19
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Hal ini terutama ditandai dengan menurunnya arus penumpang angkutan udara, sementara arus penumpang angkutan laut terjadi peningkatan. Sehingga
sektor ini masih mengalami pertumbuhan positif.
1.2.8. Sektor Keuangan-Persewaan-Jasa Transportasi
Pertumbuhan sektor ini pada triwulan laporan juga diperkirakan melambat menjadi sebesar 16,10 yoy, atau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada
triwulan IV-2009 yang sebesar 18,24. Beberapa indikator perlambatan pertumbuhan sektor ini ditandai relatif stagnannya pertumbuhan Nilai Tambah Bruto
NTB Bank Umum serta melambatnya pembiayaan lembaga keuangan non bank.
Grafik 1.13. Prompt Indikator Kinerja Sektor Keuangan-Persewaan-Jasa Perusahaan Nilai Tambah Bruto
Bank Umum Pembiayaan Lemb. Keuangan Non Bank
PT. Pegadaian
1.2.9. Sektor Jasa-jasa
Pertumbuhan sektor ini, diperkirakan didorong oleh belanja operasional pemerintah daerah, sementara subsektor hiburanrekreasi diperkirakan mengalami penurunan yang
disebabkan karena berkurangnya frekuensi hari libur selama triwulan I-2010.
Grafik 1.14. Prompt Indikator Kinerja Sektor Jasa-jasa Konsumsi Listrik Sektor Sosial
Konsumsi Listrik Sektor Pemerintah
5 10
15 20
25 30
35 40
1 2
3 4
5 6
7 8
9
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2008
2009 2010
T ri
ly u
n Rp
NTB SULSEL
y.o.y
Sbr : LBU ‐ BI
Sementara
10 20
30 40
50 60
70 80
‐ 100
200 300
400 500
600
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2008
2009 2010
M il
li o
n s
Sbr : Kanwil Pegadaian Mks
Sementara
‐60 ‐50
‐40 ‐30
‐20 ‐10
10 20
30
15 16
17 18
19 20
21 22
23 24
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Ju ta
G W
H
Sosial y.o.y
Sbr : PLN Divre VII
Sementara
‐50 50
100 150
200
10 15
20 25
30 35
40 45
50
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Ju ta
G W
H
Gd Kantor Pemerintahan
y.o.y Sbr :
PLN Divre VII Sementara
20
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Konsumsi Listrik Umum Penerangan Jalan Umum
Dengan kondisi tersebut maka pada triwulan laporan, sektor ini diperkirakan sedikit mengalami peningkatan pertumbuhan yaitu dari 3,39 yoy pada triwulan IV-2009 menjadi
sebesar 3,84.
‐70 ‐60
‐50 ‐40
‐30 ‐20
‐10 10
20
‐ 5
10 15
20 25
30
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Ju ta
G W
H
Penerangan Jln Umum
y.o.y
21
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
BOKS I MAPPING PRODUK UNGGULAN SAAT INI DAN PROSPEKNYA
DALAM MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS ASEAN - CHINA ZONA SULAMPUA
Untuk memetakan dampak perdagangan bebas ASEAN-China terhadap produk unggulan daerah, seluruh KBI di zona Sulampua telah melakukan survei terhadap perusahaan-perusahaan eksportir
di daerah masing-masing. Terdapat 2 jenis komoditas yang menjadi sasaran analisis, yaitu biji kakaocoklat, dan hasil perikanan.
No. Komoditas
Jumlah Responden
Lokasi
1. Biji Kakao
12 Sulsel, Sulteng, Sulbar, Sultra, dan Gorontalo
4. Hasil Perikanan
8 Maluku, Malut, Irian Jaya
Komoditas Biji Kakao
Biji Kakao di Indonesia banyak dihasilkan di daerah timur, terutama di Provinsi Sulteng, Sultra, Sulsel, dan Sulbar. Sebanyak +80 hasil produksi biji kakao Indonesia dijual ke luar negeri karena
industri pengolahan kakao di dalam negeri masih kurang berkembang. Negara utama tujuan ekspor biji kakao responden adalah Malaysia 44,7 dan Amerika Serikat 42,0, diikuti oleh
Brazil 11,3. Dalam hubungannya dengan ACFTA, biji kakao masuk ke dalam komoditas yang dikelompokkan
dalam Normal Track 1 NT1. Pemberlakuan tarif bea masuk yang semula 5 sudah diturunkan hingga 0 sejak Januari 2009.
Berlakunya ACFTA bagi sebagian besar responden 66,7 dianggap dapat meningkatkan peluang pasar karena akan ada peningkatan permintaan dari Cina, Malaysia, atau Thailand.
Peningkatan permintaan tersebut selain karena tarif masuk nol persen sesuai kesepakatan ACFTA, juga dapat didorong oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor.
Peluang untuk menjual komoditas ke negara-negara tersebut didukung pula oleh fakta bahwa 91,7 responden tidak merasakan adanya non-tariff barrier dari negara tujuan ekspor.
Namun perkiraan peningkatan peluang pasar belum tentu dapat diikuti dengan peningkatan penjualan dalam level yang sama. Terbatasnya volume produksi kakao menjadi penghambat utama
dialami oleh 75 responden dalam peningkatan penjualan. Keterbatasan tersebut disebabkan oleh umur tanaman kakao di Indonesia yang sudah terlalu tua dan masalah serangan hama.
Untuk mengatasi masalah ini, eksportir kakao menaruh harapan besar pada Gerakan Nasional Gernas Kakao yang dilakukan pemerintah.
Dalam menghadapi ACFTA, strategi utama eksportir kakao adalah meningkatkan kualitas kakao yang di-ekspor untuk meningkatkan harga jualnya. Bila ditarik lebih jauh, strategi peningkatan
kualitas tersebut perlu dijawab oleh para petani kakao. Tanaman kakao yang tua seperti di Indonesia semakin lama akan semakin turun kualitas bijinya. Peremajaan tanaman kakao yang
sekarang dijalankan lewat Gernas Kakao diharapkan dapat meningkatkan kuantitas maupun kualitas biji kakao di Indonesia. Cara lain untuk meningkatkan kualitas kakao adalah dengan
memberi perlakuan yang benar pada kakao setelah selesai dipanen, sehingga mampu memenuhi standar kualitas internasional. Dalam hal ini, peran asosiasi sangat besar untuk memberikan
sosialisasi dan pelatihan kepada para petani kakao.
22
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Strategi yang diambil oleh para eksportir dalam menghadapi ACFTA adalah peningkatan kualitas biji kakao yang diharapkan dapat memberi manfaat yang semakin besar terhadap peluang pasar
yang terbuka dengan berlakunya ACFTA.
Permasalahan yang dialami oleh eksportir biji kakao di Sulampua
Hasil Perikanan
Responden perusahaan hasil perikanan di Sulampua, yang tersebar di Propinsi Maluku, Maluku Utara, dan Jayapura, menyatakan bahwa pasar untuk jual-beli ikan di pasar global memiliki
permintaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah ikan yang dihasilkan. Kondisi tersebut menyebabkan tingkat persaingan antar negara penghasil ikan relatif kecil, karena pasar yang
tersedia masih cukup luas.
Berdasarkan hasil survei, perusahaan di Sulampua menjual sebagian besar hasil tangkapannya ke Jepang 81,4. Negara tujuan ekspor terbesar kedua adalah Amerika Serikat dengan pangsa
11,3 dari total ekspor responden. Sedangkan ekspor ke negara ASEAN dan Cina hanya mencapai 7,1, dan hanya dilakukan oleh satu responden. Terbaginya komposisi pangsa negara
tujuan ekspor tersebut banyak dibentuk oleh permintaan pasar, dimana jenis ikan hasil tangkapan Indonesia banyak diminati oleh konsumen di Jepang dan Amerika Serikat.
Berlakunya ACFTA bagi sebagian responden diperkirakan akan meningkatkan peluang pasar, namun tidak banyak berpengaruh pada peningkatan penjualan. Walaupun peluang pasar cukup
terbuka, eksportir memiliki minat yang kecil untuk memanfaatkannya karena ketersediaan ikan yang terbatas. Terbatasnya ketersediaan bahan baku menjadi penghambat dalam peningkatan
penjualan, terutama dari sisi kuantitasnya. Adanya pembatasan wilayah penangkapan karena otonomi daerah dan pengaruh cuaca yg ekstrem telah menekan produksi ikan Sulampua. Selain
itu biaya energi berupa BBM solar untuk kapal penangkap ikan ikut mendorong keterbatasan perusahaan perikanan melakukan ekspansi pasar.
Permasalahan yang Dialami Perusahaan Perikanan di Sulampua
Catatan : Kesulitan Lainnya antara lain cuaca buruk dan mengecilnya fishing ground sebagai dampak otonomi daerah 50,0
33,3
0,0 16,7
16,7 75,0
33,3
10 20
30 40
50 60
70 80
P e
rs e
n ta
se R
e sp
o n
d e
n
50.0 37.5
12.5 25.0
12.5 25.0
50.0
10 20
30 40
50 60
P e
rs e
n ta
se R
e sp
o n
d e
n
23
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Dalam menghadapi ACFTA, strategi utama perusahaan perikanan adalah melakukan efisiensi biaya. Ini berkaitan dengan permasalahan mahalnya harga BBM yang menjadi pembatas bagi perusahaan
untuk meningkatkan hasil penangkapannya. Untuk mengatasi permasalahan ini perusahaan mengharapkan bahwa subsidi BBM pemerintah untuk penangkap ikan kecil dan menengah
direalisasikan dengan tepat sasaran.
24
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
BOKS II PENGARUH PERDAGANGAN BEBAS ACFTA TERHADAP
POTENSI PEMBIAYAAN DAERAH DI ZONA SULAMPUA
ACFTA membawa kekhawatiran bagi sebagian sektor usaha, tetapi juga menjadi peluang bagi sebagian sektor usaha lain. Bagi sektor usaha yang tidak mampu bersaing dengan produk Cina,
ACFTA dikhawatirkan memperburuk kinerja usaha. Sedangkan, bagi sektor usaha yang menggunakan barang negara ASEANCina sebagai bahan baku atau barang dagangan,
perdagangan bebas dapat menurunkan beban biaya yang pada akhirnya dapat meningkatkan margin usaha atau keuntungan. Untuk menangkap dampak dan peluang ACFTA terhadap
pembiayaan, dilakukan survei terhadap beberapa BPR dan bank yang berkantor pusat di Sulawesi, Maluku, dan Papua serta kepada debitur bank-bank tersebut.
Berdasarkan hasil survei dan interview kepada perbankan, debitur terbesar di bank-bank tersebut berasal dari sektor konstruksi, properti dan pengangkutan. Dengan demikian berlakunya ACFTA
diperkirakan tidak berpengaruh negatif pada kinerja debitur besar perbankan daerah. Dampak ACFTA terhadap debitur UMKM diperkirakan sangat kecil karena kredit UMKM mayoritas
disalurkan untuk sektor lain-lain konsumtif dan sektor perdagangan. Untuk sektor perdagangan, ACFTA justru diperkirakan akan membawa dampak positif karena pedagang bisa mendapatkan
margin yang lebih besar dengan menjual barang-barang buatan Cina. Survei juga dilakukan kepada 105 debitur bank yang berkantor pusat di Sulawesi, Maluku, dan
Papua BPD dan BPR. Responden secara umum didominasi oleh debitur UMKM dari sektor usaha perdagangan-hotel-restoran. Sementara jumlah responden besar cukup terbatas dan 66,7
berasal dari sektor konstruksi. Sebanyak 81 responden menjawab bahwa pemberlakuan ACFTA tidak berpengaruh terhadap kinerja usaha. Sebanyak 12 responden mengatakan bahwa ACFTA
berpotensi meningkatkan keuntungan, terutama untuk sektor usaha yang menggunakan bahan baku impor serta sektor yang memperjualbelikan produk impor. Hanya 6,7 responden yang
memperkirakan akan ada dampak negatif, namun tidak sampai mengganggu kelancaran pembayaran kredit.
Pengaruh ACFTA Terhadap Usaha Responden Debitur Bank Berkantor Pusat di Daerah
100,00 87,50
82,26 66,67
71,43 57,14
20 40
60 80
100
Pertanian Ind.
Pengolahan PHR
TransportKomun… Konstruksi
Jasa ‐Jasa
Menguntungkan Merugikan
Tdk Berpengaruh
7 14
3 62
8 11
Jml Resp.
25
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Bab 2
Perkembangan Inflasi
Laju inflasi tahunan di Sulsel pada triwulan I-2010 tercatat sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, namun cenderung sama dengan laju inflasi nasional. Laju
inflasi Sulsel pada triwulan I-2010 tercatat sebesar 3,46 yoy, sementara pada triwulan IV- 2009 sebesar 3,39 yoy dan laju inflasi nasional sebesar 3,43. Peningkatan laju inflasi
tersebut, diperkirakan karena pada awal triwulan I-2010 terdapat kecenderungan naiknya harga pada beberapa komoditas seperti beras, gula dan juga pada kelompok sayur-sayuran.
Kelompok utama yang menjadi penyebab meningkatnya laju inflasi triwulan ini adalah pendidikan 7,09; yoy makanan jadi 6,22; yoy dan perumahan 3,48; yoy.
Kemudian kelompok yang mengalami laju inflasi cukup rendah adalah sandang 2,17; yoy dan transpor 1,18; yoy.
Terkait dengan target inflasi nasional pada tahun 2010 sebesar 5 ±
1, maka laju inflasi Sulsel sampai dengan Maret 2010 yang sebesar 0,98 ytd menunjukan bahwa inflasi
di Sulsel masih berada pada tingkat yang terkendali. Mengacu pada arah pergerakan inflasi yang relatif semakin berhimpit dengan inflasi nasional sejak triwulan II-2009, maka acuan
target inflasi nasional cukup relevan untuk digunakan sebagai acuan pengendalian tingkat inflasi di Sulsel.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi Sulawesi Selatan
Jika membandingkan laju inflasi tahunan triwulan ini dengan periode sebelumnya, maka laju inflasi pada kelompok makanan jadi, perumahan dan kesehatan relatif stabil.
Peningkatan laju inflasi yang cukup besar terjadi pada kelompok transpor, dimana pada triwulan IV-2009 mengalami deflasi -2,32 yoy menjadi inflasi sebesar 1,18 yoy pada
triwulan I-2010. Selain itu kelompok pendidikan yang mengalami peningkatan inflasi dari
‐2 2
4 6
8 10
12 14
16 18
20
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010
y.o.y ‐
Nas y.o.y
‐ Ss
Sumber : BPS diolah
26
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
6,91 yoy menjadi 7,09 yoy. Namun di sisi lain, terjadi perlambatan inflasi yang cukup signifikan pada kelompok sandang, yaitu dari 7,31 yoy pada triwulan I-2009 menjadi
2,17 yoy pada triwulan I-2010.
Tabel 2.1. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa , yoy
2.1 Inflasi Berdasarkan Kelompok Barang
Berdasarkan laju inflasi tahunan dari setiap kelompok barang dan jasa pada triwulan I-2010 di Sulsel, secara berurutan dari yang terbesar hingga yang terkecil adalah sebagai
berikut :
Kelompok Pendidikan-Rekreasi-Olahraga, laju inflasi tahunannya tercatat sebesar
7,09, sementara pada triwulan IV-2009 yang sebesar 6,91. Peningkatan laju inflasi ini
didorong oleh peningkatan laju inflasi yang cukup siginifikan pada subkelompok jasa pendidikan,
yang diperkirakan karena kenaikan biaya pendidikan yang mencapai 13,24 yoy. Kondisi
ini berbeda dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 5,08 yoy.
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Kelompok Pendidikan
2010 1
2 3
4 1
2 3
4 1
Bahan Makanan 17.27
21.16 18.30
21.45 13.17
4.14 3.38
3.60 2.69
Makanan Jadi 8.67
10.37 14.10
14.46 11.97
10.63 6.74
6.23 6.22
Perumahan 5.04
9.30 11.91
11.13 9.34
4.66 3.26
3.55 3.48
Sandang 13.87
13.53 11.89
11.32 11.12
7.65 6.92
7.31 2.17
Kesehatan 4.34
7.65 8.96
11.11 10.21
6.51 3.89
2.86 2.98
Pendidikan 6.19
6.07 3.16
3.72 3.55
3.46 4.66
6.91 7.09
Transpor 0.31
7.82 7.84
5.29 1.77
5.01 4.72
2.32 1.18
UMUM TOTAL 8.13
11.92 12.29
12.40 9.01
3.80 2.70
3.39 3.46
Sumber : BPS, diolah Ket : Sejak Tahun 2008 menggunakan tahun dasar 2007
2009 2008
KETERANGAN
‐ 2
4 6
8 10
12 14
16 18
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
y.t.d y.o.y
Sumber : BPS diolah
Tabel 2.2. Inflasi Per-Sub Kelompok Pendidikan-Rekreasi-Olahraga
27
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Apabila meninjau pergerakan inflasi yoy secara bulanan untuk periode triwulan I- 2010, sebenarnya relatif stabil, namun terjadi kenaikan inflasi pada sub kelompok
pelengkapan-peralatan pendidikan dan olahraga. Sedangkan untuk sub kelompok rekreasi cenderung menurun sejak bulan Februari seiring dengan berakhirnya masa liburan sekolah.
Kelompok Makanan Jadi-Minuman- Rokok-Tembakau, laju inflasi tahunannya
tercatat sebesar 6,22 yoy pada triwulan laporan, relatif stabil jika dibandingkan dengan
triwulan IV-2009 yang sebesar 6,23. Cukup stabilnya laju inflasi pada kelompok ini
disebabkan oleh adanya peningkatan laju inflasi pada sub kelompok makanan jadi yaitu dari 5,27 yoy pada triwulan IV-2009
menjadi 5,69 yoy. Peningkatan laju inflasi pada kelompok ini dipicu oleh naiknya harga komoditas beras karena adanya kenaikan HPP beras. Namun diimbangi dengan melemahnya
inflasi pada sub kelompok minuman yang tidak beralkohol, dimana pada periode sebelumnya sebesar 11,89 yoy yang menurun menjadi 10,95 yoy.
Grafik 2.3. Perkembangan Inflasi Kelompok Makanan Jadi
Jika menganalisa pergerakan inflasi yoy perbulannya, maka didapati bahwa laju inflasi subkelompok minuman tidak beralkohol cenderung menurun sejak bulan Februari, yang
diperkirakan karena pengaruh penurunan harga pada komoditas gula meskipun masih pada level yang cukup tinggi. Kemudian untuk inflasi subkelompok makanan jadi, pergerakannya
relatif stabil meski sempat menurun pada bulan Februari yang diperkirakan karena pengaruh penurunan harga pada beberapa komoditas bahan baku makanan jadi tersebut, seperti
daging, namun pada bulan berikutnya kembali mengalami peningkatan laju inflasi. Kedua hal tersebut, kemudian saling menyeimbangkan sehingga pada akhir periode triwulan I-2010
‐2 2
4 6
8 10
12 14
16
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
y.t.d y.o.y
Sumber : BPS diolah
Tabel 2.3. Inflasi Per-Sub Kelompok Makanan Jadi-Minuman-Rokok-Tembakau
28
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
inflasi untuk kelompok makanan jadi-minuman-rokok-tembakau menjadi relatif stabil. Akan tetapi jika dibandingkan dengan periode yang sama satu tahun lalu, maka secara umum
telihat bahwa telah terjadi perlambatan inflasi yang cukup signifikan dimana secara yoy, laju inflasi triwulan I-2009 pada kelompok ini mencapai 11,97 yoy
Grafik 2.4. Beberapa Komoditi dalam Kelompok Makanan Jadi Hasil SPH di Makassar
Ayam Goreng Mie
Gula Pasir Nasi
Kelompok Perumahan-Air-Listrik-Gas- Bahan Bakar, relatif mengalami perlambatan
laju inflasi yaitu dari 3,55 pada triwulan IV- 2010 menjadi sebesar 3,48 yoy. Perlambatan
laju inflasi tahunan tersebut didorong oleh perlambatan inflasi yang terjadi pada
subkelompok perlengkapan rumah tangga yang mengalami inflasi sebesar 2,27 yoy pada triwulan laporan dimana pada triwulan IV-2009
laju inflasinya sebesar 3,11 yoy. Perlambatan ini diperkirakan karena menurunnya harga terutama pada komoditas barang elektronik rumah tangga, seperti lemari es,
air conditioner
dan
rice cooker
. Selain itu, subkelompok penyelenggaraan rumah tangga juga mengalami
‐4 ‐3
‐3 ‐2
‐2 ‐1
‐1 1
1 2
6.800 6.900
7.000 7.100
7.200 7.300
7.400
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Ayam Goreng
yoy ‐ a.kanan
‐40 ‐35
‐30 ‐25
‐20 ‐15
‐10 ‐5
‐ 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Mie yoy
‐ a.kanan
10 20
30 40
50 60
70
‐ 2.000
4.000 6.000
8.000 10.000
12.000
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Gula Pasir
yoy ‐ a.kanan
‐4 ‐2
2 4
6 8
10 12
6.400 6.600
6.800 7.000
7.200 7.400
7.600 7.800
8.000
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Nasi yoy
‐ a.kanan
Tabel 2.4. Inflasi Per-Sub Kelompok Perumahan-Air-Listrik-Bhn Bakar
29
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
perlambatan laju inflasi, dari 4,39 yoy pada triwulan IV-2009 menjadi 3,19 yoy pada triwulan I-2010. Perlambatan laju inflasi pada subkelompok ini diperkirakan karena terjadi
penurunan harga pada beberapa komoditas seperti sabun cuci dan pembersih lantai. Di sisi lain, terjadi peningkatan laju inflasi pada subkelompok bahan bakar,
penerangan dan air dimana pada triwulan I-2010 mencapai 7,32 yoy sedangkan pada periode sebelumnya masih sebesar 6,68 yoy. Kenaikan inflasi pada diperkirakan masih
dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak tanah karena adanya program konversi ke gas elpiji. Dimana dengan adanya program konversi tersebut mendorong kenaikan harga pada minyak
tanah sejalan dengan dicabutnya subsidi minyak tanah. Subkelompok biaya tempat tinggal juga menunjukkan peningkatan laju inflasi, yaitu dari 2,01 yoy menjadi 2,30, yang
diperkirakan dipicu oleh kenaikan harga pada beberapa bahan bangunan, seperti semen dan besi beton.
Grafik 2.5. Perkembangan Inflasi Kelompok Perumahan
Apabila inflasi
year on year
ditinjau pergerakannya secara bulanan, secara umum hampir semua subkelompok mengalami kenaikan inflasi pada bulan Januari dan kemudian
melambat dibulan berikutnya sampai dengan Maret. Sub kelompok bahan bakar-penerangan dan air mengalami inflasi sebesar 7,32 yoy pada Maret dimana telah melambat jika
dibandingkan dengan inflasi pada bulan Februari yaitu sebesar 7,64 yoy. Kemudian sub kelompok penyelenggaraan rumah tangga relatif mengalami perlambatan sejak Februari
2010. Selain itu, sub kelompok biaya tempat tinggal juga memiliki pola yang hampir serupa dimana pada bulan Januari mengalami inflasi sebesar 3,05 yoy yang kemudian melambat
pada bulan berikutnya hingga pada bulan Maret tercatat 2,30 yoy. Kenaikan inflasi diawal tahun diduga karena adanya penyesuaian harga-harga kebutuhan rumah tangga di
awal tahun. Misalnya biaya sewa rumah dan bahan bangunan.
‐ 2
4 6
8 10
12 14
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
y.t.d y.o.y
Sumber : BPS diolah
30
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Kelompok Kesehatan pada triwulan
laporan tercatat relatif mengalami kenaikan laju inflasi tahunan. Pada triwulan IV-2009, laju inflasi
kelompok ini sebesar 2,86 yoy, yang kemudian naik menjadi sebesar 2,98 pada
triwulan laporan. Kenaikan inflasi pada triwulan laporan ini didorong oleh sebagian besar
subkelompoknya kecuali subkelompok jasa kesehatan dan jasa perawatan jasmani. Namun untuk subkelompok obat-obatan dan perawatan jasmani dan kosmetika mengalami
perlambatan inflasi pada triwulan I-2010 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Ketika melihat pergerakan inflasi yoy secara bulanan, maka subkelompok yang terus
mengalami peningkatan inflasi sejak bulan Januari hingga bulan Maret 2010 adalah subkelompok jasa kesehatan, dimana pada Januari 2009 tercatat inflasinya sebesar 4,91
yoy dan pada Maret menjadi 6,49 yoy. Kondisi ini diduga karena pengaruh kondisi cuaca yang relatif kurang kondusif bagi kesehatan sehingga mendorong terjadinya
peningkatan permintaan jasa kesehatan. Selain itu, pada subkelompok jasa perawatan jasmani yang inflasinya sempat melambat pada Januari 2010 5,79; yoy pada bulan Maret
2010 naik menjadi sebesar 6,81 yoy. Sedangkan untuk subkelompok obat-obatan yang cenderung mengalami peningkatan laju inflasi sejak awal triwulan I-2010 1,81 pada
Januari 2010 dan 1,93 pada Februari 2010, kemudian melambat hingga menjadi 1,02 yoy. Peningkatan laju inflasi yang sesaat pada subkelompok ini diperkirakan karena adanya
penetapan HET Harga Eceran Tertinggi untuk obat generik pada tanggal 27 Januari 2010.
Grafik 2.6. Perkembangan Inflasi Kelompok Kesehatan
‐2 2
4 6
8 10
12
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
y.t.d y.o.y
Sumber : BPS diolah
Tabel 2.5. Inflasi Per-Sub Kelompok Kesehatan
31
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Kelompok Bahan Makanan, laju inflasi
tahunannya pada triwulan laporan tercatat mengalami perlambatan dibandingkan triwulan
IV-2009. Perlambatan tersebut diduga terjadi karena terdapat deflasi pada subkelompok
bumbu-bumbuan, lemak-minyak, ikan segar, ikan diawetkan dan daging-hasilnya. Sedangkan di sisi
lain, peningkatan laju inflasi tersebut didorong oleh inflasi pada subkelompok buah-buahan,
padi-padian, umbi-umbian-hasilnya dan sayur- sayuran, yang secara umum diperkirakan karena
faktor kekurangan pasokan akibat belum datangnya masa panen dan adanya kenaikan HPP Harga Pembelian Pemerintah beras per 1
Januari 2010.
Grafik 2.7. Beberapa Komoditi dalam Kelompok Bahan Makanan Hasil SPH di Makassar
Cabe Rawit Daging Ayam Ras
Beras Bandeng
Apabila inflasi year on year pada triwulan I-2010 dianalisa secara bulanan, laju inflasi bumbu-bumbuan pada awal triwulan I-2010 masih mengalami inflasi hingga 17,67 yoy
yang kemudian mulai melambat pada bulan berikutnya hingga akhirnya deflasi pada bulan
‐ 5.000
10.000 15.000
20.000 25.000
30.000
1 2
3 4
1 2009
2010
Cabe Rawit
‐15 ‐10
‐5 5
10 15
20 25
30
‐ 5.000
10.000 15.000
20.000 25.000
30.000
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Daging Ayam Ras
yoy ‐ a.kanan
5 10
15 20
25
‐ 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000 7.000
8.000
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Beras yoy
‐ a.kanan
‐5 5
10 15
20 25
‐ 5.000
10.000 15.000
20.000 25.000
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Ikan Bandeng
yoy ‐ a.kanan
Tabel 2.6. Inflasi Per-Sub Kelompok Bahan Makanan
32
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Maret 2010 menjadi sebesar -9,22 yoy. Selain itu subkomoditas ikan segar juga mengalami pola yang sama, dimana pada Januari 2010 masih inflasi sebesar 2,3 yoy,
namun kemudian pada bulan berikutnya terjadi deflasi yang cukup signifikan pada subkelompok ini yaitu menjadi -6,65 yoy dan akhirnya pada akhir triwulan I-2010 masih
mengalami deflasi meski tidak sebesar bulan sebelumnya yaitu -4,02 yoy. Hal tersebut diperkirakan karena faktor cuaca yang sudah mulai membaik pada awal tahun 2010 untuk
perikanan tangkap sehingga hasil tangkapan nelayan menjadi relatif berlimpah.
Grafik 2.8. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan
Kelompok Sandang, mengalami
perlambatan inflasi dimana pada triwulan I-2010 tercatat sebesar 2,17 yoy, lebih rendah
dibandingkan triwulan IV-2009 yaitu sebesar 7,31. Perlambatan laju inflasi pada triwulan ini
disebabkan oleh perlambatan inflasi yang terjadi pada subkelompok barang pribadi dan sandang
lainnya.
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kelompok Sandang
‐5 5
10 15
20 25
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
y.t.d y.o.y
Sumber : BPS diolah
‐2 2
4 6
8 10
12 14
16
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
y.t.d y.o.y
Sumber : BPS diolah
Tabel 2.7. Inflasi Per-Sub Kelompok Sandang
33
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Grafik 2.10. Perkembangan Harga Emas Makassar
Rata-rata Harga Internasional Pertriwulan
Kelompok Transportasi-Komunikasi-Jasa Keuangan, mengalami inflasi yang
cukup besar yaitu 1,18 yoy pada triwulan laporan, jika dibandingkan dengan triwulan IV- 2009 yang mengalami deflasi sebesar 2,32
yoy. Peningkatan laju inflasi pada kelompok ini diperkirakan dipicu oleh sub kelompok transpor
dimana pada triwulan sebelumnya mengalami deflasi sebesar 3,20 yoy yang kemudian
naik menjadi 1,51 pada triwulan I-2010. Hal ini diprediksi karena terjadi kenaikan harga
minyak yang kemudian memicu terjadinya kenaikan biaya tiket pesawat udara, terutama fuel surcharge.
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kelompok Transportasi
Jika menganalisa inflasi year on year secara bulanan selama triwulan laporan, peningkatan laju inflasi pada subkelompok transport mulai mengalami peningkatan inflasi
cukup signifikan pada bulan Februari 2010, yaitu mencapai 2,42 yoy jika dibandingkan dengan Desember 2009 -0,42; yoy dan kemudian mulai melambat pada akhir triwulan I-
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
‐ 50
100 150
200 250
300
2 3
4 1
2 3
4 1
2009 2010
Rp Ri
b u
a n
Emas Perhiasan
yoy ‐ a.kanan
500 600
700 800
900 1.000
1.100 1.200
2 3
4 1
2 3
4 1
2 3
4 1
2008 2009
2010
Troy oz
Harga Emas
10 ‐
10 20
30 40
50
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
y.t.d y.o.y
Sumber : BPS diolah
Tabel 2.8. Inflasi Per-Sub Kelompok Transportasi-Komunikasi-Jasa Keuangan
34
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
2010 yang tercatat sebesar 1,51 yoy. Namun di sisi lain cenderung terjadi perlambatan sejak Februari 2010 5,59; yoy untuk subkelompok sarana dan penunjang transpor,
dimana pada Januari mencapai 7,30 dan akhirnya melambat hingga sebesar 4,93 pada akhir triwulan I-2010.
35
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
Bab 3
Perkembangan Perbankan
Sejak Januari 2010 diberlakukan pelaporan data bank dengan menggunakan sistem Basel II yang mekanisme pelaporannya tersentralisasi dan online kepada Bank Indonesia
secara terpusat. Oleh karena itu pada analisa kajian perbankan untuk periode triwulan I- 2010, data-data yang disajikan masih bersifat sementara dan juga metode analisa time series
yang biasa digunakan akan relatif lebih terbatas sehubungan dengan masa transisi perubahan sistem pelaporan dari LBU 2000 menjadi Basel II.
Secara month to month, kinerja perbankan Sulawesi Selatan per Februari 2010 relatif menurun jika dibandingkan dengan Januari 2010. Hal ini tercermin dari aset, dana pihak
ketiga DPK yang tumbuh negatif. Namun di sisi lain, fungsi intermediasi bank dalam menyalurkan kredit masih berjalan dengan cukup baik, hal ini terlihat dari pertumbuhan
kredit yang positif. Begitu juga untuk Loan to Deposit Ratio LDR perbankan Sulawesi Selatan masih relatif baik dan tercatat di atas 100. Sementara dari sisi kualitas kredit yang
disalurkan, yang tercermin dari indikator Non Performing Loan-Gross NPLs juga menunjukkan kondisi yang relatif baik.
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Bank Umum Sulawesi Selatan
Catatan: Sejak Januari 2010 pencatatan data perbankan menggunakan Basel II
3.1 Perkembangan Bank Umum Konvensional dan Syariah
3.1.1. Kelembagaan dan Aset
Dari sisi kelembagaan, bank umum di Sulawesi Selatan pada triwulan I-2010 per Februari 2010 mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari jumlah kantor bank yang
mengalami peningkatan jika dibandingkan triwulan IV-2009, meskipun jumlah bank tidak mengalami perubahan. Per Februari 2010, terdapat penambahan jumlah kantor bank
nominal dlm Rp juta pertumbuhan m.t.m
1. Total Aset
37,053,666 ‐9.64
2. DPK
29,894,336 ‐1.90
a. Giro 4,860,040
‐4.96 b. Tabungan
14,808,850 ‐2.56
c. Deposito 10,225,446
0.63 3.
Kredit 35,935,523
2.21 4.
LDR 120.21
5. NPLs Gross
3.43
per Februari 2010
KOMPONEN
36
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan
Triwulan I - 2010
sebanyak 2 buah menjadi 692 kantor bank pada triwulan laporan. Penambahan kantor bank tersebut terdiri dari 2 kantor bank konvensional.
Tabel 3.2. Perkembangan Kelembagaan Bank Umum Sulawesi Selatan
Pada Februari 2010, total aset bank umum Sulsel tercatat sebesar
Rp37,1 triliun meski tumbuh negatif jika dibandingkan bulan Januari 2010 yaitu
sebesar -9,64. Dimana untuk kelompok bank pemerintah, asetnya
mengalami pertumbuhan negatif sebesar 10,18 mtm atau menjadi
sebesar Rp23,8 triliun. Kemudian diikuti oleh kelompok bank swasta nasional dan kelompok bank asingcampuran, dimana masing-
masing tumbuh sebesar -8,67 mtm menjadi Rp12,5 triliun dan -8,45 mtm menjadi Rp772,5 juta. Terlepas dari besaran penurunannya, berdasarkan analisa runtut waktu,
pertumbuhan aset perbankan pada awal periode triuwlan I cenderung tumbuh negatif yang biasanya akan membaik pada akhir periode triwulan pertama. Hal tersebut disebabkan
karena pada awal tahun ekspansi kredit cenderung melambat. Aktivitas pelunasan pinjaman biasa yang terjadi selama periode itu dibandingkan dengan pengucuran kredit baru.
3.1.2. DPK dan KreditPembiayaan