D. HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN
WORK ENGAGEMENT PADA PNS
Karyawan merupakan bagian terpenting dari suatu organisasi. Hal ini dikarenakan karyawan merupakan penggerak dari maju mundurnya suatu
organisasi. Karyawan yang engaged terhadap pekerjaannya akan termotivasi
untuk memberikan usaha terbaiknya Marciano, 2010. Biro konsultasi DDI dalam Marciano, 2010 menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
work engagement maka akan semakin tinggi kinerja organisasi tersebut. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Llorens, Bakker, Schaufeli Salanova 2006 menemukan bahwa
engagement sebagai prediktor signifikan dari komitmen organisasi.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa work engagement
berpengaruh positif terhadap peningkatan komitmen karyawan Hallberg Schaufeli, 2006,
in-role and extra-role behavior Bakker, Demerouti Verbeke, 2004 dan
service climate, employee performance, dan kesetiaan pelanggan Salanova, Agut Peiro, 2005. Hasil riset Corporate Leader
Council dalam CPID, 2009 menemukan bahwa engagement menyumbang
40 terhadap peningkatan kinerja, 57 untuk bekerja lebih keras, 80 untuk performa yang lebih baik dan 87 untuk kemungkinan menetap dalam
organisasi. Hasil survei CPID 2006 juga menunjukkan bahwa karyawan
Universitas Sumatera Utara
yang engaged menunjukkan performa yang lebih baik, lebih sering
direkomendasikan, jarang absen dan tingkat keluar dari organisasi yang lebih rendah.
Work engagement memiliki berbagai dampak positif terhadap produktivitas kerja Castellano, 2008 dan berpengaruh terhadap keuntungan
organisasi, kepuasan dan kesetiaan karyawan, retensi atau turnover karyawan
serta keamanan Vance, 2006. Work engagement juga berkorelasi positif
dengan komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior Saks,
2006. Karyawan yang memiliki engagement yang tinggi akan memberikan
usaha yang lebih besar dalam bekerja untuk mencapai kesuksesan, diantaranya rela lembur dalam menyelesaikan pekerjaannya, membawa
pekerjaan yang belum selesai ke rumah karena merasa bahwa pekerjaan merupakan bagian hidupnya, dan bahkan rela membantu rekan kerjanya
dalam menyelesaikan pekerjaan dengan pemikiran bahwa hal tersebut akan berkontribusi bagi keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Banyaknya dampak positif dari work engagement yang dimiliki
pegawai, dapat dijadikan sorotan bahwa level work engagement pada masing-
masing karyawan perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan kesuksesan organisasi. Salah satu tujuan organisasi adalah mampu mengikuti persaingan
yang semakin ketat. Persaingan tersebut tidak hanya melibatkan organisasi swasta tetapi juga organisasi pemerintah dimana memiliki karyawan yang
Universitas Sumatera Utara
disebut pegawai negeri sipil. Meskipun pemerintah seringkali dicirikan dengan birokrasi yang cukup kuat dan kaku, namun berdasarkan fenomena
yang dapat dilihat melalui media elektronik dan surat kabar banyak ditemukan fakta yang berkaitan dengan penyelewengan komitmen pada waktu, dimana
tidak jarang pegawai negeri sipil yang terlambat masuk kerja, memperpanjang libur ataupun waktu istirahat, pulang kerja tidak tepat waktu da masih banyak
lagi. Berdasarkan fenomena dapat dikatakan bahwa pegawai negeri sipil di Indonesia banyak yang tidak
engaged terhadap pekerjaannya. Hasil penelitian Luthans 2007 menemukan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi work engagement karyawan adalah psychological capital
yang dimiliki karyawan itu sendiri. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, membuktikan bahwa
psychological capital yang dimiliki karyawan adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup Luthans,
2007. Psychological capital yang dimiliki oleh seorang karyawan,
mempengaruhi kinerja pegawai tersebut baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat dan menentukan keberhasilan dalam berhubungan dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Pada tahun 2005 dan 2006 penelitian mengenai
psychological capital mengarah kepada hubungannya dengan kinerja karyawan. Luthans, Avolio,
Walumbwa dan Li 2005 telah mempelopori penelitian tentang hubungan antara
psychological capital dan kinerja karyawan pada perusahaan China,
Universitas Sumatera Utara
hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
psychological capital dengan kinerja dan performa karyawan di China dimana semakin tinggi
psychological capital yang dimiliki karyawan maka semakin baik kinerja dan performa yang diberikan. Hal ini terjadi
dikarenakan psychological capital memberikan pengaruh positif terhadap
kinerja dan performa karyawan. Peterson dkk 2011 mengemukakan bahwa
psychological capital memberikan pengaruh terhadap perilaku inovasi seorang karyawan, dimana
hal ini akan berhubungan dengan kemampuan organisasi dalam menghadapi persaingan bisnis.
Psychological capital menurut Peterson dkk 2011 yang mengacu pada pendapat dari Luthans, Yousef Avolio 2007 adalah
pernyataan psikologis individu yang dikarakteristikkan oleh 4 hal, yaitu memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi tantangan
self- efficacy, memiliki kondisi atau motivasi positif akan tercapainya kesuksesan
Hope, memiliki atribusi positif yang tinggi akan tercapainya kesuksesan baik saat ini maupun di masa depan
optimsm, dan memiliki psikologis positif yang dapat mendorong seseorang untuk bangkit dari kegagalan
maupun tambahan tugas yang diberikan resilience.
Self-efficacy yang dimiliki individu memberikan pengaruh terhadap tingkat
work engagement seorang karyawan. Individu yang memiliki self- efficacy yang tinggi cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada
Universitas Sumatera Utara
dirinya sehingga dapat menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dari tugas yang dibebankan Rego
dkk, 2010. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan memilih
suatu tugas yang menantang untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi kesulitan atau hambatan pada pekerjaan atau tugas
tersebut. Hal inilah yang disebut dedication dalam work engagement yang
diungkapkan oleh Schaufeli et.,al 2002 . Dimensi dedication memiliki
kemiripan dengan self-efficacy dimana individu dengan dedication yang tinggi
akan memiliki perasaan yang antusias terhadap pekerjaannya dan menganggap bahwa tantangan dalam bekerja merupakan inspirasi baginya
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. .
Hope harapan didefinisikan oleh Snyder, Irving, dan Anderson 1991 sebagai kondisi motivasi yang positif berdasarkan perasaan sukses,
energi yang didorong oleh tujuan dan adanya jalan ataupun perencanaan untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki
hope yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai tujuannya, memiliki energi dan keinginan yang
kuat serta determinasi yang tinggi untuk memenuhi harapannya Rego dkk, 2010. Aspek kedua dari
psychological capital yang dikemukakan oleh Luthans 2007 ini identik dengan aspek dari
work engagement yaitu vigor yakni tingginya energi dan semangat yang dirasakan oleh karyawan disertai
kegembiraan, kerelaan untuk memberikan usaha maksimal terhadap kinerjanya dan ketahanan mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja.
Universitas Sumatera Utara
Dimensi ketiga dari psychological capital yaitu optimism optimis
merupakan individu yang mempunyai stabilitas dan gambaran umum yang positif dan menanggapi keadaan yang negatif secara realistis Seligman,
1998. Menurut Rego dkk 2010, optimsm adalah individu yang berharap
bahwa hal-hal baik akan terjadi padanya, tidak mudah menyerah dan biasanya memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun. Dimensi ketiga dari
psychological capital ini senada dengan aspek work engagement, yaitu absorption dimana pada dasarnya absorption merupakan penghayatan,
konsentrasi dan kesenangan hari yang amat sangat yang dirasakan karyawan ketika bekerja karena karyawan mampu menanggapi setiap pekerjaan dan
kesulitan yang dihadapinya secara positif dan cenderung memiliki perencanaan dalam melakukan pekerjaan sehingga karyawan mampu
menghadapi situasi sulit sekalipun. Hal ini mengakibatkan karyawan merasa waktu berlalu dengan cepat selama bekerja.
Dimensi psychological capital yang lain yaitu resilient atau ketahanan
adalah individu yang mampu mengatasi ketidakpastian serta kegagalan dari tugas yang diberikan Rego dkk, 2010.
Resilience adalah kapasitas psikologis yang positif yang mendorong seseorang akan bangkit kembali dari
ketidakpastian atau kegagalan maupun tambahan tugas yang diberikan Luthans, 2002.
Resilience yang dikemukakan Luthans 2007 merupakan cakupan dari ketiga aspek
work engagement yang dikemukakan Schaufeli Bakker 2002, dimana pada setiap aspek
work engagement dicirikan dengan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan individu dalam menghadapi masalah, bertahan dalam situasi sulit, mampu mengambil hikmah dari setiap kesulitan yang dihadapi ketika
bekerja dengan cara menjadikan kesulitan sebagai tantangan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Karyawan yang tidak mampu menghadapi tantangan dan mengubah tantangan yang dihadapi menjadi kesempatan untuk bangkit akan menunjukan
perilaku counterproductive berupa perilaku agresi, mencuri, menyakiti rekan
kerja, mementingkan tugas diri sendiri dan berbagai bentuk sabotase Yuwono dkk. 2005. Sedangkan karyawan yang lebih resilien akan semakin mungkin
menolong teman sekerjanya tanpa mengharap imbalan altruis, memberikan ide-ide yang bermanfaat bagi organisasi, mematuhi peraturan agar terhindar
konflik dengan karyawan lain dan sadar akan semua tugas dan tanggung jawabnya tanpa tekanan atasan.
E. HIPOTESIS