Metode Pengolahan dan Analisis Data Pembahasan

Pola Makan 11 0.607 Kebiasaan Merokok 13 0.824 Valid 0.473 Reliabel 14 0.737 Riwayat Penggunaan NSAID 16 0.621 Valid 0.207 Reliabel 17 0.782 Stress 19 0.364 Valid 0.700 Reliabel 20 0.487

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan program komputer. Data yang diperoleh diolah dan dirangkum dalam bentuk tabel distribusi dan dilakukan uji statistik Regresi logistik. Universitas Sumatera Utara BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang terletak di Jl. Dr. T. Mansur No. 5, Kampus USU, Medan. Jumlah seluruh mahasiswa program Sarjana Kedokteran S.Ked saat ini adalah 1.777 orang yang terdiri dari mahasiswa angkatan 2011 507 orang, 2012 523 orang, 2013 476 orang, dan 2014 271 orang.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Subyek Penelitian

Responden dalam penelitian ini berjumlah 300 orang, terdiri dari mahasiswa angkatan 2011, 2012, dan 2013, masing-masing 100 orang per angkatan. Dari 300 orang tersebut, hanya 278 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Responden yang tidak dapat diikutsertakan karena usia mereka berada dibawah delapan belas tahun sebanyak dua orang, karena data yang tidak lengkap sebanyak lima orang, serta karena memiliki riwayat penyakit diabetes melitus hipertensi gagal ginjal keganasan sebanyak lima belas orang. Berikut ini dapat dilihat karakteristik dasar dari subyek penelitian pada tabel 5.1 dan jenis dispepsia yang dialami subyek penelitian pada tabel 5.2. Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian Variabel Frekuensi Persentase USIA 18-19 tahun 102 36.7 20-21 tahun 158 56.8 Universitas Sumatera Utara 22-23 tahun 18 6.5 JENIS KELAMIN Laki-laki 140 50.4 Perempuan 138 49.6 SUKU Aceh 9 3.2 Batak Karo 26 9.4 Batak Mandailing 18 6.5 Batak Simalungun 6 2.2 Batak Toba 100 36.0 Jawa 22 7.9 Manado 1 0.4 Melayu 13 4.7 Minang 24 8.6 Nias 2 0.7 Tiong Hoa 43 15.5 India 14 5.0 GANGGUAN POLA MAKAN Ya 137 49.3 Tidak 141 50.7 KEBIASAAN MEROKOK Perokok Aktif 8 2.9 Pernah Merokok 15 5.4 Tidak Merokok 255 91.7 RIWAYAT KONSUMSI NSAID Ya 82 29.5 Tidak 188 67.6 Tidak tahu 8 2.9 STRESS Ya 149 53.6 Tidak 129 46.4 TOTAL 278 100 Tabel 5.2 Jenis Dispepsia pada Subyek Penelitian Variabel Frekuensi Persentase Postprandial distress syndrome 88 31.7 Epigastric pain syndrome 16 5.8 Universitas Sumatera Utara Mixed dyspepsia 71 25.5 Tidak Dispepsia 103 37.0 TOTAL 278 100 Tabel 5.3 Jenis Makanan dan Minuman yang Menginduksi Keluhan Dispepsia Jenis Makanan Frekuensi Persentase Coklat 71 63.4 Daging 116 59.5 Jeruk 42 61.8 Keju 24 55.8 Kopi 52 71.2 Minuman Bersoda 32 64.0 Nanas 20 62.5 Roti Pasta 105 66.9 Susu 110 62.9 Dari tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa usia 20-21 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yang menjadi subyek penelitian dengan jumlah responden 158 orang 56.8. Untuk karakteristik jenis kelamin didapatkan 140 orang 50.4 laki-laki sebagai subyek penelitian terbanyak. Suku terbanyak yang didapatkan pada subyek penelitian adalah suku Batak Toba dengan jumlah responden 100 orang 36. Pada gangguan pola makan, kebiasaan merokok, dan riwayat konsumsi NSAID diperoleh jumlah subyek penelitian terbanyak di kelompok yang tidak memiliki faktor-faktor tersebut. Jumlah respondennya secara berturut-turut yaitu 141 orang 50.7, 255 orang 91.7, dan 188 orang 67.6. Berbeda halnya dengan faktor stress, jumlah subyek penelitian terbanyak ada pada kelompok yang memang memiliki faktor tersebut. Jumlah respondennya adalah 149 orang 53.6. Pada tabel 5.2 diperoleh 175 orang 63 yang mengalami dispepsia dan 103 orang 37 yang tidak. Dispepsia ini sendiri dapat Universitas Sumatera Utara dibagi lagi ke dalam tiga jenis: Postprandial distress syndrome PDS, Epigastric pain syndrome EPS, dan mixed dyspepsia. Jumlah respondennya secara berturut-turut yaitu 88 orang 31.7, 16 orang 5.8, dan 71 orang 25.5. Untuk jenis-jenis makanan minuman yang menginduksi keluhan dispepsia pada responden dapat dilihat pada tabel 5.3. Dari tabel tersebut, kopi merupakan jenis minuman yang paling banyak menginduksi keluhan dispepsia dengan jumlah responden 52 orang 71.2.

5.1.3. Hasil Analisis Bivariat

Tahap selanjutnya untuk melihat hubungan antara faktor independen usia, jenis kelamin, suku, gangguan pola makan, kebiasaan merokok, riwayat konsumsi NSAID, dan stress dengan faktor dependen dispepsia adalah analisis bivariat. Pada penelitian ini digunakan uji statistik chi-square. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat terhadap faktor risiko dispepsia yang tertera pada tabel 5.4. Tabel 5.4 Analisis Bivariat Terhadap Faktor Risiko Dispepsia Variabel Dispepsia Total P value Ya Tidak n USIA 18-19 tahun 65 63.7 37 36.3 102 100 0.971 20-21 tahun 99 62.7 59 37.3 158 22-23 tahun 11 61.1 7 38.9 18 JENIS KELAMIN Laki-laki 79 56.4 61 43.6 140 100 0.023 Perempuan 96 69.6 42 30.4 138 SUKU Aceh 5 2.9 4 3.9 9 0.408 Batak Karo 18 10.3 8 7.8 26 Batak Mandailing 10 5.7 8 7.8 18 Batak Simalungun 3 1.7 3 2.9 6 Batak Toba 63 36.0 37 35.9 100 Universitas Sumatera Utara Jawa 10 5.7 12 11.7 22 Manado 1 0.6 1 Melayu 12 6.9 1 1.0 13 Minang 17 9.7 7 6.8 24 Nias 1 0.6 1 1.0 2 Tiong Hoa 25 14.3 18 17.5 43 India 10 5.7 4 3.9 14 TOTAL 175 100 103 100 GANGGUAN POLA MAKAN Ya 102 74.5 35 25.5 137 100 0.000 Tidak 73 51.8 68 48.2 141 KEBIASAAN MEROKOK Perokok Aktif 7 87.5 1 12.5 8 100 0.323 Pernah Merokok 10 66.7 5 33.3 15 Tidak Merokok 158 62.0 97 38.0 255 RIWAYAT KONSUMSI NSAID Ya 55 67.1 27 32.9 82 100 0.522 Tidak 116 61.7 72 38.3 188 Tidak tahu 4 50.0 4 50.0 8 STRESS Ya 111 74.5 38 25.5 149 100 0.000 Tidak 64 49.6 65 50.4 129 Tabel 5.5 Nilai P-Value Analisis Bivariat Terhadap Faktor Risiko Dispepsia Variabel P-value Usia 0.971 Jenis Kelamin 0.023 Suku 0.408 Gangguan Pola Makan 0.000 Kebiasaan Merokok 0.323 Riwayat Konsumsi NSAID 0.522 Stress 0.000 Dari tabel 5.4 diatas didapatkan penderita dispepsia yang paling banyak berasal dari kelompok usia 18-19 tahun 63.7, berjenis kelamin Universitas Sumatera Utara perempuan 69.6, berasal dari suku Batak Toba 36, mengalami gangguan dalam pola makan 74.5, perokok aktif 87.5, memiliki riwayat konsumsi NSAID 67.1, dan memiliki faktor stress 74.5. Selain itu yang harus diperhatikan dari tabel 5.4 tersebut adalah nilai p-value untuk setiap variabel. Jika nilai p-value 0.05 maka variabel independen dinyatakan memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel dependen. Untuk nilai p-value 0.01 dikatakan bahwa variabel tersebut memiliki hubungan yang sangat signifikan. Lain halnya bila nilai p-value 0.05 yang berarti variabel independen tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel dependen. Dari kriteria itulah dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang memiliki hubungan signifikan dengan variabel dependen pada penelitian ini antara lain: jenis kelamin 0.023, gangguan pola makan 0.000, dan stress 0.000. Pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan nilai p-value pada variabel independen, hanya tiga variabel yang memenuhi kriteria p-value 0.25 untuk dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu analisis multivariat. Empat variabel tersebut antara lain: jenis kelamin 0.023, gangguan pola makan 0.000, dan stress 0.000.

5.1.4. Hasil Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk menemukan variabel independen jenis kelamin, gangguan pola makan, dan stress yang memiliki hubungan paling dominan dengan variabel dependen dispepsia. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi logistik. Berikut ini adalah hasil analisis multivariat terhadap faktor risiko dispepsia yang tertera pada tabel 5.6. Tabel 5.6 Analisis Multivariat Terhadap Faktor Risiko Dispepsia Universitas Sumatera Utara Variabel P-value OR 95.0 C.I Batas Bawah Batas Atas Jenis Kelamin 0.289 0.751 0.442 1.276 Gangguan Pola Makan 0.001 0.425 0.252 0.716 Stress 0.000 0.383 0.228 0.642 Pada uji regresi logistik, nilai p-value 0.05 menunjukkan bahwa variabel independen tersebut merupakan variabel yang paling berhubungan dengan variabel dependen. Dari tabel 5.5 didapatkan dua variabel independen yang memiliki hubungan erat dengan variabel dependen yaitu gangguan pola makan dan stress. Responden yang memiliki faktor gangguan pola makan berpeluang sebesar 0.425 kali 95 CI: 0.252-0.716 untuk mengalami dispepsia, sedangkan yang memiliki faktor stress sebesar 0.383 kali 95 CI: 0.228-0.642. Maka dapat disimpulkan bahwa gangguan pola makan merupakan faktor paling dominan yang dapat menimbulkan kejadian dispepsia.

5.2. Pembahasan

Dari keseluruhan responden yang mengalami dispepsia pada penelitian ini, diperoleh jumlah terbanyak ada pada kelompok dispepsia jenis postprandial distress syndrome PDS. Berbeda dengan penelitian Lee et al. 2013 yang mendapatkan jumlah terbanyak 68.8 pada kelompok epigastric pain syndrome EPS. Namun, dari penelitian tersebut mereka belum dapat mengetahui penyebab dari jumlah kelompok EPS yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain. Faktor pertama yang dapat memengaruhi kejadian dispepsia adalah usia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase responden yang mengalami dispepsia menurun seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini serupa dengan penelitian Kawamura et al. 2001 dalam Ghoshal et al. 2011 yang menyatakan pada kelompok usia muda, yaitu mereka yang Universitas Sumatera Utara berusia dibawah lima puluh tahun 13, lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan dengan kelompok usia diatas lima puluh tahun 8. Selanjutnya, hasil analisis bivariat terhadap faktor usia ternyata menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan terhadap kejadian dispepsia p = 0.971. Berbeda dengan penelitian Shah et al. 2001 dalam Ghoshal et al. 2011 yang memperlihatkan hubungan yang signifikan antara pertambahan usia dengan dispepsia p = 0.00003. Perbedaan tersebut kemungkinan dikarenakan perbedaan lokasi penelitian dan perbedaan jumlah serta kelompok usia yang menjadi sampel penelitian. Faktor berikutnya dalam penelitian ini adalah jenis kelamin. Terlihat bahwa jumlah perempuan 69.6 yang mengalami dispepsia lebih banyak dibandingkan laki-laki 56.4. Hasil yang diperoleh melalui analisis bivariat juga menyatakan hubungan yang signifikan antara faktor tersebut dengan dispepsia p = 0.023. Namun, dari analisis multivariat dapat dipastikan faktor jenis kelamin bukan lah faktor utama yang memengaruhi kejadian dispepsia. Berbeda dengan penelitian Yu et al. 2013, diperoleh bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh signifikan pada dispepsia melalui hasil analisis regresi linier yang dilakukan p 0.001. Dari penelitian tersebut juga terlihat gejala dispepsia yang lebih banyak ditemukan pada perempuan 63.9 dibandingkan laki-laki 35.1. Drossman et al. 1993 dalam Li et al. 2014 mengatakan hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mampu untuk menyampaikan keluhannya dan memperlihatkan gangguan fungsional tersebut secara klinis. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya mungkin dikarenakan perbedaan kuesioner yang digunakan, lokasi, dan jumlah sampel penelitian. Suku merupakan salah satu faktor yang turut diteliti dalam penelitian ini. Jumlah responden terbanyak yang mengalami dispepsia diperoleh pada suku Batak Toba 36. Namun, dari analisis bivariat p = 0.408 dinyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara suku Universitas Sumatera Utara dengan kejadian dispepsia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ghoshal et al. 2011 pada populasi perkotaan Malaysia. Suku Melayu dinyatakan sebagai faktor risiko independen untuk kejadian dispepsia OR, 2.17; 95 CI, 1.57-2.99. Peneliti lain mengatakan bahwa dari banyak penelitian yang telah dilakukan pada populasi dengan kelompok suku yang serupa, sebagian besar berasal dari latar belakang Kaukasia atau Oriental Mahadeva dan Goh, 2006. Perbedaan lokasi dalam penelitian merupakan salah satu kemungkinan yang membuat perbedaan hasil. Gangguan pola makan juga menjadi salah satu faktor risiko dalam penelitian ini. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor tersebut memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan dispepsia p = 0.000. Dari analisis multivariat pun, gangguan pola makan menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi kejadian dispepsia p = 0.001, OR = 0.425, 95 CI: 0.252-0.716. Hal tersebut mengisyaratkan peluang responden yang memiliki gangguan pola makan lebih besar 0.425 kali dibandingkan dengan responden yang tidak. Diperoleh pula kopi sebagai jenis makanan minuman yang paling banyak menginduksi keluhan dispepsia pada sebagian besar responden. Penelitian Mahadeva et al. 2010 dalam Ghoshal et al. 2011 juga menyatakan adanya hubungan jenis makanan tertentu, yaitu konsumsi tinggi makanan pedas, dengan kejadian dispepsia pada suatu populasi di Malaysia OR, 2.35; 95 CI, 1.15-4.80. Berbeda dengan penelitian Carvalho et al. 2009 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara intoleransi makanan tertentu terhadap gangguan pola makan yang dialami pasien dispepsia, walaupun ditemukan jenis makanan minuman yang paling berpengaruh adalah kopi. Mereka mengatakan ada bukti bahwa kopi meningkatkan refluks gastroesofageal dan merangsang sekresi asam lambung serta pelepasan gastrin, tetapi mekanisme yang terlibat tidak sepenuhnya dipahami. Universitas Sumatera Utara Untuk kebiasaan merokok dan kejadian dispepsia, tidak didapatkan hubungan yang signifikan melalui analisis bivariat p = 0.323 walaupun persentase terbesar untuk mengalami dispepsia ada pada mereka yang merupakan perokok aktif. Hasil ini serupa dengan penelitian Chang et al. 2012 yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan antara faktor risiko dari kebiasaan sehari-hari seperti merokok p = 0.163, konsumsi alkohol p = 0.825, dan mengunyah daun sirih p = 0.632 dengan terjadinya gangguan fungsional pada saluran cerna. Berbeda dengan penelitian Nandurkar et al. 1998, melalui uji regresi logistik diperoleh hubungan yang signifikan antara merokok OR, 2.2; 95 CI, 1.3-3.7; P = 0.005 dengan dispepsia. Nikotin, komponen toksik primer dalam rokok, dikatakan dalam penelitian tersebut berpotensi merusak mukosa lambung dengan cara meningkatkan produksi asam dan sekresi pepsin. Merokok juga mengganggu sistem pertahanan mukosa dengan menurunkan sintesis prostaglandin, sekresi mukus, dan sekresi hormon pertumbuhan epidermal. Perbedaan hasil yang terjadi antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan dikarenakan lokasi, metode pengumpulan data, dan jumlah subyek penelitian yang berbeda. Pada faktor risiko selanjutnya, yaitu riwayat penggunaan NSAID, tidak ditemukan pula hubungan yang signifikan dengan kejadian dispepsia p = 0.522 walaupun persentase penderita yang tertinggi ada pada kelompok yang memiliki riwayat penggunaan NSAID. Nandurkar et al. 1998 juga menyatakan tidak adanya hubungan yang signifikan P = 0.80 dikarenakan efek analgesia dari NSAID yang dapat menutupi gejala dispepsia. Selain itu, rendahnya konsumsi NSAID tidak mengherankan karena populasi penelitian masih dikatakan muda, dengan usia rata-rata 39 tahun. Mereka menduga bahwa rendahnya penggunaan NSAID pada populasi tersebut merupakan alasan mereka gagal untuk mengamati adanya sebuah hubungan. Universitas Sumatera Utara Faktor risiko terakhir yang diteliti dalam penelitian ini adalah stress. Dari analisis bivariat p = 0.000 serta multivariat p = 0.000, OR = 0.383, 95 CI: 0.228-0.642 dinyatakan bahwa faktor ini memiliki hubungan yang signifikan dan merupakan salah satu faktor utama yang memengaruhi kejadian dispepsia. Responden yang memiliki faktor stress berpeluang 0.383 kali lebih besar dari responden yang tidak. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Ochi et al. 2008. Mereka menyatakan perfeksionisme, seperti kritik dari orangtua yang mendasari latar belakang psikologis pasien, dapat berkorelasi dengan gejala dispepsia yang terjadi P = 0.0476. Dikatakan, ketika pasien kembali menerima beberapa kritik dalam kehidupan mereka sehari-hari, serupa dengan kejadian kritik sebelumnya dari orang tua, hal itu dapat menyebabkan supresi tekanan mental dan kecemasan yang sama sehingga dapat menyebabkan gejala rasa penuh pada daerah abdomen dan atau rasa kembung yang dimediasi oleh gangguan akomodasi lambung. Universitas Sumatera Utara BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan