13
mukmin yang beramal saleh, Abdul Halim mendasarkan argumennya kepada al- Quran surat al-Nahl, ayat 97.
c.6. Keadilan Tuhan
Abdul Halim memulai pemikiran tentang konsep keadilan dengan menetapkan manusia berdasar natur yang telah ditetapkan Tuhan. Dikatakannya,
manusia berdasarkan naturnya memiliki kemampuan untuk menentukan sekaligus menetapkan sesuatu bersifat ‘adil atau zalim. Sesuatu dikatakan adil, jika
diletakkan pada tempat semestinya, atau memberikan sesuatu yang menimbulkan rasa senang kepada semua pihak, dan tidak membuat aturan undang-undang
yang tidak dapat dilakukan oleh umat manusia. Sementara, kebalikan dari semua itu adalah zalim. Dengan demikian, secara tidak langsung Abdul Halim
mempertentangkan perbuatan ‘adil dengan zalim. Manusia dalam pendapat Abdul Halim, betapapun adil dan jujurnya, yang
tidak dapat dibohongkan, bahwa di dalam rasa keadilan manusia itu, ia tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh kepentingan diri sendiri, atau kepentingan
golongannya, atau kepentingan bangsa dan kaumnya. Pendapat Abdul Halim ini memberi kesan, manusia tidak dapat berbuat adil dengan seadil-adilnya, karena
keadilan yang diciptakan manusia tidak lepas dari kepentingan kemanusiaan manusiawi. Jika demikian, bagaimanakah dengan keadilan Tuhan?
Sebagai telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, Abdul Halim memiliki pendirian, manusia memiliki kebebasan dalam melakukan kemauan dan
perbuatannya, keadilan Tuhan dipahami dari sudut kepentingan manusia, bukan sebaliknya, dari sudut Tuhan selaku pemilik alam semesta teologi dari bawah.
Kesan ini diperoleh dari penjelasan yang ia kedepankan: Allah SWT. dengan keluasan ilmu-Nya yang tiada terbatas dengan sifat rahman
dan rahim-Nya kepada segenap manusia, menunjukkan jalan yang lurus yang dapat menyampaikan manusia kepada kebahagiaan dan keselamatan hidup, jalan
yang benar tanpa kesesatan, dan tiadalah barang sedikit juga kepentingan Tuhan yang terselip di dalam hukum dan ajaran-Nya itu.
14
Sejalan dengan itu Abdul Halim juga menambahkan, dari sudut keluasan ilmu Tuhan, keadilan Tuhan meliputi segala awal dan akhir, lahir dan batin, serta
hubungan segala sesuatu dengan tempat, waktu, dan lingkungan yang melingkupinya. Oleh karena itu, pada hakikatnya hanya Tuhanlah Yang Maha
Mengetahui segala macam kebutuhan manusia, dan manusia hanya mampu memahami sebagiannya. Sementara, dari sudut rahman dan rahim Tuhan,
keadilan Tuhan meliputi kebaikan-kebaikan Tuhan yang diberikan kepada manusia berupa penurunan wahyu untuk dijadikan pedoman agar manusia berada
pada keseimbangan hidup dan kelurusan itikad. Dengan demikian, dipahami, hakikat wahyu adalah kumpulan kepentingan manusia berupa pokok-pokok
kebahagiaan dan keselamatan. Selain itu, keadilan Tuhan melalui sifat rahman dan rahim Tuhan, erat
hubungannya dengan janji-janji Tuhan yang mesti ditepati-Nya. Untuk itu, agar mendapat hidayat Tuhan, kata Abdul Halim, hendaklah manusia menjadikan
Tuhan sebagai awal dan akhir dalam setiap ‘amal usahanya. Dengan ketetapan hati demikian, diharapkan segala amal usaha manusia terpelihara dari kesia-siaan
dan kesalahan itikad awal yang mengakibatkan kesesatan akhir. Tuhan dikatakan adil menurut ketetapan teks ayat di atas adalah memberikan kesia-siaan ‘amal
usaha dengan kesesatan akhir bagi orang yang berlaku zalim. Sebaliknya, pahala hidayat
Tuhan bagi orang yang berlaku ‘adil menempatkan Tuhan sebagai awal dan akhir dalam setiap ‘amal usaha. Itulah janji Tuhan untuk manusia yang mesti
dihormati-Nya, sebagai wujud welas asih Tuhan kepada segenap makhluk-Nya. Mencermati pemikiran Abdul Halim yang memberi penekanan kepada
pola pikir dan pola laku manusia agar senantiasa menjadikan Tuhan sebagai awal dan akhir dalam setiap ‘amal usaha, menunjukkan daya aktif manusia dalam
menentukan pilihannya. Kondisi memilih yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk berbuat ‘adil atau zalim yang kemudian diganjar dengan pahala dan siksa,
menambah ketegasan bahwa faham keadilan Tuhan yang dianut Abdul Halim adalah faham keadilan bagi kepentingan manusia.
15
c.7. Perbuatan-Perbuatan Tuhan