bukan merupakan perbuatan perbarengan karena tindak pidana dalam perbarengan berdiri sendiri.
109
Tindak pidana narkotika sebagaimana yang dituntutkan oleh Kejaksaan dalam tuntutannya dilakukan oleh satu orang pelaku untuk satu jenis tindak pidana yaitu
tindak pidana narkotika. Tetapi dalam parkteknya dakwaan berlapis cenderung diterapkan untuk satu orang pelaku melakukan perbuatan mengkomsumsi atau
mengedarkan atau memproduksi, atau menanam, dan lain-lain. Hal demikian dilakukan agar hakim lebih cermat mempertimbangkan dalam putusannya pasal mana
yang paling tepat dinyatakan bersalah kepada pelaku.
BAB III KENDALA-KENDALA DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DAN
UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH KEJAKSAAN
A. Pengendalian Kebijakan Penuntutan
109
Ibid., hal. 339.
Universitas Sumatera Utara
Kendala terjadi dalam melakukan penuntutan perkara Narkotika dalam hal masalah penentuan jumlah tuntutan sering terjadi disparitas penuntutan karena tidak
ada ketentuan yang menjadi tolok ukur jaksa-jaksa penuntut. Untuk mempermudah menentukan jumlah tuntutan pidana terhadap perkara Narkotika, Jaksa saat ini telah
dapat berpedoman pada Surat Keputusan Jaksa Muda Tindak Pidana Umum yang menjadi tolok ukur tuntutan pidana Narkotika bagi Jaksa. Sebagaimana pada tabel
Barang Bukti berikut ini:
110
Tabel: 1 Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Ganja
No. Berat Jumlah Barang Bukti
Tuntutan Keterangan
1 sd 50 gr
5 thn-6 thn SEJA No. SE-
010AJA121010 Tanggal 23 Desember 2010.
sd 1000 gr : Kejari 1 Kg-10 Kg : Kejati
Di atas 10 Kg : Kejagung Produsen : Kejagung
2 51 gr-100 gr
6 thn-7 thn 3
101 gr-500 gr 7 thn-8 thn
4 501 gr-1.000 gr
8 thn-10 thn 5
1.001 gr-5.000 gr 10 thn-13 thn
6 5.001 gr-10.000 gr
13 thn-15 thn 7
10.001 gr-50.000 gr 15 thn-18 thn
8 50.001 gr-100.000 gr
19 thn-20 thn 9
100.001 gr-250.000 gr Seumur hidup
10 Di atas 250.000 gr
Pidana mati 11
ProdusenPenanam 5 thn-seumur hidup
Sumber: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
Berdasarkan SEJA Nomor: SE-010AJA121010 tertanggal 23 Desember 2010 tersebut dalam tabel 1 diketahui bahwa berat atau jumlah barang bukti
Narkotika jenis Ganja sudah ditentukan jumlah tuntutan untuk kategori berat barang
110
Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-78EEp.2012011 tertanggal 27 Januari 2011.
67
Universitas Sumatera Utara
bukti. Kategori jumlah tuntutan untuk barang bukti Narkotika sebagaimana dimaksud dalam tabel 1 di atas:
1. Berat dari 1 gram sampai dengan 50 gram tuntutannya 5 tahun sampai dengan
6 tahun penjara. 2.
Berat dari 51 gram sampai dengan 100 gram tuntutannya 6 tahun sampai dengan 7 tahun penjara.
3. Berat dari 101 gram sampai dengan 500 gram tuntutannya 7 tahun sampai
dengan 8 tahun penjara. 4.
Berat dari 501 gram sampai dengan 1.000 gram tuntutannya 8 tahun sampai dengan 10 tahun penjara.
5. Berat dari 1.001 gram sampai dengan 10.000 gram tuntutannya 13 tahun
sampai dengan 15 tahun penjara. 6.
Berat dari 10.001 gram sampai dengan 50.000 gram tuntutannya 15 tahun sampai dengan 18 tahun penjara.
7. Berat dari 50.001 gram sampai dengan 100.000 gram tuntutannya 19 tahun
sampai dengan 20 tahun penjara. 8.
Berat dari 100.001 gram sampai dengan 250.000 gram tuntutannya pidananya seumur hidup
9. Berat di atas 250.000 gram tuntutan pidananya adalah pidana mati.
10. Untuk produsen atau penanam Narkotikan tuntutan pidananya 5 tahun sampai
dengan seumur hidup.
Universitas Sumatera Utara
Untuk penuntutan terhadap barang bukti Narkotika dari 1 gram sampai dengan 1000 gram dilakukan oleh Kejaksaan Negeri setempat. Untuk penuntutan
terhadap barang bukti Narkotika dari 1 Kilogram sampai dengan 10 Kilogram dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi, penuntutan barang bukti di atas 10 Kilogram
dilakukan oleh Kejaksaan Agung, demikian pula untuk penuntutan terhadap orang yang memproduksi atau menanam Narkotika dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
Selama ini kecenderungan kendala yang dihadapi oleh jaksa adalah disparitas dalam mengajukan tuntutan terhadap perkara sejenis. Hal tersebut diakui oleh Jaksa
Henny Merita bahwa disparitas terjadi dalam perkara yang jumlah barang buktinya sama dan kasus posisi sejenis dituntut dengan tintutan yang berbeda.
111
Jaksa Muda Tindak Pidana Umum telah mengeluarkan Surat Nomor: R- 78EEp.2012011 tertanggal 27 Januari 2011 hingga sampai saat ini menjadi
pedoman dalam melakukan penuntutan kasus-kasus Narkotika. Surat tersebut menjadi tolok ukur penuntutan bagi jak-saksa untuk barang bukti Narkotika
khususnya ganja, shabu-shabuheroin, dan ekstasy. Oleh sebab
kecenderungan disparitas jumlah tuntutan itu, Kejaksaan Agung mengeluarkan SEMA No. SE-010AJA121010 teranggal 23 Desember 2010.
Tabel: 2 Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Shabu-ShabuHeroin
No. Berat Jumlah Tuntutan
Keterangan
111
Wawancara dengan Jaksa Henny Merita, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Tinggi Sumut, tanggal 22 November 2012.
Universitas Sumatera Utara
Barang Bukti
1 sd 10 gr
5 thn-6 thn SEJA No. SE-
010AJA121010 Tanggal 23 Desember 2010.
sd 500 gr : Kejari 5001 gr-1 Kg : Kejati
Di atas 1 Kg : Kejagung Produsen : Kejagung
2 11 gr-50 gr
6 thn-7 thn 3
51 gr-100 gr 7 thn-10 thn
4 101 gr-500 gr
10 thn-13 thn 5
501 gr-1000 gr 13 thn-15 thn
6 1.001 gr-3.000 gr
15 thn-20 thn 7
3.001 gr-5.000 gr Seumur hidup
8 Di atas 5.000 gr
Pidana mati 9
ProdusenPabrikan 5 thn-pidana mati
Sumber: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung SEJA Nomor: SE- 010AJA121010 tertanggal 23 Desember 2010 tersebut diketahui bahwa berat atau
jumlah barang bukti Narkotika jenis Shabu-Shabu atau Heroin ditentukan jumlah tuntutan untuk kategori berat barang bukti. Kategori jumlah tuntutan untuk barang
bukti Narkotika sebagaimana dimaksud dalam tabel 2 di atas adalah: 1.
Berat dari 1 Gram sampai dengan 10 Gram tuntutannya 5 tahun sampai dengan 6 tahun penjara.
2. Berat dari 11 Gram sampai dengan 50 Gram tuntutannya 6 tahun sampai
dengan 7 tahun penjara. 3.
Berat dari 51 Gram sampai dengan 100 Gram tuntutannya 7 tahun sampai dengan 10 tahun penjara.
4. Berat dari 101 Gram sampai dengan 500 Gram tuntutannya 10 tahun sampai
dengan 13 tahun penjara. 5.
Berat dari 501 Gram sampai dengan 1.000 Gram tuntutannya 13 tahun sampai dengan 15 tahun penjara.
Universitas Sumatera Utara
6. Berat dari 1.001 Gram sampai dengan 3.000 Gram tuntutannya 15 tahun
sampai dengan 20 tahun penjara. 7.
Berat dari 3.001 Gram sampai dengan 5.000 Gram tuntutannya pidananya seumur hidup.
8. Berat di atas 5.000 Gram tuntutan pidana mati.
9. Produsen atau Pabrik yang memproduksi Narkotika tuntutan pidana 5 tahun
sampai dengan pidana mati. Untuk penuntutan terhadap barang bukti Narkotika dari 1 Gram sampai
dengan 500 Gram dilakukan oleh Kejaksaan Negeri setempat. Untuk penuntutan terhadap barang bukti Narkotika dari 5.001 Gram sampai dengan 1 Kilogram
dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi. Untuk penuntutan di atas 1 Kilogram dilakukan oleh Kejaksaan Agung, dan terhadap orang yang memproduksi atau menanam
Narkotika maka penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Dapat dibandingkan dari jumlah tuntutan untuk barang bukti ganja dan heroin
sebagaimana pada tabel 1 dan tabel 2 di atas. Bahwa untuk ganja 1 sd 50 gr tuntutannya 5 tahun sd 6 tahun sedangkan untuk heroinshabu-shabu dari 1 sd 10 gr
tuntutannya 5 tahun sd 6 tahun. Dalam hal ini beratnya berbeda tetapi jumlah tuntutannya sama. Berarti heorinshabu-shabu lebih tinggi tuntutannya daripada
ganja. Hal itu juga tampak pada tuntutan untuk barang bukti ganja di atas 250.000 gr pidana mati sedangkan tuntutan pidana mati untuk barang bukti heroinshabu-shabu
beratnya hanya 5.000 gr.
Tabel: 3
Universitas Sumatera Utara
Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Ekstasy No. Berat Jumlah
Barang Bukti Tuntutan
Keterangan
1 sd 10 gr
5 thn-6 thn SEJA No. SE-
010AJA121010 Tanggal 23 Desember 2010.
sd 5000 btr : Kejari 501 btr-1.000 btr : Kejati
Di atas 1 Kg : Kejagung Produsen : Kejagung
2 11 gr-50 gr
6 thn-8 thn 3
51 gr-100 gr 8 thn-10 thn
4 101 gr-500 gr
10 thn-13 thn 5
501 gr-1000 gr 13 thn-15 thn
6 1.001 gr-5.000 gr
15 thn-18 thn 7
5.001 gr-9.000 gr 18 thn-20 thn
8 9.001 gr-10.000 gr
Seumur hidup
Sumber: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung SEJA Nomor: SE- 010AJA121010 tertanggal 23 Desember 2010 tersebut diketahui bahwa berat atau
jumlah barang bukti Narkotika jenis Ekstasy sudah ditentukan jumlah tuntutan untuk kategori berat barang bukti. Kategori jumlah tuntutan untuk barang bukti Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam tabel 3 di atas adalah: 1.
Berat dari 1 Gram sampai dengan 10 Gram tuntutannya 5 tahun sampai dengan 6 tahun penjara.
2. Berat dari 11 Gram sampai dengan 50 Gram tuntutannya 6 tahun sampai
dengan 8 tahun penjara. 3.
Berat dari 51 Gram sampai dengan 100 Gram tuntutannya 8 tahun sampai dengan 10 tahun penjara.
4. Berat dari 101 Gram sampai dengan 500 Gram tuntutannya 10 tahun sampai
dengan 13 tahun penjara. 5.
Berat dari 501 Gram sampai dengan 1.000 Gram tuntutannya 13 tahun sampai dengan 15 tahun penjara.
6. Berat dari 1.001 Gram sampai dengan 5.000 Gram tuntutannya 15 tahun
sampai dengan 18 tahun penjara. 7.
Berat dari 5.001 Gram sampai dengan 9.000 Gram tuntutannya 18 tahun sampai dengan 20 tahun penjara.
8. Berat dari 9.001 Gram sampai dengan 10.000 Gram tuntutannya pidananya
seumur hidup.
Universitas Sumatera Utara
Untuk penuntutan terhadap barang bukti Narkotika dari 1 butir sampai dengan 5000 butir dilakukan oleh Kejaksaan Negeri setempat. Untuk penuntutan terhadap
barang bukti Narkotika dari 501 butir sampai dengan 1.000 butir dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi. Untuk penuntutan di atas 1 Kilogram dilakukan oleh Kejaksaan
Agung, dan terhadap orang yang memproduksi atau menanam Narkotika maka penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
Jika tabel 3 di atas dibandingkan dengan tabel 1, tuntutan seumur hidup berlaku untuk barang bukti ekstasy adalah dari 9.001 gr-10.000 gr sedangkan untuk
barang bukti ganja tuntutan seumur hidup jika berat barang buktinya dari 100.001 gr- 250.000 gr. Tuntutan sama-sama seumur hidup untuk barang bukti yang berbeda
jenisnya, beratnya juga berbeda. Dari tabel 1 dan tabel 2 jumlah tuntutan ekstasy lebih berat dibandingkan ganja. Walaupun ganja lebih berat daripada ekstasy tetapi
sama-sama dituntut seumur hidup sesuai dengan tabel 3 dan tabel 1. Jika tabel 3 dibandingkan dengan tabel 2, tuntutan seumur hidup berlaku
untuk barang bukti ekstasy adalah dari 9.001 gr-10.000 gr sedangkan barang bukti heroinshabu-shabu tuntutan seumur hidup baru berlaku jika berat barang buktinya
dari 3.001 gr-5.000 gr. Dalam hal ini tuntutan sama-sama seumur hidup untuk barang bukti yang berbeda jenisnya, beratnya juga berbeda. Tetapi jumlah tuntutan
heroinshabu-shabu lebih berat dibandingkan ekstasy. Berarti walaupun ekstasy lebih berat timbangannya daripada heroinshabu-shabu tetapi sama-sama dituntut seumur
hidup sesuai dengan tabel 3 dan tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga berdasarkan tolok ukur tuntutan di atas, dapat disimpulan bahwa tuntutan untuk barang bukti heroinshabu-shabu lebih berat daripada tuntutan
terhadap barang bukti ekstasy dan tuntutan untuk barang bukti ekstasy lebih berat tuntutannya dibandingkan ganja.
1. Heroinshabu-shabu berat timbangannya dari 3.001 gr-5.000 gr dituntut
seumur hidup. 2.
Ekstasy berat timbangannya dari 9.001 gr-10.000 gr dituntut seumur hidup. 3.
Ganja berat timbangnnya dari 100.001 gr-250.000 gr dituntut seumur hidup. Berat timbangan heroinshabu-shabu lebih ringan daripada ekstasy dan
ekstasy lebih ringan daripada ganja, tetapi berdasarkan tolok ukur tersebut di atas, jumlah tuntutan untuk ketiga barang bukti tersebut berbanding terbalik dari jumlah
berat timbangnnya. Di mana tuntutan untuk barang bukti heroinshabu-shabu lebih berat daripada tuntutan terhadap barang bukti ekstasy dan tuntutan untuk barang bukti
ekstasy lebih berat tuntutannya dibandingkan ganja. Tolok ukur tuntutan pidana untuk perkara Narkotika dengan barang bukti
Ganja, Shabu-ShabuHeroin, dan Ekstasy tersebut di atas ditetapkan berdasarkan Lampiran Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-78EEp.2012011
tertanggal 27 Januari 2011. Dengan demikian tolok ukur tersebut menjadi pedoman bagi Jaksa dalam melakukan tuntutan pidana bagi pelaku tindak pidana Narkotika.
Untuk perkara Narkotika yang barang buktinya tergolong besar sebagaimana pada tabel di atas, maka penuntutan harus dilakukan oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Namun, berdasarkan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum yang dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 2011, menegaskan bahwa tolok ukur tuntutan
pidana Narkotika di atas dapat dikesampingkan karena pertimbangan hal-hal yang meringankan terdakwa. Apabila ancaman pidana maksimal dari pasal yang terbukti
adalah di bawah tolok ukur dimaksud, tidak pula harus ditafsirkan bahwa terdakwa harus dituntut dengan pidana maksimal apabila dalam diri terdakwa masih terdapat
hal-hal yang meringankan tersebut.
112
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE- 001JA41995 tertanggal 27 April 1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana telah
mengatur kriteria yang harus dipenuhi apabila Jaksa Penuntut Umum akan menuntut terdakwa dengan pidana maksimal mati. Namun walaupun demikian tidak serta
merta terdakwa dapat dituntut dengan pidana maksimal sebab jika dalam diri terdakwa masih terdapat hal-hal yang meringankan, maka terdakwa tersebut tidak
dituntut dengan pidana maksimal mati dimaksud. Sebelum dikeluarkannya Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-
374EEp.2052011 tertanggal 10 Mei 2011, Jaksa Penuntut Umum tidak dibolehkan melakukan tuntutan rehabilitasi terhadap terdakwa jika terdakwa ternyata berstatus
sebagai pecandu atau penyalahguna. Namun setelah berlakunya Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-374EEp.2052011 mulai tanggal 10 Mei 2011,
112
Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-374EEp.2052011 tertanggal 10 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
seluruh jajaran Kejaksaan dapat menuntut rehabilitasi bagi terdakwa yang berstatus sebagai pencandu atau penyalahguna.
Apabila terdapat barang bukti Narkotika dengan jumlah yang relatif banyak, maka secara logika tidak mungkin terdakwa tersebut berstatus sebagai pencandu atau
penyalahguna, melainkan cenderung sebagai pengedar atau lainnya. Jika hal ini masih bersifat dugaan, maka jaksa dapat berpedoman pada petunjuknya P-19 agar
meminta kepada penyidik untuk mencari alat bukti ataupun barang bukti lain guna dijadikan sebagai dasar menetapkan terdakwa sebagai pengedar.
Standar pembuktian di negara-negara berbeda satu sama lainnya tergantung pada hukum pembuktian yang berlaku di negara masing-masing. Pada umumnya
pertama-tama jaksa akan memperhatikan apakah bukti-buktinya cukup apakah bukti- buktinya dapat membentuk suatu perkara yang masih harus dikembangkan karena
hanya memiliki bukti permulaan yang minim prima facie atau apakah bukti- buktinya dapat menghasilkan penghukuman oleh hakim.
113
Masalah yang paling kompleks sebenarnya bukan pada waktu atau pada saat menentukan penuntutan, terutama jika bukti-buktinya cukup untuk menghasilkan
penghukuman oleh hakim. Alasan-alasan yang paling dapat membenarkan tindakan penghentian penuntutan itu adalah kehendak dari kepentingan umum.
114
113
James L. Le Grende, The Basic Process of Criminal Justice, New York: Glencoe Press, 1973, hal. 7.
Karena begitu penting maka penggunaan kekuasaan diskresi di banyak negara telah
114
A.F. Wilcox, The Decision to Prosecute, London: Butterworths, 1972, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
diusahakan beberapa cara untuk mencegah adanya disparsitas diskresi penuntutan maupun untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan penuntutan.
115
Standar tindakan penuntutan dapat dirujuk terhadap beberapa pedoman kerja. Di negara Indonesia kejaksaannya disentralisasikan di aman setiap jaksa berada di
bawah bimbingan dan pengawasan jaksa atasannya.
116
Di samping itu, latihan dan rapat-rapat kerja Kejsakaan sudah barang tentu akan mengurangi disparitas
penyelesaian penuntutan.
117
Mengenai cara-cara pencegahan terhadap terjadinya penyalahgunaan kekuasaan penuntutan, dimungkinkan dengan bermacam-macam sistem pengujian
dan pengujian kembali check and recheck system melalui upaya pengawasan oleh Kejaksaan yang lebih tinggi, meninjau kembali mengenai tata cara pengajuan
permohonan kepada badan peradilan untuk penyelesaian penuntutan oleh jaksa dan untuk melakukan penuntutan baru.
Tuntutan kerja dalam menjalankan tugas jaksa tidak cukup dengan kecakapan atau ilmu yang diperoleh dari perguruan tinggi. Oleh sebab itu, selain Kejaksaan
memberi kesempatan kepada jaksa-jaksa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Pascasarjana dan Doktor, Kejaksaan juga melakukan pelatihan-pelatihan menyangkut
teknis. Penuntutan merupakan seni, keterampilan yang tidak hanya memerlukan
115
RM. Surachman dan Andi Hamzah, Op. cit, hal. 29, dan hal. 37. Diskresi kejaksaan adalah kebebasan menerobos aturan dengan mengedepankan nalar, menjunjung tinggi HAM, kepentingan
umum, dan keadilan. Contohnya: mengenai wewenang tidak menuntut karena alasan teknis seperti: kalau tidak cukup bukti-buktinya; kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana; dan kalau
perkaranya ditutup demi hukum.
116
Selain Indonesia juga diterapkan di Jepang, Korea Selatan, Belanda, Filipina, dan Thailand.
117
A.F. Wilcox, Op. cit, hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
kecakapan tetapi juga penguasaan teknis yang dapat diperoleh dan dibentuk dari pengalaman, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain.
118
Langkah lain yang dapat dilakukan adalah dalam prekrutan jaksa-jaksa baru, diupayakan agar mendahulukan tenaga yang tepat diterima terlebih dahulu daripada
tenaga yang dipengaruhi oleh praktik-praktik KKN. Tidak sulit untuk menguji fisik dan mengevaluasi para calon jaksa, tetapi yang lebih tinggi lagi nilainya daripada
fisik dan pendidikan adalah watak, karakter, etika, dan moral. Seperti yang digambarkan oleh Jackson, Hakim Agung Amerika Serikat berikut:
Sulitnya dan tidak mungkinnya membuat definisi sifat-sifat seorang jaksa yang baik sama sulitnya dan tidak mungkin seperti membuat definisi sifat-
sifat yang menjadi ciri seorang ksatria. Sedangkan mereka yang seharusnya diingatkan toh tidak bakal memahaminya. Suatu kepekaan atas permainan
yang jujur dan atas sportivitas boleh jadi perlindungan terbaik dari penyalahgunaan kekuasaan, sedangkan keamanan warga terletak di tangan
jaksa yang memadukan semangatnya dengan kemanusiaan, yang mencari kebenaran dan bukan mencari korban, yang mengabdi kepada hukum dan
bukan mengabdi kepada kepentingan golongan, dan yang melakukan pendekatan yang rendah hati terhadap tugasnya.
119
Dalam mencapai kualitas seperti yang dikatakan oleh Hakim Agung Amerika Serikat di atas, maka alternatif penentuan calon-calon para jaksa di Indonesia selalu
dipertimbangkan integritas moralnya melalui pengujian-pengujian akademis, kecakapan, dan psikologis, serta ditambah dengan pendidikan khusus Kejaksaan,
sebab semboyan Kejaksaan Indonesia tersirat dalam adagium ”Satya, Adhi, dan Wicaksana. Lagi pula dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung Republik
Indonesia terdapat perangkat pengawasan umum yang dilengkapi dengan instrumen
118
RM. Surachman dan Andi Hamzah, Ibid, hal. 27.
119
Ibid, hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
hukum dan peraturan disiplin untuk mengawasi badan penuntut umum di Indonesia. Uraian ini pada prinsipnya mutatis mutandis bagi seluruh institusi Kejaksaan di
Indonesia mulai dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi sampai pada jajaran yang paling rendah yaitu Kejaksaan Negeri khususnya Kejaksaan Negeri Medan.
Persyaratan menjadi jaksa tidak begitu berbeda dengan persyaratan menjadi seorang hakim. Seorang calon hakim maupun jaksa wajib seorang lulusan Sarjana
Hukum. Syarat ini boleh dikatakan sebagai syarat atau kemampuan akademis, namun untuk memperoleh kemampuan skil, para jaksa maupun hakim yang sudah lulus
diwajibkan mengikuti program latihan jabatan, sepesialisasi, dan perolehan sertifikat. Akhirnya tidak bisa juga disangkal bahwa standar etika dan moral adalah
benteng terakhir untuk jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya khususnya bidang penuntutan. Oleh karena itu, penuntut umum ketika melakukan tugas
penuntutan harus didasarkan atas pertimbangan pengawasan dari berbagai pihak atau masyarakat, LSM-LSM, dari keluarga pihak terdakwa, saksi-saksi pihak terdakwa,
pers, pengadilan, badan penyelidik, dari kalangan pakar hukum akademisi, pengacara, dan lain-lain.
Dengan demikian ketika penuntutan dilakukan dengan hadirnya pihak-pihak dimaksud di atas, akan memberikan keadaan yang berimbang antara pihak
pemerintah dalam hal ini Polisi, Jaksa, dan Hakim dengan pihak terdakwa maupun pengacaranya. Sehingga terwujud keadilan yang dicita-citakan hukum dan keadilan
yang dicari oleh para pencari keadilan di negeri ini. Walaupun keadilan yang diciptakan dalam persidangan tidak dapat membuat keadilan yang sempurna, namun
Universitas Sumatera Utara
paling tidak sistem peradilan pidana mampu membuat perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana Narkotika.
Pemikiran tentang pengendalian kebijakan penuntutan dalam sub bab ini digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan sebagaimana menurut
Utrecht,
120
walaupun keadilan itu bukan satu-satunya yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum. Karena dalam suatu negara hukum modern, tujuan
hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan welfare state.
121
Apabila terjadi tindakan yang tidak adil unfair prejudice di dalam kehidupan, maka sektor
hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang the lost justice inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai keadilan
korektif.
122
Keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum itu juga. Keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan
memperhatikan kepribadian masing-masing. Prinsip keadilan dirincinya dalam bentuk pemenuhan hak yang sama terhadap dasar dan pengaturan perbedaan ekonomi
dan sosial sehingga akan terjadi kondisi yang tertib.
123
Hukum modern saat ini pada prinsipnya menghendaki ketertiban sebagai tujuan hukum dimana perdamaian manusia lah yang dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan,
120
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975, hal. 20.
121
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Loc. cit.
122
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hal. 92.
123
Ibid, hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.
124
Hukum nasional dibuat selain untuk mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana
pembaharuan kehidupan masyarakat, agar perubahan pembangunan itu dilakukan dengan teratur dan tertib.
125
Hal yang mendasarinya berangkat dari teori restoratif restorative dengan pandangannya yang paling menonjol adalah memidana bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses
mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan masyarakat the theori of social defence.
126
Konsekuensi yang dikehendakinya adalah adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana,
masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan
restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana. Konstruksi pemikiran peradilan restoratif dan keadilan restoratif yang dihasilkannya,
124
Lili Rasjidi, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia”,Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, Vol. 1 No. 1, Tahun 2005, hal. 8.
125
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Cetakan
IV, Bandung: Putra A. Bardin, 2000, hal. 13.
126
J. Andeneses, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam
mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.
127
Dalam penciptaan keadilan dimaksud pengendalian kebijakan penuntutan bagi Kejaksaan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, penting menjadi
renungan untuk diterapkan dengan mendasarkan pada betapa utamanya nilai keadilan bagi pencari keadilan dalam setiap perkara yang diproses di persidangan.
Perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku terkait kasus Narkotika perlu dipertimbangkan sejalan dengan tugas mempertahankan
kepentingan publik.
B. Kendala yang Dihadapi Kejaksaan dari Sisi Undang-Undang