2
A. Identifikasi Masalah
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, paling tidak, terdapat dua pola pemikiran dalam ilmu kalam, yaitu pemikiran kalam yang berpola rasional
dan pemikiran kalam yang berpola tradisional. Pola pemikiran kalam rasional adalah pemikiran kalam yang memiliki ciri-ciri kedudukan akal tinggi; kebebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan; kebebasan berpikir hanya dibatasi ajaran- ajaran dasar dalam al-Quran dan hadis yang sedikit sekali jumlahnya; percaya
kepada sunnatullah atau kausalitas; mengambil arti metaforis dari teks wahyu; dan dinamis dalam bersikap dan berpikir. Faham ini dijumpai dalam aliran Mutazilah
dan Maturidiyah Samarkand. Sebaliknya, pemikiran kalam yang berpola tradisional adalah pemikiran
kalam yang memberikan kedudukan akal rendah; ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan; kebebasan berpikir yang diikat banyak dogma;
ketidakpercayaan terhadap sunnatullah atau kausalitas; terikat kepada makna harfiah dalam memberi interpretasi ayat-ayat al-Quran dan hadis; serta statis
dalam bersikap dan berpikir yang membawa manusia kepada sikap fatalistis. Faham ini mendapat lahan subur dalam sistem teologi Asyariyah dan Maturidiyah
Bukhara. K.H. Abdul Halim adalah seorang ulama yang lahir dari lingkungan
keluarga yang taat beragama. Ia tidak disekolahkan ala Barat, tetapi sejak kecil mendapat pendidikan dari pesantren ke pesantren. Memang sejak kecil sudah ada
bakat bergaul yang tidak saja dengan kaum pribumi, tetapi juga dengan orang- orang Cina. Bahkan ia pandai menulis huruf Latin dan bahasa Belanda dengan
belajar kepada seorang paderi Kristen di Cideres, Van Hoeven. Gerak kreativitas K.H. Abdul Halim dimulai setelah ia kembali dari Mekkah pada tahun 1911
dengan mendirikan organisasi Hayatul Qulub dan hingga akhir hayatnya tahun 1962, ia dianggap embahnya PUI Persatuan Umat Islam.
Masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan pokok sebagai berikut: corak pemikiran apa yang mendasari
pemikiran kalam Abdul Halim? Apakah ia seorang rasionalis seperti halnya Mutazilah dan Haturidiyah Samarkand atau seorang tradisionalis dengan sistem
3
teologi Asyariyah dan Maturidiyah Bukhara? Atau merupakan gabungan dari kedua pola tersebut? Atau, bahkan merupakan sistem teologi tersendiri yang
merupakan ciri khas teologi Indonesia?
B. Metodologi