Keragaman Jenis Lalat Di Pasar Tradisional Kota Bogor Dan Status Kerentanannya Terhadap Berbagai Jenis Insektisida

(1)

KERAGAMAN JENIS LALAT DI PASAR TRADISIONAL

KOTA BOGOR DAN STATUS KERENTANANNYA

TERHADAP BERBAGAI JENIS INSEKTISIDA

PUGUH WAHYUDI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Jenis Lalat Di Pasar Tradisional Kota Bogor dan Status Kerentanannya Terhadap Berbagai Jenis Insektisida adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Puguh Wahyudi

B252120061

________________________

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.


(3)

RINGKASAN

PUGUH WAHYUDI. Keragaman Jenis Lalat Di Pasar Tradisional Kota Bogor dan Status Kerentanannya Terhadap Berbagai Jenis Insektisida. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.

Kota Bogor merupakan salah satu wilayah Jabodetabek yang memiliki pertumbuhan pasar modern cukup tinggi. Kondisi ini seharusnya tidak menggeser peran pasar tradisional, apabila disertai peningkatan mutu dan kualitas penjualan di pasar tradisional, antara lain untuk menghindari kehadiran lalat yang dapat menjadi vektor berbagai macam penyakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keragaman jenis lalat, mengukur prevalensi infestasi lalat, mengukur faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat dan menentukan status kerentanan lalat terhadap tiga golongan insektisida yaitu organofosfor (malathion), piretroid (sipermetrin) dan nikotinoid (tiametoksam).

Penelitian ini dilakukan pada lima pasar tradisional Kota Bogor yaitu Pasar Kota Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Anyar, Pasar Jambu Dua, dan Pasar Gunung Batu. Metode penelitian ini meliputi koleksi sampel dan identifikasi lalat, pengukuran prevalensi infestasi lalat, pengukuran faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat, dan uji status kerentanan lalat terhadap tiga gologan insektisida. Koleksi sampel lalat dilakukan dengan menangkap lalat pada tempat berkerumunnya lalat di lima pasar tradisional Kota Bogor dengan menggunakan tangguk serangga kemudian dilakukan identifikasi dengan kunci identifikasi lalat. Pengukuran prevalensi lalat yaitu dengan cara memasang fly sticky paper pada 3 area/ blok pasar (blok daging, blok ikan dan blok lingkungan) di setiap pasar. Pengukuran faktor risiko berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang menggunakan kuisioner. Uji status kerentanan lalat dimulai dengan memelihara koloni lalat yang berasal dari masing-masing pasar hingga menghasilkan keturunan generasi pertama, selanjutnya dilakukan uji kerentanan lalat terhadap tiga golongan insektisida.

Sepuluh spesies dari empat famili lalat yang diperoleh dari penelitian ini adalah Chrysomya megacephala, C. saffranea, C. rufifacies, Lucilia sericata, Musca domestica, M conducens, M. fasciata, Sarcophaga haemorroidalis, S. fuscicauda, Drosophila repleta. Tiga famili lainnya yaitu Phoridae, Anthomyiidae

dan Syrphidae. Indeks keragaman lalat pada masing-masing pasar yaitu Pasar Anyar sebesar 2.678, Pasar Gunung Batu 1.618, Pasar Kota Bogor 1.203, Pasar Sukasari 1.038 dan Pasar Jambu Dua 1.017.

Berdasarkan hasil wawancara responden terhadap variabel yang mempengaruhi infestasi lalat di lima pasar tradisional Kota Bogor diketahui bahwa hubungan korelasi infestasi lalat terhadap biosekuriti tempat/peralatan dalam kategori sangat kuat (R= 0,9). Adapun, hubungan korelasi biosekuriti personal dan biosekuriti lingkungan terhadap infestasi lalat dalam kategori sedang. Uji Status Kerentanan lalat M domestica dan C. megacephala terhadap tiga golongan insektisida menunjukkan nilai Rasio Resistensi (RR50) dalam tingkat

rendah (RRhitung < 10), tetapi RR50 M. domestica (Pasar Bogor, Gunung Batu dan

Sukasari) dan C. megacephala (Pasar Sukasari) terhadap sipermetrin menunjukkan tingkat sedang.


(4)

Sehubungan dengan penggunaan insektisida untuk mengendalikan lalat pengganggu di lingkungan pasar diketahui bahwa tidak ada riwayat penggunaan insektisida khusus pada lima lokasi pasar. Dengan demikian, adanya perbedaan status kerentanan lalat di lima lokasi pasar diduga akibat pengaruh penggunaan insektisida rumah tangga oleh pedagang di lingkungannya masing-masing. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dan memberikan informasi dasar dalam upaya pengendalian lalat di lingkungan pasar tradisional.

Kata-kata kunci : Indeks keragaman, lalat Chrysomia megacephala, Musca domestica, prevalensi, rasio resistensi


(5)

SUMMARY

PUGUH WAHYUDI. Diversity of Flies Species at Traditional Market in Bogor City and Its Susceptibility Status to Insecticides. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.

Bogor city is one of the Greater Jabodetabek area which has a fairly high

growth of the modern market. This condition shouldn’t shift the role of traditional market, if accompanied by an increase in quality and quantity of sales in traditional markets, among others to avoid the presence of flies which can be vectors of various diseases. This study aims to identify the species diversity of flies, determine the prevalence of infestation, measure the risk factors affecting infestation of flies and its susceptibility status to three classes of insecticide, organophosphorus (malathion), pyrethroids (sipermetrin) and nikotinoid (thiamethoxam).

This study was conducted in five traditional markets Bogor City i.e : Bogor City Market, Sukasari Market, Anyar Market, Jambu Dua Market, and Gunung Batu Market. The research methods consisted of sample collection and identification of flies, prevalence measurement, risk factors, and to susceptibility test of flies to three classes of insecticides. Sample collection was done by catching flies in a determined places pointed of fly in the five traditional markets Bogor City using insect net then identified by identification keys of fly. Prevalence of flies was measured by putting sticky fly papers in three blocks market (block of meat, fish, and environment). Measurement of risk factors were done by interviewing some traders using the questionaire. The susceptibility test were done to F1 generation of flies colony which collected from each market. The test were done toward three classes of insecticides.

Ten species from four families of flies have been identified in this study i.e., C. megacephala, C. saffranea, C. rufifacies, Lucilia sericata, M. domestica, M. conducens, M. fasciata, S. haemorroidalis, S. fuscicauda and Drosophila repleta. The others three family were Phoridae, Anthomyiidae and Syrphidae.

Variety index of flies collected from each markets were 2.678 (Anyar Market), 1.618 (Gunung Batu Market), 1.203 (Bogor Market), 1.038 (Sukasari Market), and 1.017 (Jambu Dua Market).

Based on the interview of the respondents to the variables of affecting infestation of flies at a five traditional market in the Bogor City, there were very strong correlation (R=0.9) with category the biosecurity place/equipment. While the correlation of the personal biosecurity and the environmental biosecurity against the infestations of flies were in the medium category. The susceptibility status of M. domestica and C. megacephala to three classes of insecticides showed Resistance Ratio value (RR50) were in low-level (RRcount < 10), but RR50

of both M. domestica (Bogor, Gunung Batu, and Sukasari market) and C. megacephala (Sukasari market) to cypermethrin were in moderate level.


(6)

In connection with the use of insecticides to the control of nuisance there was no history of using specific insecticides on the five locations of traditional market. So the differences in susceptibility status flies in the fifth locations there were suggested due to the influence of household insecticide used by traders in their respective communities. This study was expected to add the literature and provide basic information in an effort to control flies in the traditional market.

Key words: Chrysomia megacephala fly, Musca domestica, prevalence, resistance ratio, variety index


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan terseb ut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

KERAGAMAN JENIS LALAT DI PASAR TRADISIONAL

KOTA BOGOR DAN STATUS KERENTANANNYA

TERHADAP BERBAGAI JENIS INSEKTISIDA

PUGUH WAHYUDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(9)

(10)

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah keragaman jenis lalat, dengan judul Keragaman Jenis Lalat di Pasar Tradisional Kota Bogor dan Status Kerentanannya Terhadap Berbagai Jenis Insektisida.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana MSi dan Prof drh Upik Kesumawati Hadi PhD selaku pembimbing, serta Bapak Heri, Opik, Nanang dan Edi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Pasar Kota Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Anyar, Pasar Jambu Dua, dan Pasar Gunung Batu sebagai lokasi penelitian dan telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan keluarga serta seluruh pihak yang telah terlibat dalam pelaksanaan penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian 1

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Keragaman Jenis Lalat di Pemukiman 2

Dampak Lalat Terhadap Kesehatan 2

Pengendalian dan Resistensi Lalat 3

3 BAHAN dan METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Metode 4

Analisis Data 6

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Keragaman Jenis 7

Prevalensi Infestasi Lalat 13

Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Infestasi Lalat 15 Status Kerentanan Lalat Terhadap Tiga Golongan Insektisida 17

5 KESIMPULAN 24

DAFTAR PUSTAKA 24


(13)

DAFTAR TABEL

1 Jenis lalat yang dapat dikoleksi dari lima pasar tradisional di Kota

Bogor (Februari – Maret 2014) 8

2 Jumlah lalat yang dapat dikoleksi dari lima pasar tradisional di Kota

Bogor (Februari – Maret 2014) 8

3 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Kota

Bogor (Februari – Maret 2014) 10

4 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Sukasari

(Februari – Maret 2014) 10

5 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Anyar

(Februari – Maret 2014) 11

6 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Jambu

Dua (Februari – Maret 2014) 12

7 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Gunung

Batu (Februari – Maret 2014) 12

8 Distribusi frekuensi total unsur-unsur variabel biosekuriti personal, biosekuriti tempat/peralatan dan biosekuriti lingkungan 15 9 Status kerentanan M. domestica setelah kontak dengan malation 18 10 Status kerentanan M. domestica setelah kontak dengan sipermetrin 19 11 Status kerentanan M. domestica setelah kontak dengan tiametoksam 20 12 Status kerentanan C. megacephala setelah kontak dengan malation 21 13 Status kerentanan C. megacephala setelah kontak dengan sipermetrin 22 14 Status kerentanan C. megacephala setelah kontak dengan tiametoksam 23

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase keragaman jenis lalat yang dikoleksi dari lima pasar

tradisional Kota Bogor (Februari – Maret 2014) 9

2 Prevalensi Muscidae dan Calliporidae di tiap lokasi pasar (Februari–

Maret 2014) 13

3 Prevalensi Calliphoridae di setiap blok pasar (Februari – Maret 2014) 13 4 Prevalensi Muscidae di setiap blok pasar (Februari – Maret 2014) 14 5 Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap malation 18

6 Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap sipermetrin 19

7 Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap tiametoksam 20

8 Nilai LT50 lalat C. megachepala terhadap malation 21

9 Nilai LT50 lalat C. megacephala terhadap sipermetrin 22


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Ciri-ciri morfologi keragaman jenis lalat yang ditemukan di lima pasar

tradisional Kota Bogor 28

2 Jumlah lalat tertangkap dengan sticky paper di Pasar Kota Bogor 33 3 Jumlah lalat tertangkap dengan sticky paper di Pasar Jambu Dua 34 4 Jumlah lalat tertangkap dengan sticky paper di Pasar Sukasari 35 5 Jumlah lalat tertangkap dengan sticky paper di Pasar Gunung Batu 36 6 Jumlah lalat tertangkap dengan sticky paper di Pasar Anyar 37 7 Diagram batang jumlah lalat yang menempel pada fly sticky paper 38 8 Distribusi frekuensi unsur variabel biosekuriti personal yang

mempengaruhi infestasi lalat 39

9 Distribusi frekuensi unsur variabel biosekuriti tempat/peralatan yang

mempengaruhi infestasi lalat 40

10 Distribusi frekuensi unsur variabel biosekuriti lingkungan yang

mempengaruhi infestasi lalat 41

11 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan antara infestasi lalat dengan biosekuriti personal, tempat/peralatan dan lingkungan di lima pasar


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, swasta, koperasi atau swadaya masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda, yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, dan koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil, dan dengan proses jual beli melalui tawar-menawar (Widodo 2013). Pasar tradisional merupakan salah satu tempat utama sebagai pertemuan beberapa bahan pangan dan non pangan dari ladang-ladang penghasil di Kota Bogor dan sekitarnya. Bahan pangan yang dihinggapi lalat dapat berpotensi sebagai sumber penyakit bagi manusia. Lalat dapat sebagai vektor penyakit yang bersifat mewabah dan perlu penanganan serius apabila suatu daerah ditemukan lalat dengan kepadatan yang tinggi (Hestiningsih et al. 2003). M. domestica menjadi vektor penyakit di kota, wilayah peralihan, dan wilayah pedesaan (Campbell 2006). Menurut Aminah et al. 2005 lalat yang hinggap pada bahan makanan mengganggu performance dan berpotensi membawa kontaminan serta mengurangi mutu kesehatan bahan makanan.

Dengan demikian keberadaan lalat pada makanan dapat menjadi ancaman yang serius bagi kesehatan manusia. Lalat rumah (M. domestica) dapat membawa lebih dari 20 penyakit pada hewan dan manusia seperti salmonelosis, mastitis, tipus, disentri, pinkeye, anthrax, tuberculosis, cholera, dan lain-lain (Campbell 2006). Jenis lalat yang banyak merugikan manusia adalah jenis lalat rumah (M. domestica), lalat hijau (Chrysomia sp

dan Lucilia sp) , lalat biru (Calliphora vomituria) dan lalat latrine (Fannia canicularis). Selain stadium dewasa, larva lalat juga dapat menyebabkan penyakit. Penyakit yang disebabkan oleh stadium larva lalat disebut miasis. Penyebab miasis dikelompokkan dalam 7 famili lalat yaitu Calliphoridae, Sarcophagidae, Oestridae, Hypodermatidae, Gasterophylidae, Glossinidae, dan Muscidae. Miasis pada rongga mulut (oral miasis)

yang disebabkan oleh Wohlfahrtia magnifica (Famili Sarcophagidae) jarang terjadi pada manusia yang menjaga kebersihan dan kesehatan. Namun, kejadian oral miasis pada rongga mulut pernah di laporkan pada penderita dengan kebersihan pribadi yang rendah (Buyukkurt et al.. 2008).

Cara singkat yang digunakan masyarakat dan perusahaan pengendali hama menghadapi tuntutan lingkungan yang bebas dari serangga (pest free environment) adalah menggunakan insektisida. Akan tetapi penggunaan insektisida yang tidak terkendali memungkinkan lalat menjadi resisten terhadap golongan insektisida tertentu. Resistensi serangga terhadap insektisida merupakan kemampuan peningkatan daya tahan suatu populasi serangga terhadap insektisida yang biasanya mematikan. Resistensi serangga juga merupakan bentuk adaptasi untuk tetap survive dalam berbagai tekanan seleksi (Ahmad 2011).

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman jenis lalat pada lima pasar tradisional di Kota Bogor. Selain itu penelitian ini bertujuan mengukur prevalensi infestasi lalat, mengukur faktor risiko yang mempengaruhi infestasi, dan menentukan status kerentanan lalat terhadap tiga golongan insektisida (organofosfor, piretroid, dan nikotinoid). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar dan menambah kepustakaan dalam upaya pengendalian lalat di lingkungan pasar tradisional.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Jenis Lalat di Permukiman

Lalat merupakan salah satu ordo Diptera. Tiga subordo Diptera yang penting yaitu Nematocera, Brachycera dan Cyclorrhapha. Famili yang penting dari subordo Cyclorrhapha yaitu Muscidae, Sarcophagidae, Calliphoridae, Gasterophilidae, Oestridae dan Hippoboscidae (Hadi dan Soviana 2010). Dalam

Australian/Oceanian Diptera Catalog disebutkan bahwa ada sekitar 3.880 spesies lalat yang ditemukan berdasarkan sebaran zoogeografinya. Di kawasan Australia/Oceania terdapat kurang lebih 1000 spesies dari famili Muscidae (Pont 2014).

Famili Muscidae yang paling mudah ditemukan adalah M. domestica yang memiliki siklus hidup metamorfosis lengkap. Lalat mengandalkan insting untuk tertarik pada bahan yang membusuk/fermentasi dalam meletakkan telur-telurnya. Tempat berkembangbiak (breeding place) yang cocok yaitu kotoran, sampah makanan, sayuran membusuk, silase, dan septic tanks (Campbell 2006). Telur M.

domestica akan segera menetas menjadi larva dalam waktu 10-12 jam pada suhu

300C. Dalam waktu 4-5 hari larva akan segera berubah menjadi pupa/kepompong dan menjadi lalat dewasa dalam beberapa hari. Di daerah tropis M. domestica

membutuhkan waktu 8-10 hari pada suhu 300C dalam satu siklus hidupnya (Hadi dan Koesharto 2006).

Famili lalat lainnya yaitu Calliphoridae. Famili Calliphoridae umumnya berukuran sedang sampai besar dengan warna hijau, abu-abu, perak mengkilat atau abdomen gelap. Lalat ini berkembangbiak dibahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan, ikan, daging busuk, sampah, sampah ikan, dan kotoran hewan. Lalat Calliphoridae jarang berkembangbiak di tempat kering atau buah-buahan. Lalat Calliphoridae yang umum ditemukan di permukiman yaitu C.

megacephala. Ketika populasinya tinggi lalat ini akan memasuki dapur meskipun

tidak sesering lalat rumah. Lalat ini banyak terlihat di pasar ikan dan daging yang berdekatan dengan toilet. Famili Calliphoridae lain yang ditemukan di Indonesia yaitu C. bezziana dan Calliphora spp (Hadi dan Koesharto 2006).

Waktu perkembangan siklus hidupnya sangat tergantung pada suhu. Suhu maksimum telur C. bezziana untuk menetas hingga dewasa maximum 33 0C dengan waktu 4 hari. Namun rata-rata suhu yang dibutuhkan untuk perkembangan telur sampai dewasa 280C membutuhkan waktu 6 hari atau lebih (Campbell 2006). Pada musim hujan dan dingin di Thailand larva C. megacephala

berubah menjadi pupa dalam waktu 3,5 hari pada suhu 31,40C, dengan periode pupasi 6,5 hari. Lalat C. rufifacies membutuhkan waktu 4 hari pada suhu 27,40C dengan periode pupasi 6,5 hari (Sukontason et al. 2008).

Dampak Lalat Terhadap Kesehatan

Beberapa lalat memiliki arti penting dalam dunia kesehatan hewan seperti beberapa subfamili Stomoxyinae dan Muscinae yang dapat menghisap darah dan sebagai vektor mekanik agen penyakit sedangkan lalat Coenosiinae dewasa dapat sebagai predator serangga. Habitat dan cara makan larva lalat beranekaragam yaitu saprophagous, phytophagous, coprophagous,carnivory dan sebagai parasit. Namun kebanyakan larva ditemukan pada sampah atau material organik yang


(17)

membusuk kecuali larva Artherigona (shoot flies) sebagai hama tanaman biji-bijian dan padi-padian (Pont 2014). Lalat rumah (M. domestica) dan lalat hijau (C. megacephala) berdampak negatif terhadap kesehatan manusia di seluruh dunia. Lalat bersifat kosmopolit dan sinantropik terhadap lingkungan kehidupan manusia dalam mempertahankan siklus hidupnya. Lalat yang hinggap dari tempat sampah ke makanan berpotensi sebagai vektor mekanik agen penyakit virus, bakteri, protozoa, dan telur cacing (Hestiningsih et al. 2003; Sukontason et al. 2009, Bunchu et al. 2012).

Penyakit viral yang ditularkan oleh lalat yaitu poliomyelitis, hepatitis, trachoma, coxsackie dan infeksi virus ECHO (Enteric Cytophathic Human Orphan). Penyakit protozoa dapat ditularkan adalah amubiasis yang disebabkan oleh Entamoebahistolytica dan E. coli. Telur cacing yang dapat dibawa oleh lalat yaitu cacing kremi (Enterobius vermicularis), cacing gilig (Ascaris lumbricoides), cacing kait (Necator, Ancylostoma), cacing pita (Taenia, Diphylidium caninum) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) (Hadi dan Koesharto 2006).

M. domestica menjadi hama di kota, wilayah peralihan, dan wilayah pedesaan (Campbell 2006). Menurut Hestiningsih et al. (2003) lalat C. megacephala dan M. domestica dapat mengandung bakteri E. coli, Klebsiella pneumoniae, Baccillus sp, Enterobacter aerogenes, Enterococcus sp, Proteus morgani, Proteus mirabilis, Providencia rettgeri, Pseudomonas aerogenosa, Serratia marcessense, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus. Lalat dapat sebagai vektor penyakit yang bersifat mewabah dan perlu penanganan serius apabila suatu daerah ditemukan lalat dengan kepadatan yang tinggi.

Pengendalian dan Resistensi Lalat

Metode pengendalian lalat yang tepat yaitu dengan penerapan konsep IPM

(Integrated Pest Management/pengendalian hama terpadu). Konsep ini dilakukan

dengan cara menekan populasi di bawah ambang batas merugikan, pengurangan penggunaan insektisida mengingat bahaya dan efek samping, meningkatkan penggunaan metode non pestisida sehingga efisen, aman, dan mudah diterima masyarakat (Hadi dan Koesharto 2006).

Metode pengendalian dengan penyemprotan insektisida residual di peternakan sebaiknya dikurangi mengingat terjadinya kontaminasi terhadap pakan ternak dan air. Sinar matahari langsung, suhu, dan curah hujan yang tinggi menyebabkan berkurangnya efek insektisida karena hanyut terbawa arus air sehingga menyebabkan pengendalian kurang efektif dan harus diulang dalam interval dua atau tiga minggu (Campbell 2006). Mengingat tingginya tingkat reproduksi, waktu hidup yang pendek dan banyaknya keragaman jenis lalat, perubahan resistensi terhadap insektisida menjadi lebih cepat. Untuk itu diperlukan rotasi terhadap penggunaan insektisida dari golongan insektisida yang berbeda. Misalnya klorin hidrokarbon (methoxychlor) digantikan dengan golongan

phosphate (rabon) kemudian digantikan dengan piretroid sintetik/permetrin (Campbell 2006).

Insektisida sangat diperlukan dalam pengendalian serangga namun penggunaan insektisida dalam mengendalikan lalat dapat menghasilkan strain resisten yang tak dapat dihindari. Resistensi terhadap insektisida pada suatu tempat tergantung pada frekuensi penggunaan insektisida. Penelitian terhadap insektisida piretroid di Turki pada tahun 2004-2006 menjelaskan bahwa strain


(18)

resisten lalat M. domestica yang terpapar piretroid meningkat dalam kurun waktu dua tahun di daerah Adana dan Sanliurfa (Akiner dan Cadlar 2012).

Penelitian Akiner dan Cadlar (2005) menjelaskan bahwa penggunaan insektisida untuk tujuan pemberantasan hama di lahan pertanian dapat menyebabkan resistensi serangga dalam lingkungan peternakan dan tempat sampah. Hal ini akibat terjadinya resistensi silang dalam populasi tersebut. Kejadian resistensi juga pernah dilaporkan pada peternakan sapi di Amerika terhadap M. domestica terhadap insektisida permethrin, stirofos, dan

methoxychlor (Marcon et al. 2003). Saat ini belum banyak informasi mengenai status kerentanan lalat akibat penggunaan insektisida di lingkungan pasar yang dilaporkan di Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Kusariana (2013) menunjukkan bahwa status kerentanan lalat M. domestica terhadap tiga golongan insektisida (organofosfat, piretroid, dan nikotinoid) pada peternakan, pasar, dan pemukiman masih dalam tingkat rendah.

Meskipun demikian seiring berjalannya waktu laju resistensi terhadap insektisida tertentu berlangsung terus menerus. Penelitian-penelitian mengenai status resistensi terus dilakukan sebagai dasar untuk menentukan strategi program pengendalian yang tepat (Kocisova et al. 2002). Oleh karena itu cara pengendalian lalat yang berwawasan lingkungan di lingkup pasar tradisional merupakan salah satu pilihan yang tepat dengan cara mengubah perilaku personal, sanitasi tempat, dan lingkungan sehingga konsep IPM secara keseluruhan dapat diterapkan.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2014. Lokasi pengambilan sampel bertempat di lima pasar tradisional di Kota Bogor berdasarkan hasil survei yaitu Pasar Kota Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Anyar, Pasar Jambu dua, dan Pasar Gunung Batu. Identifikasi keragaman jenis lalat, pengukuran prevalensi infestasi lalat dan pengukuran faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2014. Uji status kerentanan dilakukan pada bulan April sampai Juni 2013 di Laboratorium Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB).

Metode

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi koleksi sampel lalat dan identifikasi, pengukuran prevalensi infestasi lalat, pengukuran faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat, dan uji status kerentanan, sebagai berikut :

1. Koleksi sampel lalat dan identifikasi

Pengambilan sampel lalat dilakukan secara purposive sampling (sesuai kebutuhan) di lokasi penelitian menggunakan tangguk serangga (sweeping net). Tangguk serangga diayunkan selama 5 menit pada setiap titik tempat berkumpulnya lalat yang telah ditentukan mulai pagi sampai dengan pukul 11.00


(19)

(aktivitas pasar). Setiap luas 2 m2 pada lokasi pasar mewakili 1 titik sampling yang dikelompokkan dalam tiga blok yaitu blok kios penjualan daging, blok kios penjualan ikan dan blok lingkungan luar. Lalat yang diperoleh dimasukkan dalam kantong plastik dan dimatikan dengan kloroform. Lalat selanjutnya di pinning dan diidentifikasi dengan kunci identifikasi lalat untuk mengetahui jenis lalat yang tertangkap. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi lalat yang dibuat oleh (Tumrasvin dan Shinonaga 1977) untuk famili Muscidae, (Spradbery 2002) dan Marshall et al. (2011) untuk identifikasi famili

Calliphoridae, Lopez (1960) untuk identifikasi famili Sarcophagidae dan literatur lain yang mendukung. Ulangan pengambilan sampel setiap lokasi pasar dilakukan sekali dalam seminggu selama sebulan (4 ulangan).

2. Pengukuran prevalensi infestasi lalat

Pengambilan sampel lalat untuk pengukuran prevalensi infestasi lalat di setiap lokasi pasar menggunakan fly sticky paper yang dipasang di blok kios penjualan daging, blok kios penjualan ikan dan lingkungan luar. Masing-masing blok tersebut dipasang lima fly sticky paper selama 4 jam, sekali dalam 1 minggu selama 1 bulan (4 ulangan). Prevalensi lalat diukur dengan menghitung persentase jumlah lalat yang menempel pada fly sticky paper setiap pasar.

3. Pengukuran faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat

Pengukuran faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat dilakukan dengan wawancara langsung kepada pedagang menggunakan kuisioner. Jumlah responden yang diambil sekitar 30 % dari jumlah pedagang yang dianggap mewakili. Aspek yang diamati meliputi identitas responden, biosekuriti personal, biosekuriti tempat/peralatan, dan biosekuriti lingkungan (Lampiran 12).

4. Pemeliharaan lalat dan uji status kerentanan a. Pemeliharaan lalat koloni pasar

Pemeliharaan lalat diawali dengan menangkap dua genus lalat yang mendominasi setiap pasar dengan menggunakan tangguk serangga kemudian dipelihara di laboratorium hingga menghasilkan keturunan pertama (F1). Kandang pemeliharaan lalat berukuran 40x40x60cm berisi lalat jantan dan betina spesies yang sama dari hasil penangkapan. Dalam kandang tersebut diletakkan media bertelur berupa campuran media sekam 1 bagian, pakan pelet ikan 2 bagian dan sedikit hati ayam sebagai tambahan nutrisi serta penarik lalat untuk bertelur. Campuran media bertelur tersebut ditambahkan air untuk menjaga kelembapan dan mempermudah ruang gerak larva. Disamping itu disiapkan juga botol bersumbu berisi air gula 10% dan susu bubuk sebagai nutrisi lalat dewasa.

Di bagian bawah campuran media larva diletakkan nampan yang diberi bekatul sebagai tempat larva berubah menjadi pupa. Pupa yang terkumpul dalam bekatul disaring kemudian dipindahkan ke dalam kandang pemeliharaan hingga berubah menjadi dewasa. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan melihat perkembangan tiap stadium (telur, larva, pupa, dan dewasa) dan faktor eksternal lainnya (suhu, pH, kelembapan dll).


(20)

b. Uji status kerentanan

Penentuan status kerentanan dilakukan dengan uji bioassay menggunakan metode kontak dengan insektisida residual. Konsentrasi tiga golongan insektisida organofosfor (malathion), piretroid (sipermetrin) dan nikotinoid (tiametoksam) yang digunakan untuk uji kerentanan masing-masing sebesar 2.5µl/ml dengan menggunakan botol kaca bervolume 250ml. Botol kaca tersebut masing-masing dilapisi dengan insektisida 2.5µl/ml kemudian dibiarkan selama 1 jam pada tempat yang teduh. Setelah itu botol kaca ditutup dan didiamkan selama semalam pada suhu ruang dan tidak terkena sinar matahari langsung.

Sebanyak 20 lalat hasil rearing yang telah berumur 3-5 hari dimasukkan ke dalam botol kaca 250ml yang telah dilapisi insektisida kemudian diamati mulai dari 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, dan 60 menit dengan tiga kali ulangan. Selesai pengamatan lalat segera dipindahkan ke dalam kandang kasa dan dibiarkan selama 24 jam. Di dalam kandang diletakkan air gula 10% dan susu (Brogdon & McAllister 1998, FAO 2004). Sebagai kontrol lalat koloni Laboratorium Entomologi juga diberi perlakuan sama tetapi dengan botol yang dilapisi aseton 0.1%. Jumlah lalat yang dihitung adalah lalat yang mati sesuai dengan waktu pengamatan sebagai data dalam analisis probit.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara diskriptif dan statistik non parametrik untuk melihat variabel yang telah ditetapkan sebagai berikut :

1. Keragaman jenis lalat

Analisis data keragaman jenis dengan statistik diskriptif diharapkan dapat menggambarkan ilustrasi data mengenai kelimpahan nisbi, frekwensi species, dominasi species dan indeks keragaman Sannon Winner (Odum 1993).

Kelimpahan nisbi = Σ Individu spesies tertentu yang tertangkap x 100% Σ Total seluruh spesies yang tertangkap

Frekwensi spesies = Jumlah tertangkapnya lalat spesies tertentu Jumlah penangkapan

Dominasi Spesies = (Kelimpahan nisbi x Frekwensi spesies)

Indeks Keragaman Shannon Wiener (H') = - Pi Ln(Pi); dengan Pi = Ni/N

Dimana; Pi : perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis Ni : Jumlah individu ke-i

N : Jumlah total individu semua jenis

Kriteria indeks keanekaragaman menurut Krebs (1978) sebagai berikut :

Tinggi (H > 3) ; Sedang (1 ≤ H ≤ 3); Rendah (H < 1) 2. Pengukuran prevalensi infestasi lalat

Pengukuran prevalensi infestasi lalat dengan menghitung jumlah lalat yang menempel pada fly sticky paper yang dapat digambarkan dalam bentuk grafik tiap lokasi pasar.


(21)

3. Pengukuran faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden diinput dalam data base menggunakan SPSS 16. Statistik non parametrik (Uji Korelasi

Spearman) untuk mengetahui hubungan faktor risiko yang mempengaruhi

infestasi lalat. Pembagian tingkat hubungan kekuatan korelasi menurut Colton dalam Dini et al. (2010) yaitu tidak ada hubungan/lemah (r = 0.00-0.25), sedang (r = 0.26-0.50), kuat ( r = 0.51-0.75), dan sangat kuat/sempurna (r = 0.76-1.00).

4. Penentuan status kerentanan

Data yang digunakan untuk penentuan status kerentanan yaitu jumlah lalat yang mati setelah perlakuan. Penentuan status kerentanan terhadap tiga golongan insektisida dilakukan dengan analisis probit menggunakan program SPSS 16 dan Minitab 17. Pengujian diulang jika kematian pada lalat kontrol lebih dari 20% dan jika kelompok kontrol (pembanding) terjadi kematian antara 5%-20% dikoreksi dengan rumus Abbot WHO (1970) sebagai berikut :

(Persen kematian lalat uji – persen kematian kontrol) X 100% 100 – Persen kematian kontrol

Penentuan status kerentanan lalat berdasar hasil uji Rasio Resistensi (RR) pada kelompok perlakuan dan kontrol sebagai berikut :

RR = LT50 isolat yang teramati LT50 isolat pembanding

Sebagai isolat pembanding adalah isolat lalat dari lokasi yang mempunyai tingkat resistensi lebih rendah, dengan Rasio Resistensi (RR) menurut standar WHO (1980) sebagai berikut : RR < 10 ; rendah , 10 - 40 ; sedang, 40 - 160 ; tinggi, RR > 160 ; sangat tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keragaman jenis lalat

Keragaman jenis lalat penting diketahui untuk mengetahui keragaman jenis lalat di suatu lokasi yang dapat menjadi vektor berbagai macam penyakit sehingga dapat menentukan strategi pengendalian yang efektif. Keragaman jenis lalat yang diperoleh dengan menggunakan tangguk serangga (sweeping net) di lima pasar tradisional Kota Bogor adalah C. megacephala, C. saffranea, C. rufifacies, L. sericata, M. domestica, M. conducens, M. fasciata, S. haemorroidalis, S. fuscicauda, D. repleta, Phoridae, Anthomyiidae dan Syrphidae

(Tabel 1).Faktor yang ikut menunjang besarnya keragaman jenis lalat yaitu daya dukung yang sesuai untuk kelangsungan hidup berbagai jenis lalat di lokasi tersebut seperti suhu, kelembapan, makanan dan tempat berkembangbiak (breeding place) (Koesharto et al. 2000). Suhu udara di Kota Bogor dalam kisaran 28-320C pada siang hari dengan rata-rata 29-300C dan suhu terendah mencapai 230C pada malam hari. Hasil koleksi lalat yang perlu mendapat perhatian dengan populasi terbanyak yaitu lalat C. megacephala (597 lalat) dan M. domestica (297 lalat), meskipun lalat jenis yang lain juga dapat berpotensi sebagai vektor beberapa jenis penyakit. Lalat D. repleta, Phoridae, Anthomyiidae dan Syrphidae


(22)

Tabel 1. Jenis lalat yang dapat dikoleksi dari lima pasar tradisional di Kota Bogor (Februari – Maret 2014)

No Famili Subfamili Spesies

1. Calliphoridae Chrysomyinae C. megacephala C. saffranea C. rufifacies

Calliphorinae L. sericata

2. Muscidae Muscinae M. domestica

M. conducens M. fasciata 3. Sarcophagidae Sarchopaginae S. haemorroidalis

S. fuscicauda 4. Drosophilidae Drosophilinae D. replete

5. Phoridae 6. Anthomyiidae 7. Syrphidae

Tabel 2. Jumlah lalat yang dapat dikoleksi dari lima pasar tradisional di Kota Bogor (Februari – Maret 2014)

Jenis lalat Lokasi Pasar

No A B C D E T0TAL

1. C. megacephala 1 86 1 48 3 3 1 95 3

5 597

2. C. saffranea 3 5 0 7 3 18

3. C. rufifacies 1 1 0 2 1 5

4.

L. sericata 3 1

1

6 1

1

2 33

5. M. domestica 5 2 2 9 5 2 1 00 6

4 297

6.

M. conducens

1

4 9

1 3

1 6

2

1 73

7.

M. fasciata 1 3

1

0 1

1

7 32

8. S. haemorroidalis 1 1 1 2 1 6

9. S. fuscicauda 0 0 1 0 0 1

10.

D. repleta

1

78 2

1

86 1 1 368

11. Phoridae 0 0 3 0 0 3

12. Anthomyiidae 0 7 0 0 0 7

13. Syrphidae 0 0 0 0 1 1

TOTAL 4

39 2 06 3 15 3 25 1

56 1441

Keterangan : Pasar Kota Bogor (A), Pasar Sukasari (B), Pasar Anyar (C), Pasar Jambu Dua (D), dan Pasar Gunung Batu (E).

Jumlah lalat terbanyak yang diperoleh dari lima lokasi pasar tradisional yaitu Pasar Kota Bogor sebanyak 439 lalat dari total 1441 lalat yang tertangkap (Tabel 2). C. megacephala (oriental latrine fly) merupakan spesies yang umum ditemukan. Larvanya berkembang pada bangkai, sampah, jaringan membusuk dan sangat jarang ditemukan bersama dengan C. bezziana penyebab miasis obligat meskipun sama-sama memakan luka (Spradbery 2002). Begitu juga larva C. saffranea (steelblue blowfly), C. rufifacies (hairy maggot blowfly) dan L. sericata


(23)

(english sheep blowfly) hidup pada bangkai di sekitar tumpukan sampah pasar. Menurut Shiao dan Yeh (2008) populasi larva C. megacephala yang tinggi dibandingkan C. rufifacies pada lokasi yang sama, menunjukkan tingginya kemampuan adaptasi C. megacephala. Hal ini juga terbukti dari hasil penelitian keragaman C. megacephala yang dikoleksi di lima pasar tradisional Kota Bogor paling tinggi yaitu sebesar 42% (Gambar 1).

Gambar 1. Persentase keragaman jenis lalat yang dikoleksi dari lima pasar tradisional Kota Bogor (Februari – Maret 2014)

Sarcophagidae (flesh flies) bersifat vivipar dan meletakkan larvanya pada daging, sayuran, siput, serangga dan lain-lain (Spradbery 2002). M. domestica (house fly) tidak seperti famili Calliphoridae dan Sarcophagidae yang bertelur pada daging atau bangkai. M. domestica meletakkan telurnya pada material organik yang membusuk (fermentasi) seperti kotoran ternak, sampah organik pasar, dan sampah makanan (Yuriatni et al. 2011). D. repleta meletakan telurnya pada material organik berupa buah-buahan dan sayuran yang membusuk (Throckmorton 1975). Oleh karena itu, tersedianya habitat di sekitar lokasi pasar inilah yang menyebabkan keragaman jenis lalat yang ditemukan di lima pasar tradisional Kota Bogor (Gambar 1).

Habitat Anthomyiidae banyak melimpah di pinggiran kolam atau danau.

Anthomyiidae juga ditemukan lokasi kebun, hutan, lapangan terbuka, padang rumput tergantung kondisi geografis setempat. Larvanya bersifat phytophagous,

saprophagous ataupun coprophagous, juga sebagai hama tetapi dapat pula membantu penyerbukan tanaman. Larva beberapa genus lalat ini ditemukan dapat membuat hunian pada sarang lebah Crabronine yang dibangun pada tumbuh-tumbuhan (Huccket 1971). Anthomyiidae sangat wajar ditemukan di pasar, mungkin berasal dari habitat aslinya di kebun yang terbawa alat transportasi bersama hasil-hasil ladang/sayuran sehingga membentuk populasi baru dengan menyesuaikan habitat yang ada di pasar tradisonal.

Phoridae (scuttle fly) merupakan salah satu ordo Diptera yang mudah ditemukan. Larvanya memakan bangkai, sering bersimbiosis dengan jamur dan serangga sosial, serta sebagai parasitoid cacing tanah dan rayap. Spesies Phoridae

dewasa sering terlihat hinggap pada bunga yang mekar (Corona dan Brown 2005).

Phoridae biasa ditemukan di pasar mengingat stadium larvanya mampu memakan

bangkai. Habitat ini banyak terdapat pada tumpukan sampah di sekitar lokasi pasar tradisional.


(24)

Syrphidae (flower fly/hover fly) sangat penting peranannya dalam dunia pertanian. Disamping membantu penyerbukan lalat ini dapat berperan sebagai serangga predator serangga lain yang merugikan seperti aphids, thrips, telur ngengat dan kupu-kupu. Syrphidae berukuran panjang tubuh 1 cm mudah dibedakan dari lalat lain karena memiliki corak yang khas berupa belang-belang hitam dengan kuning kecoklatan pada bagian abdomen. Mata fasetnya yang besar dan tajam memudahkan menemukan target makanan. Syrphidae biasameletakkan telurnya berderet secara pararel. Ukuran larva 1-1,2 cm menempel pada tanaman yang memiliki kepadatan aphids yang tinggi (Bug et al 2008). Syrphidae yang ditemukan di pasar sangat jarang, hal ini karena habitatnya mungkin berasal dari tumbuhan yang berbunga di sekitar pemukiman pasar atau terbawa bersama sayur-sayuran yang berbunga dari ladang-ladang penghasil.

Kelimpahan nisbi berbagai jenis lalat yang didapat di Pasar Kota Bogor menunjukkan hasil yang bervariasi (Tabel 3). Dilihat dari frekuensi setiap penangkapan D. repleta, C. megacephala dan M. domestica selalu didapatkan. Perkalian kelimpahan nisbi dengan frekuensi spesies menghasilkan angka dominasi spesies yang berbeda-beda yaitu 40.55% (D. repleta), 42.37% (C. megacephala) dan 11.85% (M. domestica). Indeks keragaman jenis lalat di pasar Kota Bogor dalam kategori sedang yaitu 1,203.

Pasar Kota Bogor merupakan pasar tradisional yang memiliki aktifitas transaksi penjualan pada waktu siang dan malam hari. Sampah pasar yang menumpuk sangat banyak meskipun pelaksanaan pengangkutan sampah sudah menjadi agenda rutin setiap hari oleh petugas. Namun, keadaan tempat pembuangan sampah pasar belum memadai dan masih memungkinkan lalat untuk dapat berkembangbiak dengan baik serta mudah memasuki lokasi pasar.

Tabel 3. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Kota Bogor (Februari – Maret 2014)

No. Jenis Lalat Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi Spesies (%)

1. C. megacephala 42.37 1.00 42.37

2. C. saffranea 0.68 0.25 0.17

3. C. rufifacies 0.23 0.25 0.06

4. L. sericata 0.68 0.50 0.34

5. M. domestica 11.85 1.00 11.85

6. M. conducens 3.19 1.00 3.19

7. M. fasciata 0.23 0.25 0.06

8. S. haemorroidalis 0.23 0.25 0.06

9. D. repleta 40.55 1.00 40.55

Tabel 4. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Sukasari (Februari – Maret 2014)

No. Jenis Lalat Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi Species (%)

1. C. megacephala 71.84 1.00 71.84

2. C. saffranea 2.43 0.50 1.21

3. C. rufifacies 0.49 0.25 0.12

4. L. sericata 0.49 0.25 0.12

5. M. domestica 14.08 1.00 14.08


(25)

7. M. fasciata 1.46 0.50 0.73

8. S. haemorroidalis 0.49 0.25 0.12

9. D. repleta 0.97 0.25 0.24

10. Anthomyiidae 3.40 0.25 0.85

Kelimpahan nisbi, frekuensi dan angka dominasi spesies yang didapat dari Pasar Sukasari didominasi oleh C. megacephala (71.84%) dan M. domestica

(14.08%)(Tabel 4). Indeks keragaman jenis lalat di Pasar Sukasari sebesar 1,038 termasuk dalam kategori sedang. Mengingat aktivitas transaksi jual beli di Pasar Sukasari pada waktu siang hari berupa bahan makanan yang beraneka ragam dan sisa penjualan yang tidak dibersihkan, mendukung berbagai macam jenis lalat untuk dating dan menghinggapi makanan yang ada. Habitat Calliphoridae pada tempat-tempat pembuangan sampah yang mengandung daging/ikan yang membusuk sedangkan Muscidae bisa pada kotoran hewan, sisa makanan manusia dan hewan (Sitanggang 2001).

Kelimpahan nisbi yang diperoleh dari Pasar Anyar didominasi oleh D. repleta (59.05%), M. domestica (16.51%) dan C. megacephala (10.48%) (Tabel 5). Begitu pula frekuensi dan angka dominasi spesies. Indeks keragaman jenis lalat di Pasar Anyar sebesar 2.678 dalam kategori sedang. Tingginya kelimpahan nisbi D. repleta di Pasar Anyar disebabkan banyaknya sampah organik dari sayuran dan buah-buahan yang membusuk di lokasi pasar. Kondisi pasar yang becek dan lembab juga mendukung keberadaan lalat tersebut. Keragaman jenis lalat di Pasar Anyar dipengaruhi oleh heterogennya bahan-bahan makanan yang dijual sehingga tersedia pula habitat yang cocok untuk masing-masing jenis lalat.

Kelimpahan nisbi lalat tertinggi di Pasar Jambu Dua didominasi oleh C. megacephala (60%) dan selanjutnya M. domestica (30.77%) disusul jenis lalat yang lain (Tabel 6). Indeks keragaman jenis lalat di Pasar Jambu Dua termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 1.017. Tingginya kelimpahan nisbi lalat di Pasar Jambu dua disebabkan banyaknya sampah yang terdapat di tempat pembuangan sampah sementara di belakang pasar. Tumpukan sampah berupa sisa penjualan daging, ikan dan bahan lain yang membusuk merupakan tempat perkembangbiakan yang cocok untuk lalat C. megacephala, C. saffranea, M. domestica, dan Sarcophaga sp(Aminah et al. 2005).

Tabel 5. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Angka Dominasi di Pasar Anyar (Februari – Maret 2014)

No. Jenis Lalat Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi Species (%)

1. C. megacephala 10.48 1.00 10.48

2. L. sericata 5.08 0.75 3.81

3. M. domestica 16.51 1.00 16.51

4. M. conducens 4.13 0.75 3.10

5. M. fasciata 3.17 0.75 2.38

6. S. haemorroidalis 0.32 0.25 0.08

7. S. fuscicauda 0.32 0.25 0.08

8. D. replete 59.05 1.00 59.05


(26)

Tabel 6. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Jambu Dua (Februari – Maret 2014)

No. Jenis Lalat Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi Spesies (%)

1. C. megacephala 60.00 1.00 60.00

2. C. saffranea 2.15 0.75 1.62

3. C. rufifacies 0.62 0.25 0.15

4. L. sericata 0.31 0.25 0.08

5. M. domestica 30.77 1.00 30.77

6. M. conducens 4.92 1.00 4.92

7. M. fasciata 0.31 0.25 0.08

8. S. haemorroidalis 0.62 0.50 0.31

9. D. repleta 0.31 0.25 0.08

Kelimpahan nisbi lalat tertinggi di Pasar Gunung Batu adalah M. domestica

(41.03%), diikuti oleh C. megacephala (22.44%) (Tabel 7). Tingginya kelimpahan nisbi M. domestica di Pasar Gunung Batu disebabkan karena situasi pasar sedang dalam proses renovasi sehingga kondisi lingkungan kurang bersih, meskipun sampah pasar dibersihkan secara rutin namun letaknya sangat dekat dengan pasar. Disamping itu pengangkutan sampah kadang menunggu hingga bak sampah pasar penuh, hal ini merupakan salah satu daya dukung M. domestica dan jenis lalat yang lain untuk berkembangbiak. Angka dominasi spesies tertinggi adalah M. domestica (41.03%) dengan peringkat dibawahnya C. megacephala (22.44%), menunjukkan bahwa kedua jenis lalat mendominasi secara keseluruhan jenis lalat yang ditemukan di Pasar Gunung Batu dengan indeks keragaman jenis lalat dalam kategori sedang sebesar 1.618.

Aktivitas transaksi jual beli di Pasar Anyar, Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu terjadi pada siang hari sedangkan di Pasar Kota Bogor dan Pasar Jambu Dua terjadi baik siang maupun malam hari. Hal ini mendukung keberadaan lalat untuk mendapatkan makanan disamping adanya ketersediaan habitat yang cocok di sekitar lokasi pasar. Sampah pasar masih sering menumpuk meskipun pelaksanaan pengangkutan sampah sudah menjadi agenda rutin setiap hari oleh petugas. Keadaan tempat pembuangan sampah pasar yang belum memadai memungkinkan lalat untuk dapat berkembangbiak dengan baik dan dapat memasuki lokasi pasar. Faktor lain yang mendukung yaitu suhu, kelembapan, cuaca dan iklim yang sesuai (Shiao dan Yeh 2008).

Tabel 7. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies di Pasar Gunung Batu (Februari – Maret 2014)

No. Jenis Lalat Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi Spesies (%)

1. C. megacephala 22.44 1.00 22.44

2. C. saffranea 1.92 0.50 0.96

3. C. rufifacies 0.64 0.25 0.16

4. L. sericata 7.69 0.75 5.77

5. M. domestica 41.03 1.00 41.03

6. M. conducens 13.46 1.00 13.46

7. M. fasciata 10.90 1.00 10.90

8. S. haemorroidalis 0.64 0.25 0.16

9. D. repleta 0.64 0.25 0.16


(27)

Indeks keragaman lalat di lima pasar tradisional tergolong sedang yaitu

berada dalam kisaran 1 ≤ H ≤ 3. Hal ini menunjukkan bahwa pasar tradisional Kota Bogor memiliki keragaman jenis lalat yang bervariasi dengan kondisi lingkungan yang relatif stabil untuk kelangsungan hidup berbagai jenis lalat. Angka dominasi berbagai jenis lalat yang tinggi dapat meningkatkan kejadian penyakit tular vektor yang ditransmisikan oleh lalat.

2. Prevalensi infestasi lalat

Prevalensi Muscidae tertinggi (11.7%) terdapat pada Pasar Gunung Batu dan terendah (2.43%) terdapat pada Pasar Sukasari, sedangkan prevalensi

Calliphoridae tertinggi (7.62%) pada Pasar Jambu Dua dan terendah (0.88%) terdapat pada Pasar Anyar (Gambar 2). Prevalensi lalat ini dipengaruhi oleh jumlah kepadatan lalat pada masing-masing pasar , banyaknya pengunjung yang lalu lalang di pasar, daya rekat fly sticky paper, cara peletakkan fly sticky paper

dan lain-lain. Tinggi rendahnya prevalensi Muscidae dan Calliphoridae juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca (suhu/kelembapan pada hari saat melakukan penangkapan), kebersihan lingkungan, dan ketersediaan habitat bagi lalat. Letak geografis juga ikut mendukung jenis lalat yang ditemukan. Di Thailand pernah dilaporkan ada perbedaan sebaran spesies lalat famili Calliphoridae dengan letak geografis yang berbeda pada lahan pertanian, hutan, pegunungan dan pemukiman untuk kepentingan forensik (Bunchu et al. 2012). Di Kota Solok (Sumatera Barat) pernah dilaporkan bahwa ditemukan lalat dengan frekuensi yang berbeda dengan lokasi penelitian di pasar, tempat pembuangan sampah, tempat pengolahan ikan dan pemukiman penduduk (Yuriatni et al. 2011).

Gambar 2. Prevalensi Muscidae dan Calliporidae di tiap lokasi pasar (Februari–Maret 2014)

Gambar 3. Prevalensi Calliphoridae di setiap blok pasar (Februari – Maret 2014)

Ps. Kota Bogor

Ps. Sukasari Ps. Gunung Batu Ps. Jambu dua Ps. Anyar 5.63 2.43 11.70 8.97 2.82 7.10 7.02

1.72

7.65

0.88

Prevalensi Muscidae Prevalensi Calliphoridae

Ps. Kota Bogor Ps. Sukasari Ps. Gunung

Batu

Ps. Jambu Dua Ps. Anyar

6.95

4.98

1.25

5.52

0.63

0.02 0.55 0.38

1.93

0.13 0.13

1.48

0.08 0.20 0.12


(28)

Pasar Gunung Batu dan Pasar Sukasari memiliki lokasi yang berbatasan dengan komplek perumahan sedangkan Pasar Jambu Dua bersebelahan dengan aliran sungai. Hal ini memungkinkan perbedaan penyebaran jenis lalat di sekitar lokasi. Di belakang Pasar Kota Bogor dan Jambu Dua juga terdapat tumpukan sampah yang berasal dari sisa-sisa penjualan ikan/daging ayam, sehingga sangat disukai lalat Calliphoridae sebagai tempat mencari makanan dan tempat berkembangbiak. Rudianto dan Azizah (2005) melaporkan bahwa terdapat pengaruh signifikan kepadatan lalat di perumahan terhadap jarak lokasi pembuangan sampah open dumping. Semakin dekat letak perumahan dengan tempat pembuangan sampah maka semakin tinggi tingkat kepadatan lalatnya. Semakin tinggi tingkat kepadatan lalat maka semakin tinggi angka kejadian diare. Tingginya angka prevalensi Calliphoridae dari blok lingkungan tertinggi pada Pasar Kota Bogor 6.95%. Selanjutnya diikuti Pasar Jambu Dua (5.52%) Pasar Sukasari (4.98%), Pasar Gunung Batu (1,25%) dan Pasar Anyar (0.63%). Prevalensi yang rendah didapatkan Pada blok daging dan blok ikan (Gambar 3). Dengan demikian prevalensi Calliphoridae berdasarkan pembagian blok pasar dapat disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan yang kurang baik memegang peranan penting terhadap tingginya prevalensi lalat Calliphoridae di pasar tradisional.

Angka prevalensi Muscidae menyebar bervariasi diantara tiga blok pasar (Gambar 4). Pasar yang memiliki prevalensi Muscidae tertinggi yaitu Pasar Gunung Batu sebesar 4.77% pada blok daging, 4.45% pada blok ikan dan 2.48% pada blok lingkungan. Pasar yang memiliki tingkat prevalensi tinggi berikutnya pada blok daging yaitu Pasar Kota Bogor dengan prevalensi sebesar 3.08%. Tingginya prevalensi Muscidae di Pasar Gunung Batu salah satunya disebabkan karena letak geografis pasar yang berdekatan dengan permukiman penduduk dan proses renovasi pasar yang sedang berjalan saat dilakukan pengambilan sampel. Kondisi lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap prevalensi lalat diantara tiga blok pasar.

Penelitian Hestiningsih et al. (2003) mengungkapkan bahwa Muscidae dan

Calliphoridae dominan ditemukan pada tempat pembuangan sampah yang dekat dengan pemukiman penduduk. Lalat mendapatkan daya dukung yang cocok bagi kehidupannya. Sehingga ditemukan pada masing-masing blok pasar. Lalat terbukti membawa kuman pathogen yang dapat bersifat mewabah seperti E. coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus morgani, Enterobacter aerogenes, Enterococcus sp, Staphylococcus aureus dan lain-lain.

Gambar 4. Prevalensi Muscidae di setiap blok pasar (Februari – Maret 2014)

Ps. Kota Bogor Ps. Sukasari Ps. Gunung Batu Ps. Jambu Dua Ps. Anyar 1.47

2.15 2.48

3.95 1.82 3.08 0.18 4.77 2.18 0.52 1.08 0.10 4.45 2.83 0.28


(29)

3. Faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat

Faktor risiko yang mempengaruhi infestasi lalat ditentukan berdasarkan hasil wawancara menggunakan kuisioner yang dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu variabel biosekuriti personal, biosekuriti tempat/peralatan, dan lingkungan. Unsur variabel biosekuriti personal seperti kesehatan personal (tidak ada luka, korengan/tidak menderita penyakit lain yang bisa mengundang lalat), memakai pakaian khusus untuk berjualan, mandi sebelum berjualan dan lain-lain.

Unsur variabel dalam biosekuriti tempat/peralatan seperti memakai alat untuk pengusir lalat, menggunakan penutup/kasa untuk melindungi lalat, tempat berjualan dibersihkan sebelum atau sesudah berjualan dan lain-lain. Unsur variabel dalam biosekuriti lingkungan seperti tidak membuang sampah sembarangan, pengangkutan sampah secara rutin oleh petugas, tersedia air bersih/alat kebersihan dan lain-lain. Dengan demikian reponden akan menjawab

‘ya’ atau tidak sesuai pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner.

Responden menjawab “Ya” lebih banyak daripada responden yang

menjawab “Tidak”terhadap variabel biosekuriti personal dan biosekuriti

lingkungan kecuali jawaban responden terhadap biosekuriti personal yang berasal dari Pasar Jambu Dua (Tabel 8).

Wawancara responden terhadap unsur biosekuriti tempat/peralatan

menunjukkan persentase responden yang menjawab “Tidak” lebih banyak daripada

responden yang menjawab “Ya”. Hubungan antara infestasi lalat dengan unsur-unsur variabel (biosekuriti personal, biosekuriti tempat/peralatan dan biosekuriti lingkungan) di lima pasar tradisional menggunakan Uji Korelasi Spearman

menunjukkan hasil yang bervariasi (Lampiran 11).

Tabel 8. Distribusi frekuensi total unsur-unsur variabel biosekuriti personal, biosekuriti tempat/peralatan dan biosekuriti lingkungan.

No. Pilihan Jawaban Responden

Biosekuriti Personal (%)

Biosekuriti Tempat/Peralatan (%)

Biosekuriti Lingkungan (%)

1. Pasar Kota Bogor

(N = 11) Ya 56.36 47.27 63.64

Tidak 43.64 52.73 36.36

2. Pasar Sukasari

(N = 8) Ya 57.5 43.75 62.5

Tidak 42.5 56.25 37.5

3. Pasar Anyar

(N = 15) Ya 51.33 43.33 70.67

Tidak 48.67 56.67 29.33

4. Pasar Jambu Dua

(N = 7) Ya 45.71 47.14 54.29

Tidak 54.29 52.86 45.71

5. Pasar Gunung Batu

(N = 6) Ya 56.67 36.67 41.67


(30)

a. Hubungan antara infestasi lalat dengan biosekuriti personal

Taraf signifikansi hasil Uji Korelasi Spearman yang menjelaskan hubungan korelasi infestasi lalat dengan biosekuriti personal (P=0,391) lebih besar dari angka kepercayaan (α=0.05) menunjukkan bahwa hubungan korelasi tidak signifikan. Walaupun demikian unsur-unsur variabel biosekuriti personal dapat berpengaruh terhadap infestasi lalat di pasar tradisional. Angka koefisien korelasi yang diperoleh sebesar (R=0.500) termaasuk dalam kategori sedang. Tanda negatif (-) pada koefisien korelasi menunjukkan arah korelasi yang berlawanan. Semakin rendah tingkat biosekuriti personal kemungkinan infestasi lalat di pasar tradisional Kota Bogor semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin tinggi tingkat biosekuriti personal kemungkinan infestasi lalat di pasar tradisional semakin rendah.

Variabel biosekuriti personal merupakan variabel yang erat kaitannya dengan higiene sanitasi terhadap produk yang dijual di pasar tradisional. Perilaku pedagang seperti tidak mencuci tangan sebelum berjualan, tidak menggunakan pakaian khusus, makan, minum dan merokok sambil berjualan di pasar tradisional ini hampir serupa dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Yuspasari (2012) bahwa pedagang pasar memiliki kebiasaan yang kurang baik terhadap higiene dan sanitasi terhadap produk yang dijual. Hal ini juga tidak sesuai dengan anjuran Kementerian Kesehatan RI dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 942/MENKES/ SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Makanan Jajanan.

b.Hubungan antara infestasi lalat dengan biosekuriti tempat/peralatan

Taraf signifikansi hasil Uji Korelasi Spearman yang menjelaskan hubungan korelasi infestasi lalat dengan biosekuriti tempat/peralatan (P=0,037) lebih kecil dari angka kepercayaan (α=0.05) menunjukkan bahwa hubungan korelasi yang signifikan. Angka koefisien korelasi yang diperoleh sebesar (R=0.900). Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang sangat kuat antara infestasi lalat dengan biosekuriti tempat/peralatan. Tanda negatif (-) pada koefisien korelasi menjelaskan hubungan korelasi yang berlawanan. Semakin rendah tingkat biosekuriti tempat/peralatan kemungkinan infestasi lalat di pasar tradisional Kota Bogor semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin tinggi tingkat biosekuriti tempat/peralatan maka infestasi lalat di pasar tradisional diharapkan semakin rendah.

Variabel biosekuriti tempat dan peralatan memegang peranan penting dalam infestasi lalat di pasar tradisional. Sebagai contoh pengelolaan sampah di pasar tradisional sangat tergantung pada kondisi dan ketersediaan alat-alat penunjang. Namun kebutuhan akan alat penunjang masih terhambat oleh kurangnya dana dan perhatian dari pihak Dinas Pasar. Menurut pengakuan pedagang, tempat pembuangan sampah pasar posisinya terlalu dekat dengan pasar, sehingga menimbulkan bau tidak sedap yang disukai lalat. Penjual makanan juga berseberangan dengan tempat sampah sehingga lalat-lalat dari tempat sampah hinggap pada makanan. Kondisi serupa terdapat di beberapa pasar tradisional lain di Indonesia seperti pernah dilakukan penelitian oleh Widodo (2013) di Pasar Merdeka, Samarinda.


(31)

Tempat penjualan dan alat-alat yang tidak dibersihkan menimbulkan bau tidak sedap yang mengundang berbagai jenis lalat. Penggunaan pelindung/kasa pada bahan makanan dan makanan siap saji di pasar sangat penting untuk mencegah infestasi lalat seperti yang dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 942/MENKES/ SK/VII/2003 menjelaskan penjualan makanan harus dilengkapi fasilitas air bersih, tempat cuci alat dan tangan, tempat penampungan sampah, fasilitas pengendali lalat dan tikus dan lain-lain.

c. Hubungan antara infestasi lalat dengan biosekuriti lingkungan

Taraf signifikansi hasil Uji Korelasi Spearman yang menjelaskan hubungan korelasi infestasi lalat dengan biosekuriti lingkungan (P=0.505) lebih

besar dari angka kepercayaan (α=0.05) menunjukkan bahwa hubungan korelasi tidak signifikan. Angka koefisien korelasi yang diperoleh sebesar (R=0.400). Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang sedang antara infestasi lalat dengan biosekuriti lingkungan. Tanda negatif (-) pada koefisien korelasi tersebut menjelaskan hubungan korelasi yang berlawanan. Semakin rendah tingkat biosekuriti lingkungan kemungkinan infestasi lalat di pasar tradisional Kota Bogor semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin tinggi tingkat biosekuriti lingkungan maka infestasi lalat dimungkinkan semakin rendah.

Unsur biosekuriti lingkungan dalam hal ini paling erat kaitannya dengan pembuangan sampah di lingkungan pasar tradisional. Pengelola pasar di lingkungan pasar tradisional tidak menyediakan wadah sampah individual untuk para pedagang. Para pedagang pasar sebagian sebagian berinisiatif sendiri mewadahi sampah mereka dengan kantong plastik, keranjang bambu atau karung dan beberapa pedagang hanya menumpukkan sampahnya tanpa menggunakan wadah. Hal ini serupa dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Fitria dan Damanhuri (2013) di Pasar Simpang Dago, Bandung bahwa tidak tersedianya tempat sampah individual yang disediakan oleh dinas pasar. Jika sampah menumpuk dan terfermentasi menjadikan tempat perkembangbiakan yang cocok bagi lalat. Sampah organik yang dibiarkan menumpuk akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan dapat mengundang lalat yang sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sampah organik dan non organik harus dikelola dengan tepat.

4. Status Kerentanan Lalat Terhadap Tiga Golongan Insektisida

Status uji kerentanan M. domestica terhadap malathion 0,8% menunjukkan nilai RR50 dalam tingkat yang rendah (RRhitung < 10) di lima lokasi pasar (Tabel 9). M. domestica di semua lokasi pasar tersebut masih menunjukkan status rentan terhadap malathion. Mortalitas terhadap malathion cukup tinggi dibandingkan terhadap sipermetrin dan tiametoksam, sehingga malathion masih memberikan efek yang baik sebagai insektisida terhadap M. domestica. Malathion juga memberikan nilai LT50 yang cukup baik pada lima lokasi pasar. Namun disisi lain

menunjukkan bahwa tingkat mortalitas M. domestica terhadap malathion cukup tinggi dibandingkan terhadap tingkat mortalitas yang disebabkan sipermetrin dan tiametoksam (Tabel 10 dan 11). Bahkan tingkat mortalitas malathion hingga mampu mencapai 90% di Pasar Jambu Dua.


(32)

Malathion memiliki titik tangkap (target site) yang berbeda dengan insektisida piretroid. Malathion merupakan insektisida organofosfor yang bekerja dengan menghambat enzim yang sangat penting dalam susunan syaraf pusat yang disebut asetilkolinesterase (AChE). Enzim ini terfosforilasi ketika terikat dengan malathion dan ikatan ini bersifat tetap (irreversible). Penghambatan ini menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps dan mengakibatkan kejang otot dan akhirnya paralisis/lumpuh (Wirawan 2006).

Nilai LT50 pada uji efikasi terhadap sipermetrin menunjukkan bahwa lalat koloni dari Pasar Jambu Dua merupakan yang terkecil (6.29 menit), sedangkan terbesar pada Pasar Gunung Batu (78.98 menit) (Tabel 10). Angka mortalitas sipermetrin terhadap M. domestica cukup tinggi pada Pasar Jambu Dua (78.33%). Dengan demikan sipermetrin menimbulkan efek knockdown yang cukup bagus, namun di Pasar Gunung Batu dan Pasar Sukasari sipermetrin tidak menimbulkan efek mortalitas.

Tabel 9. Status kerentanan (SK) M. domestica setelah kontak dengan malathion

Gambar 5. Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap malathion

Persamaan Regresi :

Laboratorium Y = 27.89 + 1.481X; dengan : R-Sq = 60.4% Pasar Jambu Dua Y = 21.00 + 1.352X; dengan : R-Sq = 61.9% Pasar Anyar Y = 3.335 + 0.8095X; dengan : R-Sq = 89.4% Pasar Kota Bogor Y = -3.223 + 0.9571X; dengan : R-Sq = 88.4% Pasar Gunung Batu Y = -0.446 + 0.1382X; dengan : R-Sq = 87.6% Pasar Sukasari Y = -1.134 + 0.1277X; dengan : R-Sq= 93.0%

No. Nama Pasar Mortalitas (%) LT 50 RR 50 LT 95 RR 95 SK 1. Pasar Kota Bogor 53.33 54.17 3.13 107.18 3.41 Rendah 2. Pasar Anyar 40.00 56.25 3.25 123.23 3.92 Rendah 3. Pasar Gunung Batu 50.00 67.55 3.90 130.22 4.14 Rendah 4. Pasar Sukasari 40.00 71.55 4.13 126.50 4.02 Rendah 5. Pasar Jambu Dua 90.00 21.41 1.24 59.70 1.90 Rendah 6. Laboratorium 85.00 17.32 1.00 31.47 1.00 Rendah


(33)

Tabel 10. Status kerentanan (SK) M. domestica setelah kontak dengan sipermetrin No. Nama Pasar Mortalitas (%) LT 50 RR 50 LT 95 RR 95 SK

1. Pasar Kota Bogor 13.33 43.93 12.43 105.97 9.00 Sedang 2. Pasar Anyar 23.33 11.83 3.35 84.45 7.17 Rendah 3. Pasar Gunung Batu 0.00 78.98 22.34 146.14 12.41 Sedang 4. Pasar Sukasari 0.00 72.20 20.42 137.92 11.72 Sedang 5. Pasar Jambu Dua 78.33 6.29 1.78 11.77 1.00 Rendah 6. Laboratorium 38.33 3.54 1.00 19.64 1.67 Rendah

Gambar 6. Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap sipermetrin

Persamaan Regresi :

Pasar Jambu Dua Y = 91.11 + 0.1904X; dengan : R-Sq = 42.9% Laboratorium Y = 85.33 + 0.3000X; dengan : R-Sq = 71.3% Pasar Anyar Y = 41.22 + 0.7905X; dengan : R-Sq = 51.8% Pasar Kota Bogor Y = 8.003 + 0.9618X; dengan : R-Sq = 84.0% Pasar Sukasari Y = -2.111 + 0.6238X; dengan : R-Sq = 94.7% Pasar Gunung Batu Y = -2.551 + 0.5332X; dengan : R-Sq = 91.7%

Angka RR50M. domestica terhadap sipermetrin menunjukkan kategori sedang pada Pasar Kota Bogor, Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu. Sedangkan angka RR50 pada Pasar Jambu dua dan Pasar anyar dalam tingkat rendah. Sipermertin adalah sintetik piretroid yang sangat umum digunakan sebagai insektisida rumah tangga (permukiman), sehingga apabila lokasi pasar dekat dengan permukiman maka keterpaparannya (mungkin) lebih frekuen (Kaufman et al.. 2001). Insektisida piretroid (sipermetrin) merupakan golongan insektisida yang banyak digunakan dalam pengendalian hama permukiman. Piretroid merupakan racun syaraf yang bekerja dengan penghambatan fungsi sistem syaraf pusat, sehingga lalat menjadi inkoordinasi, hiperaktif, konvulsi dan diikuti paralisis (Wirawan 2006).

Hal ini dimungkinkan karena intensitas terpaparnya sipermetrin pada lalat

M. domestica baik secara langsung atau tak langsung sehingga dapat

menimbulkan generasi-generasi yang resisten. Terpaparnya sipermetrin secara tidak langsung bisa melalui daging ternak yang dijual, sayuran atau bahan lain yang dalam proses pemeliharaannya menggunakan insektisida dari golongan ini. Hal ini seperti hasil penelitian di Kamerun yang menjelaskan bahwa kejadian


(34)

resistensi yang tinggi pada M. domestica di lingkungan akibat penggunaan insektisida dalam pengendalian hama tanaman sayur-sayuran di dekat lahan pertanian (Bong dan Zairi 2010). Resistensi M. domestica yang terjadi terhadap permetrin dan deltametrin di Indonesia nampaknya sebagai akibat penggunaan DDT masa lalu sehingga terjadi cross resistence antara DDT dan piretriod (Ahmad 2008).

Angka Rasio Resistensi RR50 dan RR95 tiametoksam terhadap M. domestica menunjukkan hasil yang bervariasi (Tabel 11). Perbedaan angka tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan terpaparnya M. domestica terhadap insektisida (tiametok sam) di lapangan. Angka Rasio Resistensi RR50 tiametoksam

terhadap M. domestica dalam tingkat yang rendah (RRhitung < 10). Angka

mortalitas lalat terhadap tiametoksam menunjukkan tingkat yang bervariasi. Angka mortalitas tiametoksam lebih kecil jika dibandingkan dengan malathion. Hal ini kemungkinan disebabkan lebih tinggi terpaparnya M. domestica terhadap tiametoksam. Seperti yang dikemukakan oleh Scolt et al.(1989) intensitas penggunaan insektisida dapat meningkatkan status resistensi lalat terhadap insektisida tertentu.

Tabel 11. Status kerentanan (SK) M. domestica setelah kontak dengan tiametoksam

No. Nama Pasar Mortalitas (%) LT 50 RR 50 LT 95 RR 95 SK 1. Pasar Kota Bogor 8.33 126.42 1.86 235.81 1.82 Rendah 2. Pasar Anyar 3.33 103.67 1.53 175.75 1.36 Rendah 3. Pasar Gunung Batu 10.00 76.97 1.13 129.64 1.00 Rendah 4. Pasar Sukasari 13.33 67.88 1.00 137.28 1.06 Rendah 5. Pasar Jambu Dua 3.33 146.26 2.15 255.78 1.97 Rendah 6. Laboratorium 86.67 87.77 1.29 177.28 1.37 Rendah

Gambar 7. Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap tiametoksam Persamaan Regresi :

Pasar Sukasari Y = 0.113 + 0.6714X; dengan : R-Sq = 94.4% Laboratorium Y = 2.111 + 0.4476X; dengan : R-Sq = 85.7% Pasar Gunung Batu Y = -6.336 + 0.5382X; dengan : R-Sq = 98.3% Pasar Kota Bogor Y = 1.003 + 0.2333X; dengan: R-Sq = 75.4% Pasar Anyar Y = -2.445 + 0.2762X; dengan : R-Sq = 97.4%


(35)

Pasar Jambu Dua Y = 0.111 + 0.1476X; dengan : R-Sq = 81.5%

Tiametoksam merupakan insektisida golongan nikotinoid yang banyak digunakan pada produk umpan lalat di peternakan. Nikotinoid bekerja pada sistem syaraf pusat serangga dan menyebabkan penghadangan tetap (irreversible) pada reseptor asetilkolin pasca sinaps. Insektisida ini mimik dari organofosfat yang bekerja pada neurotransmitter yang disebut asetilkolin. Impuls syaraf pada serangga yang keracunan nikotinoid menjadi tidak normal, over-excited dan menimbulkan gerakan inkoordinasi pada lalat (Wirawan 2006).

Nilai LT50 C. megacephala setelah kontak dengan malathion menunjukkan angka yang beragam, hal ini dimungkinkan karena perbedaan terpaparnya C. megacephala terhadap malathion di masing-masing lokasi (Tabel 12). Pasar dengan mortalitas tertinggi terhadap malathion terdapat pada Pasar Gunung Batu (21,67%) dan terendah Pasar Kota Bogor (6.67%). Angka RR50 masing-masing pasar hampir merata (RRhitung < 10). Dengan demikian status kerentanan C. megacephala terhadap malathion di masing-masing pasar termasuk dalam kategori rendah. Menurut Ahmad (2008) malathion sudah diketahui digunakan di Indonesia sekitar tahun 1970an. Oleh karena itu rotasi penggunaan insektisida sudah harus perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap malathion.

Tabel 12. Status kerentanan (SK) C. megacephala setelah kontak dengan malathion

No. Nama Pasar Mortalitas (%) LT 50 RR 50 LT 95 RR 95 SK 1. Pasar Kota Bogor 6.67 146.85 6.39 239.51 3.85 Rendah 2. Pasar Anyar 10 118.11 5.14 183.83 2.96 Rendah 3. Pasar Gunung Batu 21.67 113.93 4.96 245.18 3.95 Rendah 4. Pasar Sukasari 8.33 183.93 8.00 299.21 4.82 Rendah 5. Pasar Jambu Dua 18.33 108.10 4.70 212.57 3.42 Rendah 6. Laboratorium 86.67 22.99 1.00 62.13 1.00 Rendah

Gambar 8. Nilai LT50 lalat C. megacephala terhadap malathion

Persamaan regresi :

Laboratorium : Y = 19.55 + 1.314X; dengan : R-Sq = 92.1% Pasar Gunung Batu : Y = 5.998 + 0.3048X; dengan : R-Sq = 94.4% Pasar Jambu Dua : Y = 2.337 + 0.3142X; dengan : R-Sq = 81.9% Pasar Anyar : Y = -1.889 + 0.1333X; dengan : R-Sq = 84.0%


(1)

Lampiran 7. Diagram batang jumlah lalat yang menempel pada

fly sticky paper

a.

Jumlah lalat yang menempel pada

fly sticky paper

di tiap lokasi pasar (Februari

Maret 2014)

b.

Jumlah lalat

Calliphoridae

yang menempel pada

fly sticky paper

di tiap blok

pasar (Februari

Maret 2014)

c. Jumlah lalat

Muscidae

yang menempel pada

fly sticky paper

di tiap blok

pasar (Februari

Maret 2014)

Ps. Kota Bogor Ps. Sukasari Ps. Gunung Batu Ps. Jambu Dua Ps. Anyar

338

146

702

538

169

426

421

103

459

53

Muscidae

Calliphoridae

Ps. Kota Bogor Ps. Sukasari Ps. Gunung Batu Ps. Jambu Dua Ps. Anyar 417

299

75

331

38

1 33 23

116

8 8

89

5 12 7

Blok Lingkungan

Blok Daging

Blok Ikan

Ps. Kota Bogor Ps. Sukasari Ps. Gunung Batu Ps.Jambu Dua Ps. Anyar 88

129 149

237

109 185

11

286

131

31 65

6

267

170

17


(2)

Lampiran 8. Distribusi frekuensi unsur variabel biosekuriti personal yang

mempengaruhi infestasi lalat

Unsur – unsur variabel

A B C D E

No Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk

1. Mencuci tangan sebelum menangani produk yang dijual

6.36 3.64 5.00 5.00 6.67 3.33 5.71 4.29 3.33 6.67

2. Mandi sebelum berjualan

8.18 1.82 10.00 0.00 8.67 1.33 10.00 0.00 10.00 0.00

3. Menggunakan alas kaki saat berjualan

10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00

4. Memakai pakaian khusus untuk berjualan

1.82 8.18 3.75 6.25 0.67 9.33 0.00 10.00 3.33 6.67

5. Memakai kaos tangan/masker

0.91 9.09 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00

6. Tidak makan, minum, merokok saat berjualan

8.18 1.82 7.50 2.50 2.67 7.33 1.43 8.57 6.67 3.33

7. Kesehatan personal (tidak ada

luka,korengan/tidak menderita penyakit lain yang bisa mencemari)

9.09 0.91 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00

8. Tidak bersin/batuk saat berjualan

10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 8.57 1.43 10.00 0.00

9. Rambut rapi/memakai pelindung

0.91 9.09 1.25 8.75 2.67 7.33 0.00 10.00 3.33 6.67

10. Mendapat pengarahan petugas/dinas pasar

0.91 9.09 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00

TOTAL (%) 56.36 43.64 57.50 42.50 51.33 48.67 45.71 54.29 56.67 43.33

Keterangan : Pasar Kota Bogor (A), Pasar Sukasari (B), Pasar Anyar (C), Pasar Jambu Dua (D),

dan Pasar Gunung Batu (E).


(3)

Lampiran 9. Distribusi frekuensi unsur variabel biosekuriti tempat/peralatan yang

mempengaruhi infestasi lalat

Unsur – unsur variabel

A B C D E

No. Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk

1. Tempat dibersihkan sebelum/sesudah berjualan

10.00 0.00 10.00 0.00 8.67 1.33 8.57 1.43 10.00 0.00

2. Peralatan dibersihkan sebelum/sesudah berjualan

10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00

3. Tempat penjualan dipisah tiap bagian/jenis

10.00 0.00 10.00 0.00 9.33 0.67 10.00 0.00 10.00 0.00

4. Tersedia tempat sampah/tempat khusus

8.18 1.82 6.25 3.75 6.67 3.33 8.57 1.43 1.67 8.33

5. Menggunakan sumber air bersih

9.09 0.91 7.50 2.50 8.00 2.00 10.00 0.00 5.00 5.00

6. Menggunakan penutup/kasa untuk melindungi lalat

0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00

7. Menggunakan insektisida

0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00

8. Memakai alat untuk pengusir lalat

0.00 10.00 0.00 10.00 0.67 9.33 0.00 10.00 0.00 10.00

9. Tidak memakai telenan kayu untuk memotong (khusus penjual daging/ikan)

0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00

10. Memakai telenan khusus untuk memotong (khusus penjual daging/ikan)

0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00 0.00 10.00

TOTAL (%) 47.27 52.73 43.75 56.25 43.33 56.67 47.14 52.86 36.67 63.33

Keterangan : Pasar Kota Bogor (A), Pasar Sukasari (B), Pasar Anyar (C), Pasar Jambu Dua (D),

dan Pasar Gunung Batu (E).


(4)

Lampiran 10. Distribusi frekuensi unsur variabel biosekuriti lingkungan yang

mempengaruhi infestasi lalat

Unsur – unsur variabel

A B C D E

No. Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk

1. Tidak ditemukan arthropoda pengganggu disekitar tempat berjualan (kecoa, semut, lalat, dll)

1.82 8.18 3.75 6.25 6.67 3.33 1.43 8.57 0.00 10.00 2. Tidak ditemukan hewan

vertebrata dan hewan pengerat di tempat berjualan. Misal : anjing , kucing, tikus dll

5.45 4.55 6.25 3.75 9.33 0.67 5.71 4.29 3.33 6.67 3. Penggunaan disinfektan /

insektisida

0.00 10.00 0.00 10.00 0.67 9.33 0.00 10.00 0.00 10.00 4. Tidak membuang sampah

sembarangan

10.00 0.00 10.00 0.00 9.33 0.67 10.00 0.00 8.33 1.67 5. Membuang sampah di

TPA pasar

10.00 0.00 10.00 0.00 9.33 0.67 10.00 0.00 10.00 0.00 6. Pengangkutan sampah

oleh petugas ke TPA tiap hari

10.00 0.00 10.00 0.00 9.33 0.67 10.00 0.00 10.00 0.00 7. Lingkungan tempat

penjualan kering

5.45 4.55 6.25 3.75 3.33 6.67 5.71 4.29 3.33 6.67 8. Lingkungan tempat

penjualan bersih

4.55 5.45 2.50 7.50 6.67 3.33 4.29 5.71 0.00 10.00 9. Memilih lokasi berjualan

terpisah dengan barang dagangan lain

8.18 1.82 7.50 2.50 8.67 1.33 0.00 10.00 3.33 6.67 10. Tersedia air bersih dan

alat-alat kebersihan

8.18 1.82 6.25 3.75 7.33 2.67 7.14 2.86 3.33 6.67

TO TAL (%) 63.64 36.36 62.50 37.50 70.67 29.33 54.29 45.71 41.67 58.33

Keterangan : Pasar Kota Bogor (A), Pasar Sukasari (B), Pasar Anyar (C), Pasar Jambu


(5)

Lampiran 11. Hasil

Uji Korelasi Spearman

hubungan antara infestasi lalat dengan

biosekuriti personal, tempat/peralatan dan lingkungan di lima pasar

Tradisional Kota Bogor

Spearman's

rho

Infestasi

Lalat

Biosekuriti

Personal

Tempat/Peralatan

Biosekuriti

Lingkungan

Biosekuriti

Infestasi Lalat

Correlation

Coefficient*)

1.0

00

-0.500

-0.900

-0.400

Sig. (2-tailed)

-

0.39

1

0.037

0.505

N

5

5

5

5

Biosekuriti

Personal

Correlation

Coefficient*)

-0.500

1.00

0

0.700

0.700

Sig. (2-tailed)

0.3

91

.

0.188

0.188

N

5

5

5

5

Biosekuriti

Tempat/

Peralatan

Correlation

Coefficient*)

-0.900

0.70

0

1.000

0.700

Sig. (2-tailed)

0.0

37

0.18

8

-

0.188

N

5

5

5

5

Biosekuriti

Lingkungan

Correlation

Coefficient*)

-0.400

0.70

0

0.700

1.000

Sig. (2-tailed)

0.5

05

0.18

8

0.188

-

N

5

5

5

5

Keterangan : 1. Hipotesis :

Ho : Tidak ada korelasi yang signifikan antara infestasi lalat dengan biosekuriti (angka korelasi 0) H1 : Ada korelasi yang signifikan antara infestasi lalat dengan biosekuriti (angka korelasi tidak 0) 2. *)Angka koefisien korelasi : tidak ada hubungan/lemah (r = 0.00-0.25), sedang (r = 0.26-0.50),

kuat ( r = 0.51-0.75), dan sangat kuat/sempurna (r = 0.76-1.00). Tanda (+) menunjukan arah hubungan yang searah sedangkan tanda (-) menunjukkan arah hubungan yang berlawanan. 3. Angka kepercayaan (α = 0,05)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 14 Februari 1981 dari Bapak Ir.

Djono dan Ibu Kartini. Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Tahun

1999 penulis lulus dari SMUN 1 Jogonalan, Klaten. Pada tahun yang sama penulis

melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada,

melewat jalur seleksi UMPTN. Pada Tahun 2004 penulis telah menyelesaikan

program sarjana kedokteran hewan (SKH) dan pada tahun 2006 menyelesaikan

program profesi Dokter Hewan.

Tahun 2007 penulis bekerja sebagai Tenaga Kontrak Harian Lepas/Tenaga

Bantu Dokter Hewan dalam penanggulangan penyakit Avian Influenza (AI) yang

diselenggarakan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian

Pertanian bertempat di Dinas Peternakan Subang, Jawa Barat. Tahun 2008 penulis

lolos mengikuti ujian seleksi CPNS dan bertugas di Direktorat Kesmavet dan

Pasca Panen, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI

hingga sekarang. Pada Tahun 2012 penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar

program beasiswa yang diselenggarakan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan

Hewan dan diterima di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

pada Program Pasca Sarjana IPB.