BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama telah menjadi entitas yang sangat penting dalam proses transmutasi nilai-nilai ke dalam wilayah Republik Indonesia. Secara historis kenyataan itu sulit
dielakkan. Semenjak kehadiran agama Hindu dan Budha, bangsa Indonesia sesunnguhnya sudah berada pada wilayah kehidupan religius. Banyaknya peninggalan
agama Hindu dan Budha seperti candi adalah bukti bahwa agama telah menancap sebagai sistem ritual sekaligus sistem sosial dan budaya. Karena itu esensi bangsa
Indonesia sejak dulu tidak mengenal sekularisasi. Validitas sejarah telah mendukung Islam sebagai bagian terbesar dalam
pergulatan keindonesiaan, karena Islam telah memberikan andil yang signifikan dalam transformasi bangsa. Sejarah Wali Songo di Jawa menunjukkan dengan kuat
bagaimana transfer aksiologi keislaman telah mampu merubah wajah lokalitas budaya menjadi tata nilai yang mampu menginjeksi masyarakat menuju pada bentuk yang
dinamis.
1
Dalam sejarah gerakan bangsa-bangsa di dunia dan komunitas pemeluk agama, selalu lahir pemimpin dan orang-orang yang ditokohkan serta menjadi panutan
dalam banyak persoalan kehidupan. Pemimpim atau tokoh-tokoh itu lahir di masa dan komunitas tertentu sesuai kebutuhan sejarah yang memanggilnya serta komitmen diri
yang dimilikinya. Terlepas apakah pemimpin dan tokoh itu yang mengubah sejarah atau boleh jadi sebaliknya, kekuatan sejarah yang tak gampang dipahami itu sendiri
yang secara sengaja sesuai dengan logika sejarah yang melahirkan sang pemimpin dan
1
Hilmi Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU : Identitas Islam Indonesia, ELSAS, Jakarta, 2004, h. viii
sang tokoh. Tetapi sesuatu yang sulit diingkari adalah bahwa ketokohan seseorang atau sekelompok orang hanya ada di dalam dan dari sebuah komunitas.
Pada awal abad XX fenomena paling mencolok yang menunjukkan kebangkitan “bumiputra” untuk melawan penjajahan Belanda adalah adanya gerakan
rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, organisasi dan partai. Fenomena tersebut menyandang sebutan
“pergerakan”, di mana bumiputra bergerak mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan.
Pada awal abad XX ulama menyandang simbol utama perlawanan terhadap penjajah.
2
Seiring jalannya waktu, para ulama akhirnya membentuk suatu wadah sebagai media perjuangannya dengan nama Nahdlatul Ulama NU. Bagi kalangan
NU, berdirinya organisasi keagamaan ini tidak jarang dipandang sebagai pelembagaan tradisi kegamaan yang sudah mengakar sebelumnya. Para Ulama yang sudah memiliki
kesamaan wawasan keagamaan pada 31 Januari 1926 sepakat membentuk organisasi ini. Meski begitu, proses kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu yang
mengitarinya. Perkembangan dunia Islam dan situasi kolonialisme Belanda tidak kecil andilnya dalam membidani kelahirannya.
3
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU memiliki perjalanan panjang dalam ranah perjuangannya. Gagasan yang dikedepankan pertama kali ketika NU dibentuk,
bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan keagamaan. Walau demikian, tidak berarti wawasan tersebut lantas menjadikan NU mengabaikan
persoalan poltik.
4
Hal ini dapat dilihat dari manifestasi gerakan ini dalam kancah
2
Aceng Abdul Azis Dy Dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, Jakarta, 2006, h. 206.
3
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, ERLANGGA, Jakarta, h. 1
4
Aceng, Islam Ahlussunnah, h. 209.
perjuangan bangsa pada masa pra-kemerdekaan yang dikenal dengan gerakan Islam kulutural.
Walaupun aktivitas yang dilakukan NU dalam gerakannya pada awal berdirinya organisasi ini adalah gerakan keagamaan, tapi tidak berarti hal-hal yang
bersifat politik diabaikan. Pada muktamar ke-3 tahun 1928, NU tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai perhatiannya dalam masalah politik. Yang disebutkan
adalah mengenai tujuan-tujuan sosial keagamaan. Di situ disebutkan bahwa yang ingin dipertahankan NU adalah ajaran Islam yang terikat pada empat madzhab dan
mengerjakan bersama apa yang menjadi kemaslahatan bersama. Di bidang sosial yang menjadi perhatian adalah memajukan pertanian, perdagangan dan perusahaan.
5
Namun seiring jalannya waktu, NU secara tidak langsung memainkan perannya berkaitan dengan soal politik. Ini bisa dilihat dari sikap NU terhadap
penjajah Belanda, di mana NU bersikap kooperatif terbatas atau akomodatif, yaitu bersedia bekerjasama dengan penjajah Belanda ketika berkaitan dengan keselamatan
umat Islam dan menentangnya jika berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang merugikan atau bahkan mengancam umat Islam.
Sikap NU yang bekerjasama dengan Belanda dapat dilihat pada keikutsertaannya dalam sidang Kontoor voor Inslansche Zaken Kantor Urusan dalam
Negeri di Jakarta pada 1929 yang membicarakan soal perkawinan umat Islam dan perbaikan organisasi penghulu atas prakarsa C. Gobee, adviseur
pada kantor tersebut. Pemerintah Hindia Belanda ingin memperbaiki peraturan tentang perkawinan umat
Islam. Peraturan yang direncanakan pada pokoknya mengatur tentang nikah, talak, rujuk dan sebagainya.
6
5
Ibid, h. 209.
6
Ibid, h. 211.
Sikap-sikap yang menunjukkan keengganan bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda di antaranya sebagai berikut: Pada tahun 1930, NU menolak peraturan
pemerintah Hindia Belanda mengenai ordonansi guru guru ordonnantie yang memberlakukan administrasi yang lebih ketat terhadap sekolah-sekolah, termasuk
pesantren. Pada tahun 1931, NU juga memprotes penarikan masalah-masalah waris dari wewenang peradilan agama.
7
Selama masa kolonialisme, NU selalu melakukan langkah-langkah politik, walalupun tidak secara langsung. Klimaks dari perjuagan NU adalah pada masa
datangnya Jepang ke Tanah Air hingga masa revolusi kemerdekaan, di mana NU terlibat langsung gerakan politik massa dalam mempertahankan meraih kemerdekaan.
Nampaknya apa yang telah dilakukan NU dalam langkah-langkah perjuangannya pada masa pra-kemerdekaan hingga pasca revolusi kemerdekaan
membawa dampak besar terhadap kalangan NU untuk terlibat langsung dalam gelanggang politik di republik ini seiring dengan kepincangan-kepincangan politik
yang terjadi pada masa itu, dan ditambah dengan instabilitas politik yang tercermin dalam berbagai gejolak partai dan saling mencurigai antara satu partai dengan partai
lainnya.
8
Ini terlihat pula pada pertengahan 1950-an, di mana NU menghadapi krisis baru dalam hubungannya dengan Masyumi mengenai posisi dalam kabinet.
Berakhirnya Kabinet Wilopo pada bulan Juni menggiring pembicaraan tentang kabinet baru berlarut-larut. NU mengusulkan front persatuan di mana koalisi
Masyumi-PNI akan dijadikan sandaran pembentukan kabinet baru. Bergabungnya NU dengan Masyumi sendiri terjadi ketika NU meminta jatah untuk kementerian agama.
Ketika negosiasi mengenai kabinet baru antara Masyumi-NU gagal, NU melakukan
7
Ibid, h. 213.
8
Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakka, dari Tradisi ke DITII, Grafiti Press, Jakarta, 1989, h. 189
manuver dengan melakukan hubungan langsung dengan formatur mengenai posisi kabinet non-Masyumi.
9
Pergolakan politik NU dalam negeri ini terus berlanjut hingga akhirnya NU mengalami perubahan pada awal tahun 1980-an didasarkan atas keinginan untuk
mengembalikan NU sebagai gerakan keagamaan dan gerakan kemasyarakatan sebagaimana khittah jam’iyyah NU tahun 1926. Keinginan ini dilandasi pada suatu
kondisi politik saat itu yang membuat orientasi dan interest politik praktis di kalangan pengurus. Hal ini telah mengakibatkan rapuhnya jam’iyyah, terutama terabaikannya
basis jama’ah pada masyarakat bawah serta kewenangan para ulama.
10
Kenyataannya hal itu tidak bisa diwujudkan oleh para pengurusnya. Wafatnya Rois ‘Am KH. M.
Bisri Syansuri 25 April 1981, membuka peluang bagi kedua sayap politik dan sayap Khittah
untuk saling memperkuat posisinya. Pembicaraan pengisian jabatan Rois ‘Am dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama kan Konferesi Besar NU di Kaliurang
Yogyakarta 1981 menjadi sangat penting. Ternyata Munas dan Konbes itu berhasil memilih KH. Ali Ma’shum sebagai Rois ‘Am PBNU menggantikan KH. M. Bisri
Syansuri. Meskipun bagi pribadinya terasa berat, terpilihnya KH. Ali Ma’shum ini
menandai kemenangan sayap khittah yang didukung para ulama pesantren dan generasi muda. Dalam Khutbah Iftitah Munas dan Konbes itu dia menyinggung
perlunya diberikan peluang generasi muda serta pemulihan kedudukan ulama sebagai pemegang kendali dalam NU. Kepemimpinan Kiai Ali beserta terjadinya proses
menuju Muktamar ke-27 merupakan babak sejarah yang menarik dalam tubuh NU. Meski dengan kondisi yang penuh ketegangan, roda organisasi NU terus berjalan
menuju perubahan yang lebih pasti. Pada 1983 dilaksanakan Munas Alim Ulama di
9
Acing Abdul Azis Dy, Islam Ahlussunnah, h. 231.
10
Mustafa Bisri, Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh NU, Yayasan Syaifudun Zuhri, Jakarta, 1994, h. 363.
Situbondo yang menghasilkan konsep kembali ke Khittah 1926. Setahun kemudian dilaksanakan Muktamar ke-27 yang bersejarah itu.
11
Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis kiprah dan perjuangan KH. Ali Ma’shum dalam tubuh NU. Penulis ingin mengkaji bagaimana peranan KH.
Ali Ma’shum dalam tubuh NU pada suatu periode tertentu. Oleh karenanya penulis memutuskan untuk memilih peristiwa sejarah ini
sebagai objek kajian dengan judul, “Kiprah dan Perjuangan KH. Ali Ma’shum dalam Tubuh NU 198I-1989”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah