BIOGRAFI KH. ALI MA’SHUM

BAB II BIOGRAFI KH. ALI MA’SHUM

A. Silsilah Keluarga Lasem, sebagai kota kelahiran KH. Ali Ma’shum adalah sebuah kota kecil di pesisir utara pulau Jawa, termasuk wilayah kabupaten Rembang yang merupakan daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di propinsi Jawa Tengah, nama Lasem sebagai kota yang mempunyai pesantren termasyhur, dikenal luas oleh masyarakat. Sebagian besar penduduk Lasem adalah petani, tetapi tidak sedikit juga yang menjadi nelayan. Seperti banyak keluarga lain, keluarga KH. Ma’shum sudah turun-temurun hidup di Lasem. Dia sendiri adalah salah seorang pengasuh pondok pesantren Al- Hidayah yang cukup terkenal di daerah itu. Sebagai seorang kiai yang alim, KH. Ma’shum selalu mendambakan ilmunya dapat bermanfaat bagi yang lain. Sejak masih muda ia sudah didatangi orang-orang yang bermaksud menimba ilmu darinya. Rumahnya yang sederhana itu dijadikan penampungan para santri. 12 Di tengah-tengah kesibukannya mengurus para santrinya, ia akhirnya dikaruniai seorang putra pertama yang kelak melanjutkan perjuangannya. Dia adalah Ali Ma’shum yang di kemudian hari dikenal sebagai salah satu tokoh besar NU dengan sebutan KH. Ali Ma’shum Mbah Ali. KH. Ali Ma’shum dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1915 di Lasem, kabupaten Rembang Jawa Tengah dari pasangan KH. Ma’shum dengan Nuriyah. Pasangan ini dikaruniai tigabelas putera-puteri, delapan di antaranya meninggal dunia dalam usia 12 A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum; Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, 1989, h. 1. dini. 13 Ia adalah anak pertama dari pasangan tersebut. Nuriyah merupakan istri kedua KH. Ma’shum. Istri pertamanya adalah Maftuchah yang meninggal dunia di Makkah sebelum mempunyai keturunan. Dengan demikian Ali kecil merupakan putera pertama dari istri kedua KH. Ma’shum. Ayahnya yang dikenal dengan sebutan Mbah Ma’shum adalah pengasuh pondok pesantren di Lasem. Dari ketigabelas putera-puteri Mbah Ma’shum yang masih hidup ialah Ali Ma’shum, Fatimah, Ahmad Syakir, Azizah dan Chamnah. Ali sendiri menikah pada tahun 1938 dengan puteri salah seorang kiai ternama di Yogyakarta. Gadis itu bernama Hasyimah, puteri dari KH. Munawir Krapyak Yogyakarta. Pernikahan mereka dilaksanakan setelah kepulangan Ali dari pondok pesantren Tremas. B. Latar Belakang Pendidikan KH. Ma’shum menghendaki Ali kelak menjadi seorang ahli fiqih. Oleh karena itu, sejak kecil Ali telah diberi pelajaran kitab-kitab fiqih olehnya. 14 Walaupun sebagian sumber menyatakan bahwa pada saat itu KH. Ma’shum telah memberikan pengajaran kitab-kitab non-fiqih kepada para santrinya. Namun pada akhirnya kecenderungan Ali kecil sendiri berbeda dengan yang diharapkan orang tuanya karena dia lebih suka mempelajari kitab-kitab nahwu dan sharaf. Bahkan dia sendiri pada saat itu mengajak adik-adiknya untuk menyukai kitab-kitab tersebut. Pada tahun 1927 Ali yang sudah memasuki masa remaja dikirim ke pondok pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Ketika itu pengasuhnya adalah KH. Dimyati. 15 Pada saat itu berkembang tradisi di pondok setempat bahwa santri 13 Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum dan KH. Achmad Siddiq, LTN NU, Yogyakarta, 1995, h. 107, 110. 14 A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara II; Riwayat, Perjuangan dan Doa, KUTUB, Yogyakarta, 2006, h. 308. 15 Ibid, h. 309. yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya tidak pulang kampung, merupakan petanda yang bersangkutan akan sukses menyerap ilmu dan kelak akan menjadi seorang ‘alim atau kiai. Ali yang mulai menambah nama ayahnya di belakang namanya menjadi Ali Ma’shum termasuk santri yang mampu tidak pulang kampung pada awal pendidikannya. Ketekunan Ali Ma’shum kemudian menjadikan ia cukup menonjol di antara santri-santri lainnya, maka ia pun langsung dijadikan nara sumber dalam hal membaca kitab kuning. Oleh KH. Dimyati, Ali Ma’shum lalu dipercaya untuk mengajar. Ilmu Tafsir al-Qur’an dan ilmu bahasa Arab sangat menarik hatinya. Ali Ma’shum seolah telah menentukan sendiri spesialisasinya yang kelak akan mengangkatnya sebagai salah satu kiai hafidh Qur’an yang ahli tafsir terkenal di Indonesia serta seorang pakar bahasa Arab yang terkemuka sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai munjid berjalan. Munjid adalah kamus yang disusun Louis Ma’luf, seorang warga Lebanon. Di Tremas Ali Ma’shum juga memperoleh pendidikan kepemimpinan dengan mengikuti kegiatan kepanduan. Di kepanduan inilah bakat kepemimpinannya diasah. Ia bahkan diangkat sebagai kepala kepanduan di Tremas. 16 Kepercayaan yang diberikan kepada Ali Ma’shum, membuatnya berani melakukan improvisasi, di antaranya yang terkenal adalah mendirikan madrasah di pesantren, membaca kitab-kitab yang ada gambarnya seperti Qira’atur Rasyidah dan mengajarkan kitab-kitab baru dari Mesir sebagai kitab rujukannya. 17 Sepulangnya dari Tremas dan beberapa hari setelah pernikahannya dengan Hasyimah, Ali Ma’shum mendapat tawaran untuk menunaikan ibadah haji secara gratis. Sebulan setelah pernikahan, Ali Ma’shum bertolak ke Makkah dan bermukim di sana selama dua tahun. Selama itu pula ia menunaikan ibadah haji dua kali, memperdalam ilmu 16 Abdul Halim dkk., Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas 26 Tokoh NU, Yayasan Suaifuddin Zuhri, 1994, h. 351. 17 Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 110. khususnya ilmu tafsir dan bahasa Arab. Ketika di Makkah ia berguru kepada Sayyid Alwi dan Syaikh Umar Khamdan. 18 Kekuatan Ali Ma’shum sebelum berguru ke Makkah adalah keuletannya dalam mempelajari kitab-kitab karangan para ulama pembaharu seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, Al-Maroghi dan Sayyid Sabiq yang pada saat itu tidak lazim dipelajari di pesantren. Sepulangnya dari Makkah Ali Ma’shum mulai mengabdikan diri di pesantren orang tuanya. Pembenahan dilakukan olehnya dalam rangka meningkatkan kualitas pondok pesantren Al-Hidayah. Pembenahan itu berhasil dilakukan di dalam pesantren itu, sehingga Mbah Ma’shum mengandalkan puteranya itu untuk terus mengembangkan pesantren tersebut. Namun sejarah berkata lain. Hal ini dikarenakan wafatnya KH. Munawir mertua Ali Ma’shum dan pengasuh pondok pesantren Krapyak Yogyakarta belum menemukan pengasuh yang cocok serta layak sebagai penggantinya. Untuk itu Ali Ma’shum diminta untuk mengelola pesantren tersebut. Tepatnya pada tahun 1942 Ali Ma’shum mulai mengabdikan dirinya di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. 19 C. Corak Pemikiran KH. Ali Ma’shum Beberapa hal yang dikeluarkan KH. Ali Ma’shum terkait dengan corak pemikiran yang dimunculkannya, antara lain mengenai Ahlussunnah Wa al-jama’ah, Madzhab, Ukhuwah Islamiyah hingga ilustrasi kemodernannya. Dari segi keagamaan, KH. Ali Ma’shum termasuk ulama yang berpandangan luas tentang ahlussunnah wa al-jamaah. Terkait dengan itu, ia tidak beranggapan bahwa ahlussunnah wa al-jamaah hanya milik NU. Sesuai dengan hadis Nabi ma 18 A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 311. 19 Ibid, h. 312. ana’alaihi wa ashhabi da’a al-sawad al-a’zham, 20 maka semua golongan yang tidak menyalahi Al-Qur’an dan As-sunnah serta pendapat ulama adalah termasuk ahlussunnah wa al-jamaah. 21 Hadits Nabi yang mengatakan bahwa seseunguhnya ummatku akan bercerai berai menjadi 73 firqoh. Satu masuk syurga dan yang 72 masuk neraka. Nabi di Tanya; siapakah yang masuk syurga itu ya Rasul? Nabi menjawab : Ahussunnah Wa al-jamaah. Ini juga tidak membuat KH. Ali Ma’shum terjebak pada klaim bahwa orang-orang NU sajalah yang termasuk golongan itu, mengingat demikian umum batasan yang diberikan oleh Nabi. Sosok yang dimaksudkan dalam hadits itu tidak dapat disekat-sekat oleh pengelompokkan organisatoris. Itulah sebabnya, karena sangat sulit untuk menarik garis tegas, maka KH. Ali Ma’shum menafsirkan sebagai orang atau kelompok yang memegang teguh Al-Qur’an dan As-sunnah serta memahami dan mengamalkannya dengan benar dan melalui cara-cara yang benar. Karena itu, faktor para sabahat Nabi serta para ulama salaf sangat besar pengaruhnya dalam mengantarkan seseorang menjadi Muslim yang sesungguhnya. Nabi Muhammad menegaskan orang sunni adalah maa anaa ‘alaihi al-yauma wa ashhabi , yakni orang atau kelompok yang dalam posisi ikut berpegang pada apa yang Nabi dan para sahabat memeganginya. Para sahabat Nabi adalah generasi terbaik yang pernah dimiliki Islam. 22 Ini bukan berarti para sahabat beliau mempunyai sifat ishmah terlepas dari dosa besar dan kecil, melainkan mereka berada pada posisi sebagai orang yang pernah bertemu langsung dan terlibat penuh dalam setiap perjuangan Nabi. 23 20 Maksud hadits di atas yaitu bahwa ahlussunnah wa al-jamaah adalah mengakui apa-apa yang telah dilakukan rasul, keluarga dan para sahabatnya, juga mengakui pendapat mayoritas kaum Muslim. 21 Ibid, h. 327. 22 A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 44. 23 Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 119. Namun demikian, KH Ali Ma’shum melihat faktor pemahaman teologis paling tepat untuk dijadikan kriteria dalam menilai apakah suatu kelompok itu sunni atau bukan. Hal ini dapat dilihat misalnya, dari perdebatan besar yang pernah terjadi di kalangan umat Islam masa lalu dalam mamahami eksistensi Tuhan. Mereka lebih mendahulukan rasio dari pada wahyu, suatu hal yang juga diperbuat oleh orang-orang Qadariyah. Sementara kaum Mujassimin mempersonifikasikan Allah dan kaum Jabariyah menghilangkan sama sekali anugerah Allah berupa ikhtiyar. Kaum Syi’ah sendiri telah berani menghujat para sahabat Nabi. Juga pendapat kaum Syiah bahwa imam mereka adalah orang-orang ma’shum, padahal hanya Nabi dan Rasul yang mempunyai sifat Ishmah. Bagi KH. Ali Ma’shum, pendapat-pendapat kaum Syiah ini tidak dapat dimaafkan lagi, karena merusak sendi-sendi akidah Islam. Namun, terlepas dari kesalahan-kesalahan di atas, KH. Ali Ma’shum tetap menaruh simpati yang sangat tinggi kepada pemimpin spiritual Syi’ah Iran Ayatullah Khumainy al-Musawi ketika ia berhasil memimpin rakyatnya menumbangkan arogansi Syah Iran tahun 1979. Dia berkata; andaikata di dunia Islam ini ada sepuluh Khumainy, wibawa umat Islam di mata internasional sangat hebat. 24 Melihat masalah agama secara luas dan mendalam, tampaknya menjadi pola pandangan KH. Ali Ma’shum. Dengan tidak harus menutup pintu ijtihad dan dengan memahami prosedur secara objektif, persoalan bermadzhab misalnya, oleh KH. Ali Ma’shum dipandang sebagai kenyataan yang harus pasti dilakukan oleh setiap Muslim pada umumnya. “Kalau Imam Ghazali dan Ibn Alqayyim al-Jauziyyah saja bermadzhab Hambali, mengapa kita harus malu mengikuti para Imam Madzhab” demikian dia mengatakan dalam sebuah kesempatan. 25 24 A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 44, 45. 25 A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 327. Masalah madzhab bagi KH. Ali Ma’shum merupakan masalah klasik. Sejak zaman Nabi Muhammad saw. sudah ada indikasi diperbolehkan bermadzhab atau setidak-tidaknya diisyaratkan akan keabsahan bermadzhab. Karena memang bermadzhab ada dasar-dasarnya dalam ajaran Islam. Dasar-dasar tersebut antara lain dapat dilihat dari : 1. Firman Allah yang memerintahkan kepada orang yang belum berilmu agar belajar atau bertanya kepada orang yang berilmu. Allah berfirman yang artinya “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” Q.S An-Nahl: 43. Para ulama pada umumnya menempatkan ayat yang artinya telah disebutkan di atas sebagai dalil bagi wajibnya orang awam mengikuti petunjuk mujtahid atau ulama madzhab. 2. Kenyataan historis yang menunjukkan bahwa kebanyakan sahabat Nabi mengikuti petunjuk sahabat yang lebih pandai. Ini berarti di masa Nabi telah terjadi kondisi mengikuti kepada sesama sahabat, dan Nabi tidak melarangnya. 3. Ada isyarat hadits yang memerintahkan agar kita mengikuti golongan yang terbesar, sebagaimana hadits yang artinya “Jika kamu sekalian melihat perbedaan pendapat, maka wajib atasmu mengikuti golongan yang terbanyak” HR. Ibnu Majah. Menurut KH. Ali Ma’shum, madzhab empat Maliki, Hanafi, Syafi’I dan Hambali adalah yang paling banyak diikuti oleh umat Islam di dunia sampai saat ini, dan bahkan paling lama bertahan. Sudah sepantasnya kalau kita bergabung ke dalamnya, karena banyak tokoh-tokoh besar Islam pun masih mengaku bermadzhab terhadap mereka seperti yang disebutkan di atas. Meskipun KH. Ali Ma’shum mencirikan sunni salah satunya mengikuti madzhab, bukan berarti lalu menyebut orang atau kelompok tidak bermadzhab sebagai bukan sunni. Karena pada dasarnya orang yang mengaku tidak bermadzhab secara diam-diam atau tanpa disadari juga bermadzhab. Hanya saja ia menghimbau kepada kaum ini, tidak bermadzhab boleh saja meskipun itu berarti membuat madzhab sendiri yakni madzhab orang yang tidak bermadzhab, tetapi jangan mencela dan melecehkan orang yang mengikuti madzhab. 26 Selain persoalan Ahlussunnah Wa al-jama’ah dan masalah madzhab, yang tak henti-hentinya pula dibicarakan oleh umat Islam adalah persoalan Ukhuwah Islamiyah . KH. Ali Ma’shum sendiri berpendapat bahwa sebenarnya ajaran ukhuwah telah diajarkan dalam AL-Qur’an. Ayat 10 sd 13 surat Al-Hujurat memberi pengajaran yang cukup jelas bagi umat Islam. Dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak hanya menandaskan bahwa sesama orang mu’min itu bersaudara, melainkan juga memberi petunjuk pelaksanaan bagaimana persaudaraan itu harus dibina. Mengapa perselisihan kerap terjadi, menurut KH. Ali Ma’shum sumbernya adalah perbedaan di dalam memahami sebagian ajaran agama Islam. Katakanlah, perbedaan yang muncul sebagai akibat dari perbedaannya memahami syariat. Perbedaan ini seolah menjadi mata air bagi munculnya perbedaan-perbedaan yang lain yang tak terhitung jumlahnya. Perbedaan dalam pemahaman syariat memang telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Tidak perlu saling menyalahkan, selama sama-sama mempunyai dasar pijakan syariat. Islam, menurut KH. Ali Ma’shum tidak sekedar memerlukan kesemarakan atau syi’ar, tetapi sekaligus kedalaman dalam pengamalan ajaran agamanya. Karena hanya dengan inilah ibadah-ibadah agama 26 Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 121. dapat dilaksanakan dengan penuh kekhusyu’an dan kenikmatan. Namun tidak perlu saling menyalahkan, lebih-lebih dalam membina Ukhuwah Islamiyah. 27 Dalam kesempatan lain, KH. Ali Ma’shum menjelaskan pandangannya tentang Ukhuwah Islamiyah. Untuk menciptakan ukhuwah, ia menekankan pentingnya berpegang pada syariat Islam dan tidak memperuncing masalah khilafiah. Untuk itu umat Islam perlu berpandangan luas serta bersikap ilmiah dengan mempelajari dan membandingkan berbagai madzhab yang ada sehingga tidak saling menyalahkan. Prinsip dan cara itu hendaknya menjadi perhatian khusus para tokoh dan mubaligh. Sikap para tokoh dan mubaligh itulah menurut KH. Ali Ma’shum yang secara tidak langsung terkadang membuat perpecahan dan perselisihan umat Almuslimin Fii Khair; Wa Al-Dhufuu Fi Al-Qiyadhah . 28 Lebih jelasnya hal itu dapat dilihat dari ajakannya, pertama, umat Islam tidak memperuncing masalah khilafiah. Kedua, umat Islam khususnya para tokoh dan mubaligh untuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang menyinggung perasaan umat Islam secara luas. Ketiga, umat Islam yang memang sudah sunnatullah berkelompok-kelompok ini berjiwa besar, yakni sanggup mengakui kebenaran pihak lain, menghormati pendapatnya dan tetap memperlakukannya sebagai saudara. Keempat, umat Islam memperluas cakrawala ilmiah dengan mengkaji kitab-kitab modern untuk ditemukan dan dihadapkan dengan realitas yang selalu berubah. Dalam memahami pengertian Ukhuwah Islamiyah, KH. Ali Ma’shum termasuk salah seorang yang berpendapat bahwa di dalam Ukhuwah Islamiyah terkandung ukhuwah terhadap agama atau kerlpmpok lain. Hanya saja ukhuwah yang terkandung itu perlu dirumuskan terperinci secara eksplisit, jangan dibiarkan saja tersirat. Ia setuju dengan rumusan KH. Ahmad Siddiq yang merumuskan Ukhuwah 27 A. Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Ma’shum, h. 62, 63, 64. 28 A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 324. Islamiyah manjadi Ukhuwah Islamiyah persaudaraan seakidah, Ukhuwah Wathaniyah persaudaraan sebangsa, Ukhuwah Basyariyah persaudaraan sesama manusia. Perincian ini penting, karena antara ketiga ukhuwah itu menurut KH. Ali Ma’shum memiliki perbedaan sifat, kadar, intensitas dan kualitasnya. Namun bukan berarti ketiga ukhuwah itu bisa dipisahkan sama sekali. Ketiganya tetap dalam kesatuan yang utuh dan saling membutuhkan satu sama lain dengan Ukhuwah Islamiyah dijadikan sebagai jiwa atau ruh dari ukhuwah-ukhuwah yang lain. Mungkin itu sebabnya, selama akidah Islam tidak terganggu, menurut KH. Ali Ma’shum umat Islam tidak perlu bersikap kaku untuk berkompromi atau berakomodasi dengan pihak lain. Namun jika akidah terganggu, umat Islam harus menunjukkan jati dirinya utnuk mempertahankan keyakinannya. 29 Dalam perjalanan sejarahnya bisa dicermati bahwa KH Ali Ma’shum selalu terlibat dalam lembaga dan organisasi tradisional pesantren dan NU, namun ia adalah seorang yang brilian otaknya dan di mana saja ia berada selalu menghembuskan nafas pembaharuan. Ia telah berhasil merubah sistem pondok pesantren menjadi sistem yang lebih modern. Cita-cita yang dikeluarkan dari idenya adalah ia ingin sekali melahirkan duplikat pengganti semacam Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hambali, Al-Ghazali, Nawawi, Suyuti, Asqalani, Miskawaih, Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Khaldun dan sebagainya. Untuk itu dalam memahami ilmu, KH. Ali Ma’shum tidak terlampau tajam memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurutnya, ditinjau dari segi adanya hukum fardhu ‘ain pada batas tertentu, memang ilmu agama menjadi lebih mulia. Tetapi dalam hal yang lebih jauh dari itu sesungguhnya adalah relatif. Suatu 29 Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 135, 136. ilmu lebih mulia, jika ternyata buahnya lebih terasa bermanfaat bagi kehidupan beragama. Ini merupakan salah satu ilustrasi kemodernannya. 30 Tentang kesadaran bernegara dan berpolitik, KH Ali Ma’shum sering mengutip tulisan Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah atau dalam adab al- dun-ya al-dien tentang beberapa aspek yang menjadi dasar kemaslahatan dunia misalnya; 1 agama yang menjadi pedoman al-dien al-munthaha, 2 penguasa yang berwibawa al-sulthan al-kabir, 3 keadilan yang merata al-‘adl al-syamil, 4 keamanan semesta al-amn al-‘am, kemakmuran sandang pangan al-khishb al- darry, 6 harapan masa depan dan cita-cita yang tinggi al-‘amal al-fasih. Sebagai orang yang menyadari arti pentingnya politik, KH. Ali Ma’shum sangat menganjurkan ditegakkannya prinsip musyawarah. Seperti yang dikatakan Al- Mawardi, KH Ali Ma’shum mengatakan bahwa dalam musyawarah diperlukan beberapa syarat; pertama, pikiran yang dikemukakan hendaknya adalah hasil pemikiran yang matang. Kedua, dalam bermusyawarah hendaklah beritikad baik dan berhati tulus, bersikap terbuka dan tidak angkuh. 31 Dengan kecairannya memahami Ahlussunnah Wa al- Jama’ah Sunni membuat KH. Ali Ma’shum juga sedemikian cair dalam mendudukkan Pancasila dengan agama. Menurutnya, sila-sila yang ada dalam Pancasila pada dasarnya tidak bertentangan dengan Islam. 32 30 Ibid, h. 115. 31 A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren, h. 326. 32 Humaidy Abdussami, Ridwan Fakla AS., Biografi 5 Rais ‘Am NU, h. 126.

BAB III KH. ALI MA’SHUM DAN NU