yang lebih tua, dan keturunan Amerika Selatan yang memiliki insidensi tinggi untuk memengaruhi kejadian sindroma dispepsia.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Li et al. 2014, namun uniknya mereka lebih menitikberatkan subyek penelitian mereka pada
kalangan mahasiswa. Mereka beranggapan bahwa mahasiswa dapat mewakili populasi dari anggota masyarakat yang maju dan produktif serta
hidup dalam lingkungan stress yang tinggi dengan akses dan pemahaman tentang kesehatan yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor utama yang memengaruhi terjadinya sindroma
dispepsia di kalangan mahasiswa, khususnya pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Alasan penentuan populasi
penelitian antara lain karena subyek mendapatkan perlakuan atau aktivitas yang seragam jadwal perkuliahan, praktikum, dan ujian yang sama.
Selain itu, belum ada penelitian serupa yang pernah dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Adakah hubungan antara faktor
usia, jenis kelamin, suku, kebiasaan gangguan pola makan dan merokok, riwayat penggunaan NSAID, dan faktor psikis stress terhadap terjadinya
sindroma dispepsia?
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor utama yang memengaruhi terjadinya sindroma dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan antara usia dengan kejadian sindroma
dispepsia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2. Mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
sindroma dispepsia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Mengetahui hubungan antara suku dengan kejadian sindroma dispepsia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4. Mengetahui hubungan antara gangguan pola makan dengan kejadian sindroma dispepsia di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 5. Mengetahui hubungan antara merokok dengan kejadian sindroma
dispepsia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 6. Mengetahui hubungan antara riwayat penggunaan NSAID dengan
kejadian sindroma dispepsia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
7. Mengetahui hubungan antara stress dengan kejadian sindroma dispepsia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bidang penelitian: Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan untuk
melakukan penelitian lanjutan mengenai sindroma dispepsia. 2. Bidang pendidikan:
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana untuk melatih berpikir secara logis dan sistematis serta mampu
menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar.
3. Bidang pelayanan masyarakat: Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber
informasi yang benar bagi masyarakat mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terjadinya sindroma dispepsia pada kalangan
mahasiswa.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dispepsia
2.1.1. Definisi
Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu Dys- dan Pepse yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “pencernaan yang buruk”
bad digestion Schmidt-Martin dan Quigley, 2011. Dispepsia adalah gejala dan bukan diagnosis. Hal ini dapat didefinisikan secara luas sebagai
rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Berpusat mengacu pada gejala utama berada di dalam atau sekitar garis
tengah dan bukan terletak di kuadran atas kiri atau kanan. Ketidaknyamanan mengacu pada perasaan tidak menyenangkan yang
singkat dan menyakitkan, termasuk rasa penuh di perut bagian atas, cepat kenyang, kembung, mual, dan muntah Jones, 2005. Dispepsia juga
dikaitkan dengan berbagai faktor risiko pribadi dan lingkungan seperti alkohol, tembakau, dan penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
dan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup.
2.1.2. Klasifikasi
Dispepsia adalah gejala yang umum dengan diagnosis banding yang luas dan patofisiologi yang beragam. Prevalensinya sendiri
menyiratkan masalah kesehatan yang besar, meskipun sebagian besar penderita tidak mencari perawatan medis Tepeš, 2011.
Dispepsia sendiri dapat digolongkan menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Kategorisasi dispepsia ini diperkenalkan dengan
tujuan target pengobatan yang lebih baik sesuai gejala Talley dan Holtmann, 2007. Pada pasien dengan dispepsia organik atau struktural,
ada tiga penyebab utama dispepsia: penyakit refluks gastroesofageal
Universitas Sumatera Utara
dengan atau tanpa esofagitis, penyakit ulkus peptikum kronis, dan keganasan Tepeš, 2011.
Talley dan Holtmann 2007 menyatakan bahwa Konsensus Roma III telah merumuskan dispepsia fungsional menjadi dua kategori untuk
tujuan penelitian, yaitu postprandial distress syndrome PDS, ditandai dengan cepat kenyang atau rasa penuh setelah makan dalam jumlah besar
dan epigastric pain syndrome EPS, didefinisikan sebagai nyeri yang sering terjadi atau rasa terbakar di epigastrium.
2.1.3. Etiologi
Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Untuk penyebab
organik dispepsia sangat banyak seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2.1, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh penyakit ulkus peptikum,
refluks gastroesofageal dan keganasan Talley dan Segal, 2008. Lain halnya dengan dispepsia fungsional yang memiliki penyebab tersendiri,
ditampilkan dalam Tabel 2.2 Jones, 2005.
Gambar 2.1 Klasifikasi Dispepsia menurut Konsensus Roma III
Dikutip sesuai aslinya dari: Dyspepsia in Clinical Practice 2011
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Penyebab Dispepsia secara Struktural atau Biokimia
Tabel 2.2 Etiologi Potensial dalam Dispepsia Fungsional
2.1.4. Patofisiologi
Karena gejala-gejalanya yang kompleks, baik sistem saraf pusat stres, kecemasan, dll maupun gangguan pada lambung infeksi atau
motorik seharusnya terlibat, tetapi kepentingan relatif mereka Visceral hypersensitivity
Impaired gastric emptying Impaired postprandial fundic relaxation
Antral hypomotility Gastric dysrhythmias
Small bowel dysmotility Vagal neuropathy
Duodenal acid hypersensitivity Psychosocial disturbances
Dikutip sesuai aslinya dari: Dyspepsia in Clinical Practice 2011
Dikutip sesuai aslinya dari: Advanced Therapy in Gastroenterology and Liver Disease 2005
Universitas Sumatera Utara
kontroversial. Banyak pasien yang berkonsultasi dengan dokter untuk dispepsia memiliki masalah psikologis yang cukup besar, dan kecemasan
sering menjadi alasan utama untuk konsultasi. Sementara itu beberapa orang berpikir bahwa sindroma dispepsia terutama berhubungan dengan
gangguan psikologis, yang lain berpikir bahwa yang terpenting adalah gangguan sensorik-motorik lambung Berstad dan Gilja, 2005.
Bagaimanapun, faktor psikologis dianggap penting dalam membangkitkan suatu gejala. Dalam sebuah penelitian multi-faktorial,
faktor psikologis dan mekanisme perifer lambung tampaknya saling terlibat dalam membangkitkan gejala, menyiratkan interaksi antara saraf
pusat dan sistem saraf enterik. Konsep kami untuk patogenesis sindroma dispepsia diilustrasikan pada Gambar 2.2 Berstad dan Gilja, 2005.
Gangguan di suatu tempat sepanjang sumbu otak-pencernaan dianggap penting dalam patogenesis sindroma dispepsia. Interaksi antara
sistem saraf pusat CNS dan sistem saraf enterik ENS melibatkan kedua sinyal eferen viseral dan aferen, beberapa di antaranya diperantarai oleh
nervus vagus. Normalnya, sinyal eferen dan aferen seimbang. Ketika ketidakseimbangan diinduksi, seperti yang terjadi pada sindroma
Gambar 2.2 Patogenesis Sindroma Dispepsia
Dikutip sesuai aslinya dari: Basic and New Aspects of Gastrointestinal Ultrasonography 2005
Universitas Sumatera Utara
dispepsia, mustahil untuk mengetahui di mana penyakit dimulai atau di mana ia berada, sentral atau perifer. Akibatnya, kita tidak tahu di mana
harus memutus lingkaran setan tersebut dengan pengobatan. Namun, hal yang baik dengan ilustrasi seperti di atas adalah bahwa tidak peduli di
mana penyakit dimulai atau di mana kita menerapkan pengobatan. Seluruh mekanisme patogenesis terhubung dalam jaringan sebab-akibat, yang
berarti bahwa mengoreksi satu abnormalitas, pusat atau perifer, dapat memutus lingkaran setan
dan memberikan
hasil akhir yang menguntungkan Berstad dan Gilja, 2005.
2.1.5. Diagnosis
Semua pasien dengan dispepsia yang persisten memerlukan pengambilan riwayat pasien menyeluruh anamnesis dan pemeriksaan
fisik untuk menentukan penyebabnya. Bagi banyak pasien, diet, gaya hidup, atau pengubahan dalam hal pengobatan dapat meringankan gejala
mereka. Karena penyebab yang mendasari keluhan dispepsia berkisar dari kelebihan gas sampai ulkus peptikum atau pun keganasan, “gejala alarm”
harus dicari dan diselidiki ketika muncul. Anemia, penurunan berat badan, tanda-tanda perdarahan gastrointestinal, cepat kenyang, atau disfagia harus
dievaluasi. Keluhan awal, terutama pada pasien yang lebih tua dari usia 45 tahun, atau dengan keluhan kronis yang jelas memburuk harus dievaluasi.
Tes paling akurat untuk dispepsia adalah upper endoscopy yang memvisualisasi mukosa untuk ulkus, radang yang lain, esofagitis erosif,
atau keganasan dan pada saat yang sama juga memungkinkan dilakukan biopsi untuk diagnosis histologis dan dokumentasi dari infeksi
Helicobacter pylori. Radiografi dengan pewarnaan kontras barium kurang sensitif dan spesifik dibandingkan dengan upper endoscopy tetapi
dapat digunakan sebagai alternatif. Ultrasonografi pada kuadran kanan atas dapat dilakukan jika ada kecurigaan penyakit di daerah pankreas atau
empedu sebagaimana dibuktikan oleh riwayat pasien atau melalui enzim hati yang abnormal Leppert dan Peipert, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik Sindroma Dispepsia
Komite Roma III telah merumuskan sindroma dispepsia dan membatasi istilah untuk merujuk pada empat gejala berikut: rasa penuh
yang mengganggu setelah makan, cepat kenyang, nyeri epigastrium, atau rasa terbakar di epigastrium. Selain itu, seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 2.3, ada dua kategori diagnostik baru dalam sindroma dispepsia; disebut postprandial distress syndrome PDS dan epigastric pain
syndrome EPS Talley dan Segal, 2008.
Dikutip sesuai aslinya dari: Gastroenterology and Hepatology: A Clinical Handbook 2008
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Penatalaksanaan
Gambar 2.3 menunjukkan suatu algoritma untuk pendekatan pada pasien dengan dispepsia uninvestigated UD. Pengambilan riwayat
menyeluruh dengan pemeriksaan fisik yang tepat dilakukan untuk mengklarifikasi apakah gejala berasal dari pankreas, empedu atau kolon.
Setelah diagnosis spesifik telah dibuat, pengobatan harus diarahkan pada kondisi tertentu. Jika pertimbangannya adalah dispepsia yang sederhana,
penggunaan aspirin NSAIDs dihentikan, jika ada, dan pengobatan gejala Gastro-oesophageal Reflux Disease GORD dengan pompa proton
inhibitor PPI harus diberikan. Sangat penting untuk membuat penilaian dari hadirnya gejala alarm yang mengindikasikan kebutuhan endoskopi
dini, sedangkan selebihnya dapat dikelola dengan strategi “test and treat” mengacu untuk menetapkan ada tidaknya H.pylori Talley dan Segal,
2008. Pemeriksaan non-invasif untuk H.pylori baik menggunakan urea
breath test atau immunoassay antigen pada tinja adalah pemeriksaan yang tepat untuk kebanyakan pasien. Pemeriksaan serologi kurang akurat dan
umumnya tidak dianjurkan kecuali tidak ada alternatif lain. Bagi mereka yang sudah menjalani endoskopi harus melakukan biopsi rutin yang
direkomendasikan oleh pedoman saat ini. Pada pasien ini, pengujian rapid urease dengan atau tanpa pemeriksaan histologi biasanya dilakukan
Talley dan Segal, 2008. Pengobatan lini pertama untuk H.pylori adalah terapi triple dengan
kombinasi dua antibiotik dan satu agen adjuvan selama 7-14 hari; Penelitian secara meta-analisis telah menunjukkan sedikit keunggulan
dengan masa pengobatan selama dua minggu. Regimen yang paling umum termasuk PPI misalnya omeprazole 20 mg dua kali sehari dengan
amoxicillin 1 g dua kali sehari dan clarithromycin 500 mg dua kali sehari. Amoxicillin dapat diganti dengan metronidazole pada pasien yang sensitif
terhadap penisilin, meskipun tingkat resistensi metronidazole semakin
Universitas Sumatera Utara
meningkat secara signifikan. Tingkat keberhasilan lebih dari 80 telah dicapai di sebagian besar uji coba Talley dan Segal, 2008.
Gambar 2.3 Penatalaksanaan Dispepsia
Dikutip sesuai aslinya dari: Gastroenterology and Hepatology: A Clinical Handbook 2008
Universitas Sumatera Utara
Respon terhadap terapi dapat dinilai paling efektif dengan urea breath test yang dilakukan minimal empat minggu setelah terapi
antibiotik, dan setidaknya satu minggu setelah menghentikan terapi PPI. Kegagalan pengobatan paling sering diatasi dengan rejimen lini kedua
yaitu PPI dan antibiotik alternatif seperti metronidazole dan tetrasiklin selama dua minggu. Terapi penyelamatan untuk kegagalan pengobatan
selanjutnya melibatkan penggantian antibiotik dengan levofloxacin atau rifabutin bersama dengan PPI. Diagnosis alternatif harus dipertimbangkan
jika ada kekurangan respon lanjutan dan pertimbangkan juga studi pengosongan lambung dan penilaian psikologis pasien Gambar 2.3
Talley dan Segal, 2008.
2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Sindroma Dispepsia
2.2.1. Usia
Semua survei yang dilakukan telah memeriksa orang dewasa dengan usia 18 tahun atau lebih. Sementara sebagian besar survei
menunjukkan bahwa dispepsia tampaknya tidak terkait dengan kelompok usia tertentu, beberapa studi telah mencatat beberapa kecenderungan.
Dalam studi terakhir, sub-tipe dispepsia tampaknya dikaitkan dengan kelompok usia yang berbeda: reflux-like lebih umum pada orang dewasa
paruh baya, dysmotility-like lebih sering pada mereka yang berusia di bawah 59 tahun dan gejala ulcer-like predominant lebih sering pada orang
dewasa dengan usia kurang dari 39 tahun Mahadeva dan Goh, 2006. Berbeda dengan Li et al. 2014, menurutnya prevalensi dispepsia
yang tertinggi ada pada siswa perempuan dan mahasiswa senior pada tahun ke-empat program sarjana. Pengamatan klinis umum mengenai
gejala gastrointestinal yang meningkat seiring dengan usia telah
Universitas Sumatera Utara
dikonfirmasi oleh studi berbasis populasi dan terkait pula dengan berkurangnya respon sensorik dari jaringan usus.
Gejala refluks juga sangat terkait dengan usia. Hasil penelitian menunjukkan risiko yang lebih tinggi pada kelompok usia menengah dan
risiko menurun setelah itu. Risiko gejala sedang atau berat – tapi bukan dari gejala ringan – nyata terlihat lebih tinggi pada subyek dengan usia
antara 50 dan 69 tahun. Karena kebanyakan orang hanya melaporkan gejala ringan, efek usia ini dapat diabaikan jika keparahan gejala tidak
diperhitungkan Nocon et al, 2006.
2.2.2. Jenis Kelamin
Kebanyakan studi populasi telah mampu memperoleh rasio relatif antara laki-laki berbanding perempuan dan mayoritas dari mereka telah
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam prevalensi dispepsia antara jenis kelamin. Beberapa studi dalam populasi yang berbeda telah mencatat
dominansi konsisten terletak pada perempuan dengan dispepsia. Jenis kelamin perempuan ditemukan menjadi satu-satunya faktor risiko
independen untuk dispepsia fungsional antara 2.018 orang Taiwan yang menjadi peserta pemeriksaan kesehatan Mahadeva dan Goh, 2006.
Yu et al. 2013 dalam penelitiannya juga menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dengan sindroma dispepsia. Diperlihatkan bahwa
perempuan memiliki skor gejala dispepsia yang lebih tinggi pada tahun pertama follow-up dibandingkan laki-laki, konsisten dengan hasil studi
cross-sectional di Taiwan. Pada penelitian Lydiard 2005 dalam Li et al. 2014 dikatakan
bahwa secara umum, gangguan pencernaan fungsional memiliki prevalensi lebih tinggi pada wanita. Drossman et al. 1993 dalam Li et al. 2014
juga mengatakan hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mampu untuk menyampaikan keluhannya dan memperlihatkan gangguan fungsional
Universitas Sumatera Utara
tersebut secara klinis. Namun, dalam penelitian yang sama ditunjukkan kalau tidak ada perbedaan dalam prevalensi sindroma dispepsia antara pria
dan wanita.
2.2.3. Suku
Peran suku dalam dispepsia belum diteliti oleh sebagian besar studi populasi. Sebagian besar survei telah dilakukan pada populasi tunggal
serupa dari kelompok suku, kebanyakan berasal dari latar belakang Kaukasia atau Oriental. Namun, dalam salah satu penelitian yang
melibatkan subyek dengan beberapa latar belakang suku dari sebuah institusi tunggal di Amerika Serikat, ras Afrika-Amerika ditemukan
menjadi salah satu dari beberapa faktor risiko epidemiologi untuk dispepsia. Dalam sebuah survei terhadap populasi multi-rasial di
Singapura, Asia Tenggara, prevalensi dispepsia dari suku yang sesuai ditunjukkan sebagai berikut: Cina 8,1, Melayu 7,3, dan India 7,5.
Meskipun kelompok suku mayoritas di Singapura adalah Cina, penulis dapat memperoleh prevalensi berdasarkan representasi yang sama dari tiga
kelompok etnis yang berbeda Mahadeva dan Goh, 2006. Dalam sebuah survei door to door pada 2.000 subyek dari populasi
multi-etnis Malaysia yang terdiri dari Cina, India, dan Melayu, 14,6 memiliki dispepsia kriteria Roma II. Frekuensi dispepsia adalah 14,6,
19,7, dan 11,2 untuk masing-masing kelompok suku Melayu, Cina, dan India. Dispepsia lebih umum di kalangan Cina daripada non-Cina
Ghoshal et al, 2011.
2.2.4. Gangguan Pola Makan
Sangat menarik untuk melihat bahwa banyak jenis makanan atau minuman telah dikaitkan dengan pembentukan gejala gastrointestinal pada
studi sebelumnya yang menilai pasien dengan sindroma dispepsia, sindroma iritasi usus, atau gangguan motilitas lainnya. Mekanisme
Universitas Sumatera Utara
mengenai faktor makanan yang menginduksi gejala dispepsia masih memerlukan klarifikasi. Dalam sebuah tinjauan terbaru, Feinle-Bisset dkk.
membahas peran potensial dari beberapa faktor dalam hubungannya antara diet dan dispepsia, termasuk kelainan pada pengosongan lambung dan
distribusi makanan intragastrik, hipersensitivitas lambung atau usus kecil, hipersekresi asam lambung, dan perubahan sekresi hormon gastrointestinal
Carvalho et al, 2009. Lebih dari sepertiga pasien sindroma dispepsia melaporkan
mengalami gejala dispepsia setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung gandum, seperti roti, kue, dan pasta makaroni dan lasagna.
44 dari keseluruhan pasien juga melaporkan gejala dispepsia dengan konsumsi susu. Satu penjelasan yang mungkin untuk asosiasi ini ialah
adanya malabsorpsi laktosa pada pasien ini. Dalam studi tersebut peneliti tidak menyelidiki adanya malabsorpsi laktosa untuk menilai kemungkinan
perubahan ini dalam menginduksi gejala yang berhubungan dengan susu. Namun, harus diperhatikan bahwa gejala yang berhubungan dengan
konsumsi susu pada pasien ini adalah rasa penuh dan terbakar di epigastrium, berbeda dari gejala klasik malabsorpsi laktosa, yaitu nyeri
perut, perut kembung, dan diare. Ada kemungkinan bahwa keluhan dispepsia pasien tersebut terkait dengan komponen lain dari susu, seperti
lemak Carvalho et al, 2009. Carvalho et al. 2009 juga menyampaikan temuannya yang
berkaitan dengan hubungan dispepsia dan nyeri ulu hati yang dapat dipicu oleh konsumsi kopi. DiBaise dkk. menunjukkan bahwa 43 dari pasien
dispepsia merasakan gejala rasa terbakar di epigastrium dan 90 melaporkan nyeri ulu hati setelah minum kopi. Mekanisme yang terlibat
dalam perangsangan kopi terhadap gejala dispepsia tidak sepenuhnya dipahami.
Ada sangkaan
bahwa kopi dapat memicu
refluks gastroesofageal dan merangsang sekresi asam lambung serta pelepasan
gastrin.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Kebiasaan Merokok
Merokok tidak hanya memiliki efek merusak yang sangat besar pada organ kardiovaskular , otak , dan bronkus tetapi juga secara
mendalam mengubah fungsi semua bagian dari saluran pencernaan melalui berbagai mekanisme. Salah satu efeknya berhubungan dengan mekanisme
pada sindroma dispepsia. Pentingnya peran rokok dalam mempotensiasi efek dari NSAID mungkin muncul, tetapi hasil studi epidemiologi ini
masih kontroversial. Dalam salah satu studi berbasis populasi epidemiologi, perokok dengan konsumsi harian lebih dari dua puluh
batang memiliki risiko 1,55 kali dari bukan perokok untuk mengembangkan dispepsia Massarrat, 2008.
Menurut Nandurkar 1998 dalam Massarrat 2008, dua penelitian berbasis masyarakat sebelumnya gagal untuk menunjukkan hubungan
antara merokok dengan dispepsia, meskipun merokok telah terbukti menyebabkan efek berbahaya pada mukosa lambung. Nikotin, komponen
beracun yang utama dalam tembakau, mempotensiasi cedera mukosa dengan menambah asam dan sekresi pepsin, duodenogastric reflux, dan
produksi radikal bebas. Merokok juga merusak pertahanan mukosa dengan mengurangi sintesis prostaglandin, sekresi lendir, dan sekresi faktor
pertumbuhan epidermal. Guslandi dkk. mempelajari aliran darah mukosa lambung dan produksi mukosa bikarbonat dalam tiga kelompok pasien
dengan dispepsia: bukan perokok, perokok ringan 10 batang per hari, dan perokok berat
≥10 batang per hari. Mereka menunjukkan bahwa terjadi penurunan secara statistik yang cukup signifikan pada aliran darah
mukosa lambung dan sekresi alkali pada perokok berat, tapi tidak terjadi di kelompok lain. Oleh karena itu, masuk akal bahwa merokok dapat
menyebabkan dispepsia melalui dampaknya pada mukosa lambung.
Universitas Sumatera Utara
2.2.6. Riwayat Penggunaan NSAID
Pada periode 1999-2003, 6.576 artikel mengenai reaksi obat yang merugikan diterbitkan. Sebuah pencarian di PubMed dengan judul
dispepsia dan perangasangan kimiawi menghasilkan sekitar 272 kutipan. 128 dari hasil tersebut diterbitkan dalam 10 tahun terakhir dan lebih dari
setengah 66128 yang berkaitan dengan NSAID atau penggunaan aspirin Bytzer, 2009.
NSAID digunakan lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat dan prevalensi penggunaan resep untuk NSAID adalah sekitar 10-15 pada
orang tua dengan usia lebih dari 65 tahun. Kerusakan mukosa lambung karena NSAID merupakan masalah kesehatan utama. Rata-rata satu
sampai dua dari seratus pasien yang memakai NSAID selama satu tahun, dirawat di rumah sakit karena masalah saluran cerna, paling sering ulkus.
Ofman dan rekan kerja melakukan meta-analisis dari dispepsia dan NSAID. Pada kelompok yang diobati dengan NSAID 4,8 dari pasien
mengalami dispepsia sedangkan pada pasien yang mengkonsumsi plasebo hanya 2,3. Penggunaan dosis tinggi NSAID dan obat-obatan seperti
indometasin, meclofenamate, dan piroksikam dikaitkan dengan peningkatan risiko dispepsia Bytzer, 2009.
Mekanisme NSAID itu sendiri yaitu dengan menghambat enzim cyclooxygenase COX, yang pada gilirannya mengurangi sintesis endogen
sitoprotektif dari prostaglandin dan membuat mukosa rentan terhadap agen berbahaya. Cedera mukosa saluran cerna yang disebabkan oleh NSAID
bervariasi dari mikroskopik halus sampai cedera makroskopik. Perubahan halus terjadi dalam bentuk disfungsi permeabilitas dengan difusi ion
hidrogen dan pergeseran ion natrium intraluminal. Komplikasi makroskopik, khususnya erosi dan ulkus, dapat mempersulit gangguan
mukosa yang tidak diobati. Luka mukosa lambung akut yang diinduksi
Universitas Sumatera Utara
aspirin dapat terjadi dalam waktu satu jam paparan Mofleh dan Rashed, 2007.
2.2.7. Stress
Patofisiologi dari sindroma dispepsia tidak sepenuhnya jelas. Ada beberapa hipotesis yang berusaha menjelaskan patogenesis sindroma
dispepsia, salah satunya adalah hipotesis psikologis. Hal tersebut menunjukkan bahwa depresi, kecemasan, atau pun gangguan somatisasi
dapat menyebabkan gejala dispepsia. Model biopsychological mendalilkan bahwa dispepsia dihasilkan dari interaksi timbal balik yang kompleks
antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Ada komorbiditas dua arah antara dispepsia dan gangguan psikiatris, terutama mood dan gangguan
kecemasan. Penelitian secara patofisiologi menunjukkan hubungan antara proses psikologis dengan gejala dan fungsi sensori-motor gastro-
intestinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala kejiwaan depresi, kecemasan, gangguan obsesif, sensitivitas interpersonal, psychoticism, dan
permusuhan lebih tinggi pada kelompok sindroma dispepsia daripada kontrol, dan hasil-hasil ini kompatibel dengan penelitian sebelumnya.
Levy 2006 melaporkan bahwa kecemasan, depresi, serangan panik, dan gangguan somatisasi sering terdeteksi sebelum atau bersamaan dengan
terjadinya gangguan fungsional gastrointestinal Faramarzi et al, 2012. Dispepsia, GERD, dan IBS adalah kondisi gastrointestinal yang
umum baik di Cina maupun di seluruh dunia. Tingkat prevalensi yang berbeda dari ketiga gangguan ini diamati pada populasi mahasiswa yang
dapat mencerminkan potensi berbeda dari asosiasi dengan faktor-faktor terkait stres. Mahasiswa berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
gangguan psikologis Li et al, 2014. Ujian, sebagai contoh dari stressor kehidupan nyata, menginduksi gejala dispepsia pada mahasiswa
kedokteran yang terkait dengan sifat-sifat psikologis tertentu, termasuk kecemasan Talley dan Holtmann, 2007.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Variabel Independen Variabel Dependen
3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur
Sindroma Dispepsia
Kumpulan gejala seperti
nyeri ulu hati, mual,
kembung, rasa penuh atau
cepat kenyang, dan sendawa
berlebihan. Wawancara Kuesioner - PDS
- EPS - Mixed
Dyspepsia - Tidak
Dispepsia Ordinal
Usia Umur pasien
Wawancara Kuesioner - 18-19 tahun Ordinal • Usia
• Jenis Kelamin • Suku
• Gangguan
Pola Makan • Kebiasaan Merokok
• Riwayat Penggunaan NSAID
• Stress Sindroma Dispepsia pada
Mahasiswa FK USU
Universitas Sumatera Utara
saat dilakukan penelitian.
- 20-21 tahun - 22-23 tahun
Jenis Kelamin
Jenis kelamin pasien.
Wawancara Kuesioner - Laki-laki - Perempuan
Nominal
Suku Kelompok atau
golongan masyarakat
yang memiliki kesamaan adat,
budaya, dan bahasa.
Wawancara Kuesioner - Aceh - Batak Toba
- Batak Karo - Batak
Simalungun - Batak
Mandailing - Jawa
- Manado - Melayu
- Minang - Nias
- Tiong Hoa - India
Nominal
Gangguan Pola Makan
Kebiasaan makan dari
subyek penelitian
berhubungan dengan jumlah
makan utama per hari dan
pengaruh makanan
tertentu yang dapat
Wawancara Kuesioner - Ya Skor: 4-6
- Tidak Skor: 2-3
Nominal
Universitas Sumatera Utara
menginduksi dispepsia.
Kebiasaan Merokok
Riwayat merokok dari
subyek penelitian.
Wawancara Kuesioner - Perokok aktif
- Pernah merokok
- Bukan perokok
Ordinal
Riwayat Penggunaan
NSAID dan Obat-obatan
yang Mengiritasi
Lambung Riwayat
makan obat- obatan anti
inflamasi non- steroid dan
obat-obatan lain yang
mengiritasi lambung dari
subyek penelitian.
Wawancara Kuesioner - Ya - Tidak
Nominal
Stress Perasaan
tertekan atau cemas yang
dipicu suatu faktor
pencetus. Wawancara Kuesioner - Ya
Skor: 5-6 - Tidak
Skor: 2-4 Nominal
Penyakit Kronis
Riwayat salah satu penyakit
DM, hipertensi,
Wawancara Kuesioner - Ya - Tidak
Nominal
Universitas Sumatera Utara
gagal ginjal, atau keganasan
yang dimiliki subyek
penelitian.
3.3 Hipotesis