7. Perbuatan-Perbuatan Tuhan Pembahasan Hasil Penelitian c.1. Kekuatan Akal

15

c.7. Perbuatan-Perbuatan Tuhan

Berkenaan dengan perbuatan Tuhan yang bersifat absolute prae-destinatie tidak dapat diubah karena telah ditetapkan-Nya, Tuhan dalam melakukan perbuatan-Nya tidak bertanggung jawab kepada siapa pun, tidak seorang pun yang mempengaruhi keputusan-Nya, dan tidak seorang pun yang dapat menolak-Nya, karena Dia-lah penguasa dan pemilik seluruh isi alam semesta, ciptaan-Nya. Abdul Halim mengatakan, perbuatan Tuhan taqdir selalu terpegang oleh-Nya, apabila sudah sampai ajalnya sesuatu datang, tidak boleh dimajukan selangkah dan tidak pula dapat dimundurkan semenit pun. Sedangkan, perbuatan Tuhan yang dapat diubah manusia, meliputi masalah-masalah kemanusiaan, yaitu, kewajiban berbakti ubudiyah dan hal-hal menuju kebaikan, kesempurnaan, dan kelangsungan hidupnya al-hayat al-ijtimaiyyah, meskipun di dalam hakikatnya tergantung kepada perbuatan Tuhan absolute Prae-destinatie. Menengahi dilematis antara keinginan semua perbuatan Tuhan mesti bersifat mutlak dengan kemestian adanya kebebasan manusia dalam melakukan kemauan dan perbuatan guna terciptanya kebaikan, keseimbangan, dan kesempurnaan alam, dikatakan Abdul Halim, semua perbuatan Tuhan berlangsung atas prinsip al-adl keadilan. Sebagai seorang ulama, tampaknya Abdul Halim ingin mengatakan, meskipun Tuhan diakui sebagai yang Mahakuasa dan berkuasa mutlak untuk melakukan kehendak dan perbuatan-Nya, namun perbuatan Tuhan berdasarkan prinsip al-adl keadilan-Nya. Pendapatnya ini secara tidak langsung menolak kesan bahwa Tuhan dapat berbuat sewenang-wenang terhadap makhluk- Nya, bagaikan penguasa absolut, melainkan laksana penguasa konstitusional yang tunduk di bawah konsititusi, serta hukum-hukum yang telah dibuat dan ditetapkan-Nya sendiri. Dengan mengajukan prinsip al-adl dalam segala perbuatan Tuhan, tampaknya, Abdul Halim ingin menempatkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Argumen-argumen yang dikemukakan Abdul Halim dalam kaitan ini, misalnya, Tuhan menciptakan manusia dalam kelengkapan paling sempurna sesuai dengan janji-Nya dalam surat al-Tin ayat 4. Atau dalam rangka perbaikan, kemajuan, dan kesempurnaan alam, Tuhan membuat tanda-tanda kesemestaan 16 sebagai dituangkan dalam firman-Nya, surat al-Rum ayat 22 dan surat Yunus ayat 6, serta mengutus para rasul dengan tugas pemberitaan dan penetapan terhadap hasil kerja penjelajahan akal manusia. Kaitan pendapat Abdul Halim di atas dengan tema perbuatan Tuhan, agaknya ia ingin mengatakan, perbuatan Tuhan adalah menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun dalam aktualisasinya, Tuhan menyerahkan sepenuhnya kepada manusia dalam arti, manusia bebas dalam melakukan kemauan dan perbuatannya. Pendapat tersebut bisa jadi yang paling aman untuk menempatkan perbuatan Tuhan terbatas kepada hal-hal yang baik. Sedang perbuatan manusia adalah yang sebenarnya, bukan kiasan. Dengan demikian, ketika manusia melakukan perbuatan buruk, Tuhan terbebas dari perbuatan itu karena perbuatan buruk bagi Tuhan menyalahi prinsip al-adl yang telah ditetapkan-Nya. Hingga di sini, dengan memahami apa yang diungkapkan dalam tulisan-tulisan Abdul Halim, sekalipun ia tidak dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan juga memiliki kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan terhadap hamba-Nya, sebagai dipahami dalam pandangan kelompok Mutazilah dan Maturidiyah Samarkand. Namun dengan mengatakan, perbuatan-perbuatan Tuhan didasarkan atas prinsip keadilan, kebaikan dan kesempurnaan, dapat difahami, bahwa Abdul Halim sebenarnya memiliki pemahaman yang sama dengan kelompok Mutazilah dan Maturidiyah Samarkand. Memang, sejauh pelacakan penulis, keengganan Abdul Halim untuk mengatakan adanya kewajiban-kewajiban Tuhan yang mesti dilakukan terhadap hamba-Nya, paling tidak, memiliki dua alasan. Pertama, pemahaman keagamaan masyarakat pada zamannya yang kurang mendukung. Kedua, kata kewajiban bagi Tuhan sulit dibahasakan, karena mengandung konotasi ada sesuatu di luar diri Tuhan yang memaksa-Nya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, jika kata Tuhan Wajib itu dihubungkan dengan pemahaman Abdul Halim mengenai kebebasan manusia dalam melakukan kemauan dan perbuatannya, janji-janji Tuhan yang mesti ditepati-Nya, dan adanya sunnatullah yang tentu dan tetap, memaksa rasa bahasa untuk dikatakan, Tuhan juga memiliki kewajiban- kewajiban. Agaknya, yang perlu didudukkan dalam konteks ini adalah pemaknaan 17 kewajiban itu sendiri bukanlah sebagai kewajiban yang datang dari luar diri Tuhan, tetapi kewajiban yang diletakkan Tuhan atas diri-Nya, Zat-Nya. Jadi, bukan difahami ada zat lain yang memberi kewajiban kepada Tuhan, karena pemikiran semacam itu akan membubarkan Kemahasempurnaan Tuhan dan menyalahi akal logika rasional. Berkenaan dengan penerimaan adanya kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap hamba-Nya --sekalipun dalam ungkapan yang tidak langsung-- dapat dilihat dari pendapat-pendapat Abdul Halim. Sebagai contoh, misalnya, mengenai persoalan beban di luar kemampuan manusia taklif ma 1a yuthaq. Abdul Halim, tampaknya sefaham dengan kelompok Mutazilah dan Maturidiyah Samarkand dalam penolakannya terhadap kelompok Asyariyah dan Maturidiyah Bukhara yang mengatakan, Tuhan dapat memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya taklif ma la yuthaq. Kesan demikian diperoleh ketika Abdul Halim mengatakan: “Setiap golongan yang telah bernama mukallaf menurut ajaran agama Islam, dapatlah turut serta di dalam menunaikan amal kewajiban di dalam jamaah kita. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, menurut taraf tenaga dan kesanggupan masing-masing. Dan masing-masingnya akan berguna dan berfaedah bila menempati maqam beramal yang sesuai dengan tenaga dan kemampuannya berjuang. Maka kepada yang ditentukan Allah berkelebihan dalam soal harta benda, akan terletaklah tugas mendahulukan hartanya di dalam perjuangan; dan yang berkelebihan di dalam ilmu pengetahuan, hendaklah mempergunakan ilmu dan kepadaiannya. Begitu pula yang ada tenaga badan dengan mempergunakan kekuatan badan tubuhnya. Maka hendaklah masing- masing berbuat dan bekerja menurut peluang dan kesanggupan yang telah disediakan Allah baginya.” Mencermati apa yang tersaji di atas, amr perintah Tuhan yang dibebankan kepada manusia hanyalah beban yang terpikul olehnya. Pendapat demikian, menunjukkan kewajiban Tuhan untuk membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dengan tidak memberikan beban yang tidak terpikul oleh manusia. Selanjutnya, dikemukakan pendapat Abdul Halim mengenai waad wa al- waid janji dan ancaman. Pembicaraan mengenai hal ini telah disinggung dalam dua bahasan sebelumnya, yaitu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan 18 keadilan Tuhan. Dikatakan Abdul Halim, bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku atas prinsip al-adl keadilan dan perbuatan-perbuatan Tuhan pun berlaku atas prinsip al-adl keadilan. Maka sebagai implikasi dari pernyataan tersebut, bagi orang yang menggunakan nalarnya akan mengatakan, Tuhan tidak sesekali melakukan perbuatan zalim terhadap hamba-Nya, serta tidak akan memungkiri janji-janji yang telah dibuat-Nya. Pernyataan Abdul Halim ketika mengatakan, bahwa Tuhan tidak akan memungkiri janji-janji-Nya, dapat dipahami, sebenarnya ia ingin mengatakan, di samping Tuhan memiliki kewajiban untuk menepati janji-janji-Nya, juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan amanat-Nya, karena telah dijanjikan- Nya dalam al-Quran. Pelaksanaan terhadap janji-janji dan ancaman juga menegaskan, bahwa semua perbuatan Tuhan tidak berlaku atas sewenang-wenang, dan ia berlangsung menurut sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya. Melalui pendapatnya ini, agaknya, sekaligus merupakan penolakan Abdul Halim terhadap pandangan ke- lompok Asyariyah yang mengatakan, Tuhan tidak wajib menepati janji-janji-Nya dan dapat berbuat atas kehendak-Nya secara mutlak. Adapun mengenai biats al-rusul pengiriman rasul-rasul, dapat dicermati dalam tulisan bersambung, al-Adab kesopanan. Persoalan ini juga telah disinggung sebelumnya dalam pembahasan kekuatan akal dan fungsi wahyu. Dalam tulisannya, al-Adab, disebutkan: “Agama itu bukannya bikinan manusia segala peperentahan dan larangan dan nasehat-nasehat dan beberapa aturan dan lain-lain sebagainya ialah semata-mata yang dikirim daripada Allah Subhanahu wa Taala via Nabi kita Muhammad Saw. supaya disampaikan kepada segenap umatnya”. Selanjutnya dikatakan, adapun adab dan cinta kepada rasul tidak lain hanya wajib beriman dengan sepenuh hati bahwa Muhammad SAW., adalah benar sebagai seorang pesuruh Allah kepada segenap manusia di muka bumi. Pendapat Abdul Halim demikian, berdasar firman Allah surat al-Anbiya ayat 28. Lebih lanjut Abdul Halim juga mengatakan: 19 “… Karena dikira-kirakan Allah tidak akan mengutus beberapa rasul- Nya niscayalah manusia ini ada di dalam kekelamkabutan, yakni tidak mengetahui antara halal dan haram, maka karena itu wajib bagi kita manusia menyintai rasul”.

c.8. Sifat-Sifat Tuhan