2. Fungsi Wahyu Pembahasan Hasil Penelitian c.1. Kekuatan Akal

7 ciri khas pemikiran Abdul Halim dikenal dengan konsep al-salam yang dituangkannya dalam al-islah al-samaniyah delapan macam perbaikan.

c.2. Fungsi Wahyu

Sebagai seorang yang cenderung lebih mendahulukan akal rasionalis, Abdul Halim mengakui, sekalipun manusia memiliki kelengkapan akal dan dengan akalnya mampu mengungkap rahasia semesta, mengemudi dan mengaturnya, kemampuan akal manusia terbatas hanya pada kesanggupan menghitung, tidak untuk menjadikan. Kebebasan manusia terbatas dalam kebebasan sesama makhluk yang karena sunnatullah-nya senantiasa menuntut perbaikan, kesempurnaan dan kemajuan. Oleh karena itu, demikian Abdul Halim, dalam batas-batas tertentu manusia dapat memecahkan permasalahan hidupnya melalui kemampuan akalnya dan dalam batas-batas tertentu memerlukan tuntunan wahyu. Sehubungan dengan wahyu, yang dalam istilah Abdul Halim, agama, ia memberikan definisi sebagai petunjuk tentang hak yang diberikan Tuhan kepada para Nabi. Petunjuk hak dimaksud adalah nasehat-nasehat untuk meninggikan Tuhan, para nabi, kitab-kitab-Nya, dan membantu sekalian pemuka-pemuka Islam serta umatnya. Para nabi mampu memperoleh petunjuk hak, karena ia lain dari manusia pada umumnya, suci, utama, terpilih, dan mampu menembus batas realitas ketuhanan. Para nabi dianggap sebagai perantara antara realitas ketuhanan dan realitas kemanusiaan. Dari paparan Abdul Halim di atas, dapat dipahami bahwa fungsi wahyu yang pertama adalah sebagai sumber informasi tentang apa-apa yang tidak dapat dijangkau akal manusia. Melalui informasi wahyu, Tuhan dinyatakan sebagai realitas Mahatinggi yang telah mengutus para utusan-Nya dengan petunjuk dan agama yang hak. Hingga di sini, tampaknya, Abdul Halim konsisten dengan pendapat sebelumnya mengenai dua potensi dasar manusia, terutama dalam mengarahkan potensi nafs hayawan, wahyu menjadi sumber penuntun agar manusia selalu berada dalam arah yang baik dan menyadari kedudukannya 8 sebagai makhluk Tuhan yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding makhluk- makhluk lainnya. Selanjutnya tentang kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan yang secara sunnatullah akal manusia telah mengetahuinya. Agaknya dapat dipahami, dengan turunnya wahyu, manusia semakin menyadari akan fitrah dan hakikat penciptaannya, yaitu, sebagai pengabdi penciptanya. Dengan adanya informasi wahyu yang menyatakan kewajiban manusia untuk beribadat kepada Tuhan, berarti apa-apa yang telah ditetapkan akal sebelumnya termasuk adanya kewajiban beribadat kepada Tuhan mendapat konfirmasi dari Tuhan. Dalam hubungan ini, akal manusia, demikian Abdul Halim, terbatas tidak sampai mengetahui tata cara beribadat yang benar, maka wahyu datang membawa perincian mengenai waktu, gerakan, syarat, rukun, dan hal-hal yang harus dipersiapkan untuk itu. Dengan demikian, dapat dipahami pula, wahyu di samping sebagai sumber informasi juga memiliki fungsi kedua, yaitu, sebagai konfirmasi terhadap apa-apa yang telah dicapai akal manusia. Begitu pula dalam menjelaskan persoalan kebaikan dan keburukan, serta melakukan perbuatan baik dan menghindari yang buruk, Abdul Halim mengatakan, akal manusia memiliki kesanggupan untuk mengetahui baik dan buruk, dan berdasarkan pengalamannya cenderung melakukan yang baik dan menghindari yang buruk, maka wahyu datang dengan berita tentang kewajiban melaksanakan amar maruf nahyi al-munkar melakukan yang baik dan menghindari yang buruk. Datangnya kewajiban amar maruf nahyi al-munkar, dalam pandangan Abdul Halim, merupakan konfirmasi terhadap hasil penetapan akal, juga memberikan informasi bahwa melakukan perbuatan yang baik dan menghindari yang buruk merupakan kewajiban yang harus dilakukan manusia. C.3. Free Will Dan Predestination Abdul Halim, sekalipun ia memberikan daya yang besar kepada akal, sebagai telah disebutkan sebelumnya, kedudukan manusia selaku makhluk ciptaan Tuhan memiliki kebebasan terbatas pada menghitung tidak untuk menjadikan, membagi perbuatan ke dalam dua bagian. Kedua perbuatan dimaksud adalah 9 perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan, dikatakannya, terbagi dua bagian pula. Pertama, perbuatan Tuhan sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah, karena telah ditetapkan-Nya. Kedua , perbuatan Tuhan yang dapat diubah, bahkan wajib diusahakan. Perbuatan manusia adalah ikhtiar, yakni, manusia dalam keterbatasannya wajib berikhtiar. Dalam hubungan ini, Abdul Halim mengembangkan pemikirannya berdasarkan adanya perbuatan Tuhan yang dapat diperbaharui manusia. Hingga di sini, tampaknya Abdul Halim tidak menerima konsep praedestinatie yang menyatakan, bahwa segala kejadian manusia telah ditentukan sejak azali oleh Allah SWT., dan manusia harus menerima ketentuan itu secara mutlak. Sebaliknya, ia lebih menekankan pentingnya ikhtiar. Abdul Halim sendiri mengatakan, kudrat iradat Allah Taala, di samping ada yang tentu dan tetap ada juga yang dapat diubah oleh manusia sepanjang manusia dapat melakukannya. Dari pandangan Abdul Halim demikian, dapat dipahami, ia lebih cenderung menempatkan manusia sebagai makhluk yang aktif, kreatif, dinamis dalam melakukan perbuatan. Dalam hal ini, ia berpaham qadariyah dan menolak jabariyah pasif, statis, fatalis. Selain itu, tampaknya Abdul Halim ingin mengatakan, untuk terciptanya suatu perbuatan diperlukan dua daya, yaitu, daya manusia dan daya Tuhan. Hal demikian didasarkan, manusia tidak akan dapat berikhtiar melakukan perbuatan, jika ia sendiri tidak memiliki daya. Dengan demikian, dalam pemahaman Abdul Halim, untuk terciptanya suatu perbuatan harus ada daya manusia sebagai pewujud perbuatan dan Tuhan sebagai pencipta daya. Sejalan dengan itu, Abdul Halim berpendapat bahwa kebebasan manusia hanya dalam al-hayat al-ijtimaiyyah. Manusia sebenarnya hanya memiliki kebebasan dalam memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan dilakukan dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Untuk itulah dalam beberapa tulisannya Abdul Halim sering mengingatkan akan pentingnya ikhtiar. Sehingga dengan ikhtiar itu, umat Islam dapat menguasai hukum alam seluas-luasnya dan menjadi bangsa yang besar, kuat, dan disegani bangsa lain. 10

c.4. Konsep Iman