Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni Dalam Perspektif Hukum Islam “(Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur)”

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjanah Syariah (S. Sy)

DI SUSUN OLEH :

ABIYATI ATNAN NITIONO NIM : 1110044100085

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri tauladan dan penunjuk jalan kebenaran ialah Rasulullah SAW.

Salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Perguruan Tinggi termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis membuat skripsi ini dengan judul PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, “(Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun tanpa bantuan, dukungan dan motivasi yang tak terkira ksususnya orang tua tercinta, Ayahanda Atnan Nitiono dan ibunda Rosmiwati Umar Isu dan para keluarga khususnya paman-pamanku tersayang (Yusuf Umar Isu, S. Ag, dan Suherman Umar Isu, SH) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, membiayai, serta doa, dukungan dan motivasinya tehadap penulis agar penulis sukses dalam menimba ilmu.


(6)

ii

membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, utamanya kepada:

1. Dr. Phil. JM. Muslimin, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Selaku Ketua Program Studi Akhwal Syaksiyah dan ibu Hj. Rosdiana, MA selaku sekertaris program studi Akhwal Syaksiyah, yang telah banyak membantu penulis selama masih kuliah.

3. Dr. H. Umar Alhadad, MA. Selaku Dosen Pembimbing karena berkait bimbingan, perhatian dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih penulis ucapkan, semoga dapat balasan setimpal dari-Nya.

5. Kepada Dra. Hj. Maskufah. MA, selaku dosen pembimbing Akademik yang selalu mensuport, membimbing dan memotivasi penulis selama kuliah

6. Kepada UKM Resimen Mahasiswa Jayakarta (MENWA JAKARTA) khususnya Senior-senior Menwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Komandan Amin, Komandan Syawal, Wadan Helmi, bu Kuntum, bu Qudsy) yang telah membina, mendidik, memotivasi dan mengenalkan organisasi kepada penulis.


(7)

iii ilmu.

8. Kepada Om Sultan Umar Isu, tante Linda, Om Tohir Umar Isu, yang selalu memberikan nasehat kasih sayangnya kepada penulis.

9. Kepada om Sudirman Kadir Isu, S. Ag., M. H dan bibi Wiwin yang selalu memberikan nasehat, motivasi dan dukunganya kepada penulis.

10.Kepada kakek Drs. Ali Tatan Sone, beserta keluarga yang telah membina dan mengenalkan penulis untuk menuntut ilmu kepulau Jawa.

11.Kepada chy Aminah Kadir Isu, S. Sos, chy Rosmiwati Isu, S. Pd. I, chy Anisa Kadir Isu, S. Pd. I,chy Fatmawati Umar Isu (alm), chy Anggriani Umar Isu (alm ) yang selalu membantu danmendo’akan penulis dalam hal menuntut ilmu.

12.Kepada kakak, adik-adik dan ponakan-ponakanku (Kakak Junaidin Atnan Nitiono, Ben Marwah, Alfat, Iskandar, Anggi, Rodiah, Faizah, Indah,Arif Liu, Andri Liu, Fahmi Liu, Adhe Liu, Fira, Zaki, Nci).

13.Kepada sahabat karibku Nur Anisah Usman, S. KM, yang selalu mensuport dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan segala kemudahan kepadamu kawan.

14.Kepada sahabat-sahabatku seperjuangan angkatan 2010 Peradilan Agama, khususnya (Ema, Erliyanti, Futi, Syoraya, Ratih, Mila, Fitmau, Sahro, Aulia, Nurdin, Irfan, Anas, Fahmi) teman-teman lainnya yang penulis tidak bisa


(8)

iv

kotapun kita selalu bersama, sampai pada di akhir perkuliahan yang hanya bisa tegur atau sapa di dunia maya saja. Namun yang jelas nama-nama kalian akan selalu menjadi sebuah lembaran sejarah dalam hidup penulis dan akan tertumpuk rapih dalam silsilah kehidupan. Yang kapan saja penulis bisa buka lembaran tersebut untuk sedikit mengobati rasa rindu yang membelenggu hati. 15.Kepada bapak kepala desa Billa, kakanda Ishak Nitiono, S. Sos, beserta tokoh

masyarakat yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan wawancara dan penelitian.

16.Kepada kakak-kakak terutama abang Par, abang Dhanil, kakak Ryanto, dan temankuYanti Demaris Asbanu, Owen, Yusron, aa Andrew, kk Munir, Hek Amir, Hek Zul, Nub Ali, yang selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis dalam menuntut ilmu.

Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh komponen yang telah berjasa memberikan kontribusinya dan tidak ada yang dapat diberikan sebagai tanda balas jasa penulis, kecuali hanya dengan do’a semoga Allah SWT membalas segala amal dan buat baik mereka dengan sebaik-baik balasan. Amin YaRobbal alamiin.

Jakarta, 15 April 2014


(9)

v

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu ... 11

F. Sistem Penulisan ... 12

BAB II : LANDASAN TEORI PERKAWINAN A. Pra Nikah ... 15

1. Pengertian Khitbah ... 15

2. Prosedur Khitbah ... 16

3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri ... 19

4. Cara Pembatalan Khitbah ... 21

B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam ... 24

1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum ... 24

2. Prosedur atau Cara Perkawinan ... 19


(10)

vi

2. Hukum dan Hikmah Walimatul ‘Urs ... 37

3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs ... 37

BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU ATONI DESA BILLA A. Letak Geografis ... 40

B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ... 44

C. Kondisi Pendidikan ... 48

D. Kondisi Keagamaan ... 52

BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI (NTT) A. Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni ... 59

B. Prosesi Pelaksanaan Nikah Menurut Suku Adat Atoni ... 57

1. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon Penganten Laki-Laki ... 58

2. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon Pengantin Perempuan ... 58

3. Prosesi Kabin Alat menurut Suku Adat Atoni... 59


(11)

vii

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, Allah memerintahkan agar umatnya melakukan perkawinan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan. Perkawinan adalah sunatullah artinya perintah Allah dan rasul-Nya tidak hanya semata-mata keinginan manusia, atau hawa nafsunya saja, karena sesorang yang telah berumah tangga berarti ia telah

mengerjakan sebagian dari syari’at (aturan) Agama Islam.1

Pernikahan yaitu suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri berdasarkan hukum yang terdapat di dalam Undang-undang(UU) hukum agama dan adat istiadat yang berlaku.2

Sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal (1) adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dariperkawinan. Ini

1

Sidi Nazar Baqry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Ke-I, h. 3

2

Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2001 ), h. 59


(13)

merupakan sunatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia, berkembang biaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam semesta.

Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yasin: 36

                       Artinya:

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui.”(QS. Yasin: 36).3

Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam BAB II, Pasal (2 dan 4), (2), yaitu akad yang sangat kuat atau nitsaqanghalidhun untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah, (4) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU NO. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Dengan demikian pernikahanpun merupakan suatu ikatan lahir bathin antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan

syari’at Islam.

Perkawinan juga merupakan hal yang sangat sakral untuk setiap jiwa manusia, kerena itu kebanyakan orang yang akan melaksanakan suatu pernikahan diiringi oleh upacara pernikahan secara adat budaya setempat, karena perkawinan

3

Mohammad Asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam Perum Griya Suryo Asrif, 2004), cet. Ke-I, h. 19


(14)

merupakan salah satu budaya yang mengikuti perkembangan manusia, dalam kehiduapan bermasyarakat.

Pokok perkawinan baik secara tradisional maupun secara modern yaitu perkawinan sakral sehingga hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya sangat terasa kehadirannya dalam upacara perkawinan.

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat. Seperti halnya kebiasaan yang dianut dalam masyarakat Atoni khususnya di desa Billa Kecamatan Amanuban Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, upacara pesta perkawinan tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, yang minoritas dipeluk oleh masyarakat.

Bila di tinjau secara kulturalistik, masyarakat pribumi Atoni mempunyai berbagai macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari kebiasaan yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntutan pola hidup turun temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat penyelenggaraan perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Atoni ini. Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya setempat.

Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat dipertahankan bahkan dilestarikan sepanjang tidak menyalahi prinsip ajaran


(15)

agama Islam. Dan apabila adat kebiasaan yang berhubungan walimah tersebut bertentangan dengan syariat Islam, setuju atau tidak, harus ditinggalkan.4

Berbagai macam tata cara upacara pesta perkawinan (walimah ‘urs) yang berlaku diberbagai daerah adalah tatanan nilai luhur yang telah dibentuk oleh para orang tua dan diturunkan kepada generasi ke generasi seterusnya, karena itu upacara pesta perkawinan dalam adat merupakan kegiatan tradisional turun-temurunyang mencirikan keanekaragaman budaya bangsa dan juga dimaksudkan agar dapat diketahui oleh masyarakat sekitar untuk menghindari fitnah, yang bertujuan agar perkawinan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan bagi keduannya di kemudian hari.

Tahapan pertama dalam perkawinan adalah pinangan atau khitbah, yang mana hal ini merupakan pola yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat, artinya dapat ditemui pada tiap hukum adat yang ada di Indonesia, dan pada dasarnya melakukan peminangan itu terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaannya hanyalah terdapat pada alat atau sarana pendukung prosesi pinangan itu.5

Di suku adat Atoni proses pelamaran itu dilakukan dengan cara kedua orang tua dan laki-laki yang akan jadi calon suami si perempuan tersebut mendatangi rumah si perempuan dengan membawa bermacam-macam perhiasan, pakaian, sopi (minuman dari pohon lontar atau tuak), uang lima ribu rupiah(Rp.

4

http:/bekal pernikahan.blogdrive.com 5


(16)

5.000). Sebelum berlangsungnya proses peminangan uang lima ribu (Rp. 5. 000) tersebut, dimasukan ke dalam kotak sirih atau yang sering dikenal dengan sebutan oktuke, kemudian uang dan sopi tersebut dihidangkan di depan ayah si wanita tersebut.

Tujuannya agar setelah mereka selesai mengutarakan maksud dan kedatangan mereka, akan adanya jawaban dari pihak calon isrti berupa isyarat. Penerimaan atas tamunya itu dengan mengambil uang yang telah diletakan di hadapan ayahnya, sedangkan sopinya akan ayahnya si wanita minum bersama-sama dengan tamunya tersebut. Selanjutnya baru terjadinya pengesahan barang-barang yang dibawa oleh pihak calon suami, dan dari pihak perempuanpun memberikan sebuah sarung adat Atoni (mau naek) kepada pihak laki-laki. Hal tersebut dianggap sebagai satu tanda telah bersatunya dua keluarga besar.6

Setelah proses lamaran diterima, jarak satu bulan kemudian maka keluarga dari pihak calon suami kembali mendatangi rumah keluarga wanita, dan biasanya para orang tua yang akan menikahkan anaknya menanyakan tanggal akad pernikahan kepada orang tua sigadis. Kemudian setelah itu satu bulan kemudian barulah melaksanakan upacara pernikahan.

Dengan dilakukannya upacara pesta perkawinan (walimah ‘urs), kedua mempelai mengumumkan permulaan kehidupan mereka dan untuk meminta doa restu kepada keluarga dan sahabat. Rasulullah menganjurkan dalam mengadakan upacara pesta perkawinan hendaklah dilakukan dengan sederhana, dan diniati

6


(17)

untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan menghindari dari perbuatan yang bertentangan dengan syariat pada saat perayaan upacara pesta perkawinan. Dan yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan upacara pesta perkawinan tidak memaksakan diri untuk bermewah-mewahan, melainkan sesuai kemampuannya, undangan hendaknya tidak dibedakan antara yang kaya dan yang miskin, semuanya harus diperlakukan sama.7

Masyarakat suku Atoni mempunyai keunikan dan kebiasaan yang berbeda yang mana setelah adanya akad nikah, keluarga pengantin laki-laki menyuruh seorang utusan laki-laki untuk melanjutkan acara walimah yang langsung dilaksanakan pada saat setelah akad nikah, dengan proses natoni Adat Atoni (utusan tersebut berbicara terlebih dahulu kemudian beberapa pengikut yang mewakili pengantin laki-laki mengutip pembicaraan tersebut), kemudian barulah diadakan walimahtul urs.

Hal tersebut menarik untuk dibahas, di samping mininoritas penduduknya yang menganut agama Islam, masyarakat desa Billa juga sangat menjunjung tinggi warisan nenek moyang. Penulis akan membahas adat istiadat masyarakat Atoni mengenai prosesi prnikahan.

Hal yang menarik adalah sejauh mana masyarakat Atoni memahami nilai-nilai Islami dalam upacara pesta perkawinan, apakah masyarakat Atoni berpegang teguh pada nilai Islami atau tidak, kemudian apakah pergeseran nilai-nilai Islami terhadap upacara pesta perkawinan masyarakat Atoni?

7


(18)

Dengan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini menjadi penelitian dengan judul: PROSESI PERNIKAHAN

SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIIF HUKUM ISLAM “(Studi Kasus

Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi pada proses bagaimana prosesi pernikahan (peminangan, akad, dan walimah) menurut pandangan hukum adat Atoni dan tinjauan hukum Islam. Objek penelitian di desa Billa kecamatan Amanuban Timur kabupaten Timor Tengah Selatan, mengingat lokasi tersebut masih kental dengan tradisi adat istiadat, khususnya pada praktek pernikahan.

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana prosesi pernikahan secara umum pada suku adat Atoni?

2. Apakah prosesi pernikahan baik tahap peminangan, akad dan walimah pada suku adat Atoni sudah sesuai dengan hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui prosesi pernikahan secara umum pada masyarakat Atoni.


(19)

b. Untuk mengetahui ada atau tidaknya kesesuaiaan proses pernikahan pada masyarakat Atoni menurut hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

a. Agar masyarakat Atoni mengetahui prosesi pernikahan yang benar dan sesuai dengan ajaran hukum Islam.

b. Agar menambah wawasan bagi para peneliti dan pemikir hukum keluarga Islam dalam menggemas nilai-nilai ajaran Islam menjadi kajian yang menarik. Selanjutnya memberikan motivasi bagi para pelaksana peneliti (terutama jurusan peradilan Agama atau hukum keluarga Islam).

c. Bagi dunia pustaka hasil ini dapat dijadikan sebagai tambahan koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiah khusunya di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

a. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang sumber datanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) dengan melihat secara langsung di daerah penelitian, yaitu daerah suku adat Atoni.


(20)

b. Studi kasus, yaitu penelitian yang dituntut untuk melakukan penelitian secara mendalam, yakni mampu melacak dan menemukan berbagai faktor yang terkait dengan kasus pernikahan tersebut.8

2. Sumber data

a. Data primer, yaitu data lapangan yang didapat dari sumber pertama, seperti hasil wawancara telephon terhadap tokoh adat (panutan suku) masyarakat Atoni yang merupakan tokoh panutan gerakan moral bagi masyarakat sekitar.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari artikel yang berkaitan dengan tema penelitian yang berasal dari media cetak dan media elektronik.

3. Pengumpulan data, yaitu dilakukan melalui pengamatan secara terlibat di lokasi penelitian dengan cara:

a. Observasi, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan suatu keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang dianggap berlaku dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran pengamatan dengan cara mengikuti dan menyaksikan langsung prosesi pernikahan menurut suku adat Atoni. b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang akan

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam hal

8


(21)

ini penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu, para pelaku pernikahan, orang tua, masyarakat setempat dan tokoh adat suku Atoni. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu dari anak keturunan raja suku adat Atoni Umar Keke Isu.

c. Studi dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan hukum sekunder. Dan juga data-data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berkenaan dengan judul skripsi ini.

4. Pengolahan data, menjelaskan cara mengolah data mentah hasil penelitian agar dapat terbaca dengan baik. Pengolahan data harus didasarkan pada kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi.

5. Analisa data, yaitu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi komparasi, yaitu dalam pendekatan teori ini, peneliti mengkonsentrasikan diri untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan pendekatan kepada tokoh adat, dan masyarakat suku Atoni, yang bertujuan untuk menemukan persamaan atau perbedaan tentang objek peneletian yang berkaitan dengan prosesi penikahan suku adat Atoni dan hukum Islam.

Adapun teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan I Penerbit Fakultas Syariah dah Hukum UIN Syarif Hidaytullah Jakarta 2007.


(22)

E. Review Studi Terdahulu

Dari katalog yang penulis cari, karya mengenai proses pelaksanaan khitbah menurut hukum Islam dan suku adat Atoni, belum dibahas karena penulis belum menemukan judul seprti yang diangkat oleh penulis, dan penulis berasumsi bahwa judul yang diangkat adalah baru. Penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan peminangan. Diantaranya yaitu:

Sari Ngabalin (1060442014773). Tabarok (Taruh Harta) sebagai Persyaratan Pernikahan Adat Papua dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi yang penulis buat itu membahas tentang prosesi pernikahan adat Fak-fak yang dikenal

dengan istilah adat ”taruh harta”, yaitu pemberian dari seorang calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan sebagai alat pengabsahan terhadap suatu perkawinan. Di dalam sikripsi itu penulis mencantumkan prosesi pembayaran taruh harta, yaitu memakai simbol terdepan burung kuning sebagai simbol kekayaan alam tanah Papua. Burung cendrawasih yang dipasang di tiang utama harus diserahkan kepada pihak perempuan sebagai tanda pintu rumah keluarga menerima. Saudara perempuan dari pengantin yang akan menerima simbol burung kuning dan meneyarahkan kepada pihak laki-laki piring (Ben Pepon) dan uang sebagai tanda awal pembayaran taruh harta. Berbeda dengan yang dibahas oleh penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai mahar pernikahan menurut suku adat Atoni dan perspektif hukum Islam.

Anugrah Sejati (101044222178). Prosesi Ritual Perkawinan Adat Jawa dilihat dari sudut pandang Islam. Skripsi yang penulis buat itu membahas tentang


(23)

proses peminangan adat Jawa itu dinamakan dengan istilah ngebunebun esuk, anjejawah sonten. Lamaran dapat dilakukan sendiri oleh orang tua laki-laki secara lisan namun dianggap kurang tepat yang kemudian laki-laki tersebut menulis dan mengirim surat lamaran kepada pihak perempuan yang dibawa oleh seorang petugas yang dijadikan duta dan biasanya berasal dari kalangan keluarga sendiri (paman). Beberapa hari kemudian surat berdasarkan hasil perundingan dari keluarga si gadis yang dihadiri oleh nenek atau kakek si gadis maka orang tua si gadis tersebut pun menulis surat jawaban. Berbeda dengan yang dibahas oleh penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai prosesi pernikahan menurut suku adat Atoni Nusa Tenggara Timur dan bagaimana menurut perspektif hukum Islam.

F. Sistem Penulisan

Agar penulisan skripsi ini terarah dan mudah dibahas, maka penulis mensistematika pembahasan skripsi ini ke dalam lima bab :

BAB I: Membahas Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian,dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Membahas Landasan Teori Perkawinan yang terdiri dari: Pra Nikah (Pengertian Khitbah, Prosedur Khitbah, Asas-asas yang Benar Memilih Istri, Cara Pembatalan Khitbah), Perkawinan menurut Syariat Islam (Pengertian, dan Dasar Hukum Perkawinan,


(24)

Prosedur atau Cara Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan),

Walimatul Urs (Pengertian Walimatul ‘Urs, Hukum dan Hikmah Walimatul Urs dan Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs). BAB III: Membahas Gambaran Umum Profil Masyarakat desa Billa dengan

Membahas tentang: Letak Geografis, Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya, Kondisi Pendidikan dan Kondisi Keagamaan.

BAB IV: Dalam Bab ini Membahas tentang Perspektif Hukum Islam terhadap Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT) yang terdiri dari: Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni, Prosesi Pelaksanan Perkawinan Menurut Suku Adat Atoni, dan Walimatul Urs atau Pengumuman Perkawinan Menurut Pandangan Suku Adat Atoni.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Pelaksanaan Pra Nikah atau Khitbah Sebagai Syariat Islam. 1. Pengertian Khitbah

Kata “Peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja).

Menurut etimologi meminang atau melamar artinya antara lain, yaitu meminta wanita untuk dijadikan istri oleh seorang laki-laki baik (bagi diri sendiri atau untuk orang lain).9

Menurut Terminologi, Khitbah (lamaran) adalah” Usulan untuk

membangun satu konstruksi yang landasannya yaitu keluarga, menyempurnakan dua komponen, yaitu pria dan wanita.10 Sedangkan dalam buku Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap Karangan H. M. A. M. dan Sahrani, mengatakan bahwa khitbah menurut terminologi adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.11

9

Kotja Ningrat, Pedoman Penelitian, (Jakarta: Raja wali Press, 1989), h.9 10

Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq.

1993). h.61 11

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 24


(26)

Adapun syari’at khitbah (peminangan) antara lain, yaitu menurut pandangan jumhur tentang khitbah berdasarkan Al-Qur’an dan demikian pula pengikut madzhab al-Syafi’i berdasarkan al-hadits, dapat diltelusuri melalui

kutipan sunnah fi’liyah Nabi Saw yang berbunyi:

“Dari Urwah, Bahwasanya Nabi Saw meminang (khitbah) Aisyah ra kepada Abu Bakar ra (ayah Aisyah), maka Abu Bakarpun menjawab: “ya,

baiklah aku adalah saudaramu”. Kemudian Nabi SAW menimpali seraya berkata: “benar, engkau adalah saudaraku seagama dan saudara yang seperti yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya (al-Qur’an) sehingga “dia” (Aisyah) juga halal bagiku (untuk dinikahi).

                                                        

Artinya:“Hamba Allah yang shaleh (Syuaib) berkata kepada Musa

AS: “ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang

dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan

tahun...”(QS. al-Qasas: 27).

Hadist dan ayat tersebut di atas, dari sudut subtansinya mengarah kepada bentuk-bentuk khitbah (lamaran) dengan corak beragam. Pada hadist tersebut menjelaskan bagaimana khitbah dilakukan oleh pihak calon suami kepada pihak calon istri melalui walinya secara langsung tanpa perantara. Sedangkan pada ayat al-Qur’an menunjukan bahwa seorang wali secara syara’ diharuskan memilih calon suami anak perempuan yang di bawah perwaliannya dengan lelaki saleh. Untuk itu, lamaran tidak saja datang dari pihak calon suami, tetapi dimungkinkan berasal dari pihak calon istri. Adapun


(27)

perempuan-perempuan yang tidak boleh dikhitbah sebagaimana isyarat

al-Qur’an tentang larangan menikahinya. Sebagaimana Allah berfirman:

                                                                                                

Artinya: “Diharamkan bagimu menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-lakimu, anak-anak perempan dari saudara-saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan sesusuanmu,ibu-ibu istrimu (martua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri peremmpuan), yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu (menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha penyayang (QS. An-Nisa: 23).12

2. Prosedur Khitbah

Sebelum memulai langkah-langkah melamar, seseorang yang ingin menikah harus tahu secara pasti bahwa tidak ada larangan-larangan syariah

12

Al-barudi Imad Zaki, Tafsir Al-Qur’an al-Anzhim Lin Nisa, (Jakarta Pusat: Pena Pundi


(28)

yang menghalangi menikah. Oleh karena itu dianjurkan adanya prosedur khitbah (lamaran), yaitu:13

a. Cara Memandang.

Hukum syara’ mensunahkan seseorang untuk memandang kepada

wanita yang hendak dilamarnya. Demikian pula, si wanita yang dilamar disunahkan memandang kepada pria yang melamarnya, sebelum menyatakan menerima lamaran itu. Sebagaimana Al-Mughirah bin

Syu’ban pernah melamar seorang wanita. Masalah ini disampaikannya

kepada Rasul Saw, kemudian bersabda kepadanya:

ئ ف , ف

Artinya: “Pergi dan pandanglah wanita itu. Sebab, memandang disini akan menjadi bumbu bagi berdua.”

Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa pria boleh memandang wajah dan dua telapak tangan si wanita yang dilamarnya sebab, memandang wajah bisa mewakili kecantikan (seorang wanita), sedangkan memandang kedua telapak tangan bisa mewakili subur tidaknya tubuh (seorang wanita).

b. Mengenal Sifat

Setiap pernikahan yang terjadi tanpa melalui proses memandang terlebih dahulu maka akibatnya adalah kekecewaan. Memandang sebelum menikah tidak terbatas hanya mengenal cantik atau tidaknya, tetapi juga

13

Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993), h. 65


(29)

mencakup proses mengenal sifat-sifat yang lain dengan minta informasi kepada orang-orang yang bisa dipercaya dari kalangan kerabat, seperti ibu dan saudaranya.

Informan yang dimintai untuk memberikan penilaian harus menguasai persoalan agar tidak terjebak yang menyebabkan si mempelai tidak mantap setelah menikah dan mendambakan wanita yang bukan istrinya. Sebagaimana Rasulullah Saw mengutus sebagian wanita agar mereka mengetahui aib-aib yang tidak nampak oleh mata. Selain, itu juga Nabi Muhammad Saw mengutus Ummuh Salamah kepada seorang wanita.

Beliau bersabda: “Lihatlah daerah tumitnya. Cium pula ma’atifnya atau

awaridhnya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Al-Thabrani dan Al-Baihaqi. Ma’atif di sini, berarti daerah di sekitar leher. Sedangkan awaridh berarti gigi yang terletak di bagian mulut yakni, gigi yang terletak antara gigi dengan rahang. Tetapi yang dimaksud kutipan hadits tersebut adalah mencium bau mulut.14

c. Menguatkan Lamaran

Jika kedua belah pihak setuju untuk menjadi suami istri maka lamaran di sini bisa diterima oleh kedua belah pihak. Dan masing-masing pihak berusaha untuk memperkokoh hubungannya dengan orang lain

14

Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993), h. 67


(30)

sedemikian rupa demi memperkuat hubungan baru. Seringkali setelah proses melamar selesai, kemudian diikuti dengan pemberian mahar, seluruhnya atau sebagian. Atau dilanjut dengan pemberian hadiah-hadiah dan pemberian lain bertanda adanya hubungan keluarga yang baru. Tetapi, hal tersebut bukan berarti memperbolehkan pasangan calon pengantin tersebut untuk berduaan, selama belum menyatakan akad nikah.

3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri

Prinsip-prinsip yang benar untuk memilih calon suami atau istri.

Al-Qur’an menjadikan unsur ketaqwaan sebagai ukuran bagi prinsip yang kuat yang tidak bisa digantikan dengan ukuran yang lain, karena agama Islam telah menetapkan kriterea orang yang melamar antara lain, yaitu:

a. Jika ia saleh atau shalihah (bertaqwa kepada Allah) Sebagaimana Allah SWT berfirman :

......

Artinya: “ sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...”(QS. Al-Hujuraat: 13).15 b. Wanita-wanita yang sendirian dan berkaitan dengan harta

Allah SWT berfirman :

                                  15

Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993), h. 70


(31)

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(An-Nur: 32)

c. Orang-orang berakhlak baik

Rasulullah Saw telah berwasiat kepada kita

Artinya: “Jika ada seorang yang melamar (anakmu) diantar kamu sekalian yang kamu anggap agama, dan akhlaknya kau anggap baik, maka kawinkanlah. Jika tidak, ia akan menimbulkan fitnah dan bencana

di bumi.”(HR. At-Tarmidzi dan Shaheh).

d. Orang-orang yang sehat dan akan memberikan keturunan. Sebab, tujuan utama perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang mengatakan:

. أ ث , ف ج

Artinya:“Nikahilah olehmu wanita yang pencinta, dan yang memiliki kemungkinan besar untuk melahirkan keturunan yang banyak. Karena aku

akan bangga dengan jumlah umatku yang banyak di hari kiamat.”

Selain, itu juga Rasulullah Saw bersbda bahwa memilih calon istri yang baik dan shaliha itu, ada empat faktor, sebagaiman haditsnya:

, ج ,

, , أ أ

فظ ف

ش

Artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).16

16

Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993), h. 72


(32)

4. Cara Pembatalan Khitbah

Pertunangan merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum, pernikahan dilangsungkan, yang pada umumnya banyak laki-laki menyerahkan mahar, baik keseluruhan maupun sebagiannya, memberi hadiah dan hibah (hantaran, red), mempererat silaturahmi dan mengukuhkan pertalian diantara keluarga keduanya.

Bisa jadi, pertunangan yang sudah terjadi menjadi batal (tidak dilanjutkan hingga kejenjang pernikahan), baik yang membatalkan dari pihak laki-laki ataupun dari pihak perempuan. Juga bisa jadi pembatalan itu atas kesepakatan kedua belah pihak.

Pada dasarnya, pertunangan hanya sebatas janji untuk menikah, bukan akad pernikahan. Pembatalan atas pertunangan merupakan hak bagi orang yang melangsungkan pertunangan dan tidak ada konsekuensi hukum jika terjadi pembatalan (untuk menikah). Meskipun syariat menganggap bahwa pembatalan atas pernikahan yang sudah dimulai dengan pertunangan merupakan perilaku yang tidak terpuji dan bagian dari sifat kemunafikan, kecuali jika dalam pembatalan tersebut disertai alasan dan kepentingan yang amat mendesak yang mengharuskan untuk membatalkannya. Rasulullah Saw bersabda:


(33)

Artinya: “Adatanda-tanda orang munafik ada tiga: ketika berbicara, dia berdusta: ketika berjanji dia ingkar dan ketika diberi kepercayaan dia berkhianat.

Mengenai hadiah, tidak ada ubahnya seperti hibah. Hadiah tidak boleh dikembalikan jika itu murni pemberian, tanpa adanya ikatan atau syarat karena orang yang menerima hadiah berhak atasnya dan menjadi pemilik apa yang telah diberikan kepadanya sejak dia menerimanya. Dia berhak mempergunakan dan memanfaatkan apa yang telah menjadi miliknya. Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan merupakan perampasan atas hak milik yang tanpa disertai dengan keridhoan pemiliknya.Hal itu merupakan perbuatan batil dalam Islam.17

Tapi, jika hibah diberikan dalam rangka mengharapkan balasan dari penerima, maka jika orang yang menerima itu belum melaksanakan apa yang diminta, orang yang memberi berhak untuk mengambil kembali hibah yang telah diberikan. Dalam keadaan seperti ini orang yang memberi berhak meminta kembali apa yang telah diberikannya, karena dia memberikannya atas dasar sesuatu yaitu pernikahan. Apabila pernikahan tidak terlaksana, maka laki-laki berhak mengambil kembali hadiah yang telah diberikannya. Sebagai landasan atas hal ini adalah berapa hadist sebagai berikut :

Imam Bukhori Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

17


(34)

Artinya: “Tidak halal bagi seorang yang memberikan sesuatu atau menyerahkan hadiah kemudian mengambilnya kembali kecuali Ayah yang mengambil apa yang diberikan pada anaknya

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasul Saw bersabda:

Artinya: “orang yang mengambil kembali pemberiannya, dia seperti orang yang menelan muntahannya kembali“.

Salim ra meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:

Artinya: “siapa yang diberi suatu pemberian, maka dia lebih berhak atasnya kecuali jika dia memberi ganti”.

Ulama mazhab Maliki berpendapat lain. Mereka membedakan antara pembatalan pernikahan dari pihak laki-laki dan perempuan.Jika pembatalan berasaldari pihak laki-laki, maka dia tidak berhak meminta kembali hadiah yang telah diberikan kepada pihak perempuan. Tetapi, apabila pembatalan diajukan oleh pihak perempuan, maka laki-laki berhak mengambil kembali semua hadiah yang telah diberikan. Dalam hal ini, pihak perempuan berkewajiban untuk mengembalikannya atau menggantikannya bila barang yang telah diterima rusak atau telah habis, kecuali bila bentuk pemberian hadiah tersebut merupakan suatu tradisi atau syarat yang harus dilaksanakan.

Menurut ulama mazhab Syafi’i hadiah yang telah diberikan harus


(35)

maka ia dikembalikannya semula dan jika sudah rusak, maka pihak perempuan harus mengganti barang itu sesuai dengan nilainya.18

B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam 1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum

a. Pengertian Nikah

Secara etimologi kata ( ) sama dengan kata (ج ) yang artinya nikah, kawin.19 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu ( ) dan zawaj (ج ). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat di dalama al-Qur’an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin. Secara arti kata nikah berarti gabung ( ض) hubungan kelamin (ء ) dan juga berarti akad ( قء) adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut.20

Dalam bahasa indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”

yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah atau melakukan hubungan kelamin

18

Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah, (Jakarta: Cakra Publishing, 2008). Cet ke-I. h. 235-238 19

Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir,Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 1461

20

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kenacana, 2007),h.


(36)

(bersetubuh).21 Sedangkan kata nikah dalam bahasa Indonesia artinya adalah ikatan (akad)perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.22

Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan. Menurut syara’ artinya akad yang terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang telah tertentu ) untuk berkumpul.23

Menurut istilah perkawinan atau nikah, yaitu menyerahkan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti luas yang dilakukan pada saat akad serta tanda dimulainya hukum halal untuk bercampur sebagai suami istri yang merupakan suatu ikatan lahir antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam.24 Hal ini terdapat dalam Firman Allah SWT :

...



 ... ..

Artinya….”Nikahilah mereka itu dengan izin keluarganya…”( QS. An-Nisa: 25)

Adapun pengertian perkawinan menurut beberapa mazhab adalah sebagai berikut:

1) Definisi nikah menurut golongan Syafi’iyah.

21

Dep Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,(Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008 ), cet. Ke-I, edisi ke-4, h. 639 22

Frista Artmanda W, Kamus Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, 2007), h. 2848 23

Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar Juz 2, (Indonesia: Darul ‘Ihya al-Kutub Arabiyah, tt ),

h. 36 24


(37)

Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan

wath’i dengan lafaz nikah, tawij atau yang semakna dengan keduanya. 2) Definisi nikah menurut golongan Malikiyah

Nikah adalah akad untuk mendapatkan kesenangan wanita dengan membayar mahar dan adanya saksi.

3) Defenisi nikah menurut golongan Hanafiyah

Nikah adalah akad yang berfaidah memiliki bersenang-senang dengan sengaja.

4) Definisi nikah menurut golongan Hanabilah.

Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij

guna memperbolehkan manfa’at, bersenang-senang dengan wanita.25 Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama mutaqaddimin, memandang nikah hanya dari satu saja yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami istri yang timbul.26

b. Dasar Hukum

Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi (sunatullah) merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai

25

Abdurrahman Al-jaziry, Al-Fiqh ‘ Ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 4, (Beirut: Darul Ihya,

1969), h. 2-3.

26Djama’an Nur,


(38)

ikatan yang sangat kokoh. Allah SWT dan rasul-Nya Muhammad Saw telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda Rasul-Nya, di antaranya, yaitu: 27

Firman Allah SWT :

                                                      

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.(QS. An-Nisa: 3) Selain ayat tersebut di atas Allah berfirman:

                                    

Artinya:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)

Sabda Rasulullah Saw:

ج ف ص ص ضغ ف ج ف ء ط ش ش Artinya: “Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu serta keinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah.

27Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad bin Abdul Mu’min .t.t

Kiyafatul Akhyar Fi Halli Ghayaatul Ikhtisar Syarah Matana abi Syuja’. (Beirut: Dar al-minhaj), h. 669


(39)

Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat mendudukan pandangan mata dan memelihara kemaluan.(Muttafaqun ‘Alaih)”.28

Hukum Perkawinan ada 5, yaitu:

1) Wajib, bagi orang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan adalah wajib.

2) Sunat. Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.

3) Haram. Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

4) Makruh. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.

5) Mubah. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan

28


(40)

berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak ada melantarkan isteri.29

2. Prosedur atau Cara Perkawinan

Dalam Islam diatur tata cara tentang prosesi akad nikah yang terdiri dari, syarat pernikahan dan rukun pernikahan yang menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah dan tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam hal ini Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, yakni bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.30

Menurut ulama Syafi’iyah syarat perkawinan itu adakalanya

menyangkut sighat, wali, calon suami istri, dan juga syuhud (saksi). Sedangkan berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada 5 (lima), yaitu: calon suami istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Sedangkan menurut Malikiyah adalah termasuk mahar dan tidak menempatkan saksi sebagai rukun.31

Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara piha yang melangsungkan perkawinan. Oleh karenanya yang menjadi rukun dalam sebuah perkawinan hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh

29

Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakaht, h. 18-20 30

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, h. 63 31

Amir Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/19974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2006) ed. I cet. I, h. 61


(41)

dua belah pihak yang bersangkutan, sedangkan di luar daripada itu seperti kehadiran saksi dan mahar bukan termasuk rukun melainkan sebagai syarat perkawinan.32

Terdapat perbedaan para ulama fiqh dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Perbedaan tersebut wajar karena perbedaan pandangan mengenai perkawinan, sehingga boleh jadi sebagian ulama menentukan sebagian rukun dan sebagiannya lagi menentukan sebagai syarat.

Menurut jumhur ulama rukun perkawinan itu ada 5 (lima), yaitu: a. Calon Suami

b. Calon Istri c. Wali Nikah d. Saksi Nikah e. Ijab Kabul

Selanjutnya adalah mahar yang merupakan syarat sah perkawinan, yaitu pemberian sesuatu dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita baik yang berbentuk barang uang ataupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam di mana status hukumnya adalah wajib. Adapun mengenai jumlahnya tidak ditentukan secara tegas yang hanya didasarkan pada kesepakatan antara keduanya dan tidak bersifat memberatkan.

32

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antar Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 59-60


(42)

Dapat dipahami bahwa mas kawin disebut shaduqat yang berarti shadaqah yang bermakna perasaan jujur dan hati yang suci. Artinya harta diperoleh secara jujur (halal) yang kemudian diberikan kepada calon istri yang didasari oleh keikhlasan. Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT: 33

                        

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)

3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

a. Tujuan Perkawinan

Sebagaimana hukum-hukum yang telah ditetapkan dengan tujuan tertentu sesuai dengan tujuan terbentuknya, demikian pula halnya dengan

syari’at Islam. Mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu pula, diantara tujuan-tujuan tersebut adalah:34

1) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah umat Nabi Muhammad Saw (umat Islam).

Sebagaimana dalam Firman Allah menjelaskan:.

33

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Pt. Sinar Grafika, 2006), cet. I, h. 24

34


(43)

                                      

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah”. (QS. An-Nahl: 72)

2) Untuk menjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT untuk mengerjakannya.

3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami istri, menimbulkan rasa kasih sayang antar orang tua dengan anaknya dan antar seluruh anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan dirasakan pula oleh masyarakat, sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih sayang.

4) Untuk menghormati atau mengikuti sunnah Rasululllah Saw, beliau mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin sebagaimana sabda beliau:

)

( ف

ء غ ف

Artniya: “maka barang siapa yang benci kepada sunnah-ku bukanlah ia termasuk (umatku)”. ( HR. Bukhari dan Muslim).

5) Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas ayah, kakek, dan sebagainya. Semua itu hanya dapat diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang


(44)

bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan mendidik sehingga menjadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan.35

Agar tujuan seseorang dalam melakukan perkawinan terlaksana dengan baik, maka dianjurkan memenuhi beberapa syarat perkawinan, salah satu diantaranya adalah usia menikah, hal tersebut di tetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sedang dalam penetapan BKKBN usia ideal menikah calon suami kurangnya berumur 25 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 20-21.36

b. Hikmah Perkawinan

1) Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Dan kawin adalah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini

“Dari abu Hurairah: pernah Nabi saw bersabda: " Sesungguhnya

perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi dengan rupa setan pula. Jika seseorang diantaramu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklan ia datangi isterinya, agar nafsunya dapat tersalurkan".(HR. Muslim, Abu Daud dan Tarmidzi).

35

Sayid Sabiq, Fiqh SunahTerjemah M. Galib, (Bandung: Al ma’arif, 1994), cet-ke 5, h. 64

36

Sugiri Syarif Kepala BKKBN, Perbincangan dengan detik.com pada hari selasa 12 Mei 2011 di Jakarta


(45)

2) Kawin adalah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Sebagaiaman sabda Rasulullah: "Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa banyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahnya yang banyak di hadapan para Nabi pada hari kiamat nanti".

3) Tumbuhnya naluri kebapaan dan ke-ibuan yang saling melengkapi, tumbuh perasaan cinta, ramah, dan sayang dalam suasana hidup dengan anak-anak.

4) Adanya rasa tanggung jawab yang dapat mendorong ke arah rajin bekerja, bersungguh-sungguh dan mencurahkan perhatian

5) Adanya pembagian tugas istri mengurusi dan mengatur rumah tangga, membimbing dan mendidik anak-anak, sementara si suami bekerja di luar rumah.

6) Dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.37

37 Wasiun Mika,”

Hukum dan Perkawinan Menurut Islam”,

http://www.jadipintar.com/2013/06/Hukum-dan Hikmah-Perkawinan-Menurut-Islam.html, di akses pada 18 Desember 2013


(46)

C. Walimatul ‘Urs

1. Pengertian Walimatul ‘Urs

Walimah berasal dari kata ( ) yang artinya pesta penggantin atau bisa juga disebut sebagai makanan yang disediakan khusus dalam acara perkawinan.38

Walimah arti harfiyahnya ialah berkumpul. Karena pada waktu itu berkumpul suami istri, sedangkan walimah menurut istilah, yaitu khusus tentang makan dalam acara pesta perkawinan.39

Walimatul urs (resepsi pernikahan) adalah hidangan makanan yang disediakan pada hari-hari resepsi pasangan pengantin. Disebut walimah lantaran orang-orang berkumpul pada acara ini. Walimah termasuk perkara yang di syariatkan oleh agama Islam.

Sehingga dalam prakteknya, sering kita dapati orang begitu semangat untuk mengadakan walimah sehingga terkadang sampai melewati batas kewajaran dan mulai memasuki wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuai dengan rambu-rambu syariah.

Perintah walimah dengan makan-makan tentu tidak berarti kita dibenarkan untuk menghambur-hamburkan harta. Sebab orang yang menghambur-hamburkan harta termasuk saudaranya syetan. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT:

38

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet. I, h. 56


(47)

                 

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra: 27)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari-hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw. Anas bin Malik ra berkata:“Nabi Muhammda Saw menikah dengan Shafiyyah ra dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan

walimah tiga hari kemudian”.

Dan apabila mengadakan walimah, maka hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Karena Rasululllah Saw bersabda:

ط

,

,

,

ف ,

ص

ه

Artinya: “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang”. (HR. Al-Bukhari).40

40


(48)

2. Hukum dan Hikmah Walimatul Urs

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah, karena Nabi Muhammad Saw menyuruh Abdurrahman bin Auf agar mengadakan walimatul urs saat menikah, yaitu beliau bersabda kepadanya:41

أ

,

ش

Artinya: ”Adakanlah walimah walaupun dengan seekor domba”. Hikmah dari diadakannya walimatul urs ada enam yaitu:

a. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT

b. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya c. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah

d. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri e. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah

f. Sebagai pengumuman bagi masyarakat bahwasanya antara kedua mempelai telah resmi menjadi suami-istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.42

3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs

Menghhadiri undangan orang yang mengundang dalam acara walimah pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang diundang, karena memenuhi undangan ini menunjukkan adanya perhatian kepada pihak yang mengundang,

41

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’’an dan Sunnah,

(Jakarta: Akbar Media, 2009), h. 234. 42

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 151


(49)

memberikan kegembiraan kepadanya dan membuat hatinya lega. Sebagaimana dasar hukumnya adalah:

Ibnu Umar ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:

ك آ

ف ,

Artinya: “Jika salah seorang diantara kalian diundang ke acara walimah, hendaknya dia memenuhi undangan itu.

Abu Hurairah ra

.

berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:

ه ص ف ,

Artinya: “siapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah menantang Allah rasul-Nya”.

Abu Hurairah ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:

أ , ك

,

Artinya : “Seandainya aku diundang pada hidangan berupa kaki bagian bawah (yanikit dagingnya), niscaya aku memenuhi (undangan itu). Dan seandainya aku diberi hadiah berupa kaki bagian depan, niscaya aku menerima. (HR. Bukhari).

Jika undangan itu bersifat umum dan tidak terbatas pada satu orang atau sejumlah orang saja, maka undangan tidak wajib dipenuhi dan tidak pula dianurkan untuk dipenuhi.

Ada yang berpendapat bahwa memenuhi undangan hukumnya fardhu kifayah. Pendapat lainnya dikatakan, memenuhi undangan walimah hukumnya sunnah. Pendapat pertama lebih tepat, karena penentangan tidak dinyatakan kecuali terkait pengabaian kewajiban. Hal ini berkaitan dengan walimah pernikahan.

Adapun memenuhi undangan selain walimah pernikahan, hukumnya adalah sunnah bukan wajib, menurut mayoritas ulama. Sebagian pengikut


(50)

mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum memenuhi undangan apapun

adalah wajib secara mutlak.43

43


(51)

BAB III

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BILLA

A. Letak Geografis

Nusa Tenggara Timur disebut juga dengan Flobamora, yaitu propinsi yang terdiri dari tiga kepulauan besar, yakni pulau Flores, pulau Sumba dan pulau Timur. Secara astronomis, Nusa Tenggara Timur terletak antara 10°36’14”

-10°39’58” LS dan 123°32’23”–123°37’01”BT.44 Propinsi ini dibatasi oleh laut Flores di sebelah Utara, Negara Timor-Timur atau Timor Leste, Provinsi Maluku dan Laut Banda di sebelah Timur, kemudian di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan di sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.45

Lokasi yang dijadikan objek penelitian oleh penulis adalah desa Billa, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jarak antara lokasi penelitian ke kota kecamatan ± 8 Km, ke Ibu Kota Kabupaten (110) Km dan ke Ibu Kota Provinsi (170) Km. Adapun desa-desa yang berbatasan dengan lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten TTU 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Oe’ekam

44

Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang, Profil Pemerintah Kota

Kupang,http://kupangkota.go.id/?page_id=5132, di akses pada tanggal 17 Januari 2014

45

Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Batas Wilayah

NTT,http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur, di akses pada tanggal 1 April 2014


(52)

3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Fatukopa

4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Abi. Luas areal desa Billa secara keseluruhan adalah ± 174. 532 ha/m2.46

Dari keseluruhan luas areal desa Billa di atas, 45 % wilayahnya merupakan deretan perkebunan dan 25 % lagi wilayahnya merupakan deretan pekarangan dan pegunungan yang terjal dan sungai-sungai yang dalam, yang sulit untuk ditempuh bila menggunakan kendaraan yang beroda dua maupun beroda empat, sejauh ini masyarakat masih menggunakan berjalan di atas kedua belah kaki untuk menempuh jarak tersebut.

Apabila kita melihat kondisi fisik wilayah desa Billa seperti di atas, maka ini akan sangat berpengaruh terhadap proses pembangunan di daerah ini. Pengaruh yang sangat menonjol dari kondisi fisik di atas adalah sulitnya membuat jalan atau jembatan layang yang menghubungkan antara masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari lokasi desa Billa. Jalur transportasi yang menghubungkan antara Rukun-rukun Tetangga (RT/RW) diwilayah desa Billa kecamatan Amanuban Timur ini hanyalah melalui jalan kaki. Hal ini mengakibatkan terisolirnya masyarakat desa dari informasi-informasi pembangunan. Hal ini dapat disaksikan melalui pembangunan rumah-rumah penduduk yang 50 % beratapkan rumput alang-alang dan berdinding pelepah pohon gawang.

46


(53)

Kondisi fisik wilayah desa Billa yang tergolong menantang, tidak saja menghambat jalur transportasi bagi warga desa Billa, tetapi menghambat juga transportasi bagi para aparat pemerintah di tingkat kecamatan dalam mensosialisasikan program kerjanya. Pejabat kantor urusan Agama (KUA) kecamatan Amanuban Timur yang berperan menerbitkan perkawinan umat Islam, ia juga merasa kesulitan dalam menjangkau seluruh wilayah RT/RW di desa Billa Kecamatan Amanuban Timur ini. Berikut adalah kutipan pembicaraannya dengan penulis pada tanggal 18 Februari 2014 di kantornya

”Luas wilayah yang harus dilayani oleh KUA kecamatan Amanuban

Timur ditambah dengan kondisi jalan yang tidak memadai, merupakan hambatan tersendiri dari keterbelakangan pembangunan di wilayah kecamatan Amanuban Timur secara umum dan khususnya adalah wilayah RT Tuble’o desa Billa ini.

Bisa dibayangkan, apabila musim hujan telah tiba maka sungai-sungai akan meluap dan tidak ada orang menyebrang dikarenakan tidak ada jembatan penghubung antara wilayah tersebut. Pejabat yang bertugas di KUA ini tidak saja menertibkan perkawinan umat Islam, tetapi kami selalu dihubungi oleh warga yang beragama Islam bila mereka mendapatkan musibah kematian sanak keluarga atau terkena persoalan yang berhubungan dengan agama. Dan hingga saat ini, kami hanya memiliki beberapa orang sebagai tenaga honor untuk mendampingi petugas kami apabila ada kunjungan kerja ke daerah. Sebab kami sendiri bukan merupakan orang asli daerah ini, maka kehadiran tenaga kerja tersebut sangat


(54)

dibutuhkan sebagai penunjuk daerah yang akan dituju serta batas-batas wilayah

kekuasaan KUA Kecamatan Amanuban Timur ”.47

Dari kutipan hasil pembicaraan di atas, dapat dimengerti bahwa

keterbelakangan warga Tuble’o desa Billa diakibatkan oleh tidak adanya interaksi

antara warga masyarakat perkotaan dengan warga di pedesaan atau RT/RW setempat.

Untuk mengetahui hasil pembangunan di wilayah desa Billa, maka dapat dilihat melalui tabel berikut yang menampilkan tentang penggunaan tanah pada wilayah desa Billa.

Tabel I

Desa Billa Menurut Penggunaan Tanah

No Jenis Penggunaan Tanah Luas Tasnah (Ha)

1 Pekarangan dan pegunungan 25. 440 ha/m2

2 Perkebunan 31. 800 ha/m2

3 Pemukiman 1. 272 ha/m2

4 Sawah 113 ha/m2

5 Perkantoran 1. 30 ha/m2

6 Kuburan 1 ha/m2

7 Luas prsarana umum Lainnya 2 ha/m2

Total Luas 174. 532 ha/m2

Sumber : Data Monografi desa Billa keadaan Februari 2014

Pembagian daerah secara administratif desa Billa terbagi 4 Dusun, 9 Rukun Warga dan 22 Rukun Tetangga yang rinciannya seperti yang tertera dalam tabel berikut

47

Wawancara penulis dengan M. Akhyar Liunokas sebagai staf KUA kecamatan Amanuban Timur pada tanggal 18 Februari 2014


(55)

Tabel II

Wilayah Desa Billa menurut Pembagian Dusun

No Nama Dusun Jumlah RW Jumlah RT

1 Dusun A 2 7

2 Dusun B 2 5

3 Dusun C 3 5

4 Dusun D 2 5

Sumber: Data Monografi desa Billa keadaan Februari 2014

B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

Apabila dilihat ke belakang, yakni dari peta pemanfaatan tanah di wilayah desa Billa maka dapat diambil kesimpulan, bahwa mayoritas masyarakatnya berpencaharian bertani dan beternak. Masyarakat desa Billa sepenuhnya bergantungkan kelangsungan hidupnya dari hasil bercocok tanam dan mengembala binatang ternak yang dilepas bebas berkeliaran di hutan kecil sedangkan masih ada juga sebagaian masyarakat yang melepaskan binatang ternaknya di lingkungan halaman rumahnya, ini disebabkan karena masih banyak halam rumahnya yang masih luas.48

Nusa Tenggara Timur secara umum merupakan salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang curah hujannya per tahun tergolong kurang baik, sementara kelangsungan hidup masyarakat tergantung pada hasil pertanian, persawahan dan peternakan, bila tidak diantisipasi secara dini oleh

48

Wawancara penulis dengan Yusuf Nenohai, Masyarakat desa Billa pada tanggal 18 Februari 2014


(56)

pemerintah dan warga masyarakat setempat melalui usaha alih tekhnologi pangan maka tidak heran jika wilayah ini akan menjadi langganan rawan pangan tiap tahunnya.

Untuk merintis usaha tersebut di atas, pemerintah sebagai penguasa wilayah harus bekerja sama dengan parah tokoh masyarakat untuk bersama-sama membina pola pikir masyarakat, artinya dalam hal ini pemerintah membangun wilayah kekuasaan bila tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat, maka pemerintah jangan terlalu banyak berharap untuk diikuti oleh warga. Sebab sampai saat ini ketaatan warga masih kepada tokoh adat lebih besar ketimbang pemerintah.

Persiapan warga desa Billa dalam menyongsong musim kemarau yang panjang dan sering terjadi kerawanan pangan di wilayah ini, warga dalam berkebun mempersiapkan 4-6 lahan kebun atau sawah. Semua lahan perkebunan tersebut, ditanaminya dengan jagung atau padi.

Jika lahan tersebut merupakan lahan perkebunan maka di pinggir-pinggirnya selalu ditanami dengan tanaman berumur panjang, seperti pisang, tebu, ubi kayu, pepaya, mangga, jeruk, kelapa dll.

Hasil-hasil dari kebun-kebun tersebut yang berupa jagung akan dikemas dan dikumpulkan pada satu tempat yang bernama umek bubu (rumah bulat berpanggung), yang berfungsi sebagai lambang pertahanan pangan keluarga. Sedangkan padi atau beras yang hasil dari sawah tersebut biasanya di pisahkan dengan jagung-jagung hasil lahan kebun dan biasanya di simpan di ume noe


(57)

(rumah besar atau rumah tempat tinggal sehari-hari). Jika hasil panen tersebut sudah dikumpulkan, maka akan diutus seorang keluarga untuk menjemput

ana’smanaf (pimpinan Agama) agar mengadakan tasyakuran sebelum hasil panen tersebut dinaikan ke atas umek bubu (rumah bulat berpanggung). Setelah dinaikan, maka tidak sembarangan orang naik ke panggung tersebut, yang boleh naik ke umek bubu (rumah bulat berpanggung) hanyalah ibu dari pengurus rumah tangga tersebut. Ia akan mengambil untuk kebutuhan keluarga sekaligus mengontrolnya agar persiapan mereka akan memenuhi kebutuhan hingga musim panen tahun berikutnya, bila menurut penglihatan sang ibu bahwa persiapan atau persediaan pangan sudah menipis, maka ia akan segera cepat meminta bantuan kepada suami untuk melihatnya.

Dari hasil pengamatan suami inilah mereka akan memutuskan bersama tentang usaha penanggulangan kekurangan, sambil menghemat dalam menggunakan yang masih tersisa.49

Wilayah desa Billa yang dikenal dengan daerah pertanian, apabila warga sudah memanen kebunnya maka jarang sekali warga yang menjual hasil panennya. Transaksi dengan uang jarang sekali terjadi di daerah ini. Oleh sebab itu, uang yang beredar dalam masyarakat juga sangat sedikit.

Beranjak dari kenyataan di masyarakat, penulis melihat bahwa faktor pendapatan masyarakat desa Billa turut berpengaruh terhadap kelancaran

49

Wawancara penulis dengan Kahar Benu. Masyarakat desa Billa pada tanggal 18 Februari 2014


(58)

operasionalisasi lembaga pemerintah setempat. Apabila faktor sosial ekonomi masyarakat diabaikan dengan hanya melihat pada aspek formalitas dan legalitas, maka pembangunan yang akan terwujud adalah pembanguna yang statis bukan pembangunan yang dinamis yang melibatkan masyarakat.

Untuk mengetahui komposisi penduduk desa Billa berdasarkan mata pencaharian, maka dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel III

Komposisi Penduduk Desa Billa Menurut Mata Pencaharian Pokok

No Mata Pencaharia Jumlah

1 Petani 579

2 Buruh Tani -

3 Pegawai Negeri (PNS) 10

4 Pegawai Swasta -

5 Pedagang -

6 Peternak -

7 Pertukangan -

Jumlah 589

Sumber: Data monografi desa Billa keadaan Februari 2014.

Desa Billa sebagai suatu wilayah yang sedang berkembang, seperti pada umumnya wilayah-wilayah lain di Indonesia yang sedang berkembang, namun

adat istiadat seperti yang diketahui sebagai ”way ol life”, yaitu cara kehidupan masyarakat yang merupakan hasil dari kekuatan atau yang diletakan orang tanpa disadari dan cara hidup itu sebagai cara intensif yang berkembang dari pengalaman untuk mencapai suatu bentuk berakhir daripada penyesuaian


(59)

maksimal ke arah kepentingan yang diwariskan oleh tradisi tanpa adanya perubahan yang rasional.

Sistem berpikir tradisional itu sangat terikat oleh pola-pola tertentu, sehingga masyarakat desa Billa terkadang sukar menerima ide-ide baru yang lebih berguna bagi masyarakat modern. Sistem berpikir ini statis irasional, sehingga sikap mental masyarakatnya tertutup untuk bergerak dan berkembang, karena mereka masih tetap dan memegang sistem budaya lama yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian konsep-konsep abstrak yang ada pada sebagian masyarakat desa Billa atau yang dikenal dengan masyarakat Atoni, mengenai apa yang baik dan mana yang buruk, mana yang penting dan mana yang bersifat remeh. Sikap budaya lama inilah yang menyebabkan sikap mental masyarakat tertutup dan pasif.

C. Kondisi Pendidikan

Pembangunan sektor pendidikan merupakan pembangunan yang sangat vital dan mendesak untuk diwujudkan, sebab melalui sektor ini akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki kemampuan profesional, yang diharapkan sebagai pelopor pembangunan kultur pelayanan terhadap masyarakat.

Hingga saat ini, perhatian masyarakat desa Billa terhadap pentingnya peningkatan ilmu pendidikan dirasakan sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari pengadaan sarana dan prasarana. Sarana pendidikan yang tersedia di wilayah desa


(60)

Billa barulah sebatas Pendidikan Dasar, Taman Kanak-kanak dan Sekolah Menegah Terbuka dari luas wilayah yang ada.

Warga masyarakat bersama dengan aparat pemerintah, berusaha untuk mendirikanenam buah sarana pendidikan diantaranya adalah 3 buah TK, 2 buah sekolah Dasar dan 1 buah Sekolah Menengah Terbuka (SMP terbuka).Dari enam lembaga pendidikan tersebut di atas, diantaranya salah satu yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu SD Inpres Billa sedangkan lembaga pendidikan lainnya merupakan lembaga pendidikan swasta.50

Angkatan sekolah di daerah desa Billa sangat kecil padahal anak usia sekolah banyak sekali, tetapi karena kesadaran warga terhadap pendidikan tidak ada, maka kenyataan seperti di atas, dibiarkan berlanjut. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri bagi pemerintah dalam memberantas buta aksara, warga lebih cenderung mendidik putra-putrinya untuk mewarisi tata cara hidup mereka.

Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya di lembaga pendidikan formal relatif lebih kecil, karena mereka lebih memilih untuk mendidik putra-putrinya pada lembaga adat agar bisa mengetahui tentang tata cara upacara adat istiadat.51

50

Ishak Nitiono, S. Sos, Profil Desa Billa, 2014 51

Wawancara penulis dengan Wabang, Guru Pendidikan Agama Islam di SD Inpres Billa pada tanggal 1 Februari 2014


(61)

Pendidikan non-formal adalah pendidikan TPQ yang dilaksanakan setiap hari, setelah magrib sampai setelah Isya di masjid Al-ikhlas Billa, dan pendidikan non-formal selalu di bombing oleh ustat danorang tua itu sendiri

Selain itu juga ada pendidikan non-formal Adat yang diberikan oleh para tokoh adat adalah tidak lain agar kelak putra-putri mereka dapat mengetahui tentang asal-usul masing-masing. Sehingga di dalam bertindak diharapkan tidak salah kaprah. Masyarakat desa Billa akan merasa terhina bila terdapat putra-putrinya tidak mengenal adat istiadatnya.

Oleh sebab itu, bagi mereka yang sudah tidak mengenal terhadap asal-usul klennya merupakan suatu pengkhianatan terhadap leluhurnya, dan ia bersama dengan keturunannya akan mendapatkan laknat dari ruh-ruh nenek moyang berupa gangguan makhluk halus sepanjang hidupnya sampai nyawa mereaka direnggrut.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh seorang ketua adat di desa tersebut yang oleh warga, beliau sebagai pusat informasi adat istiadat tentang asal-usul tiap klen yang mendiami desa Billa. Berikut adalah kutipan hasil percakapannya dengan penulis pada tanggal 2 Maret 2014.

“Hai atone metomaaiskam inaskolantia bale me inahinmanlali’nakaf man

lail ana aplenat mais in kanahinaf uab adat in maskan beteaf hanekfa la uabadat

la’na, mais maiskam hai anah kanaskol ai kanekfa plenat mais inahin uab adat masan betem in esnek la uab adat natuin uab adat la’na maupa ma kaul ta uabat

sanat naopabkit”. Artinya:

“Kami masyarakat suku Atoni bagi anak kami sekolah sampai di manapundan ia sebagai seorang pejabat pemerintah, namun ia tidak mengerti tentang adat, maka ia tidak akan dipilih menjadi pemimpin (Natoni adat)


(62)

tersebut, tetapi apabila anak kami tidak sekolah atau tidak sebgai pejabat pemerintah namun ia mengerti tentang adat maka ia akan dipilih sebagai pemimpin (jubir adat) karna adat itu sangat penting sebab jika salah maka akan

dikenakan hukuman atau denda”.52

Dari kutipan pembicaraan tokoh adat masyarakat desa Billa di atas, dapat dipahami bahwa kemajuan ilmu pendidikan dan tekhnologi yang telah dicapai oleh pakar-pakar ilmuwan dunia, ternyata tidak mampu untuk memalingkan masyarakat suku Atoni dari kebiasaan yang telah lama mereka warisi dari leluhurnya. Dan ini juga merupakan penyebab tersendiri keterbelakangan pembangunan pendidikan di wilayah desa Billa. Untuk mengetahui komposisi pendududk desa Billa berdasarkan tingkat pendidikan maka lihat pada tabel berikut ini:

Tabel IV

Komposisi Penduduk Desa Billa Berdasarkan Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Belum sekolah 145

2 Tidak tamat SD/Buta aksara 704

3 Tamat SD/sederajat 827

4 Tamat SMP/sederajat 82

5 Tamat SMA/sederajat 59

6 Tamat Perguruan Tinggi 8

Jumlah 1.825

Sumber : Data monografi desa Billa keadaan Februari 2014

52

Wawancara penulis dengan Tokoh Masyarakat, Karim Nitiono pada tanggal 29 Februari 2014


(1)

(2)

Wawancara Kuesioner Penelitian Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT) Nara sumber : Ustat Alimin Banfatin

Jabatan : Mantan Imam Masjid Al-Ikhlas Billa Pewawancara : Abiyati Atnan Nitiono

Hari/tanggal : 22 Maret 2014

Pertanyaan : Bagaimana menurut pandangan anda tentang proses pelaksanaan perkawinan di Desa Billla?

Jawaban : Karena sebagian besar tidak semua proses pelaksanaan perkawinan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Pertanyaan : Langkah pra nikah apa sajakah yang diketahui dan yang

terdapat pada adat masyarakat Islam Suku Atoni?

Jawaban : 1. yang saya ketahui masyarakat Islam suku adat Atoni melakukan pra nikah dengan cara kedua calon pengantin saling memberikan tanda mata yang berbentuk barang, misalnya si calon laki-laki memberikan barang logam atau uang, kemudian sebaliknya calon mempelai membalas pemberian laki-laki dengan selendang tenunan khas suku adat atoni yang mana barng tersebut harus dibuat oleh perempuan tersebut. menandakan bahwa kedua calon telah bertungan.

2. Si laki-laki beserta keluarganya mendatangi keluarga perempuan dengan tujuan membocorkan tanda pemberian surat


(3)

Pertanyaan : Mengapa tradisi proses pelaksanaan perkawinan suku adat Atoni sampai saat ini masih dilestarikan, bagaimana tangggapan bapak mengenai hal tersebut?

Jawaban : Karena tradisi perkawininan di suku adat Atoni merupakan salah satu tradisi yang tidak bisa dirubah atau dihapus karena tradisi ini sudah menjadi suatu kebiasan dari nenek moyang mereka.

Pertanyaan : Langkah Apa saja yang harus dipersiapkan oleh calon pengantin ketika harus menikah?

Jawaban : 1. Laki-laki harus mempersiapkan perlengkapan pakian adat untuk wanita

2. Perempuan harus menyediakan pakain adat suku adat Atoni yang terbuat dari hasil tenunan perempuan tersebu.

3. Kedua belah pihak sama-sama menanggung Konsumsi atau makan minum untuk para undangan.

Mengetahui


(4)

Wawancara Kuesioner Penelitian Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT)

Hasil wawancara dengan saudara

Nama : Taslimin Nitiono

Jabatan : Kepala Suku adat Atoni desa Billa Pewawancara : Abiyati Atnan Nitiono

Hari/tanggal : 22 Maret 2014

Pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan perkawinan?

Jawaban : perkawinan adalah untuk mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk hidup bersama dalam satu rumpun atau satu atap dan menghasilkan keturunan-keturunan yang baik.

Pertanyaan : Kenapa masyarakat Atoni dalam melaksanakan Proses Perkawinan, harus menggunakan Tua, None sebagai pengantar pengabsahan perkawinan?

Jawaban : Karena Tua dan None merupakan syarat awal untuk memulai mengutarakan maksud dan tujuan dalam melakukan perkawinan, selain itu tua dan none juga merupakan simbol kebersamaan.


(5)

Jawab : Menurut saya cocok karena kami masyarakat Atoni masih percaya kepada roh-roh nenek moyang kami.

Pertanyaan : Apabila calon mempelai laki-laki tidak memenuhi persyaratan dalam prosesi pernikahan adat suku Atoni, apakah pernikahan menjadi batal atau tidak sah menurut adat

Jawaban : Tidak, tapi akan ditunda hari pernikahan tersebut sampai semua persyarat lengkap dan terkumpul

Mengetahui


(6)