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Karena itu, negara-negara peserta konfrensi sepakat mengatur tentang prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur, dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat.29

Dalam Pasal 37 Konvensi Chicago dinyatakan :

Each contracting State Undertakes to collaborate in securing the highest practicable degree of uniformity in regulations, standards, procedures, and organization inrelation to aircraft, personnel, airways and auxiliary services in all matters in which such uiformity will facilitate and improve navigation...”.30

      

28

Convention On Iternational Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944. 29

H.K.Martono,Op.cit, hal.56-57.

30

Chapter VI International Standard And Recommended Practices Article 37 :

To This end the International Civil aviation Organization Shall adopt and amend from time to time, as may be necessary, international standards and recommamnded practices and procedue dealing with :

a. Communications systems and air navigation aids, including ground making; b. Characteristics of airports and landings area;

c. Rules of The air and air traffic control practices; d. Licensing of operating and mechanical personnel; e. Airworthinness of aircraft;

f. Registration and idenification of aircraft;

g. Collection and exchange of meteorological Information; h. Log book;

i. Aeronautical Maps;

j. Customs and immigration procedures;


(30)

Yang apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan negara peserta Konvensi Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan dan lain-lain) dengan peraturan standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar International Civil Aviation Organication (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbaharui

standar and Recommended practices (SARPs) yang dituangkan dalam Annexes 1-18 dengan berbagai dokumen dan circular penjabarannya yang harus dipatuhi oleh negara peserta Konvensi Chicago.

Bila negara tidak bisa melaksanakan atau tidak bisa mematuhi pasal-pasal tertentu dalam annex tersebut, negara tersebut harus segara memberitahu ICAO untuk kemudian diumumkan melalui lampiran dari annex terkait (Pasal 38). Demikian juga bila ada perubahan atau amandemen annex yang tidak bisa dipatuhi, maka negara tersebut harus memberitahu ICAO dalam kurun waktu 60 hari setelah pemberlakuan pemberitahuan tersebut.

Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundamental. Ada kurang lebih 10.000 standar dan 40 Quasi-Standar yang tercantum dalam Annex 1-18, ICAO beserta dokumen dan sirkulernya (circular).

Bila suatu negara tidak pernah mengirim perbedaan (differences) kepada ICAO maka berarti negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO. Indonesia termasuk negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO.

        l. And other matters concerned with the safety, regularity, and efficenttly of air


(31)

ICAO selalu membuat dan merubah standar-standar yang tertuang dalam Pasal-Pasal Annex maupun pedoman-pedoman dalam dokumen dan circular

ICAO sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi penerbangan. Di masa lalu ICAO seolah-olah tidak peduli dan tidak mau tahu apakah standar itu dipatuhi dan dilaksanakan oleh suatu negara atau tidak. Dalam posisi ini ICAO berperan sebagai Passive International Standar Setting Body. Perannya hanya membuat standar-standar yang berlaku bagi penerbangan sipil International.

Kini peran ICAO telah berubah, ICAO saat ini melakukan tiga peran. ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga (peran kedua) memonitor kepatuhan (compliance) yaitu memonitor pelaksanaan standar-standar yang telah ditetapkan untuk kemudian (peran ketiga) meminta negara mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak dipatuhi. ICAO kini berperan sebagai Proactive International Regulatory Body.31

Untuk mengetahui kepatuhan negara terhadap standar-standar yang telah ditetapkan, ICAO membuat program Universsal Safety Oversight Safety Audit (USOAP) yang dicetuskan pertama kali tanggal 1 Januari 1999 dalam resolusi sidang umum ICAO No.A32-11 setelah memperhatikan rekomendasi pertemuan para Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada tahun 1997. Sedangkan audit yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dilakukan dengan program

Universal Security Audit Program (USAP), USOAP dengan pola pendekatan sistematik mulai dilakukan pada 1 Januari 2005 setelah sebelumnya dilakukan audit dengan pola per Annex dan bersifat sukarela.32

      

31 Yaddy Supriyadi,

Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, (Tangerang:Telaga Ilmu Indonesia, 2012), hal.6.

32


(32)

Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat (powerfull) untuk memaksa negara anggota ICAO mematuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan. Hasil audit ICAO dapat dilihat di website ICAO, bisa dibaca oleh umum. Dengan mempublikasikan hasil audit ini maka ICAO telah melakukan

“naming and shaming” yaitu mengungkapkan ketidakpatuhan suatu negara dan mempermalukannya di masyarakat internasional.33

Dari audit kepatuhan USOAP tersebut ICAO menemukan 121 butir ketidakpatuhan tentang keselamatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia melalui rencana aksi perbaikan (corrective action plan). Sedangkan dari USAP ada 41 butir temuan ketidakpatuhan dalam aspek keamanan.34

Kepatuhan terhadap standar penerbangan international adalah aspek yang sangat fundamental, meskipun kepatuhan terhadap standar bukan jaminan mutlak tidak akan terjadi kecelakaan, namun penerbangan yang tidak dikelola dengan standar yang telah ditetapkan adalah sangat berbahaya. Penerbangan adalah aktivitas yang sangat sarat dengan peraturan dan prosedur yang ketat.

Dalam Safety Culture Evolution Spectrum ada lima tataran kategori organisasi penerbangan dalam berprilaku. Kategori pertama adalah organisasi yang tidak mau atau sulit mematuhi standar-standar ICAO karena menganggap bahwa kepatuhan tesebut hanya membuang-buang uang. Organisasi ini selalu berupaya menghindar dari mematuhi standar-stadar sehingga bisa menekan pengeluaran (ongkos). Organisasi memperoleh keuntungan (profit) karena penekanan terhadap pengeluaran biaya-biaya pelaksanaan standar-standar keselamatan penerbangan. Perusahaan memandang bahwa mematuhi peraturan

      

33

http: www.icao.int/ diunduh pada hari Senin, 15 April 2013, Pukul.15.00 WIB.

34


(33)

adalah ongkos yang sia-sia. Sejauh mungkin berupaya mengurangi kepatuhan

(Compliance) terhadap peraturan. Perbaikan yang dilakukan hanya bibir manis dan hanya untuk membuat senang auditor. Organisasi atau negara yang berperilaku seperti ini disebut sebagai organisasi atau negara yang patologis.

Dalam kategori kedua adalah, organisasi yang selalu berupaya mematuhi standar yang ditetapkan ICAO. Organisasi itu telah memiliki perangkat inspeksi dan audit internal. Dalam berpikir tentang keselamatan perusahaan ini bersifat taktis dan bukan strategis. Organisasi ini disebut organisasi reaktif, yaitu selalu bereaksi positif terhadap setiap perubahan standar dalam penerbangan.

Dalam kategori ketiga adalah organisasi yang telah mematuhi standar yang berlaku dan dibarengi dengan manajemen risiko. Mereka menyadari bahwa kepatuhan terhadap peraturan saja tidak dapat menggatasi setiap isu keselamatan. Mereka mengantisipasi dan berupaya mengidentifikasi ancaman (hazards)

terhadap penerbangan. Mereka mengeliminasi ancaman atau penerbangan yang berbahaya dan mengambil tindakan untuk mengurangi ancaman tersebut. Organisasi ini menyadari bahwa disamping harus patuh juga harus selalu mengidentifikasi ancaman-ancaman dalam keselamatan penerbangan dan menganalisis resikonya. Organisasi ini telah melaksanakan Safety Management System (SMS), telah melaksanakan sistem pelaporan (reporting system) dan terintegrasi serta dilaksanakan di semua lini operasional. Perusahaan telah berjalan dari pola kepatuhan ke pemikiran safety management. organisasi disebut organisasi kalkulatif.

Dalam kategori keempat adalah organisasi yang telah menyadari bahwa dengan kepatuhan terhadap standar dipadukan dengan manajemen resiko akan


(34)

tercipta keselamatan dan keamanan yang tinggi yang merupakan peluang dalam meraih keuntungan. Organisasi ini dapat keuntungan ekonomi bila perusahaan ini bisa melaksanakan standar-standar keselamatan yang tinggi. Perusahaan ini bisa membuat peraturan sendiri yang lebih tinggi dari peraturan standar. Organisasi ini disebut organisasi proaktif.

Dalam kategori kelima adalah organisasi yang memadukan keselamatan dan keamanan penerbangan secara terintegrasi secara penuh dalam bisnisnya. Keselamatan telah terintegrasi penuh kedalam sistem. Perusahaan berpikir tentang

bussiness sustainbility dan memaksimalkan profit dalam jangka panjang. Strateginya adalah membangun keselamatan dan isu-isu sosial lainnya dalam model bisnis perusahaan. Organisasi terbaik ini disebut organisasi generatif.35

C. Aspek Ekonomi Penerbangan Internasional Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944

Pada dasarnya masalah ekonomi mengatur terkait rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas tempat duduk, dan tarif transportasi udara. Dalam konfrensi Chicago masalah terkait dengan pembahasan ekonomi ini mengalami banyak kesulitan.

Amerika berpendapat bahwa hal tersebut biarlah diatur sendiri oleh perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar (supply & Demand). Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan kemampuannya, bilamana mampu bersaing biarlah berkembang dengan pesat, tetapi bilamana tidak mampu biarlah bangkrut dengan sendirinya.

      

35


(35)

Sedangkan posisi Inggris menyatakan aspek ekonomi biarlah pemerintah yang mengatur. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan pemerintah Inggris. Posisi demikian memang disadari oleh Inggris tidak ada jalan lain kecuali arus melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada lain termasuk dengan Amerika Serikat.

Usul gabungan (join proposal) yang disampaikan oleh australia dengan Selandia baru adalah dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamya dimilki oleh negara negara anggota organisasi penerbangan sipil internsional. Perusahaan penerbangan yang dibentuk tersebut melakukan rute-rute penerbangan internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di wilayah bersangkutan. Usul yang diajukan oleh Australia dan Selandia baru ini ditolak oleh konfrensi namun usul ini mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi Chicago 1944.36

Semua usul yang dikemukakan ditolak oleh konferensi penerbangan sipil internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944.37 Menurut Pasal tersebut “tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan di negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin

      

36

Nothing in this Convention shall prevent two or more contracting states from constituting joint air transport operating organiczation or international operating agencies and from pooling their air serviceces on any routes or in any regions, but such organization or agenies and such pooled services shall be subject to all the provisions of this Convention. Including those relating to the registration of aggrements with the council. The Councill shall determine in what mannerthe provisions of this convention relating to nationality or aircraft shall apply to aircraft operated by international operating agencies.

37

Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 “No Scheduled international air services may be operated over or into the teritory of a contaracting state, except with the special permission or other authorization of that state, and in accordance with the terms of such permission or autoriztion.


(36)

demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbal balik yang akan dibahas pada kesempatan yang lain.”

Di samping Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 yang mengatur pertukaran penerbangan internasional secara multilateral adalah Pasal 5 Konvensi Chicago 1944. Menurut pasal tersebut, “pesawat udara negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional yang melakukan penerbangan sipil internasional tidak berjadwal dapat melakukan ke negara anggota lainnya tanpa memperoleh izin lebih dahulu, tetapi negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan

(flown states) berhak menentukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerbangan internasional tidak berjadwal tersebut. Dalam praktiknya persyaratan-persyaratan tersebut begitu sulitnya sehingga ketentuan dalam Pasal 5 Konvensi Chicago 1944 praktis tidak dapat dilaksanakan atau dapat dikatakan Pasal yang mati (dead Letter).

Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan secara multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, karena itu konform Aggrement yang akan digunakan sebagai panduan dalam referensi penerbangan sipil Internsional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan

International Air Service Transit Aggrement dan International Air Transport Aggrement akan dibahas lebih lanjut. Di samping itu, konfrensi penerbangan sipil Internasional juga mengesahkan dokumen tentang International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944, interim Aggrement on International Civil Aviation Organization yang melahirkan Provisional International Civil Aviation Organization dan Chicago standard Form Aggrement yang akan digunakan


(37)

sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal balik.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa konfrensi Chicago yang ditandatangani pada 7 desember 1944 tersebut gagal menyetujui pertukaran secara multilateral mengenai hak-hak penerbangan, untuk mengurangi tingkat kegagalan tersebut, Konfrensi Chicago menyepakati persetujuan penerbangan lintas yang tercantum dalam international Air Service Transit Aggrement (IASTA), dan

International Air Transport Aggrement (IATA) sebagai berikut.

a. International Air Srvices Transit greement (IASTA)

persetujuan penerbangan lintas internasional atau International Air Service Transit agreement (IASTA)38

of 1944 yang ditanda tangani di Chicago tersebut merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral mempertukarkan hak-hak penerbangan (five freedom of the air ), yang sering dipertukarkan dalam perjanjian angkutan udara internasional. Hak-hak kebebasan udara tersebut adalah kebebasan udara ke-1 (1st freedom of the air), yaitu hak untuk terbang melintasi

(over fly) negara lain tanpa melakukan pendaratan, dan hak kebebasan udara ke-2

(2nd freedom of the air), yaitu hak untuk melakukan pendaratan di negara lain untuk keperluan operasional (technical landing), dan tidak berhak untuk mengambil dan /atau menurunkan penumpang dan/atau kargo secara komersial.

b. International Air Transport Agerement (IATA)

Persetujuan trasportasi udara internasional atau International Air Transport Aggreement (IATA) of 1944 yang ditanda tangani di Chicago pada 7

      

38

Lihat ICAO Doc.7500, International Air Services Transit aggrement, signed at Chicago on 7 December 1944.


(38)

Desember 1944 tersebut juga merupakan perjanjian internasional secara multilateral yang mempertukarkan hak-hak kebebasan udara (five freedom of the air) masing-masing kebebasan udara ke1,2,3,4,dan 5.39

Kebebasan udara ketiga (3rd freedom of the air) adalah hak untuk mengangkut penumpang, barang, dan pos secara komersial dari negara pendaftar pesawat udara ke-4 (4th freedom of the air) adalah hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari negara yang berjanji lainnya ke negara pesawat udara didaftarkan, sedangkan kebebasan udara ke lima (5th freedom of the air) ke negara ketiga di luar negara yang berjanji.40 Kebebasan udara tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian angkutan udara internasional timbal balik (bilateral air transport agreement).41

Sebenarnya secara teoritis terdapat delapan kebebasan udara (eight freedom of the air), namun dalam praktik hanya terdapat lima hak kebebasan udara (five freedom of the air). Kebebasan udara keenam (66th freedom of the air)

adalah pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial dari negara ketiga melewati negara tempat pesawat udara didaftarkan, kemudian diangkut kembali ke negara tujuan, misalnya penumpang dari Melbourne (Australia) diangkut oleh Garuda Indonesia melalui Jakarta, kemudian diangkut ke Bangkok (Thailand) kebebasan udara ke 7 (7th freedom of the air) adalah

      

39

Kebebasan udara (traffic right) 1,2,3,4 dan 5, dijelaskan secara lengkap dalam

McWhinney and Bradley Eds., Freedom of the Air. (Leyden: Oceana Publication.Dobb Press NY 1968).

40 Perjanjian transportasi udara timbal balik dan praktik angkutan udara internasional

dapat dibaca Lambtus Hendrik Slotemaker, Freedom Of Passage for International Air Services. (Leiden:A.W sijthoff’s Uitgevermijs NV, 1932).

41

Sesudah perang dunia ke II, pembuatan perjanjian angkutan udara timbal balik biasanya mengacu pada Bermuda agreement of 1946. Suatu perjanjian yang dibuat antara Inggris dengan amerika Serikat. Baca Diamond B.R. The Bermud Aggrement Revisited: A Look at the Past, Present and future of Bilateral Air Transport Agreement Vol.41(3) ALC 419-496 (1975). 


(39)

pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial semata-mata di luar negara yang mengadakan perjanjian, misalnya dalam perjanjian antara Indonesia dengan Thailand, suatu pengangkutan dari melbourne (Australia) ke Singapura, sedangkan kebebasan udara ke-8 (8th freedom of the air) adalah pengangkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah negara berdaulat yang biasa disebut dengan

cabotage. Cabotage adalah hak prerogatif negara berdaulat untuk menentukan transportasi dalam negeri guna kemanfaatan perusahaan penerbangan nasional. Hak tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing mana pun, ibaratnya uang dari kantong kiri akan dipindahkan ke kantong kanan, pasti tidak akan menyuruh kepada anak orang lain, melainkan menyuruh anaknya sendiri.42

      

42


(40)

BAB III

PENGATURAN ASPEK TEKNIS DAN OPERASIONAL

PENERBANGAN SIPIL MENURUT KONVENSI CHICAGO

1944

A. Kedaulatan Negara Dalam Konteks Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944

Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi

(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memperhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya. Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara, bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun keluar, mengatur hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain,

membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksananya, mengatur politik keluar negeri maupun dalam negeri, mengadakan hubungan internasional dengan negara lain, melindungi warga negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan sosial lainnya.43

Dalam Konvensi Montevedeo 1933,44 negara berdaulat harus memenuhi unsur-unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat mengadakan hubungan internasional, mempunyai wilayah darat, laut maupun

      

43

H.K.Martono, Op.cit, hal.64.

44


(41)

udara,45 walaupun persyaratan wilayah tidak merupakan persyaratan mutlak46 untuk negara berdaulat. Negara berdaulat melaksanakan prinsip yurisdiksi teritorial (territorial jurisdiction principle) di samping prinsip-prinsip yurisdiksi lainnya.47

Wilayah kedaulatan suatu negara dapat diperoleh karena penguasaan

(Ocupation), aneksasi, pertumbuhan (accrestion), Cessie, kedaluwarsa dan perang. Perolehan wilayah karena pengusaan seperti Eastern greenland yang disengketakan oleh Denmark dan Swedia, Pulau Palmas Yang disengketakan antara Amerika Serikat dengan Belanda, Pulau Ligitan dan Sipadan yang disengketakan antara Indonesia dengan Malaysia, sedangkan perolehan karena aneksasi misalnya Kuwait diserbu dan diduduki oleh Irak kemudian dijadikan Provinsi ke-19, Korea Utara diduduki oleh Jepang pada 1910. Perolehan wilayah karena pertumbuhan (accrestion) berdasarkan teori hukum Romawi terjadi secara alamiah, sedangkan perolehan wilayah karena cessie misalnya Alaska yang diberikan Uni Soviet kepada Amerika Serikat, Lotharingen diberikan oleh Prancis kepada Jerman. wilayah kedaulatan Republik Indonesia diperoleh karena perang kemerdekaan Indonesia dengan Belanda.48

a. Batas Wilayah Udara

1. Batas Wilayah Udara Secara Horizontal

Batas wilayah udara secara horizontal mengacu kepada Pasal 2 konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan konvensi Chicago

      

45

Menurut Konvensi Montevedeo 1933, persyaratan negara berdaulat adalah a permanent populations; a defined territory; a government and a capacity to enter into relation with other states.

46

Dalam praktik hukum internasional, Israel dalam Tahun 1948 tidak mempunyai wilayah, tetapi tetap diakui sebagai negara berdaulat.

47 Prinsip-prinsip yurisdiksi lainnya adalah

Passive National Jurisdiction principole, active national jurisdiction principle & Universal jurisdiction principle.

48


(42)

1944 yang dimaksudkan wilayah adalah batas wilayah negara (state teritory),

walaupun tidak secara tegas disebutkan, semua negara mengakui bahwa tidak ada negara negara manapun yang berdaulat di laut lepas (high seas),49demikian dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice) dalam kasus sengketa Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut ditafsirkan “The natural meaning of the term is its geographical meaning” yaitu ruang dimana terdapat “udara (air)”. Lingkup yurisdiksi teritorial suatu negara diakui dan diterima oleh negara anggota konvensi Chicago 1944 terus keatas sampai tidak terbatas.

Dalam hubungannya dengan kedaulatan laut teritorial, masih banyak negara-negara yang menuntut lebar laut teritorial ke arah laut lepas.50 Mereka menuntut lebar laut teritorial sampai 200 mil laut ke arah laut lepas seperti Inggris. Tuntutan lebar laut teritorial ke arah laut lepas demikian dapat dimengerti karena adanya tuntutan negara pantai terhadap Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) untuk memperoleh hak berdaulat atas sumber daya alam hayati maupun non hayati, apalagi dengan adanya praktik secara sepihak Amerika Serikat untuk menetapkan jalur tambahan di ruang udara yang dikenal dengan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Zone- ADIZ) yang kemudian diikuti oleh Kanada dengan konsep CADIZ (Canada Air Defense Identification Zone) .

Amerika Serikat dalam ADIZ menyatakan bahwa setiap pesawat udara yang terbang ke Amerika Serikat, dalam jarak 200 mil Laut sebelum memasuki wilayah Amerika Serikat harus jati Diri (Ident). Mengenai tindakan sepihak oleh

      

49

Cheng.B, The Law of International Air Transport. (London:Institute of World affair, 1982) hal.120-127.

50 Milde,

United Nations Convention on the law of the sea : Possible Implication For air International Law. Lihat Matte N.M.,E.d., Annals of Air Law and Space Law, Vol.III. (Toronto, Kanada: The Carswell Company Ltd, 1983), hal.168.


(43)

Amerika Serikat dan Kanada berbagai penulis berpendapat tindakan tersebut tidak ada jaminan dan merupakan pelanggaran hukum internasional,51 sedangkan penulis lain berpendapat bahwa tindakan sepihak oleh Amerika Serikat dan Kanada tersebut merupakan “precedent” berdasarkan teori dan perlindungan yang sejalan dengan konsep jalur tambahan (contiquous zone ) dalam hukum laut internasional.

Walaupun tindakan sepihak oleh Amerika Serikat dan Kanada tersebut masih dipertanyakan legalitasnya, kedua negara tersebut tetap mempertahankan jalur tambahan di ruang udara tersebut meskipun tidak berdaulat secara penuh dan utuh di jalur tambahan tersebut. Mengenai wilayah udara di Amerika Serikat juga diatur dalam section 101 Federal Aviation Act of 1958.52 Menurut Section 101 Federal Aviation Act of 1958 tersebut wilayah udara Amerika Serikat terdiri dari beberapa negara, distrik Columbia dan beberapa wilayah di bawah otoritas Amerika Serikat termasuk laut teritorial beserta ruang udara di atasnya.

2. Batas wilayah Udara secara Vertikal

Konvensi Chicago 1944, tidak mengatur batas wilayah udara secara vertikal, walaupun Konvensi Chicago 1944 telah mengatur berbagai masalah penerbangan seperti ketentuan-ketentuan mengenai cabotage53, pengawasan pesawat udara tanpa awak pesawat udara,54 kewenangan menetapkan daerah terlarang (prohibited Area),55 dll. Namun dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 telah dinyatakan kewenangan pengaturan kedaulatan mengakui bahwa setiap

      

51 Shawcross and Beumont, 1977: hal. 182. 52

Section 501 Federal Aviation Act of 1958: “United States Means Severl States, the district of Columbia and the Several territorial and possesions of the Unied State including the teritorial waters and overlying airspace.

53 Lihat Pasal 7 Konvensi Chicago 1944. 54

Pasal 8 Konvensi Chicago 1944.

55


(44)

negara berdaulat mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang di atas wilayahnya.56 Pasal ini mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919

“the high contracting states recognize that ever power has complate and exclusive over the air space above its territory” yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan tersebut dapat diselesaikan saat konvensi Paris 1919 ditandatangani.57

Intinya setelah Perang dunia pertama berakhir disepakati bahwa tiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang diambil kembali dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam hubungan ini, pengakuan kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara anggota, melainkan juga berlaku terhadap bukan negara anggota Konvensi Chicago 1944. Hal ini jelas dengan adanya istilah every state.

Pasal 2 konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan konvensi Chicago 1944 yang dimaksudkan adalah batas wilayah negara

(state territory). Dengan demikian, secara tegas bahwa berlaku juga terhadap bukan negara anggota. Lebih lanjut walaupun tidak secara tegas disebutkan semua negara mengakui bahwa tidak ada negara manapun yang berdaulat di laut lepas

(high seas). Lebih lanjut konvensi chicago 1944 juga tidak membuat pengertian apa yang dimaksudkan dengan wilayah udara (airspace), namun demikian, pengertian tersebut dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional

      

56

The Contracting Parties recognize that every sovereign state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its teritory.

57


(45)

(Permanent Court Of International Justice) dalam kasus sengketa Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut ditafsirkan “the natural meaning of the term is its geographical meaning”. Yaitu ruang dimana terdapat udara (air). Lingkup yurisdiksi teritorial suatu negara diakui dan diterima oleh negara anggota Konvensi Chicago 1944 terus keatas sampai tidak terbatas dan ke bawah bumi sepanjang dapat diekploitasi.58

Kedaulatan ini ditunjukkan dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944.59 Menurut pasal tersebut setiap negara (termasuk Indonesia) berhak menolak pemberian izin pesawat udara asing yang melakukan angkutan penumpang, barang dan pos secara komersial dalam negeri.60 Secara historis ini dikenal dengan asas cabotage berasal dari hukum maritim. Istilah “cabotage” berasal dari kata

“cabot” atau “chabot” dari bahasa Perancis yang artinya kapal kecil. Istilah tersebut mungkin berasal dari bahasa spanyol asal perkataan “cabo” yang berarti

“cape” (tanjung) yang artinya angkutan dari tanjung tanjung ke tanjung yang lain dalam satu pantai misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta ke Tanjung Emas di semarang, kemudian berkembang dari satu tanjung ke tanjung lain dalam pantai yang berbeda, misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta Ke Banjarmasin.61

Intinya dalam Pasal 7 Konvensi chicago 1944 asas cabotage merupakan hak prerogatif kepada negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk mengatur angkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial

      

58

H.K.martono, Op.cit, hal.18-19.

59

Pasal 7 Konvensi Chicago menyatakan : “’Each Contracting state shall have the right to refuse permission to the aircraft of other contracting States to take on in its territory passangers, mail and cargo carried for remuneration or hire and destined for another point within its territory. Each cotracting state undertakes not enter into any arrangements which specifically grant any such privilege on an exclusive basis to any other state or an airline of any other state, and not to obtain any such exclusive privilege from any other state.

60 H.K.Martono & Amad Sudiro,

Hukum Angkutan Udara, (Jakarta:Rajawali Pers,2011), hal.50.

61


(1)

of this Chapter in previously agreed proportions over a reasonable period of time to the contracting States consenting thereto whose airlines use the facilities. The Council may also assess to States that consent any working funds that are required.

Article 74

Technical assistance and utilization of revenues When the Council, at the request of a contracting State, advances funds or provides airports or other facilities in whole or in part, the arrangement may provide, with the consent of that State, for technical assistance in the supervision and operation of the airports and other facilities, and for the payment, from the revenues derived from the operation of the airports and other facilities, of the operating expenses of the airports and the other facilities, and of interest and amortization charges.

Article 75

Taking over of facilities from Council A contracting State may at any time discharge any obligation into which it has entered under Article 70, and take over airports and other facilities which the Council has provided in its territory pursuant to the provisions of Articles 71 and 72, by paying to the Council an amount which in the opinion of the Council is reasonable in the circumstances. If the State considers that the amount fixed by the Council is unreasonable it may appeal to the Assembly against the decision of the Council and the Assembly may confirm or amend the decision of the Council.

Article 76

Return of funds Funds obtained by the Council through reimbursement under Article 75 and from receipts of interest and amortization payments under Article 74 shall, in the case of advances originally financed by States under Article 73, be returned to the States which were originally assessed in the proportion of their assessments, as determined by the Council.

CHAPTER XVI

JOINT OPERATING ORGANIZATIONS AND POOLED SERVICES

Article 77

Joint operating organizations permitted Nothing in this Convention shall prevent two or more contracting States from constituting joint air transport operating organizations or international operating agencies and from pooling their air services on any routes or in any regions, but such organizations or agencies and such pooled services shall be subject to all the provisions of this Convention, including those relating to the registration of agreements with the Council. The Council shall determine in what manner the provisions of this Convention relating to nationality of aircraft shall apply to aircraft operated by international operating agencies.


(2)

Article 78

Function of Council The Council may suggest to contracting States concerned that they form joint organizations to operate air services on any routes or in any regions.

Article 79

Participation in operating organizations A State may participate in joint operating organizations or in pooling arrangements, either through its government or through an airline company or companies designated by its government. The companies may, at the sole discretion of the State concerned, be state-owned or partly stateowned or privately owned.

PART IV FINAL PROVISIONS

CHAPTER XVII

OTHER AERONAUTICAL AGREEMENTS AND ARRANGEMENTS

Article 80

Paris and Habana Conventions Each contracting State undertakes, immediately upon the coming into force of this Convention, to give notice of denunciation of the Convention relating to the Regulation of Aerial Navigation signed at Paris on October 13, 1919 or the Convention on Commercial Aviation signed at Habana on February 20, 1928, if it is a party to either. As between contracting States, this Convention supersedes the Conventions of Paris and Habana previously referred to.

Article 81

Registration of existing agreements All aeronautical agreements which are in existence on the coming into force of this Convention, and which are between a contracting State and any other State or between an airline of a contracting State and any other State or the airline of any other State, shall be forthwith registered with the Council.

Article 82

Abrogation of inconsistent arrangements The contracting States accept this Convention as abrogating all obligations and understandings between them which are inconsistent with its terms, and undertake not to enter into any such obligations and understandings. A contracting State which, before becoming a member of the Organization has undertaken any obligations toward a non-contracting State or a national of a non-contracting State or of a non-non-contracting State inconsistent with the terms of this Convention, shall take immediate steps to procure its release from the obligations. If an airline of any contracting State has entered into any such inconsistent obligations, the State of which it is a national shall use its best efforts to secure their termination forthwith and shall in any event cause them to be terminated as soon as such action can lawfully be taken


(3)

Registration of new arrangements Subject to the provisions of the preceding Article, any contracting State may make arrangements not inconsistent with the provisions of this Convention. Any such arrangement shall be forthwith registered with the Council, which shall make it public as soon as possible.

CHAPTER XVIII DISPUTES AND DEFAULT

Article 84

Settlement of disputes If any disagreement between two or more contracting States relating to the interpretation or application of this Convention and its Annexes cannot be settled by negotiation, it shall, on the application of any State concerned in the disagreement, be decided by the Council. No member of the Council shall vote in the consideration by the Council of any dispute to which it is a party. Any contracting State may, subject to Article 85, appeal from the decision of the Council to an ad hoc arbitral tribunal agreed upon with the other parties to the dispute or to the Permanent Court of International Justice. Any such appeal shall be notified to the Council within sixty days of receipt of notification of the decision of the Council.

Article 85

Arbitration procedure If any contracting State party to a dispute in which the decision of the Council is under appeal has not accepted the Statute of the Permanent Court of International Justice and the contracting States parties to the dispute cannot agree on the choice of the arbitral tribunal, each of the contracting States parties to the dispute shall name a single arbitrator who shall name an umpire. If either contracting State party to the dispute fails to name an arbitrator within a period of three months from the date of the appeal, an arbitrator shall be named on behalf of that State by the President of the Council from a list of qualified and available persons maintained by the Council. If, within thirty days, the arbitrators cannot agree on an umpire, the President of the Council shall designate an umpire from the list previously referred to. The arbitrators and the umpire shall then jointly constitute an arbitral tribunal. Any arbitral tribunal established under this or the preceding Article shall settle its own procedure and give its decisions by majority vote, provided that the Council may determine procedural questions in the event of any delay which in the opinion of the Council is excessive.

Article 86

Appeals Unless the Council decides otherwise any decision by the Council on whether an international airline is operating in conformity with the provisions of this Convention shall remain in effect unless reversed on appeal. On any other matter, decisions of the Council shall, if appealed from, be suspended until the appeal is decided. The decisions of the Permanent Court of International Justice and of an arbitral tribunal shall be final and binding.


(4)

Article 87

Penalty for non-conformity of airline Each contracting State undertakes not to allow the operation of an airline of a contracting State through the airspace above its territory if the Council has decided that the airline concerned is not conforming to a final decision rendered in accordance with the previous Article.

Article 88

Penalty for non-conformity by State The Assembly shall suspend the voting power in the Assembly and in the Council of any contracting State that is found in default under the provisions of this Chapter.

CHAPTER XIX WAR Article 89

War and emergency conditions In case of war, the provisions of this Convention shall not affect the freedom of action of any of the contracting States affected, whether as belligerents or as neutrals. The same principle shall apply in the case of any contracting State which declares a state of national emergency and notifies the fact to the Council.

CHAPTER XX ANNEXES

Article 90 Adoption and amendment of Annexes:

(a) The adoption by the Council of the Annexes described in Article 54, subparagraph (l), shall require the vote of two-thirds of the Council at a meeting called for that purpose and shall then be submitted by the Council to each contracting State. Any such Annex or any amendment of an Annex shall become effective within three months after its submission to the contracting States or at the end of such longer period of time as the Council may prescribe, unless in the meantime a majority of the contracting States register their disapproval with the Council.

(b) The Council shall immediately notify all contractingStates of the coming into force of any Annex or amendment thereto.

CHAPTER XXI

RATIFICATIONS, ADHERENCES, AMENDMENTS, AND DENUNCIATIONS

Article 91 Ratification of Convention :

(a) This Convention shall be subject to ratification by the signatory States. The instruments of ratification shall be deposited in the archives of the Government of the United States of America, which shall give notice of the date of the deposit to each of the signatory and adhering States.


(5)

instrument of ratification.

(c) It shall be the duty of the Government of the United States of America to notify the government of each of the signatory and adhering States of the date on which this Convention comes into force.

Article 92 Adherence to Convention:

(a) This Convention shall be open for adherence by members of the United Nations and States associated with them, and States which remained neutral during the present world conflict.

(b) Adherence shall be effected by a notification addressed to the Government of the United States of America and shall take effect as from the thirtieth day from the receipt of the notification by the Government of the United States of America, which shall notify all the contracting States.

Article 93

Admission of other States States other than those provided for in Articles 91 and 92 (a) may, subject to approval by any general international organization set up by the nations of the world to preserve peace, be admitted to participation in this Convention by means of a four-fifths vote of the Assembly and on such conditions as the Assembly may prescribe: provided that in each case the assent of any State invaded or attacked during the present war by the State seeking admission shall be necessary.

Article 93 bis

(a) Notwithstanding the provisions of Articles 91, 92 and 93 above:

(1) A State whose government the General Assembly of the United Nations has recommended be debarred from membership in international agencies established by or brought into relationship with the United Nations shall automatically cease to be a member of the International Civil Aviation Organization;

(2) A State which has been expelled from membership in the United Nations shall automatically cease to be a member of the International Civil Aviation Organization unless the General Assembly of the United Nations attaches to its act of expulsion a recommendation to the contrary.

(b) A State which ceases to be a member of the International Civil Aviation Organization as a result of the provisions of paragraph (a) above may, after approval by the General Assembly of the United Nations, be readmitted to the International Civil Aviation Organization upon application and upon approval by a majority of the Council.

(c) Members of the Organization which are suspended from the exercise of the rights and privileges of membership in the United Nations shall, upon the request of the latter, be suspended from the rights and privileges of membership in this Organization.


(6)

Article 94 Amendment of Convention

(a) Any proposed amendment to this Convention must be approved by a two-thirds vote of the Assembly and shall then come into force in respect of States which have ratified such amendment when ratified by the number of contracting States specified by the Assembly. The number so specified shall not be less than twothirds of the total number of contracting States. (b) If in its opinion the amendment is of such a nature as to justify this course,

the Assembly in its resolution recommending adoption may provide that any State which has not ratified within a specified period after the amendment has come into force shall thereupon cease to be a member of the Organization and a party to the Convention.

Article 95 Denunciation of Convention

(a) Any contracting State may give notice of denunciation of this Convention three years after its coming into effect by notification addressed to the Government of the United States of America, which shall at once inform each of the contracting States.

(b) Denunciation shall take effect one year from the date of the receipt of the notification and shall operate only as regards the State effecting the denunciation.

CHAPTER XXII DEFINITIONS

Article 96 For the purpose of this Convention the expression:

(a) "Air service" means any scheduled air service performed by aircraft for the public transport of passengers, mailor cargo.

(b) "International air service" means an air service which passes through the air space over the territory of more than one State.

(c) "Airline" means any air transport enterprise offering or operating an international air service.

(d) "Stop for non-traffic purposes" means a landing for any purpose other than taking on or discharging passengers, cargo or mail.

SIGNATURE OF CONVENTION IN WITNESS WHEREOF, the undersigned plenipotentiaries, having been duly authorized, sign this Convention on behalf of their respectivegovernments on the dates appearing opposite their signatures. DONE at Chicago the seventh day of December 1944, in the English language. A text drawn up in the English, French and Spanish languages, each of which shall be of equal authenticity, shall be open for signature at Washington, D.C. Both texts shall be deposited in the archives of the Government of the United States of America, and certified copies shall be transmitted by that Government to the governments of all the States which may sign or adhere to this Convention.


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

3 100 84

Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi Internasional

2 116 109

TANGGUNG JAWAB HUKUM MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIDERITA OLEH PENUMPANG PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA DI INDONESIA.

0 2 9

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP PENUMPANG ATAS TERTUNDANYA PENERBANGAN (DELAY) BERDASARKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA.

1 5 49

Tanggung Jawab Negara Untuk Keselamatan Lalu Lintas Penerbangan Di Timor Leste Berdasarkan Chicago Convention 1944 Dan Timor Leste Civil Aviation Basic Law.

0 0 14

TANGGUNG JAWAB SQ TERHADAP RUSAKNYA BAGASI MILIK AM KARENA KELALAIAN MASKAPAI PENERBANGAN BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.

0 0 1

STATUS HUKUM PESAWAT UDARA SIPIL YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA PENGHANCUR BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944.

0 0 2

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 2 36

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 16