perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam
mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.
127
Dalam penciptaan keadilan dimaksud pengendalian kebijakan penuntutan bagi Kejaksaan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, penting menjadi
renungan untuk diterapkan dengan mendasarkan pada betapa utamanya nilai keadilan bagi pencari keadilan dalam setiap perkara yang diproses di persidangan.
Perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku terkait kasus Narkotika perlu dipertimbangkan sejalan dengan tugas mempertahankan
kepentingan publik.
B. Kendala yang Dihadapi Kejaksaan dari Sisi Undang-Undang
Menyinggung masalah Chatinone, Narkoba jenis baru yang dikonsumsi Rafi Ahmad baru-baru ini
128
127
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania: Intercourse, 2002, hal. 18.
, ada dicantumkan dalam lampiran I UU Narkotika, Chatinone masuk dalam urutan ke-35. Namun, dalam lampiran itu hanya ditulis sebagai
katinona, dengan penjelasan --S-2-ainopropiofenon. Chatinone diketahui dapat
128
http:devamelodica.commengenal-chatinone-narkoba-jenis-baru-yang-dikonsumsi-rafi- ahmad, judul: “Mengenal Ichatinone, Narkoba Jenis Baru yang Dikonsumsi Rafi Ahmad”, diakses
tanggal 29 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan beberapa efek samping seperti euforia dan kesegaran. Karena efeknya itu, dalam konsensus psikotropika internasional pada tahun 1971 dinyatakan sebagai
zat terlarang. Bahkan sejak tahun 1993, badan pemberantasan penyelundupan narkoba di negara federal Amerika Serikat menyatakan Chatinone sebagai salah satu
zat terlarang dan keberadaannya memerlukan pengaturan khusus. Namun yang menjadi persoalan di sini adalah jika zat-zat yang disebut dalam
Pasal 1 angka UU Narkotika tidak terdapat dalam lampiran UU Narkotika, padahal jelas-jelas zat atau obat tersebut berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan bagi pemakainya. Dalam konsep hukum positif, tidaklah cukup jika hanya berpedoman pada
unsur yang menimbulkan ketergantungan atau zat adiktif dalam UU Narkotika sementara jenis zat tersebut tidak disebutkan dalam UU Narkotika. Konsep hukum
mempedomani ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menyangkut asas legalitas. Suatu perbuatan tidak dapat dihukum jika tidak diatur
dalam undang-undang. Hukum di Indonesia menurut Romli Atmasasmita masih bersifat konservatif yang dipertahankannya hanya apa yang telah di atur dalam
undang-undang.
129
129
Romli Atmasasmita., “Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas- asas Hukum Pidana Nasional”, Makalah yang disampaikan pada Seminar, Asas-asas Hukum Pidana
Nasional, Kerjasama UNDIP dan BPHN DEPKEH HAM RI, padaa tanggal 26 April 2006, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
Asas legalitas tampaknya masih kuat dianut di Indonesia.
130
Menurut Sudarto, suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peraturan perundang-
undangan dan peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
131
Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut di atas adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana non
retroaktif. Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat 2 KUH Pidana.
132
Kondisi demikian juga menjadi kendala dalam penegakan hukum narkotika di mana pada saat ini terdapat beberapa zat yang berasal dari tanaman sementara jenis
tersebut tidak terdapat dalam lampiran UU Narkotika. Contoh: kulit buah duku yang jika dibakar dapat menimbulkan efek halusinasi termasuk kulit pohon duku tersebut
jika direndam kemudian diminum juga dapat menimbulkan efek yang sama dengan narkotika, tetapi tumbuhan jenis ini tidak diatur dalam UU Narkotika. Bahkan di
dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan seklipun hal tersebut tidak ada diatur mengenai hal itu.
Jika berpedoman pada asas legalitas, penggunaan dengan mengkonsumsi zat yang memabukkan yang tidak diatur dalam undang-undang baik UU Narkotika dan
UU Kesehatan tidak dapat dikenakan pidana atasnya, sehingga dengan demikian pelaku dinyatakan bebas. Sama halnya dengan meminum air seduhan dari pohon nira,
130
E.P.H. Sitorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995, hal. 5.
131
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, 1990, hal. 22-27.
132
Ibid., hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
yang dicampur dengan sejenis kulit yang dapat merangsang tubuh agar dapat memabukkan, hingga saat ini belum dapat dikategorikan ke dalam zat narkotika.
Kendala-kendala yang dihadapi penuntut umum dalam melakukan tugas penuntutan terhadap kasus-kasus tindak pidana Narkotika dan upaya yang dilakukan
Kejaksaan dapat dipilah dalam tiga tahapan yakni pada tahap pembuatan berkas perkara atau sebelum penuntutan pra penuntutan, tahap penuntutan, dan pada tahap
selesainya tuntutan putusnya kasus yang masih ada kaitannya dengan peran Kejaksaan.
4. Tahap Pembuatan Berkas Perkara