Tahap Pembuatan Berkas Perkara

yang dicampur dengan sejenis kulit yang dapat merangsang tubuh agar dapat memabukkan, hingga saat ini belum dapat dikategorikan ke dalam zat narkotika. Kendala-kendala yang dihadapi penuntut umum dalam melakukan tugas penuntutan terhadap kasus-kasus tindak pidana Narkotika dan upaya yang dilakukan Kejaksaan dapat dipilah dalam tiga tahapan yakni pada tahap pembuatan berkas perkara atau sebelum penuntutan pra penuntutan, tahap penuntutan, dan pada tahap selesainya tuntutan putusnya kasus yang masih ada kaitannya dengan peran Kejaksaan.

4. Tahap Pembuatan Berkas Perkara

Kejaksaan tidak diberi wewenang oleh UU Narkotika untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, melainkan wewenang itu diserahkan kepada pihak BNN, Kepolisian, dan PPNS. Kondisi seperti ini sebenarnya suatu kemunduran dan penghambat bagi Kejaksaan dalam melakukan tugasnya khususnya dalam hal melakukan penuntutan terhadap kasus. UU Anti Korupsi mengatur penyidikan dapat dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi pengaturan demikian tidak ada di dalam UU Narkotika. Tampaknya dalam penegakan hukum Narkotika, diskresi mendominasi ke sisi BNN dan Kepolisian sebagai penyidik termasuk koordinasi dengan PPNS. Hakim Tinggi Hormuth Horskotte dari Jerman, berpendapat: Kalau jaksa dalam memproses berkas perkara, Polisi membatasi tugas pokoknya hanya pada menyusun dakwaan saja, sampai tingkat tertentu ia akan kehilangan hubungan dengan kenyataan sosial akibat menyerap substansi berkas perkara sebagai kehidupan yang nyata. Peran yang dimainkan oleh jaksa di dalam sidang pengadilan tidak dapat menutupi kekurangan tadi, sebab Universitas Sumatera Utara sidang pengadilan pun mencerminkan suatu kenyataan yang semu. Lebih- lebih peran jaksa dalam sidang pengadilan kecil artinya dibandingkan dengan fungsi yang menentukan yang dijalankan oleh jaksa dalam menetapkan apakah suatu perkara harus dituntut atau tidak. 133 Apabila dikaitkan dengan tugas dan wewenang jaksa menurut KUHAP, maka dapat dikatakan bahwa UU Narkotika membatasi tugas jaksa dalam hal melakukan penyidikan kasus-kasus Narkotika. KUHAP memperinci tugas jaksa yakni: melakukan penahanan, mengubah status tahanan, menangguhkan penahanan dan mencabut penangguhan penahanan, menguji keabsahan penghentian penyidikan dalam praperadilan, melakukan penuntutan kembali karena ada bukti baru, mengajukan banding kecuali dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan dalam hal putusan pengadilan dalam acara cepat, melaksanakan putusan hakim, dan mengajukan tuntutan pidana requisitoir. 134 Memang pada prinsipnya KUHAP tidak memberikan wewenang penyidikan kepada Kejaksaan, 135 133 Hormuth Horskotte dalam RM. Surachman dan Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 40. tetapi berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generasil, ketentuan tersebut dapat diatur dalam undang-undang khusus seperti yang diatur dalam UU Kejaksaan mengatur hal demikian tetapi dalam UU Narkotika tidak diatur wewenang jaksa sebagai penyidik. Tampaknya masalah kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam kasus Narkotika dihadapkan pada dua undang-undang yang berbeda yakni UU Kejaksaan dan UU Narkotika. 134 Ibid. 135 Ibid, hal. 33. Universitas Sumatera Utara Pada kenyataannya berdasarkan analisis dengan mendasarkan pada kelima kasus yang diuraikan pada sub B Bab II sebelumnya, penuntut umum terkendala dalam hal menentukan substansi dakwaan. Sebab tidak secara langsung mengetahui peristiwa kongkrit tindak pidana Narkotika tersebut. Sehingga pihak penuntut umum Kejaksaan tampaknya tidak menentukan isi dakwaan alternatif dalam dakwaan kedua. Berdasarkan dakwaan dari kelima kasus tersebut substansi dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa tersebut pada prinsipnya sama atau persis sama atau tetap saja isi dakwaan pertama yang didakwakan dalam dakwaan kedua copy paste sedangkan pasal-pasal yang dikenakan dalam dakwaan tersebut adalah berbeda. Kejaksaan kehilangan hubungan dengan kenyataan sosial akibat peran penyidik ditentukan hanya BNN, Kepolisian, dan PPNS. Peran yang dimainkan oleh jaksa di dalam sidang pengadilan tidak dapat menutupi kekurangannya dalam dakwaan, sehingga sidang pengadilan pun mencerminkan suatu kenyataan yang semu. Selanjutnya kendala-kendala yang terjadi di lapangan menyangkut penegasan UU Narkotika yang menentukan mengenai peran serta masyarakat yang terlalu luas disebutkan dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 UU Narkotika. Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan Universitas Sumatera Utara pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut menurut Pasal 106 UU Narkotika dapat diwujudkan dalam bentuk: a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN; dan e. Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan. Pengaturan peran serta masyarakat yang luas tersebut bukan saja menyangkut ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 106 UU Narkotika tetapi menurut Pasal 108 ayat 1 UU Narkotika untuk mendukung peran serta masyarakat dimaksud dapat dibentuk suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN. Berarti wadah yang dimaksud berada di bawah pengaturan dan pengawasan BNN. Adanya ketentuan peran serta masyarakat yang luas berpotensi menyalahgunakan kewenangan sekaligus membahayakan masyarakat itu sendiri. Sebab kejahatan narkoba tentunya berhadapan Universitas Sumatera Utara dengan satu kelompok atau jaringan yang terorganisasi sehingga sangat berbahaya. Masalah ini juga diakui oleh Koordinator Indonesia Coalition for Drug Policy Reform ICDPR, Asmin Fransiska, pasal-pasal menyangkut peran serta masyarakat yang terslalu luas tersebut masih menjadi kontroversial dalam pencegahan dan pemberantasan Narkotika. 136 Ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 108 ayat 1 UU Narkotika, peran serta masyarakat dalam pembatasan Narkotika bisa dibentuk lembaga yang berada di bawah BNN. Ketentuan ini sangat berisiko penyalahgunaan oleh oknum. Menurut Pasal 108 ayat 2 UU Narkotika, BNN dapat mengeluarkan atau membuat pengaturan melalui peraturan kepala untuk mengatur peran serta masyarakat yang luas tersebut. Hal ini berarti BNN juga berperan sebagai regulator padahal selama ini kapasitas BNN masih patut dipertanyakan. Kewenangannya besar tidak masalah, tetapi buktinya yang banyak dipenjara adalah pemakai, walaupun ada untuk pengedar, jumlahnya tidak signifikan, melainkan pengedar besar atau gembong Narkotika kurang tersentuh. Hal ini dapat dibuktikan untuk skala lokal saja, kasus- kasus yang ditangani Kejaksaan sebagaimana yang telah diuraikan di dalam BabII di dalam institusi Kejaksaan Negeri Medan umumnya adalah pemakai dan pengedar kelas teri artinya kapasitas Narkotika yang diedarkan tidak besar. Dengan kondisi demikian, bagi Kejaksaan sebagai penuntut umum terhadap kasus-kasus Narkotika tersebut dinilai menjadi penghambat dalam pemberantasan 136 http:international.okezone.comread200909141257157banyak-kelemahan-tunda- pengesahan-ruu-narkotika, diakses tanggal 1 Juni 2011. Asmin Fransiska, Koordinator Indonesia Coalition for Drug Policy Reform ICDPR. Universitas Sumatera Utara tindak pidana Narkotika, sebab jumlah kasus yang ditangani Kejaksaan Negeri Medan selama ini umumnya kasus-kasus kecil dimana objek Narkotika-nya tidak signifikan atau Kejaksaan Negeri Medan maupun Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara jarang menangani kasus-kasus besar atau gembong Narkotika. Seolah-olah kasus- kasus besar Narkotika dinilai pada satu sisi terlindungi oleh aparat. Padahal UU Kejaksaan dan UU Narkotika mengamanatkan peran serta Kejaksaan dituntut harus lebih besar. Upaya yang dilakukan Kejaksaan dalam hal ini adalah melakukan metode pendekatan sosial dengan mengerahkan potensi edukasi bagi masyarakat luas termasuk dengan cara mengundang LSM-LSM atau lembaga-lembaga swasta yang bergerak di bidang Anti Narkotika untuk menyatukan pandangan, mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pencegahan dilakukan melalui penyuluhan hukum tentang Anti Narkotika kepada masyarakat melalui seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan. Pemberantasan dilakukan melalui penegakan hukum Anti Narkotika UU Narkotika dengan tetap menjalin hubungan yang baik dan bekerjasama dengan masyarakat. Kendala dari sisi UU Narkotika yang dapat berdampak pada posisi dan peran serta Kejaksaan dalam melakukan penuntutan adalah menyoal masalah kewenangan penyidik. Bahwa UU Narkotika menentukan penyidik untuk kasus Narkotika ada tiga yakni: Kepolisian, BNN, dan PPNS. Ketiga institusi pemerintahan ini berperan sebagai penyidik. Kepolisian dan BNN bisa dikategorikan sebagai institusi yang besar ruang lingkupnya, apalagi kewenangan penyidikan untuk kedua institusi ini Universitas Sumatera Utara dibuka luas oleh UU Narkotika sebagaimana dengan kewenangan BNN dalam Pasal 80 UU Narkotika. Sementara penyidik Kepolisian sudah umum dan bahkan sudah lama ada dan dinilai pada satu sisi sebagai institusi yang permanen dan berkuasa. Pada prinsipnya UU Narkotika mengamanatkan bagi penyidik-penyidik ini untuk berkoordinasi dalam melakukan penyidikan sebagaimana amanat Pasal 83 UU Narkotika bahwa “Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”. Koordinasi dimaksud dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UU Narkotika, menentukan jika penyidikan dimulai dari Kepolisian maka harus dikoordinasikan dengan BNN, sebaliknya jika dimulai dari BNN harus dikoordinasikan dengan Kepolisian, begitu juga untuk PPNS. Praktiknya di lapangan, koordinasi sulit dapat diintegrasikan dalam pelaksanaannya sehingga dapat memperlambat dilakukannya penyerahan berkas perkara ke Kejaksaan bahkan cenderung berkas perkara tersebut dikembalikan oleh pihak Kejaksaan untuk disempurnakan terkait dengan kelengkapannya atau karena kurangnya bukti-bukti dan lain-lain. Analoginya adalah jika ada jaringan pengedar Narkotika yang dibekap atau dilindungi oleh oknum aparat Kepolisian, maka kecenderungannya pihak Kepolisian kurang serius dalam melakukan koordinasi dengan BNN, begitu juga sebaliknya jika ada pengedar Narkotika yang dibekap atau dilindungi oleh BNN, maka kecenderungan BNN tidak serius melakukan koordinasi dengan Kepolisian. Dampaknya adalah terhambatnya proses penyidikan atau berlarut-larutynya proses penyidikan terhadap kasus-kasus Narkotika khususnya kasus-kasus besar atau Universitas Sumatera Utara gembong Narkotika sehingga pada kenyataannya selama ini, kasus-kasus Narkotika yang dituntut oleh Kejaksaan Negeri Medan hingga banding dan kasisi umumnya kasus-kasus yang jumlah objeknya kecil. Sedangkan kasus-kasus yang besar seolah- olah tidak tampak ke permukaan dalam proses penegakan hukum. Kritik untuk ketentuan yang menegaskan penyidik untuk kasus Narkotika sekaligus sebagai langkah atau upaya yang harus dilakukan lembaga-lembaga yang tergabung dalam Criminal Justice System, jika penyidikan dilakukan oleh satu lembaga tunggal tidak relevan lagi sebab telah banyak menuai persoalan ketika pada masa dulu penyidiknya diserahkan kepada aparat Kepolisian saja. UU Narkotika yang mengamanatkan penyidik ada tiga lembaga dirasa sudah maksimal dan sempurna pada tataran normatif, namun untuk mensinergikan kewenangan dan tugas dari ketiga institusi penyidik ini hendaknya diatur lebih terperinci dalam Peraturan Pemerintah belum ada. Selain itu perlu dilakukan penekanan hukum moral untuk ketiga lembaga ini yang tergambung dalam Criminal Justice System. Hukum moral salah satu metode untuk menjawab korelasi ketiga lembaga ini dalam melakukan koordinasi. Sebab, koordinasi adalah barang mewah di negeri ini. Dalam Press Release Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba P4GN Akhir Tahun 2011 Badan Narkotika Nasional, disebutkan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan P4GN di tahun 2011 demi mewujudkan Indonesia Negeri Bebas Narkoba di tahun 2015 adalah belum optimalnya kerjasama dan koordinasi dengan dinas atau instansi terkait dalam melaksanakan program P4GN dan dalam pelaksanaan penyelidikan dan Universitas Sumatera Utara penyidikannya sampai pada penuntutan kasus Narkotika sering ditemukan kendala adanya ego sektoral, terkait dengan pertukaran informasi maupun kerjasama dalam pelaksanaan pemutusan dan pengungkapan sindikat jaringan Narkotika baik nasional maupun internasional. 137 Tidak heran ketika kasus Narkotika yang sudah mulai ditangani oleh Kejaksaan Negeri Medan, berkas perkaranya sering dikembalikan kepada penyidik oleh pihak Kejaksaan untuk diperbaiki, disebabkan tidak lengkapnya bukti-bukti yang diajukan dalam berkas perkara. Kondisi demikian bisa memperlambat penuntutan. Dalam Pasal 24 ayat 4 KUHAP ditentukan bahwa setelah waktu 60 enam puluh hari, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Dengan demikian menurut pendapat penulis, penuntut umum tidak dapat mengeluarkan surat perintah penahanan sesuai dengan Pasal 25 yang berlaku paling lama 20 dua puluh hari sebelum perkara dilimpahkan kepada Kejaksaan. 138 Masalah lamanya penahanan diakui oleh Sri Lastuti sebagai faktor penghambat khususnya dalam hal terjadinya perkara Narkotika dengan jumlah barang bukti yang relatif banyak. Pada satu sisi jaksa penuntut harus mengejar waktu penahanan yang telah ditentukan menurut undang-undang, sedangkan di sisi lain dalam kondisi jumlah barang bukti yang relatif banyak tersebut, jaksa harus melakukan rencana tuntutan rentut ke pimpinan di tingkat Propinsi Kejati dan 137 Gories Mere, “Press Release Akhir Tahun”, Pidato Kepala Badan Narkotika Nasional, Jakarta, tanggal 27 Desember 2011, hal. 31. 138 Andi Hamzah, Op. cit, hal. 136. Universitas Sumatera Utara Pusat Kejagung. Untuk menghadapi kendala ini, jaksa penunut melakukannya rentut melalui sarana telepon dan email untuk menghindari keterlambatan. 139 Masalah lamanya penahanan juga diakui oleh Sabarita, jika jumlah barang bukti yang relatif banyak, maka harus dilakukan rentut terlebih dahulu ke pimpinan. Biasanya rentut memakan waktu yang lama karena masih menggunakan sarana melalui Pos atau dengan cara rentut langsung ke pimpinan ke Kejatisu dan Ke Kejagung. Untuk menghadapi kendala lamanya waktu rentut sementara masa penahanan tidak boleh lewat, maka jaksa penunut melakukan rentut melalui sarana telepon dan email untuk menghindari keterlambatan. 140 Pasal 25 KUHAP tersebut ditentukan bahwa penuntut umum dapat mengeluarkan perintah penahanan yang berlaku paling lama dua puluh hari. Penahanan oleh penuntut umum ini dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tiga puluh hari yang alasannya menurut ayat 2 pasal tersebut jika diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai. Di sinilah terdakang sering terjadi kesalahan praktik di lapangan, bahwa peran Kejaksaan pada tahap ini adalah membuat surat tuntutan bukan melakukan pemeriksaan. Redaksi dalam alasan ayat 2 tersebut kurang tepat, yang menegaskan karena penuntut umum belum melakukan pemeriksaan, seharusnya ditegaskan dalam pasal tersebut dengan redaksi ”apabila persiapan penuntutan belum selesai”. Stigma ini bisa menimbulkan 139 Wawancara dengan Sri Lastuti Jaksa Fungsional pada Bidang Pidana Umum di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tanggal 5 Juni 2012. 140 Wawancara dengan Sabarita Jaksa Fungsional pada Bidang Pidana Umum di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tanggal 4 Juni 2012. Universitas Sumatera Utara kesan yang tidak baik kepada institusi Kejaksaan jika menggunakan kata ”pemeriksaan kasus”. Ketentuan ini juga dikritik oleh Andi hamzah dalam bukunya berjudul Hukum Acara Pidana Indonesia. 141 Dalam Pasal 138 KUHAP sekalipun hanya menentukan bagi penuntut umum mempelajari hasil penyidikan oleh penyidik hanya selama 7 tujuh hari sehingga jumlah hari yang tersisa untuk membuat dakwaan dan penuntutan adalah 13 tiga belas hari dan ditambah perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri selama 30 tiga puluh hari. Oleh karena itu, upaya yang tepat dalam melakukan peran penuntutan harus menggunakan redaksi ”persiapan penuntutan” bukan pemeriksaan perkara, sebab yang memeriksa kasus atau perkara adalah kewenangan hakim di sidang pengadilan. Untuk mengantisipasi terhambatnya tugas Kejaksaan dalam melakukan penuntutan kasus-kasus Narkotika karena terlambatnya berkas perkara diterima, Kejaksaan melakukan upaya untuk mengatasinya dengan optimalisasi kerjasama dan koordinasi dengan instansi khususnya ketiga penyidik dan dinas lainnya terkait dengan proses penegakan hukum Narkotika dan melakukan saran atau petunjuk kepada ketiga penyidik atau instansi terkait untuk memudahkan pelaksanaan penyidikannya melalui Memorandum of Understanding MoU.

5. Tahap Penuntutan