Kiprah dan perjuangan KH. Alima'shum dalam tubuh NU 1981-1989

(1)

KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ALI MA’SHUM

DALAM TUBUH NU 198I-1989

Skripsi :

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Universitas Islam Negeri

SAYRIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh Willy Ahmadi 103022027528

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYTULLAH

JAKARTA


(2)

KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ALI MA’SHUM

DALAM TUBUH NU 198I-1989

Skripsi :

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh

Willy Ahmadi

NIM: 103022027528

Pembimbing

Drs. H.M. Ma’ruf Misbah, M.A.

NIP: 19591222 199103 1 003

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYTULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ALI MA’SHUM DALAM TUBUH NU 1981 – 1989 telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari selasa, 8 Desamber 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat meperoleh gelar sarjana Humaniora pada program studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta,21 Desember 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Sekretaris

Drs.H.M. Ma’ruf Misbah, MA Drs.Usep Abdul Matin,MA,MA.S.Ag. NIP :19591222 199103 1 003 NIP : 19680807 199803 1 002

Penguji Pembimbing

Dr.H.M.Muslih Idris. Le. MA Drs.H.M. Ma’ruf Misbah, MA NIP : 19520603 198603 1 001 NIP : 19591222 199103 1 003


(4)

ABSTRAKS

KH Ali Ma’shum merupakan seorang ulama sekaligus intelektual kaliber nasional bahkan internasional. Kiprah puncak beliau adalah sebagai Rois Aam NU. Keaktifan dalam berkiprah ini tidak terlepas dari kepribadian beliau sebagai seorang organisatoris dan juga sebagai spiritualis. Sehingga wajar ketika keberadaan KH Ali Ma’shum di tengah-tengah masyarakat menjadi figur yang dituakan, baik karena kekharismaan beliau, maupun keilmuan beliau yang mumpuni. Lebih jauh KH Ali Ma’shum adalah sosok yang sangat berperan aktif dalam masarakat. Bukan saja dalam bidang keagamaan saja tetapi lebih dari itu beliau juga aktif dalam pergerakan politik nasional.

Untuk menjadi pembahasan yang lebih terarah dan fokus, penelitian ini lebih ditekankan pada kiprah beliau pada NU 1981-1989 dan corak pemikirannya. Sebagaimana diketahiu bahwa keterlibatan KH Ali Ma’shum dalam dinamika kehidupan NU baik NU sebagai organisasi keagamaan maupun NU sebagai oganisasi politik sedikit banyak telah diwarnai oleh corak pemikiran beliau.

Kajian penelitian ini sengaja penulis angkat untuk memperkaya khazanah keilmuan, khususnya biografi sosok dan corak pemikiran KH Ali Ma’shum. Untuk mengenal seorang tokoh maka tidah cukup dengan mengungkap sejarah perjuangannya saja, tetapi corak pemikirannya pun harus diketahui, dengan begitu kita dapat mengetahiu sosok tokoh secara komprehensif.


(5)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang patut penulis lafazkan selain puji serta syukur kehadirat Illahi Rabbi yang telah memberi berbagai macam nikmat, kesempatan serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada nabi Muhammad SAW. yang telah membawa perubahan bagi peradaban manusia. Perubahan dari zaman kegelapan menjadi zaman yang terang benderang dengan adanya cahaya Islam.

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh penulis untuk dapat menyelesaikan program Sarjana dalam Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan segala daya dan upaya penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun sebuah karya skripsi yang terbaik. Namun, sudah menjadi kelaziman bahwa “tak ada gading yang tak retak”, dan begitulah pada akhirnya skripsi ini dihasilkan dengan segala kekurangannya. Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sisi idealnya. Oleh karenanya, penulis berharap akan muncul kritik, saran, maupun komentar dari berbagai pihak untuk lebih menyempurnakan segala kekurangan dari karya ini.

Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberi petunjuk serta motivasi dalam penulisan karya ini. Oleh karenanya sudah pada tempatnyalah penulis menghaturkan rasa hormat yang setinggi-tingginya serta ucapan terimakasih tak terhingga kepada :

1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Dr. Abdul Chair, M.A dan ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Drs. H.M. Ma’ruf Misbah, M.A serta sekretaris Jurusan Sejarah dan peradaban Islam, Drs. Usep Abdul Matin, M.A


(6)

yang telah membantu kelancaran saya dalam mengurus segala prosedur yang terkait dengan pelaksanaan penyusunan hingga sidang skripsi ini.

2. Drs. H.M Ma’ruf Misbah, M.A. selaku pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan pengarahan serta perhatian kepada penulis terkait dengan penulisan skripsi ini hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Drs. Usep Abdul Matin, S.Ag., M.A., M.A.

4. Drs. H.M. Ma’ruf isbah, M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi awal bagi terciptanya karya ini.

5. Pemimpin dan seluruh staf pegawai Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Umum yang telah memberikan pelayanan dan kemudahan bagi penulis dalam memperoleh data-data yang penulis butuhkan.

6. Pimpinan dan seluruh staff PBNU, perpustakaan PBNU yang telah membantu penulis dalam memberikan data-data dan informasi terkait dengan skripsi ini. 7. Kedua orang tua, Ayahanda H. Shofwan dan Ibunda Hj. Afiyah yang telah

banyak berkorban untuk memberikan motivasi, doa, cinta dan kasih sayang yang tulus ikhlas serta apapun yang terbaik bagi penulis.

8. Kakaku, Ibnu Nizar, SH dan adik-adikku tercinta Ulin Nuha, Yusuf Tegar Prabowo dan si bungsu yang imut Lazma Akhlisia. Kakak-kakak sepupuku yang tercinta Mba Dewi dan Mas Hadi, Serta Nurjanah dengan penuh kesabaran dan kasih sayang serta keluarganya dan kasih sayang yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi ini.


(7)

9. Spesial motivator Agus pujuharto, S.Hum yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran-saranya tanpa bosan juga Mas Haris, Mas Zaki terima kasih atas spiritnya.

10.Seluruh kawan-kawan SPI angkatan 2003 Sulis, Rara, Achi, Nuril, Babay, Biah dan seluruh kawan-kawan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, yang selama ini telah bersama menorehkan kenangan terindah yang tak akan terlupakan oleh penulis, khususnya My Heart Nur Jannah yang selalu setia mendampingi penulis dalam menyusun skripsi ini.

Semoga segala kebaikan-kebaikan yang telah mereka berikan dapat bermanfaat dan mendapat balasan limpahan pahala dari Allah SWT. Amien. 11.Keluarga besar Alaska, Kang Imam, Haji Noto, Kang Saiful, mas Ompong dan

sebagianya

Akhir kata, penulis berharap kritik dan saran terhadap karya tulis ini yang tetntumua jauh dari sempurna. Semoga apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat bagi orang banyak. Terima kasih.

Jakarta, 5 Maret 2009

Willy Ahmadi


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN... .1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... .7

D. Manfaat Penulisan ... .8

E. Metode Penelitian... .8

F. Metode Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II BIOGRAFI KH. ALI MA’SHUM ... .12

A. Silsilah Keluarga ... .12

B. Latar Belakang Pendidikan ... .13

C. Corak Pemikiran KH. Ali Ma’shum... .16

BAB III KH. ALI MA’SHUM DAN NU...25

A. Latar Belakang Berdirinya NU ... 25

B. Perkembangan NU Pasca Kelahirannya ... 27

C. Awal Keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam Tubuh NU... 32

BAB IV PERAN KH. ALI MA’SHUM DALAM TUBUH NU 1981-1989 ...37

A. Percaturan Politik NU dari 1981 Hingga Kembalinya ke Khittah NU (1926)... 37

B. Kiprah KH. Ali Ma’shum dalam Percaturan Politik NU... .44

C. Peran KH. Ali Ma’shum Sebagai Rois ‘Am NU ... .49

BAB V PENUTUP ...55


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama telah menjadi entitas yang sangat penting dalam proses transmutasi nilai-nilai ke dalam wilayah Republik Indonesia. Secara historis kenyataan itu sulit dielakkan. Semenjak kehadiran agama Hindu dan Budha, bangsa Indonesia sesunnguhnya sudah berada pada wilayah kehidupan religius. Banyaknya peninggalan agama Hindu dan Budha seperti candi adalah bukti bahwa agama telah menancap sebagai sistem ritual sekaligus sistem sosial dan budaya. Karena itu esensi bangsa Indonesia sejak dulu tidak mengenal sekularisasi.

Validitas sejarah telah mendukung Islam sebagai bagian terbesar dalam pergulatan keindonesiaan, karena Islam telah memberikan andil yang signifikan dalam transformasi bangsa. Sejarah Wali Songo di Jawa menunjukkan dengan kuat bagaimana transfer aksiologi keislaman telah mampu merubah wajah lokalitas budaya menjadi tata nilai yang mampu menginjeksi masyarakat menuju pada bentuk yang dinamis.1

Dalam sejarah gerakan bangsa-bangsa di dunia dan komunitas pemeluk agama, selalu lahir pemimpin dan orang-orang yang ditokohkan serta menjadi panutan dalam banyak persoalan kehidupan. Pemimpim atau tokoh-tokoh itu lahir di masa dan komunitas tertentu sesuai kebutuhan sejarah yang memanggilnya serta komitmen diri yang dimilikinya. Terlepas apakah pemimpin dan tokoh itu yang mengubah sejarah atau boleh jadi sebaliknya, kekuatan sejarah yang tak gampang dipahami itu sendiri yang secara sengaja sesuai dengan logika sejarah yang melahirkan sang pemimpin dan

1

Hilmi Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU : Identitas Islam Indonesia, ELSAS, Jakarta, 2004, h. viii


(10)

sang tokoh. Tetapi sesuatu yang sulit diingkari adalah bahwa ketokohan seseorang atau sekelompok orang hanya ada di dalam dan dari sebuah komunitas.

Pada awal abad XX fenomena paling mencolok yang menunjukkan kebangkitan “bumiputra” untuk melawan penjajahan Belanda adalah adanya gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, organisasi dan partai. Fenomena tersebut menyandang sebutan “pergerakan”, di mana bumiputra bergerak mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan.

Pada awal abad XX ulama menyandang simbol utama perlawanan terhadap penjajah.2 Seiring jalannya waktu, para ulama akhirnya membentuk suatu wadah sebagai media perjuangannya dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Bagi kalangan NU, berdirinya organisasi keagamaan ini tidak jarang dipandang sebagai pelembagaan tradisi kegamaan yang sudah mengakar sebelumnya. Para Ulama yang sudah memiliki kesamaan wawasan keagamaan pada 31 Januari 1926 sepakat membentuk organisasi ini. Meski begitu, proses kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu yang mengitarinya. Perkembangan dunia Islam dan situasi kolonialisme Belanda tidak kecil andilnya dalam membidani kelahirannya.3

Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU memiliki perjalanan panjang dalam ranah perjuangannya. Gagasan yang dikedepankan pertama kali ketika NU dibentuk, bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan keagamaan. Walau demikian, tidak berarti wawasan tersebut lantas menjadikan NU mengabaikan persoalan poltik.4 Hal ini dapat dilihat dari manifestasi gerakan ini dalam kancah

2

Aceng Abdul Azis Dy Dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, Jakarta, 2006, h. 206.

3

Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta, h. 1

4


(11)

perjuangan bangsa pada masa pra-kemerdekaan yang dikenal dengan gerakan Islam kulutural.

Walaupun aktivitas yang dilakukan NU dalam gerakannya pada awal berdirinya organisasi ini adalah gerakan keagamaan, tapi tidak berarti hal-hal yang bersifat politik diabaikan. Pada muktamar ke-3 tahun 1928, NU tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai perhatiannya dalam masalah politik. Yang disebutkan adalah mengenai tujuan-tujuan sosial keagamaan. Di situ disebutkan bahwa yang ingin dipertahankan NU adalah ajaran Islam yang terikat pada empat madzhab dan mengerjakan bersama apa yang menjadi kemaslahatan bersama. Di bidang sosial yang menjadi perhatian adalah memajukan pertanian, perdagangan dan perusahaan.5

Namun seiring jalannya waktu, NU secara tidak langsung memainkan perannya berkaitan dengan soal politik. Ini bisa dilihat dari sikap NU terhadap penjajah Belanda, di mana NU bersikap kooperatif terbatas atau akomodatif, yaitu bersedia bekerjasama dengan penjajah Belanda ketika berkaitan dengan keselamatan umat Islam dan menentangnya jika berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang merugikan atau bahkan mengancam umat Islam.

Sikap NU yang bekerjasama dengan Belanda dapat dilihat pada keikutsertaannya dalam sidang Kontoor voor Inslansche Zaken (Kantor Urusan dalam Negeri) di Jakarta pada 1929 yang membicarakan soal perkawinan umat Islam dan perbaikan organisasi penghulu atas prakarsa C. Gobee, adviseur pada kantor tersebut. Pemerintah Hindia Belanda ingin memperbaiki peraturan tentang perkawinan umat Islam. Peraturan yang direncanakan pada pokoknya mengatur tentang nikah, talak, rujuk dan sebagainya.6

5

Ibid, h. 209.

6


(12)

Sikap-sikap yang menunjukkan keengganan bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda di antaranya sebagai berikut: Pada tahun 1930, NU menolak peraturan pemerintah Hindia Belanda mengenai ordonansi guru (guru ordonnantie) yang memberlakukan administrasi yang lebih ketat terhadap sekolah-sekolah, termasuk pesantren. Pada tahun 1931, NU juga memprotes penarikan masalah-masalah waris dari wewenang peradilan agama.7

Selama masa kolonialisme, NU selalu melakukan langkah-langkah politik, walalupun tidak secara langsung. Klimaks dari perjuagan NU adalah pada masa datangnya Jepang ke Tanah Air hingga masa revolusi kemerdekaan, di mana NU terlibat langsung gerakan politik massa dalam mempertahankan meraih kemerdekaan.

Nampaknya apa yang telah dilakukan NU dalam langkah-langkah perjuangannya pada masa pra-kemerdekaan hingga pasca revolusi kemerdekaan membawa dampak besar terhadap kalangan NU untuk terlibat langsung dalam gelanggang politik di republik ini seiring dengan kepincangan-kepincangan politik yang terjadi pada masa itu, dan ditambah dengan instabilitas politik yang tercermin dalam berbagai gejolak partai dan saling mencurigai antara satu partai dengan partai lainnya.8

Ini terlihat pula pada pertengahan 1950-an, di mana NU menghadapi krisis baru dalam hubungannya dengan Masyumi mengenai posisi dalam kabinet. Berakhirnya Kabinet Wilopo pada bulan Juni menggiring pembicaraan tentang kabinet baru berlarut-larut. NU mengusulkan front persatuan di mana koalisi Masyumi-PNI akan dijadikan sandaran pembentukan kabinet baru. Bergabungnya NU dengan Masyumi sendiri terjadi ketika NU meminta jatah untuk kementerian agama. Ketika negosiasi mengenai kabinet baru antara Masyumi-NU gagal, NU melakukan

7

Ibid, h. 213.

8

Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakka, dari Tradisi ke DI/TII, Grafiti Press, Jakarta, 1989, h. 189


(13)

manuver dengan melakukan hubungan langsung dengan formatur mengenai posisi kabinet non-Masyumi.9

Pergolakan politik NU dalam negeri ini terus berlanjut hingga akhirnya NU mengalami perubahan pada awal tahun 1980-an didasarkan atas keinginan untuk mengembalikan NU sebagai gerakan keagamaan dan gerakan kemasyarakatan sebagaimana khittah jam’iyyah NU tahun 1926. Keinginan ini dilandasi pada suatu kondisi politik saat itu yang membuat orientasi dan interest politik praktis di kalangan pengurus. Hal ini telah mengakibatkan rapuhnya jam’iyyah, terutama terabaikannya basis jama’ah pada masyarakat bawah serta kewenangan para ulama.10 Kenyataannya hal itu tidak bisa diwujudkan oleh para pengurusnya. Wafatnya Rois ‘Am KH. M. Bisri Syansuri 25 April 1981, membuka peluang bagi kedua sayap politik dan sayap Khittah untuk saling memperkuat posisinya. Pembicaraan pengisian jabatan Rois ‘Am dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama kan Konferesi Besar NU di Kaliurang Yogyakarta 1981 menjadi sangat penting. Ternyata Munas dan Konbes itu berhasil memilih KH. Ali Ma’shum sebagai Rois ‘Am PBNU menggantikan KH. M. Bisri Syansuri.

Meskipun bagi pribadinya terasa berat, terpilihnya KH. Ali Ma’shum ini menandai kemenangan sayap khittah yang didukung para ulama pesantren dan generasi muda. Dalam Khutbah Iftitah Munas dan Konbes itu dia menyinggung perlunya diberikan peluang generasi muda serta pemulihan kedudukan ulama sebagai pemegang kendali dalam NU. Kepemimpinan Kiai Ali beserta terjadinya proses menuju Muktamar ke-27 merupakan babak sejarah yang menarik dalam tubuh NU. Meski dengan kondisi yang penuh ketegangan, roda organisasi NU terus berjalan menuju perubahan yang lebih pasti. Pada 1983 dilaksanakan Munas Alim Ulama di

9

Acing Abdul Azis Dy, Islam Ahlussunnah, h. 231.

10

Mustafa Bisri, Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh NU, Yayasan Syaifudun Zuhri, Jakarta, 1994, h. 363.


(14)

Situbondo yang menghasilkan konsep kembali ke Khittah 1926. Setahun kemudian dilaksanakan Muktamar ke-27 yang bersejarah itu.11

Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis kiprah dan perjuangan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU. Penulis ingin mengkaji bagaimana peranan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU pada suatu periode tertentu.

Oleh karenanya penulis memutuskan untuk memilih peristiwa sejarah ini sebagai objek kajian dengan judul, “Kiprah dan Perjuangan KH. Ali Ma’shum dalam Tubuh NU 198I-1989”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah a. Pembatasan Masalah

Pada dasarnya, dengan menentukan judul “Kiprah dan Perjuangan KH. Ali Ma’shum di Tubuh NU 1981-1989”, pembatasan kajian sejarah telah ditentukan. Dalam kajian sejarah, pembatasan masalah minimal terdiri dari pembatasan waktu, ruang, pelaku, dan objek penelitian. “Kiprah dan Perjuangan” adalah objek penelitian, “KH. Ali Ma’shum” adalah pelaku, “NU” adalah ruang dan “tahun 1981-1989” merupakan pembatasan waktu.

b. Perumusan Masalah

Dengan pembatasan masalah di atas itulah kemudian penulis membuat rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana biografi KH Ali Ma’shum dan corak pemikirannya. 2. Sejauh mana keterlibatan KH Ali Ma’shum di dalam NU

3. Bagaimana peranan dan perjuangan KH. Ali Ma’shum pada periode 1981-1989?

11

Syaifullah Ma’sum, Karisma Ulama; kehdupan Ringkas 26 Tokoh NU, Mizan, Bandung, 1998, h. 344-345


(15)

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui biografi dan latar belakang sosok seorang KH Ali Ma’shum

2. Mengetahui pandangan dan gagasan KH. Ali Ma’shum sebagai tokoh NU 3. Mengetahui peranan dan perjuangan KH. Ali Ma’shum berupa aktivitas dan

pemikiran yang telah disumbangkannya di tubuh NU

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. menambah wawasan keilmuan bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya yang berkaitan dengan profil hingga peranan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU.

2. Sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

E. Metode Penelitian

Oleh karena tulisan ini mencoba untuk menganalisis peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah ini melalui empat tahapan, sebagai berikut :

1. Heuristik: proses pencarian dan pengumpulan sumber, yaitu sumber tulisan dan sumber lisan. Sumber-sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah ini adalah sumber yang disampaikan oleh saksi mata. Dalam hal ini penulis memakai sumber dari buku yang ditulis oleh orang yang mengalami peristiwa tersebut dan media massa yang


(16)

memuat informasi ketika peristiwa itu terjadi (yang dijadikan sebagai sumber primer), seperti; Khittah Nahdliyah (Ahmad Shiddiq), Ajakan Suci (KH. Ali Ma’shum), Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama (Berita Nahdlatul Ulama), NU Menuju Islam Indonesia, Tempo, 8 Desember 1984, Margana, A. Siklus Retak, Tempo, 16 November 1991, Nasuha, A. Chozin, NU Setelah Konbes Cilacap, Pelita, Jakarta, 1989.

Adapun sumber sekunder adalah tulisan-tulisan interpretator (sejarahwan) yang melakukan rekonstruksi atau analisis terhadap peristiwa gerakan tersebut baik dalam bentuk buku, laporan-laporan hasil penelitian, makalah-makalah, dan sebagainya, seperti; Islam Ahlussunnah Waljamaah (Aceng Abdul Azas Dkk.), Lima Bekal dari KH. Ali Ma’shum (Masduki Attamani), Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926 (Kacung Marijan)

2. Kritik sumber: dilakukan setelah sumber sejarah terkumpul. tahapan ini dilakukan untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini yang diuji adalah keabsahan tentang keaslian sumber (otensitas) yang dilakukan melalui kritik intern dan ekstern. Melalui kritik intern akan diuji keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas), apakah isinya sebuah pernyataan; fakta-fakta; dan apakah kejadian atau peristiwanya dapat dipercaya. Untuk kritik ekstern, perlu diidentifikasi penulisnya, beserta sifat dan wataknya, daya ingatannya, jaraknya dari peristiwa dalam waktu, dan sebagainya.

3. Interpretasi atau penafsiran sejarah atau disebut juga analisis sejarah. Analisis sejarah ini bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah.

4. Historiografi: merupakan fase terakhir dalam metode sejarah yang meliputi cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.


(17)

F. Metode Penulisan

Metode penulisan skripsi ini mengacu pada penulisan skripsi Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dab Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menjaga terfokusnya penelitian ini, diperlukan satu sistematika agar tidak terjadi kerancuan dalam penguraian. Karenanya peneliti membaginya menjadi lima bab. Bab pertama, didahului dengan akar persoalan yang melatarbelakangi peneliti mengangkat tema ini. Permasalahan yang ingin dijawab dan dijelaskan tertuang dalam pembatasan dan perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian yang mencakup orientasi dan arah penelitian ini. Berikutnya sebagai pedoman dan arahan yang akan menjadi parameter dan sekaligus acuan dalam penelitian ini diperlukan satu tinjauan metodologis dan pendekatan yang digunakan.

Pada bab kedua, diuraikan secara khusus biografi Ali Ma’shum, dari mulai silsilah keluarga sampai latar belakang pendidikan hingga corak pemikirannya. Analisa ini diharapkan dapat membantu memberikan gambaran secara tepat mengenai profil dan pemikiran tokoh yang satu ini.

Dalam bab ketiga, diuraikan mengenai kehidupan KH. Ali Ma’shum terkait dengan aktivitasnya sebagai seorang ulama sekaligus sebagai tokoh NU. Peranan KH. Ali Ma’shum dalam perkembangan NU pada satu periode tertentu juga akan dibahas dalam bab ini.


(18)

Bab keempat, mencoba menguraikan mengenai kiprah KH. Ali Ma’shum dalam percaturan politik NU dan perannya dalam pengembalian Khittah NU 1926 yang pertama.

Sebagai penutup dalam penulisan ini, yang merupakan jawaban eksplisit atas apa yang dipersoalkan dalam pembatasan dan perumusan masalah, dan sekaligus menyampaikan beberapa harapan peneliti dengan tulisan (laporan dalam wujud skripsi ini), tertuang dalam bab V; yaitu kesimpulan dan saran.


(19)

BAB II

BIOGRAFI KH. ALI MA’SHUM

A. Silsilah Keluarga

Lasem, sebagai kota kelahiran KH. Ali Ma’shum adalah sebuah kota kecil di pesisir utara pulau Jawa, termasuk wilayah kabupaten Rembang yang merupakan daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di propinsi Jawa Tengah, nama Lasem sebagai kota yang mempunyai pesantren termasyhur, dikenal luas oleh masyarakat. Sebagian besar penduduk Lasem adalah petani, tetapi tidak sedikit juga yang menjadi nelayan.

Seperti banyak keluarga lain, keluarga KH. Ma’shum sudah turun-temurun hidup di Lasem. Dia sendiri adalah salah seorang pengasuh pondok pesantren Al-Hidayah yang cukup terkenal di daerah itu. Sebagai seorang kiai yang alim, KH. Ma’shum selalu mendambakan ilmunya dapat bermanfaat bagi yang lain. Sejak masih muda ia sudah didatangi orang-orang yang bermaksud menimba ilmu darinya. Rumahnya yang sederhana itu dijadikan penampungan para santri.12 Di tengah-tengah kesibukannya mengurus para santrinya, ia akhirnya dikaruniai seorang putra pertama yang kelak melanjutkan perjuangannya. Dia adalah Ali Ma’shum yang di kemudian hari dikenal sebagai salah satu tokoh besar NU dengan sebutan KH. Ali Ma’shum (Mbah Ali).

KH. Ali Ma’shum dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1915 di Lasem, kabupaten Rembang Jawa Tengah dari pasangan KH. Ma’shum dengan Nuriyah. Pasangan ini dikaruniai tigabelas putera-puteri, delapan di antaranya meninggal dunia dalam usia

12

A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 1.


(20)

dini.13 Ia adalah anak pertama dari pasangan tersebut. Nuriyah merupakan istri kedua KH. Ma’shum. Istri pertamanya adalah Maftuchah yang meninggal dunia di Makkah sebelum mempunyai keturunan. Dengan demikian Ali kecil merupakan putera pertama dari istri kedua KH. Ma’shum. Ayahnya yang dikenal dengan sebutan Mbah Ma’shum adalah pengasuh pondok pesantren di Lasem. Dari ketigabelas putera-puteri Mbah Ma’shum yang masih hidup ialah Ali Ma’shum, Fatimah, Ahmad Syakir, Azizah dan Chamnah.

Ali sendiri menikah pada tahun 1938 dengan puteri salah seorang kiai ternama di Yogyakarta. Gadis itu bernama Hasyimah, puteri dari KH. Munawir Krapyak Yogyakarta. Pernikahan mereka dilaksanakan setelah kepulangan Ali dari pondok pesantren Tremas.

B. Latar Belakang Pendidikan

KH. Ma’shum menghendaki Ali kelak menjadi seorang ahli fiqih. Oleh karena itu, sejak kecil Ali telah diberi pelajaran kitab-kitab fiqih olehnya.14 Walaupun sebagian sumber menyatakan bahwa pada saat itu KH. Ma’shum telah memberikan pengajaran kitab-kitab non-fiqih kepada para santrinya.

Namun pada akhirnya kecenderungan Ali kecil sendiri berbeda dengan yang diharapkan orang tuanya karena dia lebih suka mempelajari kitab-kitab nahwu dan sharaf. Bahkan dia sendiri pada saat itu mengajak adik-adiknya untuk menyukai kitab-kitab tersebut. Pada tahun 1927 Ali yang sudah memasuki masa remaja dikirim ke pondok pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Ketika itu pengasuhnya adalah KH. Dimyati.15 Pada saat itu berkembang tradisi di pondok setempat bahwa santri

13

Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan KH. Achmad Siddiq, LTN NU, Yogyakarta, 1995, h. 107, 110.

14

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat, Perjuangan dan Doa,

KUTUB, Yogyakarta, 2006, h. 308.

15


(21)

yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya tidak pulang kampung, merupakan petanda yang bersangkutan akan sukses menyerap ilmu dan kelak akan menjadi seorang ‘alim atau kiai. Ali yang mulai menambah nama ayahnya di belakang namanya menjadi Ali Ma’shum termasuk santri yang mampu tidak pulang kampung pada awal pendidikannya.

Ketekunan Ali Ma’shum kemudian menjadikan ia cukup menonjol di antara santri-santri lainnya, maka ia pun langsung dijadikan nara sumber dalam hal membaca kitab kuning. Oleh KH. Dimyati, Ali Ma’shum lalu dipercaya untuk mengajar. Ilmu Tafsir al-Qur’an dan ilmu bahasa Arab sangat menarik hatinya. Ali Ma’shum seolah telah menentukan sendiri spesialisasinya yang kelak akan mengangkatnya sebagai salah satu kiai hafidh Qur’an yang ahli tafsir terkenal di Indonesia serta seorang pakar bahasa Arab yang terkemuka sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai munjid berjalan. Munjid adalah kamus yang disusun Louis Ma’luf, seorang warga Lebanon. Di Tremas Ali Ma’shum juga memperoleh pendidikan kepemimpinan dengan mengikuti kegiatan kepanduan. Di kepanduan inilah bakat kepemimpinannya diasah. Ia bahkan diangkat sebagai kepala kepanduan di Tremas.16

Kepercayaan yang diberikan kepada Ali Ma’shum, membuatnya berani melakukan improvisasi, di antaranya yang terkenal adalah mendirikan madrasah di pesantren, membaca kitab-kitab yang ada gambarnya seperti Qira’atur Rasyidah dan mengajarkan kitab-kitab baru dari Mesir sebagai kitab rujukannya.17 Sepulangnya dari Tremas dan beberapa hari setelah pernikahannya dengan Hasyimah, Ali Ma’shum mendapat tawaran untuk menunaikan ibadah haji secara gratis. Sebulan setelah pernikahan, Ali Ma’shum bertolak ke Makkah dan bermukim di sana selama dua tahun. Selama itu pula ia menunaikan ibadah haji dua kali, memperdalam ilmu

16

Abdul Halim dkk., Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas 26 Tokoh NU, Yayasan Suaifuddin Zuhri, 1994, h. 351.

17


(22)

khususnya ilmu tafsir dan bahasa Arab. Ketika di Makkah ia berguru kepada Sayyid Alwi dan Syaikh Umar Khamdan.18

Kekuatan Ali Ma’shum sebelum berguru ke Makkah adalah keuletannya dalam mempelajari kitab-kitab karangan para ulama pembaharu seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, Al-Maroghi dan Sayyid Sabiq yang pada saat itu tidak lazim dipelajari di pesantren.

Sepulangnya dari Makkah Ali Ma’shum mulai mengabdikan diri di pesantren orang tuanya. Pembenahan dilakukan olehnya dalam rangka meningkatkan kualitas pondok pesantren Al-Hidayah. Pembenahan itu berhasil dilakukan di dalam pesantren itu, sehingga Mbah Ma’shum mengandalkan puteranya itu untuk terus mengembangkan pesantren tersebut. Namun sejarah berkata lain. Hal ini dikarenakan wafatnya KH. Munawir mertua Ali Ma’shum dan pengasuh pondok pesantren Krapyak Yogyakarta belum menemukan pengasuh yang cocok serta layak sebagai penggantinya. Untuk itu Ali Ma’shum diminta untuk mengelola pesantren tersebut. Tepatnya pada tahun 1942 Ali Ma’shum mulai mengabdikan dirinya di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta.19 C. Corak Pemikiran KH. Ali Ma’shum

Beberapa hal yang dikeluarkan KH. Ali Ma’shum terkait dengan corak pemikiran yang dimunculkannya, antara lain mengenai Ahlussunnah Wa al-jama’ah, Madzhab, Ukhuwah Islamiyah hingga ilustrasi kemodernannya.

Dari segi keagamaan, KH. Ali Ma’shum termasuk ulama yang berpandangan luas tentang ahlussunnah wa al-jamaah. Terkait dengan itu, ia tidak beranggapan bahwa ahlussunnah wa al-jamaah hanya milik NU. Sesuai dengan hadis Nabi ma

18

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 311.

19


(23)

ana’alaihi wa ashhabi da’a al-sawad al-a’zham,20 maka semua golongan yang tidak menyalahi Al-Qur’an dan As-sunnah serta pendapat ulama adalah termasuk ahlussunnah wa al-jamaah.21 Hadits Nabi yang mengatakan bahwa seseunguhnya ummatku akan bercerai berai menjadi 73 firqoh. Satu masuk syurga dan yang 72 masuk neraka. Nabi di Tanya; siapakah yang masuk syurga itu ya Rasul? Nabi menjawab : Ahussunnah Wa al-jamaah. Ini juga tidak membuat KH. Ali Ma’shum terjebak pada klaim bahwa orang-orang NU sajalah yang termasuk golongan itu, mengingat demikian umum batasan yang diberikan oleh Nabi. Sosok yang dimaksudkan dalam hadits itu tidak dapat disekat-sekat oleh pengelompokkan organisatoris. Itulah sebabnya, karena sangat sulit untuk menarik garis tegas, maka KH. Ali Ma’shum menafsirkan sebagai orang atau kelompok yang memegang teguh Al-Qur’an dan As-sunnah serta memahami dan mengamalkannya dengan benar dan melalui cara-cara yang benar. Karena itu, faktor para sabahat Nabi serta para ulama salaf sangat besar pengaruhnya dalam mengantarkan seseorang menjadi Muslim yang sesungguhnya. Nabi Muhammad menegaskan orang sunni adalah maa anaa ‘alaihi al-yauma wa ashhabi, yakni orang atau kelompok yang dalam posisi ikut berpegang pada apa yang Nabi dan para sahabat memeganginya.

Para sahabat Nabi adalah generasi terbaik yang pernah dimiliki Islam.22 Ini bukan berarti para sahabat beliau mempunyai sifat ishmah (terlepas dari dosa besar dan kecil), melainkan mereka berada pada posisi sebagai orang yang pernah bertemu langsung dan terlibat penuh dalam setiap perjuangan Nabi.23

20

Maksud hadits di atas yaitu bahwa ahlussunnah wa al-jamaah adalah mengakui apa-apa yang telah dilakukan rasul, keluarga dan para sahabatnya, juga mengakui pendapat mayoritas kaum Muslim.

21

Ibid, h. 327.

22

A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 44.

23


(24)

Namun demikian, KH Ali Ma’shum melihat faktor pemahaman teologis paling tepat untuk dijadikan kriteria dalam menilai apakah suatu kelompok itu sunni atau bukan. Hal ini dapat dilihat misalnya, dari perdebatan besar yang pernah terjadi di kalangan umat Islam masa lalu dalam mamahami eksistensi Tuhan. Mereka lebih mendahulukan rasio dari pada wahyu, suatu hal yang juga diperbuat oleh orang-orang Qadariyah. Sementara kaum Mujassimin mempersonifikasikan Allah dan kaum Jabariyah menghilangkan sama sekali anugerah Allah berupa ikhtiyar. Kaum Syi’ah sendiri telah berani menghujat para sahabat Nabi. Juga pendapat kaum Syiah bahwa imam mereka adalah orang-orang ma’shum, padahal hanya Nabi dan Rasul yang mempunyai sifat Ishmah. Bagi KH. Ali Ma’shum, pendapat-pendapat kaum Syiah ini tidak dapat dimaafkan lagi, karena merusak sendi-sendi akidah Islam.

Namun, terlepas dari kesalahan-kesalahan di atas, KH. Ali Ma’shum tetap menaruh simpati yang sangat tinggi kepada pemimpin spiritual Syi’ah Iran Ayatullah Khumainy al-Musawi ketika ia berhasil memimpin rakyatnya menumbangkan arogansi Syah Iran tahun 1979. Dia berkata; andaikata di dunia Islam ini ada sepuluh Khumainy, wibawa umat Islam di mata internasional sangat hebat.24

Melihat masalah agama secara luas dan mendalam, tampaknya menjadi pola pandangan KH. Ali Ma’shum. Dengan tidak harus menutup pintu ijtihad dan dengan memahami prosedur secara objektif, persoalan bermadzhab misalnya, oleh KH. Ali Ma’shum dipandang sebagai kenyataan yang harus (pasti) dilakukan oleh setiap Muslim pada umumnya. “Kalau Imam Ghazali dan Ibn Alqayyim al-Jauziyyah saja bermadzhab Hambali, mengapa kita harus malu mengikuti para Imam Madzhab” demikian dia mengatakan dalam sebuah kesempatan.25

24

A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 44, 45.

25


(25)

Masalah madzhab bagi KH. Ali Ma’shum merupakan masalah klasik. Sejak zaman Nabi Muhammad saw. sudah ada indikasi diperbolehkan bermadzhab atau setidak-tidaknya diisyaratkan akan keabsahan bermadzhab. Karena memang bermadzhab ada dasar-dasarnya dalam ajaran Islam. Dasar-dasar tersebut antara lain dapat dilihat dari :

1. Firman Allah yang memerintahkan kepada orang yang belum berilmu agar belajar atau bertanya kepada orang yang berilmu. Allah berfirman yang artinya “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Q.S An-Nahl: 43).

Para ulama pada umumnya menempatkan ayat yang artinya telah disebutkan di atas sebagai dalil bagi wajibnya orang awam mengikuti petunjuk mujtahid atau ulama madzhab.

2. Kenyataan historis yang menunjukkan bahwa kebanyakan sahabat Nabi mengikuti petunjuk sahabat yang lebih pandai. Ini berarti di masa Nabi telah terjadi kondisi mengikuti kepada sesama sahabat, dan Nabi tidak melarangnya. 3. Ada isyarat hadits yang memerintahkan agar kita mengikuti golongan yang terbesar, sebagaimana hadits yang artinya “Jika kamu sekalian melihat perbedaan pendapat, maka wajib atasmu mengikuti golongan yang terbanyak” (HR. Ibnu Majah).

Menurut KH. Ali Ma’shum, madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi’I dan Hambali) adalah yang paling banyak diikuti oleh umat Islam di dunia sampai saat ini, dan bahkan paling lama bertahan. Sudah sepantasnya kalau kita bergabung ke dalamnya, karena banyak tokoh-tokoh besar Islam pun masih mengaku bermadzhab terhadap mereka seperti yang disebutkan di atas.


(26)

Meskipun KH. Ali Ma’shum mencirikan sunni salah satunya mengikuti madzhab, bukan berarti lalu menyebut orang atau kelompok tidak bermadzhab sebagai bukan sunni. Karena pada dasarnya orang yang mengaku tidak bermadzhab secara diam-diam atau tanpa disadari juga bermadzhab. Hanya saja ia menghimbau kepada kaum ini, tidak bermadzhab boleh saja (meskipun itu berarti membuat madzhab sendiri yakni madzhab orang yang tidak bermadzhab), tetapi jangan mencela dan melecehkan orang yang mengikuti madzhab.26

Selain persoalan Ahlussunnah Wa al-jama’ah dan masalah madzhab, yang tak henti-hentinya pula dibicarakan oleh umat Islam adalah persoalan Ukhuwah Islamiyah. KH. Ali Ma’shum sendiri berpendapat bahwa sebenarnya ajaran ukhuwah telah diajarkan dalam AL-Qur’an. Ayat 10 s/d 13 surat Al-Hujurat memberi pengajaran yang cukup jelas bagi umat Islam. Dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak hanya menandaskan bahwa sesama orang mu’min itu bersaudara, melainkan juga memberi petunjuk pelaksanaan bagaimana persaudaraan itu harus dibina.

Mengapa perselisihan kerap terjadi, menurut KH. Ali Ma’shum sumbernya adalah perbedaan di dalam memahami sebagian ajaran agama Islam. Katakanlah, perbedaan yang muncul sebagai akibat dari perbedaannya memahami syariat. Perbedaan ini seolah menjadi mata air bagi munculnya perbedaan-perbedaan yang lain yang tak terhitung jumlahnya. Perbedaan dalam pemahaman syariat memang telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Tidak perlu saling menyalahkan, selama sama-sama mempunyai dasar pijakan syariat. Islam, menurut KH. Ali Ma’shum tidak sekedar memerlukan kesemarakan atau syi’ar, tetapi sekaligus kedalaman dalam pengamalan ajaran agamanya. Karena hanya dengan inilah ibadah-ibadah agama

26


(27)

dapat dilaksanakan dengan penuh kekhusyu’an dan kenikmatan. Namun tidak perlu saling menyalahkan, lebih-lebih dalam membina Ukhuwah Islamiyah.27

Dalam kesempatan lain, KH. Ali Ma’shum menjelaskan pandangannya tentang Ukhuwah Islamiyah. Untuk menciptakan ukhuwah, ia menekankan pentingnya berpegang pada syariat Islam dan tidak memperuncing masalah khilafiah. Untuk itu umat Islam perlu berpandangan luas serta bersikap ilmiah dengan mempelajari dan membandingkan berbagai madzhab yang ada sehingga tidak saling menyalahkan. Prinsip dan cara itu hendaknya menjadi perhatian khusus para tokoh dan mubaligh. Sikap para tokoh dan mubaligh itulah menurut KH. Ali Ma’shum yang secara tidak langsung terkadang membuat perpecahan dan perselisihan umat (Almuslimin Fii Khair; Wa Al-Dhufuu Fi Al-Qiyadhah).28

Lebih jelasnya hal itu dapat dilihat dari ajakannya, pertama, umat Islam tidak memperuncing masalah khilafiah. Kedua, umat Islam khususnya para tokoh dan mubaligh untuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang menyinggung perasaan umat Islam secara luas. Ketiga, umat Islam yang memang sudah sunnatullah berkelompok-kelompok ini berjiwa besar, yakni sanggup mengakui kebenaran pihak lain, menghormati pendapatnya dan tetap memperlakukannya sebagai saudara. Keempat, umat Islam memperluas cakrawala ilmiah dengan mengkaji kitab-kitab modern untuk ditemukan dan dihadapkan dengan realitas yang selalu berubah.

Dalam memahami pengertian Ukhuwah Islamiyah, KH. Ali Ma’shum termasuk salah seorang yang berpendapat bahwa di dalam Ukhuwah Islamiyah terkandung ukhuwah terhadap agama atau kerlpmpok lain. Hanya saja ukhuwah yang terkandung itu perlu dirumuskan terperinci secara eksplisit, jangan dibiarkan saja tersirat. Ia setuju dengan rumusan KH. Ahmad Siddiq yang merumuskan Ukhuwah

27

A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 62, 63, 64.

28


(28)

Islamiyah manjadi Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seakidah), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa), Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Perincian ini penting, karena antara ketiga ukhuwah itu menurut KH. Ali Ma’shum memiliki perbedaan sifat, kadar, intensitas dan kualitasnya. Namun bukan berarti ketiga ukhuwah itu bisa dipisahkan sama sekali. Ketiganya tetap dalam kesatuan yang utuh dan saling membutuhkan satu sama lain dengan Ukhuwah Islamiyah dijadikan sebagai jiwa atau ruh dari ukhuwah-ukhuwah yang lain. Mungkin itu sebabnya, selama akidah Islam tidak terganggu, menurut KH. Ali Ma’shum umat Islam tidak perlu bersikap kaku untuk berkompromi atau berakomodasi dengan pihak lain. Namun jika akidah terganggu, umat Islam harus menunjukkan jati dirinya utnuk mempertahankan keyakinannya.29

Dalam perjalanan sejarahnya bisa dicermati bahwa KH Ali Ma’shum selalu terlibat dalam lembaga dan organisasi tradisional (pesantren dan NU), namun ia adalah seorang yang brilian otaknya dan di mana saja ia berada selalu menghembuskan nafas pembaharuan. Ia telah berhasil merubah sistem pondok pesantren menjadi sistem yang lebih modern. Cita-cita yang dikeluarkan dari idenya adalah ia ingin sekali melahirkan duplikat (pengganti) semacam Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hambali, Al-Ghazali, Nawawi, Suyuti, Asqalani, Miskawaih, Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Khaldun dan sebagainya. Untuk itu dalam memahami ilmu, KH. Ali Ma’shum tidak terlampau tajam memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurutnya, ditinjau dari segi adanya hukum fardhu ‘ain pada batas tertentu, memang ilmu agama menjadi lebih mulia. Tetapi dalam hal yang lebih jauh dari itu sesungguhnya adalah relatif. Suatu

29


(29)

ilmu lebih mulia, jika ternyata buahnya lebih terasa bermanfaat bagi kehidupan beragama. Ini merupakan salah satu ilustrasi kemodernannya.30

Tentang kesadaran bernegara dan berpolitik, KH Ali Ma’shum sering mengutip tulisan Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah atau dalam adab al-dun-ya al-dien tentang beberapa aspek yang menjadi dasar kemaslahatan dunia misalnya; 1) agama yang menjadi pedoman (al-dien al-munthaha), 2) penguasa yang berwibawa (al-sulthan al-kabir), 3) keadilan yang merata (al-‘adl al-syamil), 4) keamanan semesta (al-amn al-‘am), kemakmuran sandang pangan (khishb al-darry), 6) harapan masa depan dan cita-cita yang tinggi (al-‘amal al-fasih).

Sebagai orang yang menyadari arti pentingnya politik, KH. Ali Ma’shum sangat menganjurkan ditegakkannya prinsip musyawarah. Seperti yang dikatakan Al-Mawardi, KH Ali Ma’shum mengatakan bahwa dalam musyawarah diperlukan beberapa syarat; pertama, pikiran yang dikemukakan hendaknya adalah hasil pemikiran yang matang. Kedua, dalam bermusyawarah hendaklah beritikad baik dan berhati tulus, bersikap terbuka dan tidak angkuh.31

Dengan kecairannya memahami Ahlussunnah Wa al- Jama’ah (Sunni) membuat KH. Ali Ma’shum juga sedemikian cair dalam mendudukkan Pancasila dengan agama. Menurutnya, sila-sila yang ada dalam Pancasila pada dasarnya tidak bertentangan dengan Islam.32

30

Ibid, h. 115.

31

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 326.

32


(30)

BAB III

KH. ALI MA’SHUM DAN NU

A. Latar Belakang Berdirinya NU

Ormas besar yang muncul pada masa pra-kemerdekaan di Jawa adalah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah perkumpulan besar yang dianut mayoritas umat Islam di Jawa dari kalangan tradisional. NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh yang berpengaruh dalam pendirian perkumpulan ini adalah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah.33

Ada beberapa interpretasi dari para sejarahwan mengenai latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama. Sebagian sejarahwan menulis bahwa latar belakang berdirinya NU adalah; 1) sebagai benteng perlawanan terhadap golongan pembaharu Islam, 2) akibat perluasan dari Komite Hijaz34 yang merupakan tandingan Komite Khilafat35 yang didominasi kaum modernis, 3) akibat kekecewaan kalangan tradisionalis yang tersingkir dari Komite Khilafat yang akan mewakili umat Islam

33

Aceng Abdul Azis Dy dkk. Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Maarif NU, Jakarta, 2007, h. 112.

3434

Komite Hijaz yang didirikan oleh kalangan tradisional ini didasari atas perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekah tahun 1924. Atas dukungannya, kaum Wahabi melakukan pembersihan praktek-praktek beragama sesuai dengan faham mereka. Tindakan ini mendapat sambutan baik dari kalangan Islam modernis di Indonesia dan mendapat penolakan dari kalangan kaum tradisionalis. Lih. Aceng Abdul Azis Dy dkk. Islam AhlussunnaH Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Maarif NU, 2007, h. 108.

35

Kemunculan Komite Khilafat didasari atas perkembangan politik di Turki, di mana pada tahun 1922 Majelis Ulama Turki menghapuskan kekuasaan Sultan dengan menjadikan negeri itu sebagai Republik dan menjadikan Khalifah Abdul Majid tidak memiliki kekuasaan duniawi. Dua tahun kemudian Majelis itu menghapuskan sama sekali khilafat. Perkembangan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam umumnya, yang mulai berfikir untuk membentuk suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia juga merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Secara kebetulan Mesir ingin mengadakan kongres tentang khilafat pada tahun 1924. Sebagai sambutan atas acara tersebut, umat Islam Indonesia yang diwakili organisasi Islam membentuk Komite Khilafat di Surabaya pada tanggal 4 Oktober tahun 1924. Lih. Aceng Abdul Azis, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikir dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, Jakarta, 2007, h. 108.


(31)

Indonesia pada kongres Islam di Mekah tahun 1926.36 Sebagian yang lain menulis bahwa latar belakang lahirnya NU akibat telah adanya perkumpulan-perkumpulan yang dibentuk oleh kalangan tradisi pada masa jauh sebelum NU lahir. Ini terlihat dari sejumlah perkumpulan seperti Nahdlatul Wathan yang didirikan pada tahun 1916, koperasi pedagang yang bernama Nahdlatut Tujjar yang didirikan pada tahun 1918 dan Taswirul Afkar yang didirikan menjelang tahun 1918.37

Interpretasi yang terakhir nampaknya bisa dipahami bahwa, seiring perjalanan waktu selalu ada usaha-usaha dari kalangan tradisioal untuk membentuk suatu perkumpulan, dan NU merupakan mata rantai apa yang disebut sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah diupayakan pada waktu organisasi ini belum terbentuk.

Hal yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang berdirinya NU adalah situasi kolonialisme pada saat itu. Ketidaksukaan rakyat terhadap kolonial Belanda masih sangat nampak, terutama dalam kaitannya dengan soal-soal agama,38 apalagi kebanyakan masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam dan kental dengan nilai tradisionalnya. Ditambah pula dengan latar belakang aktivitas salah satu tokoh pendirinya yaitu KH. Wahab Hasbullah yang dinilai selalu memiliki semangat untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Ini tercermin dalam semangatnya mendririkan beberapa perkumpulan seperti disebutkan di atas. Secara tidak langsung upaya membangkitkan rasa nasionalisme ini dimaksudkan untuk melawan Belanda.39 Dalam gelanggang sejarah perjuangan bangsa, keterlibatan pemimpin agama (Ulama, Kiai)

36

Ibid, h. 107, 109.

37

Ibid, h. 1910.

38

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta, 1926, h. 17

39


(32)

sebagai pilar perjuangan dalam melawan kolonialisme memang tidak bisa dipungkiri.40

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh KH. M Dachlan dikatakan bahwa: Sebagaimana diketahui oleh umum bahwa sejak Belanda datang dan menguasai Indonesia, maka para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam selalu menentang kekuasaan Belanda itu dengan mengadakan perlawanan di mana-mana. Seiring jalannya waktu, suasana telah berubah, di mana perkembangan dunia juga telah berubah. Maka taktik perjuangan bangsa Indonesia-pun mengalami perubahan pula. Kegiatan mereka yang dulunya mengadakan perlawanan secara kekerasan bersenjata terhadap penjajah dirubah melalui saluran kepartaian dan organisasi yang teratur untuk mewujudkan cita-cita berbangsa Indonesia dari penjajahan itu. Sehingga muncullah bermacam-macam organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarikat Islam dan lain-lain. Kesempatan baik ini akhirnya dimanfaatkan oleh para ulama untuk menyusun barisan dengan membentuk “Nahdlatul Ulama (NU)” pada tahun 1926. Kegiatan NU pada waktu itu ditujukan kepada pengembangan agama Islam dengan memperbanyak tabligh-tabligh, pengajian-pengajian agar umat Islam Indonesia sadar akan kewajibannya terhadap agama, bangsa dan tanah airnya, sehingga mereka dapat beramal sebagaimana mestinya.41

Dilihat dari beberapa interpretasi mengenai latar belakang berdirinya NU di atas, bisa dipahami bahwa berdirinya organisasi ini dilatarbelakangi oleh situasi atau keadaan sosial yang sangat kompleks.

B. Perkembangan NU Pasca Kelahirannya

Pada perkembangannya, NU bukanlah suatu perkumpulan yang berorientasi pada kegiatan politik praktis (politic oriented). Walau demikian, bukan berarti organisasi sosial keagamaan ini lepas sama sekali terhadap isu-isu kebangsaan, apalagi organisasi ini didirikan sebelum kemerdekaan. Sejak kelahirannya, perhatian NU tidak terbatas pada persoalan dalam negeri saja, melainkan persoalan-persoalan luar negeri yang menyangkut atau mempunyai hubungan dengan persoalan-persoalan umat Islam Indonesia.42

40

Sejak awal, Belanda selalu memperoleh perlawanan rakyat. Dalam perlawanan ini, para pemimpin agama (Ulama, Kiai) cukup besar, seperti, Perang diponegoro, Perang Paderi, Pemberontakan di Banten dan lain-lain.

41

M. Dachlan, Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, Berita Nahdlatoel Oelama, Surabaja, 1931, h. 30.

42


(33)

Untuk memudahkan penulis dalam menginterpretasikan perkembangan NU pasca kelahirannya, maka penulis mencoba membagi dua periode perjalanan organisasi ini, yaitu periode sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Sebelum kemerdekaan, yang menjadi perhatian NU bukan hanya persoalan-persoalan sosial keagamaan, lebih dari itu, persoalan-persoalan-persoalan-persoalan yang menyangkut perjuangan untuk menuntut kemerdekaan juga dilakukan, walaupun dengan melalui tindakan kooperatif terhadap Belanda. Dalam surat kabar NU yang diterbitkan pada kisaran tahun 1929 hingga 1934 ditulis bahwa; walaupun NU tidak memprokalamirkan diri sebagai partai politik, bukan berarti dalam usaha perjuangannya terbatas pada soal-soal ubudiyah, tetapi juga persoalan-persoalan yang langsung berhubungan dengan peri-kehidupan Umat Islam khsususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, misalnya penolakan NU terhadap diadakannya kerja rodi, ordonansi guru, ordonansi perkawinan, pemindahan hak dalam pembagian waris, persoalan milisi dan lain-lain.43

Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni dalam bukunya menyatakan bahwa pada masa awal berdirinya, NU menitikberatkan perjuangannya di bidang pendidikan, social dan perekonomian. Para ulama berbasis pesantren mulai berfikir mengupayakan terwujudnya sarana dan prasarana mendasar masyarakat agar dapat menjalankan aktivitas ritualnya dengan baik. NU berupaya mendirikan lembaga-lembaga sosial sebagai solusi atas problem kemasyarakatan. Sedangkan di bidang pendidikan, NU berupaya memperbanyak pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis Islam. Pada praktiknya, NU mendorong terjadinya pembaruan pendidikan dan kerja-kerja kreatif. Sistem madrasah/sekolah diperkenalkan dengan tetap melestarikan sistem pendidikan ala pesantren. Di bidang perekonomian, NU

43


(34)

berusaha melakukan modernisasi di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mendirikan badan-badan usaha; misalnya koperasi atau badan usaha lainnya. Realisasi program kerja hasil muktamar NU II yang cukup besar adalah keberhasilannya mengirimkan delegasi khusus ke Saudi Arabia yang sempat tertunda selama dua tahun.44

Pada masa sebelum kemerdekaan, NU telah berkali-kali mengadakan kongresnya dengan mengambil beberapa keputusan untuk perbaikan bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpolitikan juga tidak lepas dari kegiatan NU. Memang, NU didirikan bukan sebagai partai politik seperti yang telah disebutkan di atas, namun bukan berarti NU sama sekali tidak respek terhadap hal-hal yang berbau politik, apalagi kalau sudah menyangkut kepentingan rakyat. Salah satu sikap NU yang menyangkut persoalan politik ialah ketika NU bersama-sama dengan GAPI menuntut kepada Pemerintah Hindia Belanda,agar Indonesia Berperlement.45 Termasuk penolakannya terhadap ordonansi perkawinan, ordonansi guru, masalah waris dan lain-lain seperti yang telah disebutkan di atas.

Sebelum kemerdekaan, persinggungan NU dengan kekuasaan sering terjadi dalam konteks social keagamaan dibanding kepentingan politik. Beberapa kasus menunjukkan bahwa NU terkadang bersikap akomodatif terhadap penguasa tetapi terkadang juga bersikap konfrontatif terhadapa kolonial Hindia Belanda. Meskipun sikap tersebut terkesan oportunistik, namun NU selalu berupaya meletakkan sikapnya di atas landasan argumen-argumen agama. Sehingga langkah-langkah NU dalam kenyataannya mempunyai ekses sosial yang luas akibat dilegitimasi oleh agama.46

44

Hilmy Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU; Identitas Islam Indonesia, Elsas, Jakarta, 2004, h. 122.

45

KH. M. Dachlan, Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, h. 31.

46


(35)

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa NU sejak kelahirannya pada masa sebelum kemerdekaan telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Dari mulai banyaknya pengikut, banyaknya madrasah yang didirikan dalam setiap cabang dan rantingnya,47 beberapa koperasi dan badan usaha hingga pengaruhnya dalam wilayah sosial dan politik. Sebagai organisasi yang terbesar semenjak didirikannya, NU tidak bisa dipandang sebelah mata baik oleh tokoh-tokoh dari kalangan Indonesia maupun dari pemerintah Hindia Belanda.

Adapun perkembangan NU pada masa setelah kemerdekaan ditandai oleh keterlibatannya dalam kancah politik yang lebih besar. Keutuhan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak berlangsung lama. Perbedaan kepentingan berbagai pihak yang terdapat di dalamnya segera menyeruak dan mengabaikan kesatuan. Maka, sebutan bagi Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam segera tidak berlaku lagi. Retaknya Masyumi yang menyeruak ke permukaan bermula dari pergantian cabinet, dari Sutan Sjahrir ke Amir Syarifuddin pada tanggal 3 Juli 1947. Akhirnya pada tanggal 28 April 1952 NU mendirikan partai sendiri, yaitu lima tahun setelah Sarikat Islam memutuskan untuk mendirikan partai sendiri.48

Pada pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa. Dari 8 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat di belakang Masyumi (20,9%), Partai Nasional Indonesia (22,3%) dan berada di depan Partai Komunis Indonesia (16,4%. Partai-partai lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara. Keenam partai Islam bersama, termasuk NU, mencapai 43,9% suara.

Pada tanggal 11 Maret, NU menyatakan bersedia menerima sebuah cabinet yang dipimpin Hatta seperti diusulkan oleh Masyumi dan PSI. Pada akhir Juni Sidang

47

KH. M. Dachlan, Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, h. 31.

48


(36)

Partai NU memutuskan keikutsertaan warga NU dalam Kabinet dipandang sebagai mendahulukan usaha mencegah datangnya madlarat yang lebih besar, hal mana sesuai dengan kaidah dar’ al-mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih.49

Pada saat kehidupan perpolitikan di Indonesia secara umum mengalami tantangan, presiden Suharto sebagai pemegang amanat Orde Baru melakukan restrukturisasi parpol50 menuju penyederhanaan pada 7 Februari 1970. Seruan ini dilanjutkan pada 27 Februari 1970 lewat dialog, konsultasi dengan partai-partai politik yang membahas gagasan tentang pengelompokan partai-partai.

Seiring jalannya waktu, akhirnya sebuah fusi disepakati, karena ini hal yang tak mungkin dihindari. Berbagai macam pertemuan dilangsungkan, sebagai langkah membidani lahirnya partai baru. Pada hari Jumat, 5 Januari 1973, pimpinan keempat parpol yang berkonfederasi dalam rapat Presidium Badan Pekerja dan Pimpinan Fraksi telah sepakat untuk memfusikan diri ke dalam satu parpol “Partai Persatuan Pembangunan (PPP).51

Secara keseluruhan, NU merupakan salah satu organisasi yang sepanjang perjalanan sejarahnya senantiasa mengalami perubahan orientasi dan bentuk. Ia lahir sebagai organisasi sosial keagamaan, namun tumbuh, berkembang dan menjadi besar setelah terlibat aktif dalam gelanggang politik praktis. Perubahan-perubahan yang dilakukan itu, di satu sisi menunjukkan bahwa NU ternyata mampu beradaptasi dengan perubahan situasional, namun di sisi lain, perubahan seperti itu justru semakin memperkuat asumsi bahwa NU dipandang tidak mempunyai pendirian, tidak konsisten dan berwatak dualistik.

49

Andree Feilard, NU vis-avis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, LKIS, Yogyakarta, 1999, h. 49, 52.

50

A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 86.

51


(37)

Jika dicermati secara seksama, perubahan-perubahan yang dilakukan itu ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas” organisasi. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu juga bisa ditemukan pada sejumlah kasus yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang berkaitan dengan masalah politik. Pada satu saat, NU tampak sebagai organisasi yang begitu akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada saat yang berlainan, ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan. Pada tahun 70-an barangkali NU-lah satu-satunya ormas Islam dan sebagai salah satu unsur terpenting Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang relatif kritis dan vokal dalam melihat kebijakan-kebijakan pemerintah..52

Di atas merupakan gambaran singkat mengenai perkembangan NU pasca kelahirannya. Kiprah dan perjalanan NU pada masa sesudahnya akan dibahas pada sub-bab berikutnya, yaitu mengenai percaturan politik NU dari 1981 hingga kembalinya ke Khittah NU (1926).

C. Awal Keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam Tubuh NU

Pendudukan Jepang di Indonesia, meskipun berlangsung hanya tiga tahun, ternyata tidak kalah merusak dibanding pendudukan Belanda yang 350 tahun. Salah satu kerusakan itu adalah sepinya kehidupan pesantren di seluruh tanah air. Pondok pesantren yang termasuk mengalami kondisi semacam ini adalah pondok pesantren al-Hidayah Lasem. Segala upaya dilakukan KH. Ali Ma’shum untuk mengembalikan para santri ke meja belajar. Dengan kerja keras serta mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya, akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan. Namun disaat-saat KH. Ali Ma’shum mulai mengembangkan pesantrennya itu, ia dipanggil untuk mengabdi di Krapyak. Kondisi pondok pesantren Krapyak bisa dikatakan lebih parah

52

Badrun Alaena, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, h. 65, 66.


(38)

dari Lasem sebelum ditangani KH. Ali Ma’shum. Sejak ia memimpin pesantren Krapyak, kondisi pesantren semakin membaik.53

Berbicara mengenai awal keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU, tidak bisa dilepaskan dengan pengabdian dirinya di pondok pesantren Krapyak. Karena di situlah ia secara resmi menerjunkan diri dalam jam’iyah NU. Sejak kehadirannya di Krapyak pada tahun 1943, KH Ali Ma’shum secara resmi terjun dalam jam’iyah NU. Namun secara formal, ia aktif dalam jam’iyah itu tepatnya pada tahun 1950-an, yaitu ketika kondisi sosial politik sedang memanas akibat banyaknya tokoh dari kalangan NU yang meninggalkan Masyumi. Dalam menghadapi suasana pemilu pertama tahun 1955, KH. Ali Ma’shum mulai aktif melakukan kampanye untuk memenangkan NU dalam pemilu. Akan tetapi ia tidak secara langsung turun ke lapangan. Ia melakukannya melalui pendidikan kader kepada para santri Krapyak. Di samping itu juga, melalui pembicaraan non-formal dengan para tamu yang datang ke rumahnya.

Penampilan politik KH. Ali Ma’shum yang “intelek” ini pada akhirnya mampu mencuatkan dirinya ke panggung politik yang cukup bergengsi atau berwibawa. Hal ini terbukti bahwa setelah pemilu tahun 1955 (pemilu pertama), ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili NU.54

Sebagian sumber menyebutkan bahwa awal keterlibatan KH. Ali Ma’shum secara formal di NU sebenarnya dimulai di Yogyakarta, yakni setelah melihat kondisi NU di yogyakarta memerlukan pembenahan, terutama juga kepemimpinan yang berwibawa. Di mana saat itu Indonesia telah berhasil menumpas penghianatan G 30 S

53

Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan KH. Ahmad Siddiq, LTN NU, Yogyakarta, 1995, h. 113.

54

A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 85.


(39)

PKI, saat itu sekaligus dibarengi dengan penataan (penyederhanaan) kehidupan politik oleh pemerintah. NU-pun pada saat itu memerlukan penanganan lebih serius lagi.

Di awal tahun 1970-an, KH. Ali Ma’shum mulai melihat beberapa kader yang akan dipercaya untuk menangani NU. Pada saat itu kehidupan perpolitikan di Indonesia pada umumnya mengalami suatu tantangan. Presiden Suharto sebagai pemegang amanat Orde Baru melakukan rekstrukturisasi terhadap parpol-parpol yang ada yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok spiritual material, yakni kelompok politik yang dalam perjuangannya menekankan soal-soal spiritual tanpa meninggalkan kepentingan material. Kedua, kelompok material spiritual, yakni kebalikan dari kelompok pertama. Ketiga, kelompok komplementer.

Pada kelompok pertama, partai-partai Islam bergabung, dan NU termasuk salah satunya yang kemudian menjelma sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Deklarasi fusi ditanda tangani tahun 1973. Pada kelompok kedua bergabung partai-partai nasionalis dan nasrani menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan kelompok ketiga bergabung organisasi-organisasi kekaryaan yang kemudian menjadi Golongan Karya.

Pada tahun-tahun berikutnya di tubuh NU muncul perpecahan terbuka yang sangat tajam, di samping juga muncul semakin senter suara untuk meninggalkan PPP. Dalam kondisi yang memperihatinkan itu, Rais ‘Am NU KH. Bisri Syansuri wafat, sehingga NU berjalan tanpa pemimpin puncak dalam jajaran Syuriah.

Hampir bisa dipastikan, kondisi inilah yang menyebabkan diselenggarakannya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang pertama di Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 30 Agustus 1981. Banyak yang dibahas dalam


(40)

munas ini, tetapi hal yang terpenting dalam munas ini adalah upaya mengembalikan wibawa ulama NU, di samping alasan penggantian Rais ‘am NU.55

Memang, arus perubahan melanda NU di awal tahun 1980-an didasarkan pada keinginan mengembalikan NU sebagai gerakan keagamaan dan gerakan kemasyarakatan sebagaimana Khittah Jam’iyah NU tahun 1926. Kondisi politik saat itu, di samping orientasi dan interes politik praktis di kalangan pengurus telah mengakibatkan rapuhnya organisasi, terutama terabaikannya basis jamaah pada masyarakat bawah serta kewenangan para ulama. Meskipun tekad mempertegas batas antara NU sebagai organisasi dan PPP sebagai partai politik sudah dinyatakan dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, kenyataannya hal ini tidak bisa diwujudkan oleh para pengurusnya. Wafatnya Rois ‘Am Bisri Syansuri tanggal 25 April 1981 membuka peluang bagi kedua sayap politik dan sayap khittah untuk saling memperkuat posisinya. Pembicaraan pengisian jabatan rois ‘am dalam munas alim ulama dan konferensi besar NU di Kaliurang Yogyakarta tanggal 30 Agustus hingga 3 September 1981 menjadi sangat penting, dan ternyata munas dan konbes itu berhasil memilih KH. Ali Ma’shum sebagai Rais ‘am NU menggantikan KH Bisri Syansuri.56

Inilah sekilas mengenai awal keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU hingga diangkatnya ia menjadi Rais ‘Am NU. Bagaimana kiprah KH. Ali Ma’shum dalam percaturan politik NU dan peranannya sebagai Rois ‘Am NU? Ini akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

55

Ibid, h. 85, 86, 87.

56

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat, Perjuangan dan Doa,


(41)

BAB IV

PERAN KH. ALI MA’SHUM DALAM TUBUH NU 1981-1989

Berbicara mengenai peranan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU, dalam penulisan skripsi ini akan ditekankan pada kisaran tahun 1981 hingga tahun 1989, di mana dalam kisaran tahun ini peranan yang dimainkannya dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode saat ia menjabat sebagai Rais ‘Am dan ketika ia menjabat sebagai Mustasyar. Walaupun tentunya dalam perjalanannya sebagai tokoh dalam organisasi ini kerap melibatkan dirinya dalam kancah perpolitikan, namun justeru kedua jabatan penting yang diembannya itulah yang menjadikan dirinya sebagai tokoh yang dikenal khususnya oleh kalangan NU.

Adapun pembicaraan mengenai KH. Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Am dan sebagai Mustasyar akan penulis deskripsikan dalam sub-bab di bawah yaitu “Peran KH. Ali Ma’shum Sebagai Rais ‘Am NU).

A. Percaturan Politik NU dari 1981 Hingga Kembalinya ke Khittah NU (1926) Pergulatan NU di dunia politik telah membawa organisasi ini ke dalam perjuangan-perjuangan kepentingan dan upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan secara terbuka. Pergulatan semacam ini bukan hanya sebatas pada hubungan dengan kekuatan lain, melainkan pula terjadi di dalam organisasi NU sendiri. Sebenarnya, setelah berfungsinya NU dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama tiga kekuatan politik Islam lainnya, NU telah kembali sebagai


(42)

jam’iyah dinniyah sebagaimana semula. Tetapi organisasi ini tetap saja bergulat di dunia politik praktis.57

Dalam buku “NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja” Badrun Alaena mengatakan bahwa NU merupakan salah satu organisasi yang sepanjang perjalanannya mengalami perubahan orientasi dan bentuk. Ia lahir sebagai organisasi sosial-keagamaan. Namun tumbuh, berkembang dan menjadi besar setelah terlibat aktif dalam gelanggang politik praktis. Perubahan-perubahan yang dilakukan itu di satu sisi menunjukkan bahwa NU ternyata mampu beradaptasi dengan perubahan situasional, namun di sisi lain, perubahan seperti itu justru semakin memperkuat asumsi bahwa NU dipandang berwatak dualistik.

Jika dicermati secara seksama, perubahan-perubahan yang dilakukan itu ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas” organisasi. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu juga bisa kita temukan pada sejumlah kasus yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang berhubungan dengan masalah politik. Pada satu saat NU tampak sebagai organisasi yang begitu akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada saat yang berlainan ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan.58

Keterlibatan NU dalam proses perjuangan kepentingan dan memperoleh serta mempertahankan kekuasaan di dunia politik nampak nyata. Nampak jelas pula ketika NU berfusi di PPP. Harapan terciptanya kepaduan perjuangan politik bagi kekuatan Islam di PPP rupanya tinggallah harapan. Tidak lama setelah berfusi di organisasi ini dilanda gejolak internal. Gejala seperti ini memang bukan hanya di PPP. PDI pun dilanda gejolak internal yang cukup panjang. Di PPP, konflik mulai menyeruak ke

57

Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta, 1992, h. 110.

58

Badrun Alaena, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2000, h. 65.


(43)

permukaan setelah pemilu 1977.59 Begitu juga ketika NU gagal memperjuangkan kepentingannya di PPP dalam daftar calon di DPR pada pemilu 1982, organisasi ini merasa perlu untuk merumuskan kembali hubungannya dengan pemerintah secara lebih akrab.60

Pemilu 1982 ditandai oleh putusnya hubungan antara para ulama dengan PPP yang dipimpin oleh John Naro. Menjelang pemilu, Naro mengusulkan agar pembagian kursi dihitung berdasarkan hasil pemilu 1955. NU meminta agar pembagian kursi didasarkan pada hasil pemilu tahun 1977, saat Parmusi tampak sangat lemah dibanding Masyumi.

Pertikaian menjadi semakin seru ketika pada tanggal 27 Oktober 1981, Naro menyerahkan daftar caleg PPP kepada pemerintah dengan 29 caleg NU ditempatkan pada urutan terbawah hingga kemungkinan untuk terpilih bisa dikatakan tidak ada. Rasa tidak puas itu masih ditambah lagi oleh kepahitan yang disebabkan oleh dominasi kaum pembaharu, dalam hal ini MI.61

NU ingin mempertahankan status-quo, sementara MI dan unsur-unsur lainnya ingin memperoleh tambahan jatah kursi. Komposisi distribusi di DPR NU: 56, SI: 14 dan Perti: 4, hendak dipertahankan NU. Menggambarkan suasana saling ngotot, Saifuddin Zuhri mengatakan:

Dalam kesempatan bermusyawarah berkali-kali antara NU, MI, SI dan Perti, meja musyawarah itu tidak dipergunakan untuk forum mengadu hujjah menggelar argumentasi. Forum itu Cuma gebrak-gebrakkan untuk menuntut NU tidak menjadi kekuatan mayoritas terhadap ketiga rekannya MI, SI dan Perti bila yang tiga itu bersatu.

Mengomentari terjadinya gejolak di PPP, Mahrus Irsyam melihatnya karena kian terbatas dan kecilnya ruang gerak distribusi kekuatan di PPP. Bahkan, pola

59

Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, h. 111.

60

Badrun Alaena, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 68.

61

Andree Feillard, NU Via-a-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, LKIS, Yogyakarta, 1999, h. 221, 222, 223.


(44)

gejolak pun tercermin di dalam ruang gerak distribusi kekuatan lain. Lebih jauh ia mengatakan:

Setelah parpol-parpol Islam berfusi di dalam PPP, maka alokasi kekuatan wilayahnya meliputi jalur: unsur-PPP-Fraksi/DPR. Di dalam jalur itulah didistribusikan dan diaktualisasikan kekuatan. Proses distribusi dan aktualisasi kekuatan membentuk rangkaian mata rantai yang berawal dari pengolelolaan/eksploitasi potensi unsur, guna mendapatkan distribusi kekuasaan di PPP, kemudian berlanjut untuk memperoleh distribusi kekuasaan di fraksi serta pada akhirnya berusaha memasuki mekanisme kelengkapan DPR. Rangkaian mata rantai itu membentuk ruang gerak yang terbatas dan distribusi kekuatan yang kecil.

Model ruang gerak distribusi kekuatan itu pula yang dipakai oleh Mahrus Irsyam untuk menganalisis gejolak internal NU, selain melihat pilar-pilar kekuatan di NU sendiri.62

Pergolakan politik yang dihadapi NU pada saat itu sebenarnya bukan hanya dari kalangan intern kelompok Islam sendiri, melainkan ada suatu kelompok lain di luar ormas Islam yang menyebabkan kalangan NU mengalami percaturan politik yang lebih rumit. Bagaimana tidak, di satu sisi NU harus menghadapi persaingan politik sesama kelompok Islam di PPP, di sisi lain NU harus menghadapi kebijakan orde baru yang terkesan memojokkan NU. Andree Feillard mengatakan bahwa kendala-kendala baru di bidang politik bagi NU pada saat itu bertambah. Lurah di desa terkadang melarang pemasangan papan nama yang bertuliskan Nahdlatul Ulama di depan kantornya atau di muka sekolah, atau menghalangi pertemuan-pertemuan rutin. Interogasi kepolisian yang kadang-kadang menyusul pertemuan NU membuat anggota yang tidak begitu bersemangat menjadi kehilangan keberanian.63

Atas persoalan ini maka sebagian dari beberapa tokoh NU mengambil sikap dengan berusaha mempergiat usaha-usaha di bidang sosial sambil menyesuaikan diri dengan identitas baru organisasi keagamaan (jam’iyah). Setidaknya salah satu hal

62

Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1925, h. 116, 117.

63


(45)

inilah yang pada akhirnya mendorong kalangan NU untuk mengembalikan NU pada Khittahnya tahun 1926.

Ketika perebutan antara MI dan NU semakin gencar, Rais ‘Am KH. Bisri Syansuri meninggal dunia tanggal 25 April 1980. Setelah KH. Bisri Syansuri wafat, muncul upaya-upaya yang tidak terorganisir dari NU untuk mempertahankan posisinya di tubuh PPP. Oposisi NU kembali jatuh ke tangan orang-orang politik dari kubu radikal. Kepergian KH. Bisri Syansuri juga berakibat pada rusaknya keseimbangan antara kelompok sosial-keagamaan dan kelompok politik. Sebagai Rais ‘Am dan juga sekaligus sebagai anggota DPR dan anggota Majelis Pertimbangan Partai, KH. Bisri Syansuri merupakan jembatan antara kedua dunia tersebut. Melalui Kiai ini, dunia pasantren terus menguasai atau berusaha menguasai dunia orang-orang politik.

Pada tahun yang sama, KH. Achmad Siddiq, seorang kiai cendekia dari Jember Jawa Timur dan berasal dari keluarga besar NU menerbitkan gagasan pertamanya mengenai pentingnya pengembalian kekuasaan organisasi ke tangan para ulama. Ia menganjurkan “kembali ke khittah para pendiri NU tahun 1926”.64 Dalam sebuah buku kecil yang berjudul Khittah Nahdliyah, ia menjelaskan betapa pentingnya mendefinisikan kembali khittah atau semangat ini dengan beberapa pertimbangan:

1. makin jaunya jarak waktu antara generasi pendiri dengan generasi penerus. 2. makin luasnya medan perjuangan dan banyaknya jumlah serta macam bidang

yang ditangani.

64


(46)

3. makin banyaknya jumlah dan macam ragam mereka yang menggabungkan diri pada Nahdlatul Ulama, dengan latar belakang pendidikan dan subkultur yang berbeda-beda.

4. makin berkurangnya peranan dan jumlah ulama generasi pendiri dalam pimpinan Nahdlatul Ulama.65

Retrospeksi terhadap pergulatan politik NU sebenarnya telah lama dilakukan oleh orang-orang NU sendiri. Secara resmi, ini terungkap pada Muktamar ke-22 di Jakarta pada 13-18 Desember 1959. Pada saat pemandangan umum memasuki hari ketiga yang dipimpin oleh H. Ahmad Syaichu, ada gagasan yang ketika itu dinilai aneh. Gagasan ini datang dari KH. Achyat Chalimi, selaku juru bicara Cabang Mojokerto yang kebetulan memperoleh kesempatan pertama dari 68 cabang yang hadir. KH. Achyat Chalimi antara lain mengatakan “Peranan politik oleh Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang. Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926. Tidak berbeda dengan penilaian para ulama lain di kemudian hari, gagasan ini didasari oleh pertimbangan bahwa selama ini NU terlampau mengedepankan urusan politik yang kenyataannya bukan semata-mata bagi kepentingan organisasi melainkan pola untuk kepentingan pribadi daripada urusan sosial keagamaan yang justru pernah menjadi urusan dominan pada awal berdirinya.66

Seiring jalannya waktu, ide kembalinya khittah NU 1926 sering didengungkan dari satu Muktamar ke Muktamar lain, dalam satu periode ke periode lain. Namun gagasan itu nampak begitu santer terdengar pada akhir tahun 70-an. Klimaksnya pada tahun 1982, di mana gagasan untuk kembali ke khittah 1926 memperoleh dukungan dari kelompok idealis yang kecewa terhadap PPP. Pada tanggal 21 Desember 1983

65

Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, LTN NU, Surabaya, 2005, h. 7.

66


(47)

saat Munas Alim Ulama di Podok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, kembali ke khittah 1926 justru menjadi salah satu agenda utama. Bahkan, salah satu di antara tiga komisi bernama Komisi Khittah (Komisi II) yang membahas landasan perjuangan NU, termasuk di dalamnya persoalan asas tunggal dan struktur organisasi NU.

Materi pemulihan khittah sebenarnya telah lama digodog dan yang terakhir dirumuskan oleh Tim Tujuh. Semua orang yang terlibat dalam Tim Tujuh ini merupakan “Generasi Ketiga”. Ini merupakan intelektual muda NU, yang tidak hanya bersentuhan dengan nilai-nilai pesantren, melainkan pula nilai-nilai lain yang kosmopolit sifatnya. Kelompok inilah yang secara konsepsional, merumuskan khittah 1926. Para ulama (nonpolitisi) mendukung para intelektual muda NU ini, karena dasar pemikiran kembali ke khittah 1926 berarti pula mengembalikan posisi ulama ke peran yang lebih besar lagi.67 Kembalinya khittah NU akan berakibat pada makin luasnya ulama NU dalam memainkan peranannya di tubuh NU, hingga NU akan kembali menjadi suatu organisasi yang concern mengurusi empat hal penting yaitu; persoalan keagamaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan ekonomi. Kembalinya khittah NU juga akan berpengaruh pada makin kuatnya ikatan sesama warga NU secara intern. Lebih dari itu, dengan kembalinya NU pada khittahnya, berarti secara kelembagaan organisasi NU tidak lagi melibatkan diri dalam kancah politik. Walau demikian NU tetap memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk ikut berpartisipasi dalam politik. Ini berarti setiap warga NU bebas memilih partai sebagai media politiknya dan tidak lagi terikat dalam satu pertai yaitu PPP an-sich. Ini bisa dikatakan bahwa walaupun NU kembali ke khittahnya, NU tetap ada di mana-mana dan tetap terjaga eksistensinya.

67


(1)

Begitu intens keterlibatan KH. Ali Ma’shum dalam NU, sepertinya ia telah menyatu dengan jiwanya. Bahkan ia punya resep untuk bekal para pengurus dan warga NU dalam upaya mencapai setiap cita-cita organisasinya.

Menurut KH. Ali Ma’shum ada lima bekal untuk itu, yaitu :

1. Setiap warga NU harus yakin dan percaya sepenuhnya terhadap NU.

2. Setiap warga NU hendaknya mempelajari organisasinya dengan sungguh-sungguh. Hal ini penting, karena cara itu bisa memperkokoh keyakinan terhadap NU, sehingga tidak mudah digoyahkan.

3. Setiap warga NU harus mempraktekkan ajaran serta tuntunan NU. Hal ini penting karena ajaran dan tuntunan NU adalah tuntunan Islam yang murni yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

4. Memperjuangkan agar NU tetap lestari dan berkembang. Jika telah menyatu dengan NU, maka harus berjuang pantang mundur.

5. Hendaknya sabar dalam ber-NU, artinya sabar dalam melakukan atau melaksanakan tugas organisasi, menghadapi segala rintangan, termasuk ketika menghadapi kemungkinan ada pihak-pihak yang mengajak keluar dari NU serta besar kemungkinan menghadapi pihak yang memusuhi ajaran Nabi.87 KH. Ali Ma’shum adalah salah seorang tokoh NU yang memiliki popularitas secara nasional bahkan internasional. Walau hidup sebagai orang yang selalu sibuk mengurusi organisasi NU, KH Ali Ma’shum dalam kehidupannya tidak pernah lepas atau jauh dari dunia pesantren. Dari sejak lahir hingga wafatnya, ia selalu berada dalam lingkungan pesantren. KH. Ali Ma’shum juga sebenarnya aktif dalam dunia politik. Akan tetapi aktivitas politiknya tidak didasarkan pada teori-teori politik

87


(2)

sebagaimana biasanya orang akademis, akan tetapi didasarkan pada bisikan hati nurani.

Muktamar yang dilaksanakan di kediamannya merupakan mata rantai kegiatan yang dapat dialami untuk terakhir kalinya. Saat itu ia sakit dan hanya bisa mengikuti acara besar itu dari pembaringan, dan itu merupakan khidmah terakhir kepada jam’iyah yang dicintainya. Hanya dua minggu setelah perhelatan besar di pesantren Al-Munawir Krapyak itu, KH. Ali Ma’shum dipanggil ke hadirat-Nya. Usai adzan maghrib, tepatnya pada tanggal 7 Desember 1989, di RSU Sarjito Yogyakarta. KH. Ali Ma’shum wafat dalam usia 74 tahun.88

88


(3)

BAB V

A. KESIMPULAN

Dalam pembahasan skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa KH. Ali Ma’shum dilahirkan pada tnggal 2 Maret 1915 di Lasem, kabupaten Rembang Jawa Tengah. Ali merupakan keturunan dari keluarga pesantren. Sejak kecil ia sudah dikirim untuk dididik di pondok pesantren Tremas jawa Timur oleh orang tuanya. Sepulangnya dari Tremas Ali menikah dan tidak lama kemudian ia menyempatkan diri memperdalam ilmu di Makah. Di sana Ali Ma’shum memperdalam ilmu bahasa Arab dan tafsir.

KH. Ali Ma’shum memiliki beberapa corak pemikiran yang pernah dimunculkannya antara lain mengenai Ahlussunnah Waljamaah, Madzhab, Ukhuwah Islamiyah hingga ilustrasi kemordenannya. Dari segi keagamaan, KH. Ali Ma’shum termasuk ulama yang memiliki pandangan luas tentang Ahlussunnah Waljamaah, namun ia tidak pernah beranggapan bahwa Ahlussunnah Waljamaah adalah hanya milik orang NU.

Terkait dengan peran dan perjuangan KH. Ali Ma’shum di tubuh NU, lebih awal bisa dilihat dari keterlibatannya. Jabatan yang pernah diembannya di tubuh NU adalah sebagai Rais ‘Am dan Mustasyar. Peranan dan perjuangan yang dimainkan KH. Ali Ma’shum di tubuh NU meliputi hal-hal baik yang terkait dengan persoalan intern NU sampai persoalan yang ekstern (di luar NU), seperti memunculkan suatu kebijakan yang membuat kuatnya suatu organisasi terkait dengan warga Nahdliyin hingga persoalan-persoalan politik yang ruang lingkupnya lebih luas.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Azis , Aceng, Dy Dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, Jakarta, 2006.

Marijan, Kacung, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta.

Abdussami, Humaidy, Fakla AS, Ridwan, Biografi 5 Rais ‘Am NU; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan KH. Achmad Siddiq, LTN NU, Yogyakarta, 1995.

Alaena, Badrun. NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000.

Bisri, Mustafa, Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh NU, Yayasan Syaifudun Zuhri, Jakarta, 1994

Dachlan, M. Riwayat Singkat Nahdlatul Ulama, Berita Nahdlatoel Oelama, Surabaja, 1931.

Ma’shum, Ali, Ajakan Suci, Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU, Yogyakarta, 1998.

Muhammadiyah, Hilmi, Fatoni, Sulthon, NU : Identitas Islam Indonesia, ELSAS, Jakarta, 2004.

Sillars Harvey, Barbara, Pemberontakan Kahar Muzakka, dari Tradisi ke DI/TII, Grafiti Press, Jakarta, 1989.

Effendy, Yusuf, Slamet; Ikhwan, Syam, Mohammad; Farid, Mas,udi, Masdar, Dinamika Kaum Santri; Menelusuri jejak & pergolakan internal NU, RAJAWALI, Jakarta, 1983.


(5)

Effendy, Yusuf; Selamet, Ikhwan, Syam,Mohammad; Farid, Mas’ udi, Masdar, Dinamika kaum santri;Menelusuri jejak & pergolakan internal NU, RAJAWALI, Jakarta , 1983.

Feilard, Andree, NU vis-avis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, LKIS, Yogyakarta, 1999

Halim, Abdul, dkk., Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas 26 Tokoh NU, Yayasan Suaifuddin Zuhri, 1994.

--- Apa da Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, Grafiti Pers, Jakarta, 1986.

Marijan, Kacung, Quo Vadis NU setelah kembali ke khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta.

Ma’sum, Ali, Ajakan Suci, Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU,Yogyakarta,1998.

Ma’sum, Syaifullah, Karisma Ulama; kehdupan Ringkas 26 Tokoh NU, Mizan, Bandung, 1998.

Masyhuri, A Aziz, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat dan Doa, KUTUB, Yogyakarta, 2006.

Masyhuri, A. Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat, Perjuangan dan Doa, KUTUB, Yogyakarta, 2006.

Muhammadiyah, Hilmi, Fatoni, Sulthon, NU.Identitas Islam Indonesia, ELSAS, Jakarta, 2004,

Mukhdlor, A. Zuhdi, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989.

Nasuha, A, Chozin, NU Setelah konbes Cilacap, Pelita, Jakarta, 1989 Siddiq, Achmad, Khittah Nahdliyah, LTN NU, Surabaya, 2005.


(6)

Al-Tamami, Masduki, Lima Bekal dari KH Ali Ma’shum untuk NU, Suara Karya, 1989.