commit to user
1
1
BAB l PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia, diperkirakan 80 bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia,
sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti: Philippina, Vietnam dan negara- negara Asia lainnya. Daerah penghasil rotan yaitu Pulau Kalimantan, Pulau
Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua dengan potensi rotan Indonesia sekitar 622.000 tonTahun. Sebanyak 80 persen bahan baku rotan dunia berasal
dari Indonesia. Dari jumlah itu, 90 persen merupakan sumbangan rotan alam yang terdapat di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera dan hanya 10 persen dihasilkan
dari budi daya. Tempo, 19 November 2007. Sayangnya penanganan pemerintah terhadap keunggulan ini begitu
dangkal, tampak tidak memiliki strategi yang jelas. Menurut sejarah komoditas rotan atau nama lainnya Lepidocaryodidae, yang ada cuma kebijakan pemerintah
yang tidak konsisten. Kebijakan ekspor rotan sebagai bahan baku terus berubah- ubah. Sistem buka tutup kebijakan ekspor silih berganti. Sebelum tahun 1986
merupakan era bebas ekspor rotan. Indonesia secara besar-besaran mengekspor bahan baku rotan ke berbagai negara, terutama Taiwan yang menjadi pembeli
terbesar. Tak pelak, perlahan-lahan industri mebel rotan Taiwan bangkit dan menguasai pasar mebel dunia. Melihat kondisi demikian, pemerintah kemudian
commit to user
2
mengubah dengan menyatakan larangan ekspor bahan baku rotan antara 1986– 1998. Bagi Asmindo Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia, era
pelarangan ini mampu mendorong tumbuhnya industri mebel rotan nasional sekaligus meningkatnya ekspor. Di pihak lain industri mebel Taiwan akhirnya
menjerit karena kekurangan bahan baku. Indonesia terjaga dari mimpi indah sebagai eksportir rotan. Sinatra, 2008.
Akan tetapi, bagi petani kondisi saat itu justru merugikan mereka karena harga rotan justru merosot. Petani tidak mampu menutupi kebutuhan hidupnya
yang terus merangkak yang tidak diimbangi dengan harga rotan yang memadai. Masa perkembangan yang dialami produsen terganjal tatkala pemerintah
kemudian membuka ekspor bahan baku rotan pada 1998. Pemerintah tidak punya strategi untuk mengatasi masalah rotan, terbukti dengan dikeluarkannya
keputusan yang berbeda–beda oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian tentang
ekspor rotan
pada tahun
yang sama. Mulai
SK Nomor 34MPPKep11998 yang mengatur ekspor lampit rotan dengan sistem kuota
kemudian dicabut dengan SK Nomor 184MPPKep41998. Masih pada tahun yang sama kemudian diterbitkan SK Nomor 187MPPKep41998 yang
membebaskan ekspor bahan baku rotan dan diterbitkan lagi SK Nomor 440MPPKep91998 mengatur khusus ekspor rotan bulat. Pada periode tersebut,
Asmindo mengalami kekurangan bahan baku dan harga rotan fluktuatif. Di saat itu juga, ekspor yang sebagian besar ditujukan ke Cina memberi kesempatan
negara itu membangun industri mebelnya. Kesulitan bahan baku rotan yang
commit to user
3
dianggap sudah mengganggu industri kemudian menelurkan lahirnya SK Nomor 355MPPKep52004 tentang Pengaturan ekspor rotan alam dalam bentuk
mentah dan setengah jadi dikunci terhadap ekspor, yang diizinkan adalah ekspor rotan budidaya itu pun dengan sistem kuota. Sinatra, 2008
Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku dibuka kembali pada tahun 2005, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan
No.12M-DAGPER2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, industri rotan nasional perkembangannya mulai terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi
lesu. Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China, Taiwan dan Italia industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan berkembang pesat. Sinatra,
2008. Adanya isu bahwa harga rotan internasional tinggi sehingga ekspor
bahan baku rotan sangat banyak ke internasional berdampak pada kenaikan biaya produksi. Hal ini membuat para produsen rotan berlomba-lomba untuk
mengekspor bahan baku. Dengan kondisi yang demikian, maka dampak yang terjadi di Indonesia yaitu bahan baku rotan menjadi langka sehingga harga bahan
baku rotan menjadi tinggi. Keadaan ini tentu sangat berpengaruh pada dunia industri rotan dalam negeri, dengan sendirinya biaya produksi tinggi maka daya
saing di luar negeri rendah karena kalah bersaing dengan harga internasional. Maka industri rotan dalam negeri produksinya menurun karena order rendah,
bahkan ada yang sudah tidak mampu berproduksi lagi.
commit to user
4
Akibatnya apabila hal ini tidak segera diatasi, maka bisa jadi industri pengolahan rotan akan menjadi semakin terpuruk. Salah satu sentra industri rotan
di Jawa Tengah yaitu industri kerajinan rotan di Trangsan Sukoharjo. Sejak tahun 2005, baik produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor
industri pengolahan rotan di Trangsan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dan penurunan tersebut berlanjut pada tahun 2006 dan.pada tahun
2007, beberapa produsen atau pengrajin rotan di Trangsan mengalami penurunan produksi, bahkan ada yang jatuh pailit dan tidak berproduksi lagi, tapi ada juga
yang masih bertahan. Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan baku rotan, namun sebaliknya di negara pesaing bahan baku tersebut lebih mudah
didapatkan. Hal ini menarik untuk diteliti mengenai bagaimana strategi para pengrajin rotan di Desa Trangsan Sukoharjo yang masih bertahan dalam
menghadapi kelangkaan dan kenaikan harga bahan baku.
B. RUMUAN MASALAH