Suku Gangguan Pola Makan

tersebut secara klinis. Namun, dalam penelitian yang sama ditunjukkan kalau tidak ada perbedaan dalam prevalensi sindroma dispepsia antara pria dan wanita.

2.2.3. Suku

Peran suku dalam dispepsia belum diteliti oleh sebagian besar studi populasi. Sebagian besar survei telah dilakukan pada populasi tunggal serupa dari kelompok suku, kebanyakan berasal dari latar belakang Kaukasia atau Oriental. Namun, dalam salah satu penelitian yang melibatkan subyek dengan beberapa latar belakang suku dari sebuah institusi tunggal di Amerika Serikat, ras Afrika-Amerika ditemukan menjadi salah satu dari beberapa faktor risiko epidemiologi untuk dispepsia. Dalam sebuah survei terhadap populasi multi-rasial di Singapura, Asia Tenggara, prevalensi dispepsia dari suku yang sesuai ditunjukkan sebagai berikut: Cina 8,1, Melayu 7,3, dan India 7,5. Meskipun kelompok suku mayoritas di Singapura adalah Cina, penulis dapat memperoleh prevalensi berdasarkan representasi yang sama dari tiga kelompok etnis yang berbeda Mahadeva dan Goh, 2006. Dalam sebuah survei door to door pada 2.000 subyek dari populasi multi-etnis Malaysia yang terdiri dari Cina, India, dan Melayu, 14,6 memiliki dispepsia kriteria Roma II. Frekuensi dispepsia adalah 14,6, 19,7, dan 11,2 untuk masing-masing kelompok suku Melayu, Cina, dan India. Dispepsia lebih umum di kalangan Cina daripada non-Cina Ghoshal et al, 2011.

2.2.4. Gangguan Pola Makan

Sangat menarik untuk melihat bahwa banyak jenis makanan atau minuman telah dikaitkan dengan pembentukan gejala gastrointestinal pada studi sebelumnya yang menilai pasien dengan sindroma dispepsia, sindroma iritasi usus, atau gangguan motilitas lainnya. Mekanisme Universitas Sumatera Utara mengenai faktor makanan yang menginduksi gejala dispepsia masih memerlukan klarifikasi. Dalam sebuah tinjauan terbaru, Feinle-Bisset dkk. membahas peran potensial dari beberapa faktor dalam hubungannya antara diet dan dispepsia, termasuk kelainan pada pengosongan lambung dan distribusi makanan intragastrik, hipersensitivitas lambung atau usus kecil, hipersekresi asam lambung, dan perubahan sekresi hormon gastrointestinal Carvalho et al, 2009. Lebih dari sepertiga pasien sindroma dispepsia melaporkan mengalami gejala dispepsia setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung gandum, seperti roti, kue, dan pasta makaroni dan lasagna. 44 dari keseluruhan pasien juga melaporkan gejala dispepsia dengan konsumsi susu. Satu penjelasan yang mungkin untuk asosiasi ini ialah adanya malabsorpsi laktosa pada pasien ini. Dalam studi tersebut peneliti tidak menyelidiki adanya malabsorpsi laktosa untuk menilai kemungkinan perubahan ini dalam menginduksi gejala yang berhubungan dengan susu. Namun, harus diperhatikan bahwa gejala yang berhubungan dengan konsumsi susu pada pasien ini adalah rasa penuh dan terbakar di epigastrium, berbeda dari gejala klasik malabsorpsi laktosa, yaitu nyeri perut, perut kembung, dan diare. Ada kemungkinan bahwa keluhan dispepsia pasien tersebut terkait dengan komponen lain dari susu, seperti lemak Carvalho et al, 2009. Carvalho et al. 2009 juga menyampaikan temuannya yang berkaitan dengan hubungan dispepsia dan nyeri ulu hati yang dapat dipicu oleh konsumsi kopi. DiBaise dkk. menunjukkan bahwa 43 dari pasien dispepsia merasakan gejala rasa terbakar di epigastrium dan 90 melaporkan nyeri ulu hati setelah minum kopi. Mekanisme yang terlibat dalam perangsangan kopi terhadap gejala dispepsia tidak sepenuhnya dipahami. Ada sangkaan bahwa kopi dapat memicu refluks gastroesofageal dan merangsang sekresi asam lambung serta pelepasan gastrin. Universitas Sumatera Utara

2.2.5. Kebiasaan Merokok