Hubungan antara Psychological Capital dengan Work Engagement pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo

(1)

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN

WORK ENGAGEMENT PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL DINAS

PENDIDIKAN KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

NANA MAWARITA SURBAKTI

091301016

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN WORK

ENGAGEMENT PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN KARO

Dipersiapkan dan disusun oleh:

NANA MAWARITA SURBAKTI 091301016

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 9 Januari 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Vivi Gusrini R Pohan, MA, Psikolog Penguji I/Pembimbing NIP. 197808162003122002

2. Ferry Novliadi, M.Si Penguji II

NIP. 197411112006041001

3. Siti Zahreni, M.Psi, Psikolog Penguji III NIP. 198201282005022001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Hubungan antara Psychological Capital dengan Work Engagement pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2014


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan psychological capital dengan work engagement pada pegawai negeri sipil. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Karo yang berjumlah 127 orang. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala psychological capital (rxx’ = 0,943) dan skala work engagement (rxx’ = 0,901).

Metode penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dan merupakan penelitian populasi. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara psychological capital dengan work engagement dengan nilai F=138,752, sig=0,000. Hubungan psychological capital memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,734 menunjukkan bahwa ada hubungan positif dengan work engagement. Hubungan ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi psychological capital maka akan semakin tinggi tingkat work engagement pada pegawai. Serta psychological capital memberikan kontribusi sebesar 53,9% terhadap work engagement pada pegawai.


(5)

ABSTRACT

This research was aimed to examine the correlation of psychological capital with work engagement among employees. Data were gathered from 127 civil servant workers in Dinas Pendidikan Kabupaten Karo’s office. The data were collected by using psychological capital scales (rxx’ = 0,943) and work engagement scales (rxx’= 0,901).

The research method is quantitative correlation and this is a population research. The statistical analysis result showed there was a positive significant correlation between psychological capital and work engagement with F=138,752, sig=0,000. The result of psychological capital on work engagement has a correlation coefficients value=0,734, shows that there is a positive correlation to work engagement. The correlation indicated that high psychological capital will be followed by the high level work engagement among employees. Psychological capital give 53,9% contribution to work engagement among employees.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan terima kasih saya panjatkan ke hadirat Allah SWT oleh karena rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara serta meraih gelar Strata 1 (S1).

Keberhasilan penulisan skripsi ini dapat terwujud tidak hanya hasil kerja keras saya sendiri namun juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini dan juga selama menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi yang telah memberikan dukungan yang terbaik untuk kesuksesan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Vivi Gusrini R. Pohan, M.A., M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktunya untuk membimbing saya serta memberikan kritik dan juga saran yang membangun bagi penyelesaian skripsi saya ini. 3. Ibu Aprilia Fajar Pertiwi, M.Si, Psikolog., selaku dosen pembimbing

akademik (PA) yang memberikan dukungan dan semangat pada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Pak Ferry Novliadi, M.Si dan Kak Siti Zahreni, M.Psi, Psikolog selaku dosen penguji yang sudah sangat teliti dalam mengkoreksi hasil penelitian


(7)

saya. Terima kasih telah memberi saran-saran yang sangat membangun serta untuk kesempurnaan hasil penelitian saya.

5. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Psikologi yang tidak mungkin saya sebutkan namanya satu per satu, Anda sekalian telah memberikan segala hal yang terbaik bagi saya. Terima kasih telah memberikan ilmu yang bermanfaat untuk saya.

6. Kepada kedua orangtua saya, Bastanta Soerbakti dan Betty Elisabet br Ginting yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada saya. Kalian selalu mendoakan yang terbaik untuk saya. I love you.

7. Untuk nenek tercinta, terima kasih untuk kasih sayang, dukungan dan doa yang telah nenek berikan. I love you very much.

8. Kepada abang saya yang paling baik di dunia, Kennedy Tambunan, terima kasih sebesar-besarnya saya ucapkan atas bantuannya kepada saya dalam menyebarkan skala penelitian, mendukung dan memotivasi saya ketika saya mengalami kesulitan dalam pengerjaan skripsi ini. You are the best brother. 9. Ibu Riawati br Karo-karo selaku Kepala Sub Bagian Kepegawaian, terima

kasih telah memberikan saya izin untuk melakukan penelitian di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Karo serta Anda sangat welcome terhadap saya. You are a beautiful lady.

10.Untuk Dedy Firmadoni yang selalu ada dan menemani saya dalam proses penyelesaian skripsi ini dari awal hingga akhir, terima kasih untuk segala hal yang telah doni lakukan selama ini, semua bantuanmu sangat berarti.


(8)

11.D’Nu Zar (Dita, Inu & Zahra), you three are my best friend, terima kasih atas bantuannya selama ini, terima kasih atas kerja sama dan terima kasih atas nasehat-nasehat, kritikan serta saran-saran yang kalian berikan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

12.Mimi, Rani, & Vina teman-teman seperjuangan ku, terima kasih atas diskusi yang kita lakukan selama pengerjaan skripsi ini, terima kasih untuk pertemanan kita yang saling mendukung, membantu, dan menasehati.

13.Teman-teman angkatan 2009, kita telah melalui empat tahun ini besama-sama, terima kasih untuk kebersamaannya dan untuk setiap momen yang berkesan yang akan selalu saya ingat.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, dikarenakan keterbatasan yang ada, namun sumbangan pemikiran yang peneliti sampaikan mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Januari 2014


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...……i

KATA PENGANTAR………...………….…..iii

DAFTAR ISI………..…………..….vi

DAFTAR TABEL………..……xi

DAFTAR GAMBAR……….…………..xiii

DAFTAR LAMPIRAN………xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….…….…...1

B. Rumusan Masalah………10

C. Tujuan Penelitian……….10

D. Manfaat Penelitian……….…….10

1. Manfaat Teoritis………...…………...…….10

2. Manfaat Praktis………...……...…...11

E. Sistematika Penulisan……….11

BAB II : LANDASAN TEORI A. Work Engagement………..……….…...…14

1. Definisi Work Engagement ………..………...….14

2. Aspek-Aspek Work Engagement ……….…...……...16


(10)

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work Engagement…………..18

B. Psychological Capital………...21

1. Definisi Psychological Capital……….…...21

2. Aspek-Aspek Psychological Capital………...………22

C. Pegawai Negeri Sipil………26

D. Hubungan antara Psychological Capital dengan Work Engagement pada PNS………..25

E. Hipotesis………..………..…..33

BAB III: METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel………....……….……..…35

B. Definisi Operasional Variabel……….……….………...35

1. Work Engagement……….……….….…...35

2. Psychological Capital……….………...36

C. Populasi Penelitian…………..………….…………...36

D. Metode Pengumpulan Data………..…..37

1. Skala Work Engagement……….……….…..38

2. Skala Psychological Capital………..39

E. Uji Coba Alat Ukur……….…40

1. Validitas Alat Ukur……….41

2. Uji Daya Beda Aitem………...…….……….42


(11)

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur………..……43

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian………..……..46

1. Tahap Persiapan Penelitian……….…………..47

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian……….…...……..47

3. Tahap Pengolahan Data……….……....…..47

H. Metode Analisis Data……….……..…..48

1. Uji Normalitas……….…...………....…48

2. Uji Linieritas……….……….………....…49

BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian………...50

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia………...…...52

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja………51

3. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin…….………...53

4. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku Bangsa………..…...53

B. Hasil Penelitian………....54

1. Hasil Uji Asumsi……….55

2. Hasil Utama Penelitian………...…...57


(12)

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………67

B. Saran………...68

1. Saran Metodologis……….……….68

2. Saran Praktis……...………..…...69

DAFTAR PUSTAKA………...……….……70 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Work Engagement Sebelum Uji Coba………..37

Tabel 2. Blue Print Skala Psychological Capital Sebelum Uji Coba………….38

Tabel 3. Distribusi aitem work engagement setelah uji coba………...42

Tabel 4. Distribusi aitem psychological capital setelah uji coba……… ..44

Tabel 5. Gambaran subjek berdasarkan masa kerja………..49

Tabel 6. Gambaran subjek berdasarkan usia………50

Tabel 7. Gambaran Subjek Berdasarkan jenis kelamin………...51

Tabel 8. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku Bangsa………..52

Tabel 9. Hasil uji Normalitas………..……...………...…53

Tabel 10 Hasil Uji Linearitas………..………54

Tabel 11. Hasil pengujian hipotesis……….……….55

Tabel 12. Nilai Empirik dan Hipotetik Psychological Capital………56

Tabel 13 Kategorisasi Psychological Capital…………….………....…57

Tabel 14. Nilai Empirik dan HIpotetik Work engagement ……….58


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Uji Validitas Isi

Lampiran B. Skala Uji Coba

Lampiran C. Uji Daya Beda dan Reliabilitas Aitem Lampiran D. Skala Penelitian

Lampiran E. Hasil Olah Data Penelitian Lampiran F. Data Demografik


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan psychological capital dengan work engagement pada pegawai negeri sipil. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Karo yang berjumlah 127 orang. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala psychological capital (rxx’ = 0,943) dan skala work engagement (rxx’ = 0,901).

Metode penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dan merupakan penelitian populasi. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara psychological capital dengan work engagement dengan nilai F=138,752, sig=0,000. Hubungan psychological capital memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,734 menunjukkan bahwa ada hubungan positif dengan work engagement. Hubungan ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi psychological capital maka akan semakin tinggi tingkat work engagement pada pegawai. Serta psychological capital memberikan kontribusi sebesar 53,9% terhadap work engagement pada pegawai.


(16)

ABSTRACT

This research was aimed to examine the correlation of psychological capital with work engagement among employees. Data were gathered from 127 civil servant workers in Dinas Pendidikan Kabupaten Karo’s office. The data were collected by using psychological capital scales (rxx’ = 0,943) and work engagement scales (rxx’= 0,901).

The research method is quantitative correlation and this is a population research. The statistical analysis result showed there was a positive significant correlation between psychological capital and work engagement with F=138,752, sig=0,000. The result of psychological capital on work engagement has a correlation coefficients value=0,734, shows that there is a positive correlation to work engagement. The correlation indicated that high psychological capital will be followed by the high level work engagement among employees. Psychological capital give 53,9% contribution to work engagement among employees.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap organisasi berupaya menciptakan keunggulan-keunggulan kompetitif dimana keunggulan yang dimiliki suatu organisasi diharapkan mampu menjamin kelangsungan hidup organisasi. Bila suatu organisasi tidak segera menonjolkan keunggulan yang dimiliki maka akan sangat sulit bagi perusahaan itu sendiri untuk mengikuti perkembangan dan memenangkan persaingan bisnis (Sukendar, 2004).

Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja karyawannya. Pernyataan ini dirumuskan oleh Randall (1991) bahwa kerja yang dilakukan karyawan merupakan suatu investasi. Hal ini disebabkan karyawan dituntut memberikan waktu, tenaga, dan usahanya untuk memperoleh apa yang mereka inginkan, misalnya keuntungan ekonomi, followship, dan juga status sosial.

Dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, perusahaan haruslah mempunyai keunggulan kompetitif yang baik. Wijono (2005) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor sumber daya organisasi yang bisa digunakan dalam pencapaian keunggulan kompetitif, yaitu, sumber daya fisik, sumber daya organisasi dan juga sumber daya manusia.


(18)

Untuk dapat memenangkan persaingan bisnis, sumber daya manusia sebagai salah satu elemen utama dari organisasi merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Elemen sumber daya manusia sangat berperan dalam mencapai tujuan organisasi. Sumber daya manusia tidak saja membantu organisasi dalam mencapai tujuannya tetapi juga membantu menentukan tujuan yang benar-benar dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia. Organisasi yang memiliki sumber daya manusia yang baik akan menjadikan organisasi mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cusway, 2002). Mengingat pentingnya sumber daya manusia tersebut, maka suatu organisasi sangat disarankan agar menaruh perhatian yang cukup besar terhadap sumber daya manusia tanpa mengabaikan sumber daya yang lainnya (Ivancevich & Matterson, 2002).

Keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan fungsinya adalah tergantung pada kualitas sumber daya manusia yang ada didalamnya (Luthans, 2005). Karyawan sebagai sumber daya manusia memiliki peran yang sangat dominan dalam organisasi karena karyawan merupakan penggerak utama dalam suatu organisasi sehingga pengelolaan sumber daya manusia sebagai faktor penentu keberhasilan sangat diperlukan (Widarsono, 2004). Menurut Azwar Abubakar selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN dan RB) sumber daya manusia di Indonesia secara umum masih dinilai berkualitas rendah, terutama yang bekerja pada instansi pemerintah atau biasa dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) (jpnn.com, 2012). Hal ini diperkuat oleh hasil survei yang


(19)

dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy pada tahun 2013, dimana kinerja PNS yang berada di Indonesia menempati urutan yang terburuk se-Asia setelah India (asiarisk.com, 2013).

Fenomena yang sering diberitakan di media cetak maupun elektronik yaitu banyaknya PNS yang tidak berkualitas terlihat dari banyaknya PNS yang kurang memiliki kemauan sendiri untuk bekerja dengan baik. Para PNS tersebut tidak mengerjakan tugas yang seharusnya menjadi kewajiban mereka dengan baik dan sungguh-sungguh. Begitu juga dengan tindakan-tindakan tidak disiplin yang masih sering dilakukan oleh PNS seperti datang terlambat, pulang cepat (tidak sesuai dengan jam kerja) dan tidak masuk kerja (harianterbit.com, 2012).

Fenomena di atas tidak dapat dijadikan dasar bahwa seluruh PNS di Indonesia memiliki kinerja yang buruk karena ada juga PNS yang memiliki semangat kerja yang baik, menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, dan engaged dengan pekerjaannya. Pernyataan ini didukung oleh Budiyanto (2010), dimana dengan disediakannya berbagai fasilitas guna mendukung kesejahteraan PNS oleh pemerintah, maka wajar bagi PNS untuk memberikan kinerja terbaik yang dimilikinya demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Berbagai jaminan yang diberikan bagi PNS, seperti jaminan kesehatan, jaminan hari tua (pensiun), cuti dan berbagai tunjangan lainnya yang kemudian menjadi faktor penyemangat bagi PNS untuk kemudian melakukan pekerjaan dengan maksimal.


(20)

PNS sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat berkewajiban untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik dan juga harus memiliki kegigihan dalam bekerja serta taat terhadap aturan yang berlaku sehingga PNS dapat memberikan contoh yang baik bagi masyarakat serta dapat mewujudkan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya, seperti yang dituangkan dalam Pasal 26 UU No. 8/1974 mengenai sumpah janji yang diucapkan PNS ketika akan dilantik (bkd.balikpapan.go.id, 2011).

PNS merupakan salah satu organ penting bagi keberlangsungan suatu Negara karena fungsinya sebagai abdi Negara dan masyarakat (Budiyanto, 2010). PNS adalah peletak dasar pelaksana system pemerintahan, seperti yang dikemukakan oleh Poerwotosoediro (1998), bahwa keberadaan PNS pada hakekatnya adalah sebagai tulang punggung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional dimana PNS memegang peranan yang penting dalam menjaga kelancaran pembangunan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita nasional, yaitu masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Nawawi (2000) yang menyatakan bahwa PNS adalah mereka yang telah memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang, serta diserahi tugas dalam jabatan negeri. Dalam menjalankan tugasnya ini, pemerintah sangat membutuhkan karyawan yang proaktif, berinisiatif tinggi, bertanggung jawab, dan memiliki komitmen terhadap pekerjaannya.


(21)

Salah satu instansial pemerintah yaitu Dinas Pendidikan Kabupaten Karo, dalam rangka menciptakan pelayanan dan kinerja yang maksimal dalam upaya meningkatkan dan memajukan pendidikan di Kabupaten Karo pada prinsipnya berpijak pada tiga hal yaitu perlindungan kepada masyarakat dalam hal ini siswa, orang tua dan sekolah, kemudian berupaya menciptakan kepemerintahan yang akuntabel dan transparan serta system kerja yang bertanggung jawab, maka mereka menempatkan sumber daya manusia sebagai tumpuan utama untuk selalu ditumbuhkembangkan (dispenkabkaro.go.id, 2013). Upaya yang dilakukan dalam menumbuhkembangkan sumber daya manusia yang ada didalamnya dilakukan dengan menerapkan system kerja yang disiplin, dimana pegawai negeri sipil yang ketahuan melakukan tindakan tidak disiplin seperti bolos kerja, berkeliaran ditempat-tempat yang tidak semestinya disaat jam kerja, datang terlambat dan pulang lebih awal tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, dan tidak hadir saat apel pagi akan dikenakan sanksi yang cukup berat bagi pegawai negeri sipil dinas pendidikan Kabupaten Karo. Dan sebaliknya, bagi PNS yang dalam sebulan melakukan pekerjaan dengan baik, memiliki performa yang baik serta tidak tercatat melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang ada akan diberikan penghargaan. Hal ini diharapkan mampu membuat PNS yang ada di dalamnya menjadi lebih disiplin, dan memberikan performa terbaik mereka dalam bekerja.

Muncul pandangan bahwa hubungan antara kondisi psikologis pegawai dengan pekerjaannya memegang peranan yang sangat penting (Bakker, 2006). Suatu


(22)

organisasi tidak lagi hanya mencari calon pegawai yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, namun juga mencari calon pegawai yang mampu menginvestasikan diri sendiri untuk terlibat secara penuh dalam pekerjaan, proaktif, dan memiliki komitmen tinggi terhadap standar kualitas kinerja (Bakker, Schaufeli & Leiter, 2006). Organisasi juga membutuhkan pegawai yang bisa engaged dengan pekerjaannya (Bakker Schaufeli & Leiter, 2006). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wagner & Harter (2011) yang menyatakan bahwa karyawan yang engaged dan bertalenta merupakan sumber daya terbesar bagi organisasi. Karyawan yang engaged adalah karyawan yang memaknai serta berkontribusi terhadap pekerjaannya dan mengerjakan pekerjaan dengan mencurahkan segenap energi fisik, kognitif, dan emosi (Kahn, 1990; Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008).

Work engagement merupakan topik penting yang paling banyak dibicarakan diantara perusahaan konsultan dan media bisnis terkenal (Saks, 2006). Dalam literatur akademis, dikatakan bahwa engagement berhubungan dengan gagasan lain dalam perilaku organisasi (Saks, 2006). Gagasan dalam perilaku organisasi tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu sama-sama berbicara tentang hubungan karyawan dengan perusahaan.

Bakker, Schaufeli & Leiter (2006) menyatakan bahwa work engagement merupakan aspek yang meliputi emosi positif, keterlibatan penuh dalam melakukan pekerjaan dan dikarakteristikkan dalam tiga dimensi utama yaitu semangat (vigor), dedikasi (dedication), serta penyerapan terhadap pekerjaan (absorption). Work


(23)

engagement merupakan salah satu konstruk yang dimasukkan dalam konteks psikologi positif. Dimasukkannya work engagement ke dalam dimensi positif karena konstruk tersebut menekankan pada kesejahteraan seorang karyawan (Schaufeli & Bakker, 2004). Karyawan yang memiliki tingkat work engagement yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, hal ini karena karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker, Schaufeli & Leiter 2006).

Karyawan yang engaged secara emosional akan mendedikasikan dirinya kepada organisasi dan secara penuh berpartisipasi di dalam pekerjaannya dengan antusias yang besar untuk kesuksesan dirinya dan atasan mereka (Markos & Sridevi, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia hanya sekitar 30 % dari karyawan yang engaged secara aktif dengan sisa 70 % lainnya menyibukkan diri namun tidak memberikan kontribusi yang cukup, baik secara individual maupun kolektif (Amol, 2010). Menurut Gallup Organization (dalam Kular dkk, 2008), Work engagement Index (WEI) memiliki implikasi yang signifikan terhadap kepuasan pelanggan, pertumbuhan yang berkelanjutan, kenaikan keuntungan, kenaikan nilai saham, produktivitas dan retensi karyawan.

Penelitian yang dilakukan oleh Blau & Boal (1987) menunjukkan bahwa work engagement berperan dalam meningkatan omitmen organisasi dan kinerja karyawan. Berdasarkan hasil penelitian, tergapat beberapa dampak positif dari work engagement terhadap kinerja bisnis, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Corporate Leadership Council menemukan bahwa work engagement memberikan kontribusi


(24)

sebesar 40% dalam meningkatkan kinerja karyawan. Sementara itu komitmen organisasi memberikan kontribusi sebesar 57% dimana karyawan dengan komitmen tinggi akan berusaha 57% lebih keras dalam menyelesaikan pekerjaannya. Ditemukan juga bahwa 80% karyawan dengan work engagement yang tinggi akan memberikan performa terbaik mereka ketika bekerja dan 87% karyawan memiliki kemungkinan yang kecil untuk meninggalkan organisasi.

Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa work engagement pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu model JD-R (job demand-resources model) dan modal psikologis (psychological capital). Model JD-R meliputi beberapa aspek seperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta performance feedback. Sedangkan modal psikologis (psychological capital) meliputi kepercayaan diri (self-efficacy), rasa optimis (optimism), harapan mengenai masa depan (hope), serta resiliensi (recilience).

Schaufeli (2000) menyatakan bahwa karakteristik karyawan yang engaged dengan pekerjaannya ditunjukkan dengan keyakinan terhadap kemampuan sendiri dan memiliki anggapan bahwa work is fun. Hal ini merupakan indikator perilaku dari psychological capital yang dikemukakan oleh Schaufeli & Bakker (2004). Psychological capital merupakan hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap individu yang berguna membantu individu tersebut untuk dapat berkembang, yang ditandai oleh: (1) Percaya diri (self-efficacy atau confidence) untuk menyelesaikan pekerjaan, (2) Memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini


(25)

dan di masa yang akan datang, (3) Tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil, dan (4) Tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans, dkk; 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hedissa (2012) menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki psychological capital yang tinggi cenderung memiliki kepuasan kerja yang tinggi pula. Ketika karyawan mampu mencapai kepuasan dalam bekerja, hal ini akan mengakibatkan karyawan memiliki keinginan untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan ataupum program yang diadakan organisasi untuk mencapai tujuan kesuksesan organisasi itu sendiri (Wall, 2007). Penelitian tentang psychological capital lainnya dilakukan oleh Nikodemus (2010), dimana berdasarkan hasil penelitiannya diperoleh bahwa psychological capital mempengaruhi performance task seorang karyawan. Dimana semakin tinggi psychological yang dimiliki karyawan maka akan semakin baik performa karyawan tersebut dalam menyelesaikan tugas yang diberikan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan antara psychological capital dengan work engagement pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo.


(26)

B. RUMUSAN MASALAH

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian yang dirumuskan adalah apakah terdapat hubungan antara psychological capital dengan work engagement pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara psychological capital dengan work engagement pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri dan Organisasi dalam aplikasinya terutama mengenai hubungan psychological capital dengan work engagement pada pegawai negeri sipil, kuhususnya di dinas pendidikan Kabupaten Karo sehingga bisa


(27)

dijadikan sumber informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan work engagement dan psychological capital.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai tingkat work engagement dan tingkat psychological capital pada pegawai negeri sipil (PNS).

b. Bagi akademis, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan acuan atau pertimbangan pembaca untuk dijadikan langkah awal bagi peneliti selanjutnya yang ingin melengkapi penelitian ini dan mengembangkan penelitian mengenai work engagement dan psychological capital.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan penelitian, maka penulisan penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

a. BAB I – PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah yang terjadi, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.


(28)

b. BAB II – TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang teori yang digunakan dalam penelitian, yakni teori work engagement dan teori psychological capital serta literatur-literatur yang sesuai dengan materi penelitian yang dijelaskan dan mendukung analisa yang dilakukan terhadap masalah yang terjadi.

c. BAB III – METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang metode yang digunakan dalam penelitian sebagai kerangka dalam pemecahan masalah meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari work engagement dan psychological capital, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.

d. BAB IV – ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai laporan hasil penelitian yang meliputi uji asumsi, yaitu uji normalitas dan linearitas, hasil utama penelitian, dan pembahasan data-data penelitian ditinjau dari teori-teori yang relevan.

e. BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian ini akan membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran yang diberikan oleh peneliti untuk menyempurnakan penelitian dan


(29)

juga untuk penelitian yang berhubungan dengan apa yang akan diteliti di masa mendatang diikuti dengan saran untuk organisasi.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. WORK ENGAGEMENT

1. Definisi Work Engagement

Work engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, 2004). Work engagement memungkinkan individu untuk menanamkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dengan meningkatkan self-efficacy dan berdampak positif pada kesehatan karyawan yang akan meningkatkan dukungan karyawan terhadap organisasi (Robertson & Markwick, 2009).

Telah banyak studi yang telah dilakukan mengenai work engagement, tetapi sampai saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal mengenai definisi dari work engagement, termasuk juga dalam hal operasionalisasi dan pengukurannya yang masih dalam cara yang berbeda-beda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008).

Work engagement didefinisikan pertama kali oleh Kahn (1990) sebagai suatu keadaan dimana anggota dari sebuah organisasi mengidentifikasi dirinya dengan pekerjaannya. Schaufeli (2006) mendefinisikan work engagement sebagai keadaan motivasional yang positif yang dikarakteristikkan oleh vigor, dedication, dan absorption. Vigor adalah


(31)

level energi dan resiliensi yang tinggi, adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi, dan tidak mudah lelah. Dedication adalah keterlibatan yang kuat ditandai oleh antusiasme dan rasa bangga dan inspirasi. Absorption adalah keadaan terjun total (total immersion) pada karyawan yang dikarakteristikkan oleh cepatnya waktu berlalu dan sulitnya memisahkan seseorang dari pekerjaannya (Saks, 2006).

Robinson, Perryman, & Hayday (2004) mendefinisikan work engagement sebagai sikap positif karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai organisasi. Karyawan yang engaged memiliki kesadaran dalam konteks bisnis dan bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi.

Hewitt, Bacon & Woodrow (dalam Robinson, Perryman, & Hayday, 2004) mendefinisikan engagement sebagai pengukuran emosional karyawan dan komitmen intelektual terhadap organisasi dan kesuksesannya dan meyakininya menjadi hasil pengukuran dan menggambarkan bagaimana karyawan berperilaku sebagai hasil interaksi mereka dengan organisasi.

Terdapat juga pandangan lain mengenai work engagement yaitu dengan mengasumsikan work engagement sebagai lawan dari burnout. Karyawan yang engaged memiliki rasa bersemangat dan hubungan yang efektif dengan pekerjaan mereka dan mereka menilai diri mereka mampu menangani tuntutan kerja mereka. Schaufeli & Bakker (2006) mengasumsikan bahwa engagement dan burnout merupakan dua kutub


(32)

berlawanan dari kontinum mengenai work related well-being, dengan burnout mewakili kutub negative dan engagement sebagai kutub positif.

Definisi work engagement oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker, merupakan definisi yang lebih luas dan lebih sering digunakan dalam studi penelitian (Albrecht, 2010). Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan work engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pekerjaan berkaitan dengan pandangan terhadap kondisi kerja dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Daripada keadaan sesaat dan spesifik, engagement mengacu pada keadaan afektif-kognitif menyeluruh dan persisten yang tidak fokus pada objek, kejadian, inidivu atau perilaku tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan definisi engagement dari Schaufeli dkk.

2. Aspek-Aspek Work Engagement

Menurut Schaufeli & Bakker (2006) mengemukakan bahwa work engagement memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

1. Kekuatan (Vigor)

Kekuatan (vigor) meliputi tingginya energi dan semangat yang dirasakan disertai kegembiraan, kerelaan untuk memberikan usaha maksimal terhadap setiap kinerjanya, dan ketahanan mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja.


(33)

2. Pengabdian (Dedication)

Pengabdian (dedication) merupakan suatu kondisi ketika karyawan mempunyai keterlibatan yang kuat dengan pekerjaannya dan munculnya perasaan tertantang, antusias, dan merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut dapat memberikan inspirasi yang signifikan bagi dirinya baik secara sosial maupun personal.

3. Penghayatan (Absorption)

Penghayatan (Absorption) meliputi konsentrasi dan kesenangan hati yang amat sangat sehingga mengalami kesulitan untuk lepas dari pekerjaannya dan merasakan bahwa waktu berlalu sangat cepat selama bekerja.

3. Konsep-Konsep yang Berkaitan dengan Work Engagement

Beberapa konsep yang berkaitan dengan work engagement, diantaranya; a. Extra role behavior.

Meskipun work engagement biasanya didefinisikan dengan istilah discreationary effort atau going extra mile, engagement berbeda dengan konsep extra role behavior. Work engagement memberikan sesuatu hal yang berbeda pada pekerjaan, tidak hanya sekedar melakukan sesuatu secara berlebihan, misalnya bekerja berjam-jam (Schaufeli & Bakker, 2010).


(34)

b. Workaholism

Pekerja yang engaged bekerja keras karena pekerjaannya menantang dan menyenangkan, bukan karena mereka didorong oleh desakan kuat dari dalam diri yang tidak dapat dilawan (Schaufeli & Bakker, 2010).

c. Organizational commitment

Work engagement juga sering didefinisikan sebagai komitmen emosional dan intelektual terhadap organisasi (Baumruk, Richman, & Shaw dalam Kular dkk, 2008). Menurut Maslach dkk. (2001) komitmen organisasi merupakan sikap seseorang dan kedekatan terhadap organisasi mereka, sedangkan engagement bukanlah sikap, melainkan derajat dimana individu berminat dan terserap dalam kinerja peran mereka. Disamping itu, komitmen fokus pada organisasi, sedangkan engagement fokus pada tugas-tugas.

d. Organizational Citizen Behavior

Saks (2006) menyatakan bahwa OCB melibatkan kesadaran dan perilaku informal yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus engagement adalah kinerja peran formal seseorang dibandingkan peran ekstra dan perilaku sadar. Selain itu, OCB fokus pada karakteristik dan perilaku individu, dibandingkan organisasi.

e. Job Involvement

Engagement juga berbeda pula dengan job involvement, dimana job involvement merupakan hasil dari penilaian kognitif mengenai kebutuhan


(35)

pemuasan kemampuan dari pekerjaan dan mengikat gambaran diri seseorang, sedangkan engagement melibatkan penggunaan secara aktif emosi dan perilaku disamping kognisi (May dalam Saks, 2006).

4. Faktor-Faktor yang Mendorong Work Engagement

Menurut Schaufeli (dalam Bakker dan Demerouti, 2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, diantaranya:

1. Tuntutan Kerja (Job Demands)

Job demands merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya.

2. Job Resources

Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk a) mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, b) mencapai target pekerjaan, dan c) menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.


(36)

Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.

4. Personal Resources

Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain:

a. Self-efficacy

Self-efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks.

b. Organizational-based self-esteem

Organizational-based self-esteem didefenisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi.


(37)

Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.

d. Personality

Personality (kepribadian) berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja.

Selain itu Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa work engagement pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu model JD-R (Job Demands Resources model) dan psychological capital. Model JD-R sendiri meliputi aspek lingkungan fisik, sosial dan organisasi. Dan psychological capital terdiri dari self-efficacy, hope, optimism dan resilience. Aspek dari psychological capital ini berada dalam faktor work engagement yang keempat yaitu personal resources. Karyawan yang engaged akan memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan karyawan lainnya karena mereka memiliki skor ekstraversion dan conscientiousness yang lebih tinggi, serta memiliki skor neuroticism yang lebih rendah (Bakker, 2006).


(38)

B. PSYCHOLOGICAL CAPITAL

1. Definisi Psychological Capital

Psychological Capital dikemukakan oleh Prof. Fred Luthans dalam bukunya yang berjudul Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge”. Fred Luthans merupakan seorang Professor Management di University of Nebraska. Konsep psychological capital menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keuntungan kompetitif melalui investasi atau pengembangan “who you are” and “what you can become” (Luthans & Avolio, 2003; Jensen & Luthan, 2006; Luthans, et al., 2007).

Fred Luthans mendefinisikan psychological capital ini sebagai hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap individu yang berguna membantu individu tersebut untuk dapat berkembang, yang ditandai oleh: (1) Percaya diri (self-efficacy atau confidence) untuk menyelesaikan pekerjaan, (2) Memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang, (3) Tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil, dan (4) Tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans, dkk; 2007).

Hal ini senada dengan pendapat Osigweh (1989), dimana Psychological Capital adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi. Dimensi-dimensi tersebut yakni 1) Adanya


(39)

kepercayaan diri (self-efficacy), 2) Atribusi yang positif (optimism), 3) Resistensi dalam mencapai tujuan (hope), dan 4) tidak mudah menyerah (resiliency).

2. Dimensi-Dimensi Psychological Capital

Menurut Luthans, Youssef & Avolio, 2007, dalam bukunya yang berjudul “Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge” bahwa psychological capital memiliki empat dimensi yaitu self-efficacy/confidence, optimism, hope,dan resiliency.

a. Psychological Capital Efficacy

Psychological capital efficacy menggambarkan kepercayaan diri dari seseorang, ditandai oleh kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, kemampuan kognitif serta kemampuan melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas spesifik (Stajkovic & Luthans, 1998b, dalam Larson dan Luthans, 2006). Sedangkan menurut James E. Maddux dalam buku The Handbook of Positive Psychology (Snyder & Lopez, 2006) self-efficacy menggambarkan kekuatan dari kepercayaan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu. Menurut teori Bandura (1986, 1997), psychological capital efficacy (atau singkatnya kepercayaan diri) didefinisikan sebagai keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya yang dapat


(40)

mendorongnya untuk menjadi termotivasi dan sebagai jalan individu tersebut untuk bertindak untuk dapat menjadi sukses melakukan suatu pekerjaan tertentu.

b. Psychological Capital Hope

C. Rick Snyder, seorang professor psikologi klinis University of Kansas mendefinisikan hope sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to meet goals). Dari definisi ini, hope melibatkan willpower dan waypower. Willpower adalah suatu dimensi penting karena dapat memicu motivasi dan menjaga energy seseorang untuk mencapai tujuannya. Sedangkan waypower merupakan rencana alternatif hasil pemikiran seseorang untuk mencapai tujuannya.

Penelitian Snyder (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendukung ide bahwa hope merupakan suatu kognitif atau proses berpikir dimana individu mampu menyusun kenyataan dengan tujuan dan harapan yang menarik atau menantang dan pada akhirnya mendapatkannya dengan cara determinasi self-directed, energi, dan persepsi kontrol internal.

c. Psychological Capital Optimism

Martin Seligman (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendefinisikan optimisme sebagai model pemikiran dimana individu


(41)

mengatribusikan kejadian positif ke dalam diri sendiri, bersifat permanent, dan penyebabnya bersifat pervasive, dan di lain hal menginterpretasikan kejadian negatif kepada aspek eksternal, bersifat sementara atau temporer, dan merupakan faktor yang disebabkan oleh situasi tertentu.

Secara konseptual, optimisme menginterpretasikan peristiwa buruk disebabkan oleh pihak eksternal (bukan salah saya), bersifat tidak stabil (hanya terjadi sekali saja), dan merupakan kejadian spesifik (saat ini). Sedangkan pesimis menginterpretasikan kebalikannya, yaitu peristiwa yang disebabkan oleh pihak internal, bersifat stabil dan merupakan kejadian global (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Seligman, 1998A dalam Larson dan Luthans, 2006). Dalam penelitian ini, pengertian optimis menggambarkan keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan diperoleh.

Beberapa hal positif yang dihasilkan dari optimisme adalah seperti kesehatan fisik dan mental dan well-being, coping yang efektif untuk situasi sulit dalam hidup, penyembuhan dari penyakit dan obat-obatan, kepuasan hidup, dan ”authentic happiness”. Dalam dunia kerja, optimisme ini juga berhubungan secara positif kepada hal-hal yang memuaskan seperti workplace performance dan performa di berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, olahraga dan politik. Sedangkan untuk hal yang negatif yang dapat dihasilkannya adalah seperti depresi, penyakit fisik dan rendahnya performa di setiap bidang kehidupan.


(42)

d. Psychological Capital Resiliency

Resiliency didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari konflik, kegagalan, dan hal-hal yang dapat memicu munculnya masalah sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Berbeda dengan self-efficacy, hope, dan optimism yang lebih bersifat proaktif, resiliency dari seseorang lebih bersifat reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan, ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Blok & Kremen, 1996 dalam Larson dan Luthans, 2006).

C. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Definisi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ; Bab 1, Pasal 1, Pegawai Negeri adalah setipa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(43)

1. Pegawai negeri terdiri dari: a. Pegawai negeri sipil;

b. Anggota tentara Nasional Indonesia;

c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri dari:

a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan b. Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan (Bab II, Pasal 3).

Berdasarkan uraian diatas, Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah setiap warga negara Republik indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwewenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, digaji berdasarkan peraturan perundang-ungana yang berlaku, bukan mrupakan Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, baik yang memiliki jabatan struktural/ fungsional maupun yang tidak, yang berkedudukan di daerah atau di pusat.


(44)

D. HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN

WORK ENGAGEMENT PADA PNS

Karyawan merupakan bagian terpenting dari suatu organisasi. Hal ini dikarenakan karyawan merupakan penggerak dari maju mundurnya suatu organisasi. Karyawan yang engaged terhadap pekerjaannya akan termotivasi untuk memberikan usaha terbaiknya (Marciano, 2010). Biro konsultasi DDI (dalam Marciano, 2010) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat work engagement maka akan semakin tinggi kinerja organisasi tersebut. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Llorens, Bakker, Schaufeli & Salanova (2006) menemukan bahwa engagement sebagai prediktor signifikan dari komitmen organisasi.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa work engagement berpengaruh positif terhadap peningkatan komitmen karyawan (Hallberg & Schaufeli, 2006), in-role and extra-role behavior (Bakker, Demerouti & Verbeke, 2004) dan service climate, employee performance, dan kesetiaan pelanggan (Salanova, Agut & Peiro, 2005). Hasil riset Corporate Leader Council (dalam CPID, 2009) menemukan bahwa engagement menyumbang 40% terhadap peningkatan kinerja, 57% untuk bekerja lebih keras, 80% untuk performa yang lebih baik dan 87% untuk kemungkinan menetap dalam organisasi. Hasil survei CPID (2006) juga menunjukkan bahwa karyawan


(45)

yang engaged menunjukkan performa yang lebih baik, lebih sering direkomendasikan, jarang absen dan tingkat keluar dari organisasi yang lebih rendah.

Work engagement memiliki berbagai dampak positif terhadap produktivitas kerja (Castellano, 2008) dan berpengaruh terhadap keuntungan organisasi, kepuasan dan kesetiaan karyawan, retensi atau turnover karyawan serta keamanan (Vance, 2006). Work engagement juga berkorelasi positif dengan komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior (Saks, 2006). Karyawan yang memiliki engagement yang tinggi akan memberikan usaha yang lebih besar dalam bekerja untuk mencapai kesuksesan, diantaranya rela lembur dalam menyelesaikan pekerjaannya, membawa pekerjaan yang belum selesai ke rumah karena merasa bahwa pekerjaan merupakan bagian hidupnya, dan bahkan rela membantu rekan kerjanya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan pemikiran bahwa hal tersebut akan berkontribusi bagi keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.

Banyaknya dampak positif dari work engagement yang dimiliki pegawai, dapat dijadikan sorotan bahwa level work engagement pada masing-masing karyawan perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan kesuksesan organisasi. Salah satu tujuan organisasi adalah mampu mengikuti persaingan yang semakin ketat. Persaingan tersebut tidak hanya melibatkan organisasi swasta tetapi juga organisasi pemerintah dimana memiliki karyawan yang


(46)

disebut pegawai negeri sipil. Meskipun pemerintah seringkali dicirikan dengan birokrasi yang cukup kuat dan kaku, namun berdasarkan fenomena yang dapat dilihat melalui media elektronik dan surat kabar banyak ditemukan fakta yang berkaitan dengan penyelewengan komitmen pada waktu, dimana tidak jarang pegawai negeri sipil yang terlambat masuk kerja, memperpanjang libur ataupun waktu istirahat, pulang kerja tidak tepat waktu da masih banyak lagi. Berdasarkan fenomena dapat dikatakan bahwa pegawai negeri sipil di Indonesia banyak yang tidak engaged terhadap pekerjaannya.

Hasil penelitian Luthans (2007) menemukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi work engagement karyawan adalah psychological capital yang dimiliki karyawan itu sendiri. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, membuktikan bahwa psychological capital yang dimiliki karyawan adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Luthans, 2007). Psychological capital yang dimiliki oleh seorang karyawan, mempengaruhi kinerja pegawai tersebut baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat dan menentukan keberhasilan dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Pada tahun 2005 dan 2006 penelitian mengenai psychological capital mengarah kepada hubungannya dengan kinerja karyawan. Luthans, Avolio, Walumbwa dan Li (2005) telah mempelopori penelitian tentang hubungan antara psychological capital dan kinerja karyawan pada perusahaan China,


(47)

hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara psychological capital dengan kinerja dan performa karyawan di China dimana semakin tinggi psychological capital yang dimiliki karyawan maka semakin baik kinerja dan performa yang diberikan. Hal ini terjadi dikarenakan psychological capital memberikan pengaruh positif terhadap kinerja dan performa karyawan.

Peterson dkk (2011) mengemukakan bahwa psychological capital memberikan pengaruh terhadap perilaku inovasi seorang karyawan, dimana hal ini akan berhubungan dengan kemampuan organisasi dalam menghadapi persaingan bisnis. Psychological capital menurut Peterson dkk (2011) yang mengacu pada pendapat dari Luthans, Yousef & Avolio (2007) adalah pernyataan psikologis individu yang dikarakteristikkan oleh 4 hal, yaitu memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi tantangan ( self-efficacy), memiliki kondisi atau motivasi positif akan tercapainya kesuksesan (Hope), memiliki atribusi positif yang tinggi akan tercapainya kesuksesan baik saat ini maupun di masa depan (optimsm), dan memiliki psikologis positif yang dapat mendorong seseorang untuk bangkit dari kegagalan maupun tambahan tugas yang diberikan (resilience).

Self-efficacy yang dimiliki individu memberikan pengaruh terhadap tingkat work engagement seorang karyawan. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada


(48)

dirinya sehingga dapat menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dari tugas yang dibebankan (Rego dkk, 2010). Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan memilih suatu tugas yang menantang untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi kesulitan atau hambatan pada pekerjaan atau tugas tersebut. Hal inilah yang disebut dedication dalam work engagement yang diungkapkan oleh Schaufeli et.,al (2002). Dimensi dedication memiliki kemiripan dengan self-efficacy dimana individu dengan dedication yang tinggi akan memiliki perasaan yang antusias terhadap pekerjaannya dan menganggap bahwa tantangan dalam bekerja merupakan inspirasi baginya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. .

Hope (harapan) didefinisikan oleh Snyder, Irving, dan Anderson (1991) sebagai kondisi motivasi yang positif berdasarkan perasaan sukses, energi yang didorong oleh tujuan dan adanya jalan ataupun perencanaan untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki hope yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai tujuannya, memiliki energi dan keinginan yang kuat serta determinasi yang tinggi untuk memenuhi harapannya (Rego dkk, 2010). Aspek kedua dari psychological capital yang dikemukakan oleh Luthans (2007) ini identik dengan aspek dari work engagement yaitu vigor yakni tingginya energi dan semangat yang dirasakan oleh karyawan disertai kegembiraan, kerelaan untuk memberikan usaha maksimal terhadap kinerjanya dan ketahanan mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja.


(49)

Dimensi ketiga dari psychological capital yaitu optimism (optimis) merupakan individu yang mempunyai stabilitas dan gambaran umum yang positif dan menanggapi keadaan yang negatif secara realistis (Seligman, 1998). Menurut Rego dkk (2010), optimsm adalah individu yang berharap bahwa hal-hal baik akan terjadi padanya, tidak mudah menyerah dan biasanya memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun. Dimensi ketiga dari psychological capital ini senada dengan aspek work engagement, yaitu absorption dimana pada dasarnya absorption merupakan penghayatan, konsentrasi dan kesenangan hari yang amat sangat yang dirasakan karyawan ketika bekerja karena karyawan mampu menanggapi setiap pekerjaan dan kesulitan yang dihadapinya secara positif dan cenderung memiliki perencanaan dalam melakukan pekerjaan sehingga karyawan mampu menghadapi situasi sulit sekalipun. Hal ini mengakibatkan karyawan merasa waktu berlalu dengan cepat selama bekerja.

Dimensi psychological capital yang lain yaitu resilient atau ketahanan adalah individu yang mampu mengatasi ketidakpastian serta kegagalan dari tugas yang diberikan (Rego dkk, 2010). Resilience adalah kapasitas psikologis yang positif yang mendorong seseorang akan bangkit kembali dari ketidakpastian atau kegagalan maupun tambahan tugas yang diberikan (Luthans, 2002). Resilience yang dikemukakan Luthans (2007) merupakan cakupan dari ketiga aspek work engagement yang dikemukakan Schaufeli & Bakker (2002), dimana pada setiap aspek work engagement dicirikan dengan


(50)

kemampuan individu dalam menghadapi masalah, bertahan dalam situasi sulit, mampu mengambil hikmah dari setiap kesulitan yang dihadapi ketika bekerja dengan cara menjadikan kesulitan sebagai tantangan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.

Karyawan yang tidak mampu menghadapi tantangan dan mengubah tantangan yang dihadapi menjadi kesempatan untuk bangkit akan menunjukan perilaku counterproductive berupa perilaku agresi, mencuri, menyakiti rekan kerja, mementingkan tugas diri sendiri dan berbagai bentuk sabotase (Yuwono dkk. 2005). Sedangkan karyawan yang lebih resilien akan semakin mungkin menolong teman sekerjanya tanpa mengharap imbalan (altruis), memberikan ide-ide yang bermanfaat bagi organisasi, mematuhi peraturan agar terhindar konflik dengan karyawan lain dan sadar akan semua tugas dan tanggung jawabnya tanpa tekanan atasan.

E. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian teoritis di atas, adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada hubungan positif antara psychological capital dengan work engagement pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo dimana semakin tinggi psychological capital maka akan semakin tinggi tingkat work engagement pada pegawai negeri sipil


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif jenis korelasional dimana tujuan penelitian jenis korelasional adalah untuk menguji hubungan antara dua variable (Azwar, 2009). Penelitian ini merupakan penelitian korelasional untuk menguji hubungan antara psychological capital dengan work engagement pada pegawai negeri sipil.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Dalam penelitian ini terdapat dua variable yang akan diuji yakni masing-masing satu variable bebas dan variable tergantung. Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Tergantung : Work Engagement Variabel Bebas : Psychological Capital

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Work Engagement

Work engagement adalah tingkat keterikatan karyawan pada pekerjaan yang ditandai oleh semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan penghayatan (absorption). Work engagement diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan tiga karakteristik individu yang engaged terhadap pekerjaannya yang dikemukakan oleh Schaufeli (2002), yaitu vigor (semangat), dedication (kekuatan), dan absorption


(52)

(penghayatan). Semakin tinggi skor work engagement yang diperoleh subjek, menunjukkan semakin tinggi tingkat work engagement-nya. Sebaliknya, semakin rendah skor work engagement yang diperoleh subjek menunjukkan semakin rendah tingkat work engagement yang dimiliki karyawan.

2. Psychological Capital

Psychological capital merupakan perilaku positif seseorang, yang ditandai oleh kepercayaan diri (self-efficacy), optimism (optimism), memiliki harapan yang positif akan masa depan lebih baik (hope), dan resiliensi (resilience). Psychological capital diukur dengan menggunakan skala psikologi yang dikembangkan peneliti berdasarkan aspek psychological capital yang dikemukakan oleh Luthans (2007), yakni self-efficacy, optimism, hope dan resiliency. Semakin tinggi skor subjek maka semakin tinggi tingkat psychological capital yang dimiliki subjek dan sebaliknya, semakin rendah skor subjek maka semakin rendah pula tingkat psychological capital yang dimiliki subjek.

C. POPULASI PENELITIAN

Populasi adalah objek, gejala atau kejadian yang diselidiki terdiri dari semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu akan digeneralisasikan (Hadi, 2000). Sugiyono (2008) mengatakan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian


(53)

ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo. Adapun karakteristik dari populasi penelitian ini adalah:

a. Pegawai Negeri Sipil

b. Telah bekerja selama minimal 1 tahun dengan asumsi bahwa masa kerja satu tahun karyawan telah cukup memiliki pemahaman tentang nilai-nilai, tujuan dan peraturan yang dimiliki perusahaan (McShane &Glinow, 2000).

Jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 116 orang. Dan penelitian ini merupakan penelitian populasi dimana seluruh anggota populasi yaitu Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo dijadikan subjek penelitian.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut psikologis. Menurut Azwar (2009), skala sebagai alat ukur psikologis mempunyai karakteristik tertentu, yaitu :

a. Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang akan diukur melainkan dengan mengungkap indikator perilaku dari atribut tersebut.


(54)

b. Indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem sehingga skala psikologi selalu berisi banyak aitem dan kesimpulan hanya akan didapat jika semua aitem direspon.

c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala yaitu skala

work engagement dan skala psychological capital.

1. Skala Work Engagement

Skala work engagement bertujuan untuk mengukur tingkat work engagement

karyawan. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek work engagement yang dikemukakan oleh Schaufeli et al (2002) yaitu vigor (semangat), dedication (kekuatan), dan absorption (penghayatan).

Model skala work engagement menggunakan model skala Likert yang terdiri dari aitem favorable dan unfavorable, dengan menggunakan lima pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari rentang nilai 1 sampai dengan nilai 5 untuk aitem favorable dan untuk aitem unfavorable bergerak dari rentang nilai 5 sampai rentang nilai 1. Skor total work engagement karyawan akan dibagi dalam 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi.

Rancangan jumlah aitem skala work engagement yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(55)

Tabel 1

Blue Print Skala workEngagement Sebelum Uji Coba

No Aspek Aitem JLH Bobot

(%)

F UF

1. Vigor 1,4,7,10,13 20,23,26,29,32 35,39,42,44,45,47 48,49,51,52

17,46,50 23 33,33

2. Dedication 5,8,11,15,18,21 27,28,30,33,36,53 55, 57, 60

2,14,24,40,54 56,58, 59

23 33,33

3 Absorption 6,9,12,16,22,31 34,37,41,43,45, 61, 62, 65, 66, 67

3,19,25,38, 63, 64, 69

23 33,33

TOTAL 69 100

2. Skala Psychological Capital

Skala psychological capital bertujuan untuk mengukur tingkat psychological capital karyawan. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek psychological capital

yang dikemukakan oleh Luthans (2007) yakni kepercayaan diri (self-efficacy), optimism (optimism), memiliki harapan yang positif akan masa depan lebih baik (hope), dan resiliensi (resilience).

Model Skala psychological capital dibuat berdasarkan model skala Likert dimana setiap aitem terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), netral (N), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Skala yang disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable).


(56)

Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-5. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SS=5, S=4, N=3, TS=2, STS=1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: SS=1, S=2, N=3, TS=4, STS=5. Rancangan

jumlah aitem skala psychological capital adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Blue Print skalaPsychological Capital Sebelum Diuji Coba

No Aspek-aspek Aitem Jumlah

favourable unfavourable

1. Self-efficacy 1,5,9,13,16,20 ,24,28,30,39, 13

44,48, 53,55 15

2. Hope 6,17,21,25,31, 35,40,41,54

2,10,14,45,49 56

15 3. Optimism 3,7,18,22,32,3

6,42,46,50,58, 59

11,15,26,37 15

4. resiliency 4,8,27,33,38 43,47,51,52,

57

12,19,23,29, 60

15

Jumlah Total Item 41 19 60

E. VALIDITAS, UJI DAYA BEDA AITEM DAN RELIABILITAS

Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).


(57)

1. Validitas

Azwar (2000) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes tersebut mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes. Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content validity).

Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem-aitem yang dilihat dari isinya dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas isi merupakan hal utama dalam suatu tes yang biasanya dinilai dengan menggunakan pertimbangan pakar (professional judgement). Peneliti meminta pertimbangan profesional, dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten dalam memberikan pertimbangan, sebelum menentukan aitem-aitem mana yang dijadikan alat ukur. Pendapat profesional diperoleh dengan cara berkonsultasi dengan empat orang dosen serta menggunakan koefisien validitas isi Aiken’s V. Formula Aiken’s V didasarkan pada penilaian panel ahli terhadap suatu aitem mengenai sejauh mana aitem tersebut memiliki konstrak yang ingin diukur (Azwar, 2012).


(58)

2. Daya Beda Aitem

Setelah melakukan validitas isi, kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji daya beda aitem. Uji daya beda aitem dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2000).

Pengujian daya beda aitem dalam penelitian ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dapat dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2000).

Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi aitem maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2000). Batasan nilai indeks daya beda aitem (riX)d dalam penelitian ini adalah 0,3. Sehingga setiap aitem yang memiliki nilai riX ≥ 0,3 saja yang akan digunakan dalam pengambilan data yang sebenarnya.

Uji daya beda aitem yang dilakukan pada alat ukur dalam penelitian ini adalah skala work engagement dan psychological capital. Uji daya beda aitem diukur dengan menggunakan program computer SPSS versi 20.0 for windows dengan menggunakan taraf signifikansi 5% (p < 0.05).


(59)

3. Uji Reliabilitas

Menurut Azwar (2000) reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan. Reliabilitas alat ukur dapat dilihat dari koefisien reliabilitas yang merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi kepercayaan hasil ukur yang mengandung kecermatan pengukuran (Azwar, 2004).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal yaitu Cronbach’s Alpha Coefficient yang artinya menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan sekali saja pada kelompok subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi antar aitem atau antar bagian dalam skala, dengan bantuan komputer dari program SPSS versi 20,0 for windows.

Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1, yang artinya semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1 berarti semakin tinggi reliabilitas, sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas (Azwar, 2005).


(60)

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba alat ukur yaitu skala work engagement dan psychological capital dilakukan mulai tanggal 2 Oktober sampai 7 Oktober 2013. Uji coba ini dilakukan kepada pegawai swasta dan pegawai negeri sipil dengan lama bekerja di organisasi tempat mereka bekerja minimal 1 tahun. Uji reliabilitas skala penelitian dihitung dengan menggunakan program SPSS versi 20.0 for windows.

1. Skala Work Engagement

Peneliti menyiapkan 69 aitem work engagement dengan masing-masing aspek terdiri dari 23 aitem yang kemudian diuji oleh professional judgement untuk dilihat

content validitynya. Hasil penilaian oleh professional judgement kemudian dihitung

dengan menggunakan rumus Aiken’s V dimana aitem yang memiliki skor > 0,5 yang kemudian digunakan sebagai aitem dalam uji coba. Berdasarkan hasil dari Aiken’s V diperoleh 24 aitem yang memiliki skor <0,5 dan 45 aitem dengan skor >0,5. Hasil ini menunjukkan bahwa 24 aitem work engagement yang gugur sehingga untuk uji coba alat ukur work engagement digunakan 45 aitem.

Uji coba skala work engagement dilakukan terhadap 398 orang karyawan yang telah bekerja minimal 1 tahun. Berdasarkan hasil uji coba terhadap 45 aitem skala work engagement diperoleh 34 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r ≥ 0.30 ) dengan koefisien alpha sebesar 0,901. Terdapat 11 aitem yang gugur, yaitu aitem


(61)

nomor 3,9,16,17,19,23,24,26,35,39 dan 42. Distribusi aitem hasil uji coba dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3

Distribusi Aitem-aitem Skala Work Engagement setelah Uji Coba

No Aspek Aitem JLH Bobot

(%)

F UF

1. Vigor 1,4,7,10,13 20,29,32,44

0 9 26,47

2. Dedication 5,8,11,15,18 21,27,28,30 33,36

2,14,40 14 41,18

3 Absorption 6,12,22,31 34,37,41,43 45

25,38 11 32,35

TOTAL 34 100

2. Skala Psychological Capital

Peneliti menyiapkan 60 aitem psychological capital dengan masing-masing aspek terdiri dari 15 aitem yang kemudian diuji oleh professional judgement untuk dilihat content validitynya. Hasil penilaian oleh professional judgement kemudian

dihitung dengan menggunakan rumus Aiken’s V dimana aitem yang memiliki skor >

0,5 yang kemudian digunakan sebagai aitem dalam uji coba. Berdasarkan hasil dari

Aiken’s V diperoleh 8 aitem yang memiliki skor <0,5 dan 52 aitem dengan skor >0,5. Hasil ini menunjukkan bahwa 8 aitem psychological capital yang gugur sehingga untuk uji coba alat ukur psychological capital digunakan 52 aitem.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Albrecht, S.L. (2010). Handbook of employee engagement: Perspectives, issues, research and practice. Northampton: Edward Elgar Publishing.

Amol, T. (2010). A Year for employee engagement (Part 1). The Jakarta Post. Jakarta post.

Arkhama, V.B. (2012). Peran transformational leadership terhadap employee engagement. Thesis.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Azwar, S. (1997). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya (edisi 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

________. (2000). Penyusunan skala psikologi (edisi 2) Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

________. (2001). Reliabilitas dan validitas (edisi 3 ). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Bakker, A.B., & Bal, P.M. (2010). Weekly work engagament and performance: A study among starting teachers. Journal of Ocupational and Organizational Psychology, 83, 189-206.

Bakker, A. B., Demerouti, E. (2006). The job demands-resources model: State of the art. Journal of managerial Psychology, 22 (3), 309-328

Bakker, A. B., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2006). Work engagement: An emerging concept in occupational health psychology. Journal of Work and Stress, 22 (3), 187-200.

Blessing White (2010). The leader role; Highlights for China. Work engagement Report. Available at: BlessingWhite.com (accesed 20 April, 2013).

Blau, B. A. & Boal, B. K. (1987). Conceptualizing How Job Involvement and

Organizational Commitment Affect Turnover and Absenteism. Academy of Management Review, 12, 288-302

Budiyanto, M. N. (2001). Profil Pegawai Negeri Sipil (PNS) Menuju Indonesia baru. Available FTP : http://psi.ut.ac.id/Jurnal/111nur.htm tanggal akses 26


(2)

Castellano, W.G. (2008). A new framework of employee engagement. Center for Human Resources Strategi.

CIPD (2009). An HR director’s guide to employee engagement institute of personnel and development. Discussion Paper. London: CIPD.

Cooper, D.R and Emory, C.W, (1995), Bussiness Research Methods, Fifth Edition, USA: Richard D. Irwin, Inc.

Cusway, W. (2002). The need for and meaning of positive organizational behavior. Journal of Organizational Behavior, 23 (6), 695.

Davis, N. J. (1999). Substance abuse and mental health services administration center for mental health services divisions of program development, special populations & projects special program development branch (301), pp.443-2844. Status of Research and Research-based Programs. HYPERLINK. [online]. http://mentalhealth.samhsa.gov/schoolviolence/.Tanggal akses 6 Mei 2013

Dicke, Holwerda, & Kontakos (2007). Employee engagement : What do we really

know? What do we need to know take action?”. A Collection of White Paper. Paris : Center for Advanced Human Resource Studies (CAHRS).

Fahrani, D. (2011). Analisis komitmen organisasi dan keterikatan karyawan pada semen gresik (persero) Tbk. Thesis. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Federman, B. (2009). Employee engagement: A road for creating profits, optimizing perfomance, And increasing loyalty. San Fransisco: Jossey Bass.

Grace & Lolita, M.S. (2008). The human resource craze: Human Performance improvement and employee engagement. Organization Development Journal, 26 (1), 69-78.

Grothberg, E. (1995). A Guide to promoting resilience in children: Strengthening the human spirit. The Series Early Childhood Development: Practice and Reflections. Number8. The Hague: Benard van Leer Voundation.


(3)

Hadi, S. (2002). Metodologi research jilid I, II, dan III. Yogyakarta: Andi Offset.

Handoko, T. H. (1992). Manajemen (edisi 2). Yogyakarta : BPFE

Institute of Employee Studies, (2004). The drivers of employee engagement. UK: Mantell Building-Falmer Brighton.

Ivancevich, J. & Matteson, M. (2002). Organizational Behavior and Management. Fifth Edition. New York USA : Irwin-McGraw-Hill.

Janas, M. (2002). Build resiliency: Intervention school and clinic. [On-Line]. http://www.Highbeam.com/library/doc3.asp/. Tanggal akses 17 Mei 2013

Kahn, R. L., Wolfe, D. M., Quinn, R., Snoek, J. D., & Rosenthal, R. A. (1964). Organizational stress. New York: Wiley

Kahn, W. A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and disengagement at work. Academy of Management Journal, 33, 692-724 Klohnen, E. C. (1996). Conceptual analysis and measurement of the construct of ego

resilience. Journal of Personality and Social Psychology, 70 (5), 1067-1079 Kular, S,. Gatenby, M., Rees, C., Soane, E., & Truss, K. (2008). Employee

engagement: A literature review. Kingston University.

Larson, M. & Luthans, F. (2006). Potential added value of psychological capital in predicting work attitudes. Journal of Leadership and Organizational Studies. 13 (2), 18-75.

Luthans, F. (1995). Organizational Behavior. Seventh Edition, Mc-Graw-Hill, New York

Luthans, F. (2007). Perlaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.


(4)

Maslach, C., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2001). Job burnout. Annual Review of Psychology, 52, 397-422.

McBain, R. (2007). The practice of engagement. Journal of strategic HR review. 6 (6), 16-19.

Nurhayati, S.F. (2001). Analisis implementasi peran dumber daya manusia sebagai mitra strategik, ahli admnistratif, employee champion dan agen perubahan: Studi pada top companies di Indonesia. Jurnal Bisnis, 1 (5), 1-20.

Nusatria, S. (2011). Employee engagement: Anteseden dan konsekuensi. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 23 (9), 27-99.

Pengertian Pegawai Negeri Sipil & Pensiun. (2008). http://209.85.175.104/www.bkn.go.id tanggal akses 26 November 2013. Perrin, T. (2003). Working Today: Understanding what drives employee engagement.

Towers Perrin Talent Report U.S Report.

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor; 7 essential skill for

overcoming life’s inevitable obstacle. New York, Broadway Books.

Robinson, D., Perryman, S., & Hayday, S., (2004). The drivers of employee engeagement. Article: Institute for Employement Studies, Brighton, Report 408, p.1-5.

Saks, A. M. (2006). Antecendent and consequences of employee engagement. Journal of Managerial Psychology, 21 (6), 600-619.

Sanders, D. (2012). Placing trust in employee engagement. Article. Available at: acas.org.uk (accesed 27 November, 2013).

Schneider, Macey, Barbera & Young (2010). The role of employee trust in understanding employee engagement. In S.L. Albrecht, (Eds.), Handbook of work engagement (pp. 159-173). New Horison in Management: Edward Elgar Publishing Limited.


(5)

Schaufeli. W. B., & Bakker, A. B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: A multi-sample study. Journal of Organizational Behavior, 25 (6), 293-315.

Schaufeli, W.B., Bakker, A.B. (2003). UWES - Utrecht Work Engagement Scale Preliminary Manual. Occupational Health Psychology Unit Utrech University.

Schaufeli., Salanova, M., Gonzalez, R.V. & Bakker, A.B. (2002). The measurement of engagement and burnout: A two sample confirmatory factor analytic approach, Journal of Happiness Studies, 3, 71-92.

Siegel, S. (1997). Statistik non-parametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Gramedia Snyder, Lopez, Shane, J. (2002). Handbook of Positive Psychology. New Jersey:

Oxford University Press.

Sukendar, A. (2004). Pengaruh pelaksanaan pengembangan karier terhadap motivasi kerja karyawan pada bank tabungan pensiunan sosial kantor cabang Bandung. [On-line]. http://digilib.itb.ac.id3Dread%26%id%3Djbptunikompp/. Diakses tanggal 17 April 2013

Undang-Undan Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang republik Indonesia No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Vazirani, N. (2007). Employee engagement. SIES College of Management Studies Working Paper Series, 5, 1-17.

Widarsono, A. (2009). Human resources scorecard : Linking people, strategy and performance (Suatu Model Pengukuran Kinerja SDM). Laporan Penelitian. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Xanthopoulo, D., Bakker, A. B., Demerouti, E., & Schaufeli, W. B. (2004). International journal of stress management. The role of personal resources in the job demands-resources model. 14 (2), 121-141


(6)

Widarsono, A. (2009). Human resources scorecard : Linking people, strategy and performance (Suatu Model Pengukuran Kinerja SDM). Laporan Penelitian. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

http://bkd.balikpapan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=53 &Itemid=63. Diakses pada tanggal: 2 November 2013.

http://www.asiarisk.com/subscribe/exsum1.pdf. Diakses pada tanggal: 1 November 2013

http://www.harianterbit.com/2012/10/02/disiplin-pns-di-kab-bogor-sangat-rendah. Diakses pada tanggal: 9 November 2013.

http://www.jpnn.com/read/2012/04/24/125216/Kualitas-Aparatur-Negara- Rendah-. Diakses pada tanggal: 2 November 2013.

www.pom.go.id/ppid/rar/LAKIP_2011.pdf. Diakses pada tanggal: 2 November 2013.