Pengertian Pernikahan PERNIKAHAN MENURUT BAHASA, HUKUM ISLAM,

17 berikut: “Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian dari Kompilasi Hukum Islam KHI yang tercantum pada Bab 2 Pasal 2 menyebutkan bahwa: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah ”. 3. Menurut Hukum Islam Perkawinan dalam Islam merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan karena perkawinan merupakan cara yang di pilih Allah SWT untuk melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup. 8 Perkawinan diartikan dengan suatu akad persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengakibatkan kehalalan pergaulan hubungan suami-istri, keduanya saling membantu dan melengkapi satu sama lain dan masing-masing dari keduanya memperoleh hak dan kewajiban. 9 Dalam Al- Qur’an dijelaskan bahwa status ikatan perkawinan adalah merupakan ikatan yang kokoh dan perjanjian yang kokoh mistaqan ghalidhan, untuk itulah maka perkawinan harus dilakukan secara benar. Kemudian secara istilah syara’ nikah dapat didefinisikan sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa ulama, yaitu: 8 As-Sayid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al- „Anabi 1973, 11:6 9 Abu Zahrah, al-Akhwal asy-Syahshiyah Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi 1957, VIII: 6513 18 a. Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam kitabnya al-Mahalli. اكنا ظفلب ئط ة ابا نم تي قع اعرش جي زت ا Artinya : “Nikah menurut syara’ istilah ialah suatu akad yang membolehkan wath’i hubungan seksual dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij ”. b. Imam Syafi’i pengertian nikah secara syara’ ialah : نلا ك با َن ع ه ْق ي ت َم ن م ْل ك ْط ئ ب لْف ظ ا ْنك ا ا ْ ت ْز ْي ج ا ْ م ْعن ها ما Artinya : “adakalanya suatu akad yang mencakup kepemilikan terhadap wath’i dengan lafaz inkah atau tazwij atau dengan menggunakan lafaz yang semakna dengan keduanya”. c. Imam Hambali pengertian nikah secara syara’ ialah : ِنلا ك ه ع ْق ب لْف ظ ا ْنك ا ا ْ ت ْز ْي ج ع ل م ى ْنف ع ة اا ْس ت ْم ت عا Artinya :“suatu akad yang dilakukan dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij untuk mengambil manfaat kenikmatan kesenangan”. d. Imam Maliki pengertian nikah secara syara’ ialah : هَناب اكِنلا ع ْق ع ل م ى َر د م ْتع ة َتلا ل ا تميق بج م ريغ ةيمداب ريغ ةلبق ةنيبب Artinya : “nikah adalah suatuk akad yang mengandung ketentuan hukum semata- mata untuk membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa saja yang ada pada diri seorang perempuan yang boleh dinikahinya”. e. Imam Abu Hanifah pengertian nikah secara syara’ ialah : كنلا هناب ع ْق في ْي م ْل ك ملا تع ة صق ا 10 Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli,juz III Indonesia: Nur Asia, t.th, h. 206. 11 Ibid, al-Mahalli, h. 3 12 Ibid, h. 4 19 Artinya : “nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan secara sengaja”. Adapun asas perkawinan dalam Islam adalah monogami tawahhud al- zawj. Sedangkan prinsip perkawinan adalah prinsip kerelaan al-taraadli, kesetaraan al-musawah, keadilan al- „adalah, kemaslahatan al- maslahah, pluralisme al- ta’addudiyah, dan demokrasi al-muqrathiyah, asas-asas dan prinsip perkawinan tersebut berpegang pada konsep al- kulliyat al-khamsad-dhaurriyat al-khams yaitu menjaga agama, akal, jiwa, keturunan dan harta sebagai dasar filosofinya. 13 Melihat lebih dalam hukum pernikahan itu sesungguhnya dapat berubah-ubah mengikuti alasan pernikahan itu sendiri, dalam hal ini para ulama mengelompokannya dalam 5 lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. a. Wajib, bagi seseorang yang sudah cukup umur, mempunyai kemampuan memberi nafkah, dan dia khawatir tidak mampu menahan nafsu dan takut akan terjerumus ke dalam perzinaan bila tidak langsung melangsungkan pernikahan. b. Sunnah, bagi orang yang mempunyai kemampuan memberi nafkah dan keinginan menikah, akan tetapi kuat menahan nafsu dan tidak takut menahan akan terjerumus kedalam perzinaan. c. Haram, bagi orang yang mempunyai maksud menyakiti hati istri atau menyia-nyiakannya. 13 Tim Pengurus utama Gender, Pembaharuan Hukum Islam, CLD KHI Jakarta: Depag RI, 2004, hlm. 142. 20 d. Mubah, yaitu bagi orang yang belum sanggup memberikan nafkah, sementara dirinya tidak tahan menahan nafsu dan khawatir terjatuh pada perbuatan zina. Apabila dirinya sudah mampu, maka hendaknya segera melakukannya. e. Makruh, bagi orang yang belum sanggup memberikan nafkah, sementara dirinya masih mampu menahan nafsu yang mengarah pada perbuatan zina. Banyak sekali tujuan dari pernikahan ini salah satunya adalah untuk membina rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan istri sehingga terwujud ketentraman dalam keluarga, al- Qur’an menyebutnya dengan konsep sakinah, mawadah dan rahmah atau lebih dikenal oleh kita dengan keluarga ideal. Untuk meraih keluarga ideal harus dimulai dari sebuah perkawinan yang ideal pula. 4. Menurut Hukum Adat Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu bukan berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi, terjadinya perikatan perkawinan bukan saja semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggaan, serta menyangkut upacara- upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati 21 perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya ibadah maupun hubungan sesama manusia muamalah dalam pergaulan hidup agar selamat dunia dan akhirat. 14 Oleh karenanya, Imam Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat mengatakan: “Menurut Hukum Adat perkawinan biasa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat” Imam Sudiyati : 1991:17 Demikian pula diketengahkan oleh Teer Haar menyatakan bahwa : ”Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi” Hilman Hadikusuma : 2003 : 8. Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana dikemukakan oleh: Van Vollenhoven bahwa : ”Dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia” Hilman Hadikusuma, 2003: 9 . 15 Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum “Perikatan Adat„ seperti tentang kedudukan suami atau kedudukan istri, begitu pula tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain ; dan harta perkawinan tergantung pada bentuk dan sistem perkawinan adat setempat. 14 Luthfi bocah randue, prinsip perkawinan menurut UU No.1 1974 dan KHI, http:bocahrandue.blogspot.com201211prinsip-perkawinan-menurut-uu-no1-1974.html, diunggah pada Jumat, 09 November 2012 15 Andy Hermansyah, Pengertian Perkawinan Menurut Hukum, Adat,http:bloghukumumum.blogspot.com201004pengertian-perkawinan-menurut-hukum.html, diunggahpadaSenin, 26 April 2010 22 Menurut Hukum Adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem, yaitu: a Endogami, sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari sukunya sendiri. Sistem semacam ini antara lain terdapat di daerah Toraja atau di daerah yang masih menghargai darah kebangsaan. b Exogami, system perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari luar sukunya. Sistem semacam ini antara lain masih terdapat pada suku Batak, Gayo, Alas, dan Sumatra Selatan. c Eleutherogami, system perkawinan dimana seseorang diperbolehkan kawin dengan orang dari dalam dan luar sukunya. Sistem semacam ini antara lain terdapat di Jawa, Madura, Bali, Lombok, Timor, Minahasa, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Aceh, Sumatra Timur, Bangka dan Belitung. Sebagian besar daerah Indonesia berlaku adat kebiasaan bahwa upacara perkawinan dilakukan di tempat keluarga mempelai wanita, meskipun adakalanya dilakukan di tempat keluarga mempelai pria. Mengenai tempat tinggal suami istri setelah upacara perkawinan, dalam hukum adat dikenal berbagai macam karakter sifat perkawinannya : a. Perkawinan patriokal, perkawinan yang menyebabkan kedua mempelai setelah melangsungkan upacara perkawinan kemudian bertempat tinggal sementara atau untuk selamanya pada keluarga pengantin pria antara lain di Batak. 23 b. Perkawinan matrilokal, perkawinan yang menyebabkan kedua mempelai setelah melangsungkan upacara perkawinan kemudian bertempat tinggal sementara atau untuk selamanya pada keluarga pengantin wanita anatara lain terdapat di Minangkabaudan Lampung c. Cara lain ialah, upacara dilaksanakan di tempat keluarga mempelai wanita atau pria, tetapi setelah itu kedua suami istri ini kemudian berumah tangga sendiri terpisah dari keluarga istri atau suaminya.

B. Pernikahan Kalangkah Dalam Adat Sunda

Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “ Rasa senak “ hubungan anak-anak, bujang gadis dan “rasa Tuha” hubungan orang tua keluarga dari pada calon suami istri. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termasuk anggota keluarga. Selain keluarga dan kerabat dalam hukum adat juga mempunyai peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan. Kelanggengan dan memiliki keturunan adalah hal yang diinginkan oleh para pasangan suami istri yang menikah, namun lain halnya dengan pernikahan kalangkah yang terjadi di Desa Panyingkiran Majalengka Jawa Barat karena dalam pernikahan kalangkah hanya bersifat sementara dan 24 tujuannya pun agar sang adik perempuan diperbolehkan menikah tanpa melangkahi seorang kakak laki-laki. Pernikahan kalangkah sama halnya dengan pernikahan yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat pada umumnya, memenuhi syarat dan rukun seperti diatas, namun penulis sedikit menjelaskan kembali bahwa yang membedakan pernikahan kalangkah dengan pernikahan biasa adalah tujuannya, tujuan dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang kekal dan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Lain halnya dengan pernikahan kalangkah yang hanya sementara waktu. Tujuan dari pernikahan kalangkah sama halnya dengan pernikahan kontrak yang dibatasi oleh waktu. Perbedaan dari pernikahan kontrak dan pernikahan kalangkah adalah akad atau shigat ijab dan qabulnya. Kawin kontrak menyebutkan kontrak dalam akad sedangkan dalam pernikahan kalangkah tidak menyebutkan batasan waktu atau kontrak dalam akadnya, namun kedua belah pihak mempelai mengetahui kalau pernikahan kalangkah itu hanya sementara. Melihat dari akadnya hukum Islam menamakan pernikahan kalangkah dengan pernikahan muaqqat temporal yaitu pernikahan yang akadnya si calon mempelai pria menyembunyikan maksud menikahi perempuan dalam jangka waktu, sekalipun calon mempelai perempuan mengetahuinya. 16 Pernikahan kalangkah dalam masyarakat Desa Panyingkiran Majalengka Jawa Barat adalah salah satu adat dalam pernikahan yang ada di Indonesia, 16 Lihat Asy-Syarhush Shagir; 2387 dan lihat Syahrul Majallah Lil Ataasi; 2415 25 hukum adat yang tidak bertentangan dengan agama tentunya harus kita jaga dan melestarikannya. Pernikahan kalangkah adalah pernikahan adat yang tanpa melanggar aturan agama karena diatas telah menjelaskan bahwa pernikahan kalangkah atau muaqqat temporal ulama Hanafiah dan Malikiah membolehkan pernikahan temporal muaqqat. Namun penulis lebih setuju dengan pendapat ulama Hanabilah yang menyatakan menceraikan setelah tempo waktu tertentu dapat membatalkan akad.