KIPRAH KH. AHMAD DAHLAN DALAM MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

(1)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

SARLI AMRI TEGUH PRIBADI

NIM. 106011000172

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M / 1432 H


(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :

Sarli Amri Teguh Pribadi

NIM. 106011000172

Dibawah Bimbingan :

Dr. H. Abdul Fattah Wibisono, MA

NIP. 195801121988031002

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M / 1432 H


(3)

iii

Skripsi berjudul : “Kiprah KH. Ahmad Dahlan Dalam Modernisasi Pendidikan Islam Di Indonesia” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasyah pada 8 Desember 2010 dihadapan Dewan penguji. Karena itu, berhak memperoleh gelar Sarjana S-1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 8 Desember 2010

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia

(Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam)

Tanggal Tanda Tangan

Bahrissalim, M.Ag.

NIP. 19680307 199803 1 002

………… ………

Sekretaris Jurusan

Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag.

NIP. 19670328 200003 1 001

………… ………

Penguji I

Nurlena Rifai, MA., Ph.D.

NIP. 19591020 198603 2 001

………… ………

Penguji II

Abdul Haris, M.Ag.

NIP. 19660901 199503 1 001

………… ………

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.


(4)

iv Dengan ini saya :

Nama : Sarli Amri Teguh Pribadi

NIM : 106011000172

Fak./ Jur. : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / PAI Judul Skripsi : Kiprah KH. Ahmad Dahlan Dalam Modernisasi

Pendidikan Islam di Indonesia Dosen Pembimbing : Dr. H. Abdul Fattah Wibisono, MA.

Menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2010


(5)

v

Judul : Kiprah KH. Ahmad Dahlan Dalam Modernisasi Pendidikan Islam Di Indonesia, Nama : Sarli Amri Teguh Pribadi, NIM. 106011000172, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 M/1432 H, hlm. xi+77.

Kondisi pendidikan yang dikelola umat Islam Indonesia masa penjajahan kolonial Belanda, dunia pendidikan -khususnya pendidikan Islam- berada pada titik terendah dan belum bisa memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa. Hal ini terjadi akibat pola pikir umat Umat Islam yang sempit dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an, ditambah dengan adanya diskriminasi kaum penjajah terhadap pendidikan Islam. Pendidikan yang dikelola umat Islam baru berupa pondok yang tidak memenuhi tuntutan dan kehendak zaman. Di pihak lain pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah yang bersifat sekuler, dalam arti pelajaran agama tidak diberikan.

Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi serta dalam usaha mencerdasakan kehidupan umat, maka KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya mempelopori suatu sistem pendidikan modern yang memberikan kurikulum pengetahuan umum di sekolah madrasah dan kurikulum agama disekolah umum. Pandangan muslim tradisionalis terlalu menitik beratkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Namun -yang berbeda dengan kyai-kyai lain ketika itu yang lebih concern kepada agama- KH. Ahmad Dahlan berpandangan kemajuan materil merupakan prioritas karena dengan cara itu kesejahteraan mereka akan bisa sejajar dengan kaum kolonial.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kiprah KH. Ahmad Dahlan dalam modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Metode penelitian yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah melalui metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Setelah data terkumpul dan tercatat dengan baik maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data. Proses analisa dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data tersebut di analisis dan dipelajari secara cermat dan dideskripsikan yang selanjutnya memberikan gambaran, penafsiran dan uraian.

Upaya modernisasi pendidikan Islam yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan mulai mendirikan sekolah agama (madrasah) dengan sistem modern, yaitu menggunakan ruangan sekolah, bangku, kurikulum, tahun ajaran serta administrasi yang teratur, diberi pula kurikulum yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sama dengan sekolah milik kolonial Belanda, dengan perbedaan di sekolah Muhammadiyah ditambah pelajaran agama Islam.

Dengan demikian usaha-usaha yang di perjuangkan oleh KH. Ahmad Dahlan dapat menyadarkan umat Islam Indonesia yang masih dikuasai dan dijajah oleh Belanda mengerti dan memahami manfaat ilmu pengetahuan umum dan teknologi modern, dengan harapan dapat bangkit untuk meningkatkan pendidikan umat Islam dan sekaligus membina kader-kader bangsa.


(6)

vi





Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tak ada yang patut kita ungkapkan sebelumnya, kecuali kalimat Alhamdulillah..., suatu ungkapan rasa syukur kehadirat Allah swt. yang tak pernah memutus nikmat-Nya kepada manusia dan alam semesta dengan segala isinya, yang telah mencurahkan segala karunia, nikmat, perlindungan, serta kasih sayang-Nya yang tak terhingga sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Kiprah KH. Ahmad Dahlan dalam Modernisasi Pendidikan Islan di Indonesia” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Salam teriringkan shalawat semoga tetap tersanjungkan dari seluruh makhluk kepada sang pemimpin umat, sang pencerah peradaban, suri teladan kita, Rasulullah Muhammad saw., yang cahayanya terus mewujud dan bersinar dalam nafas-nafas kehidupan.

Penulisan skripsi ini diawali dengan memasang “nawaitu” terlebih dahulu, kemudian persiapan yang telah dimulai jauh sebelumnya sejak beban perkuliahan telah selesai, agar perhatian pun terfokus pada penyelesaian skripsi ini. Begitupun berbagai motivasi, kritik dan saran serta kontribusi yang konstruktif dari berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan skipsi ini hingga dapat terselesaikan, sungguh sangat besar nilainya atas partisipasi yang telah diberikan.

Oleh karena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Bahrissalim, M.Ag sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.

2. Bapak Dr. H. Abdul Fattah Wibisono, MA dosen Pembimbing yang telah tulus ikhlas dalam memberikan petunjuk dan pengarahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

vii

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan dalam mentransfer segala ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah.

5. Kedua orangtua yang penulis banggakan, yang semangatnya tak pernah padam, yang cinta serta kasih sayang kepada mereka tak pernah luntur, Bapak Saadi, S.Pd dan Ibu Tarwiyah -hafidzahullah- yang tiada henti memberikan dukungan, doa, nasihat, juga bantuan moril maupun materil yang tak terhitung jasanya sepanjang masa.

6. Terima kasih atas instalan komputer PC nya oleh Imron Rosyadi Abdullah dan semua n’Cang n’Cing Bani Abdullah yang selalu mensupport penulis. 7. Adik-adik tersayang : Lila Sakilla, Romy Septia Kurni, Hakim Thariq dan

Iqbal Shihab, teruslah belajar, perdalam agama, dan raih cita-cita.

8. Teman-teman Mahasiswa PAI angkatan 2006, khususnya kelas E, tidak lupa sahabat ahlul Qahwah sebagai tempat sharing yang tetap solid dan kompak saat kuliah, kelompok PPKT al-Falah, serta kawan-kawan seperjuangan IMM Komisariat dan IMM Cabang Ciputat 2010 yang senantiasa semangat melakukan Tajdid Turats.

9. Rekan-rekan RIMA for DIA (Dirasah Islamiyah al-Asasiyah) yang penulis anggap sebagai Laboratorium Qoryah Thoyyibah bagi Remaja dan Pemuda al-Manar sebagai pilihan rasional dalam edukasi spiritual.

Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon, semoga amal shalih yang telah dilakukan senantiasa memperoleh inayah dan ridha dari Allah swt. Amien.

Jakarta, Desember 2010 Penulis


(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

E. Metodologi Penelitian ... 4

F. Kajian Pustaka ... 6

BAB II MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA A. Pengertian Modernisasi ... 9

B. Pengertian Pendidikan Islam ... 12

C. Sketsa Sistem Pendidikan Islam di Indonesia ... 13

1. Sistem Pendidikan Pesantren ... 14

2. Sistem Pendidikan Sekolah ... 19

D. Politik Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam ... 23

BAB III BIOGRAFI KEHIDUPAN KH. AHMAD DAHLAN A. Latar Belakang keluarga KH. Ahmad Dahlan ... 28

B. Pendidikan KH. Ahmad Dahlan ... 29

C. KH. Ahmad Dahlan Dan Sosial Keagamaan ... 32


(9)

ix

Pendidikan Islam ... 48

C. Model dan Sistem Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan ... 55

D. Respon Masyarakat Terhadap Modernisasi Pendidikan KH. Ahmad Dahlan ... 66

E. Analisis Kelebihan dan Kekurangan Usaha-usaha KH. Ahmad Dahlan Dalam Pendidikan Islam ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada permulaan abad ke-20 masyarakat Islam Indonesia telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun pencerahan. Banyak alasan yang dapat menjelaskan perubahan ini, salah satunya adalah dorongan untuk melawan penjajahan bangsa Belanda. Tidak mungkin bangsa Indonesia harus mempertahankan segala aktifitas dengan cara tradisional untuk melawan kekuatan-kekuatan kolonialisme Belanda. Mereka mulai menyadari perlunya perunbahan-perubahan, apakah dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan umat Islam pada abad pertengahan untuk mengatasi Barat, ataukah dengan menggunakan metode-metode baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh Belanda.

Seperti halnya umat Islam di Negara-negara Timur Tengah, perlawanan terhadap kolonialisme telah mendorong ummat Islam untuk mengadakan pembaharuan. Gerakan pembaharuan ini tidak mungkin berjalan bila tidak diikuti perubahan di bidang pendidikan. Dengan otomatis perubahan Islam berjalan seiring dengan pembaruan pendidikan Islam.1

Selama kurun waktu lebih dari tiga abad, Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, berada pada titik terendah dan belum bisa memberikan kontribusi terhadap kemajuan

1

Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya (Jakarta : Alwasath, 2009), h. 74.


(11)

bangsa. Hal ini terjadi akibat pola pikir umat Umat Islam yang sempit dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran, ditambah dengan adanya diskriminasi kaum penjajah terhadap pendidikan Islam, sehingga yang terjadi adalah adanya dikotomi pendidikan Islam dan pendidikan umum.

Pendidikan yang dikelola umat Islam baru berupa pondok yang tidak memenuhi tuntutan dan kehendak zaman. Sistem pelajaran diberikan secara tradisional, tanpa kurikulum, tanpa tahun ajaran, tanpa administrasi dengan murid-murid duduk melingkar di sekeliling guru. Pelajaran yang diberikan hanya meliputi pelajaran agama, yang kemudian pada akhirnya lulusan dari pondok pesantren biasa disebut santri atau ulama. Di pihak lain pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah yang bersifat sekuler, dalam arti pelajaran agama tidak diberikan dengan dalih netral agama.2

KH. Ahmad Dahlan tampil membuat suatu sistem pendidikan modern dengan cara memadukan unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional (pondok pesantren). Untuk itulah didirikannya sekolah-sekolah agama (madrasah) dengan sistem modern, yaitu menggunakan ruang sekolah, bangku/ kursi, kurikulum, tahun ajaran serta administrasi yang teratur,3 dengan memadukan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum.

Dalam usaha mencerdaskan kehidupan Umat, KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi yang didirikannya yaitu Muhammadiyah mempelopori suatu sistem pendidikan modern yang memberikan kurikulum pengetahuan umum di sekolah madrasah dan kurikulum agama disekolah umum. Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi yang didirikannya tersebut. Pandangan muslim tradisionalis terlalu menitik beratkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Namun -yang berbeda dengan kyai-kyai lain ketika itu yang lebih concern kepada agama- KH. Ahmad Dahlan

2

Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), h. 91.

3

Lukman Harun, Muhammadiyah Dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990), h. 2.


(12)

berpandangan bahwa kemajuan materil merupakan prioritas karena dengan cara itu kesejahteraan mereka akan bisa sejajar dengan kaum kolonial.

Kiprah KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah sebagai sarana dalam merealisasikan ide-idenya, menyimpan rahasia kebesaran sebagai orang yang berpandangan visioner, kosmopolitan, responsif, dan tajam pemikirannya. Hal yang menjadi perhatian penulis dalam skripsi ini adalah meneliti lebih jauh akan kiprah beliau dalam upaya membangun modernisasi pendidikan Islam yang lebih maju, yang pada waktu itu jelas mengalami dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan meneliti masalah tersebut dan akan tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : Kiprah KH. Ahmad Dahlan dalam Modernisasi Pendidikan Islan di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Apakah penyebab yang melatar belakangi munculnya ide modernisasi pendidikan Islam oleh KH. Ahmad Dahlan ?

2. Bagaimana gagasan KH. Ahmad Dahlan terhadap pendidikan Islam ? 3. Seperti apa kondisi pendidikan masyarakat pada zaman tersebut ?

4. Bagaimana pengaruh modernisasi KH. Ahmad Dahlan terhadap perkembangan pendidikan ?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka perlu untuk adanya pembatasan pembahasan pada aspek pemikiran dan usaha Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia. Dengan demikian rumusan masalahnya adalah :

1. Seperti apa kondisi umum pendidikan di Indonesia pada zaman tersebut ? 2. Bagaimana kurikulum sekolah sebelum KH. Ahmad Dahlan ?


(13)

3. Bagaimana usaha modernisasi pendidikan Islam yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pendidikan Islam di Indonesia ?

4. Apa kontribusi KH. Ahmad Dahlan terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesia hingga kini ?

Sedangkan untuk pembatasan masalah, kiprah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala perbuatan, sepak terjang, tindakan, atau langkah-langkah serta cara-cara yang digunakan atau dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan untuk mencapai modernisasi pendidikan Islam di Indonesia.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai upaya untuk mengetahui, menggali dan menganalisis kiprah dan sumbangsih buah pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam upaya memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. Adapun manfaat yang kiranya dapat diambil adalah untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang lebih luas dari sosok seorang KH. Ahmad Dahlan sebagai tokoh pendidikan yang memiliki gagasan gemilang terhadap pendidikan Islam di Indonesia.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Sebagai suatu kajian terhadap pemikiran tokoh, dalam hal ini metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini penilis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Yaitu pemecahan masalah-masalah yang ada dengan usaha menganalisa dan menjelaskan dengan teliti kenyataan-kenyataan faktual dari subjek yang diteliti sehingga diperoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta.4

Selanjutnya, karena penelitian ini di fokuskan terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pengaruh

4

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik, (Bandung : Tarsito, 1998), h. 139.


(14)

pemikiran dan idenya serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya, maka sebagai pendekatannya adalah pendekatan sejarah (historical approach). Penelitian ini tergolong jenis expost facto research yaitu merupakan penelitian yang secara eksklusif memfokuskan pada masa lalu dengan berusaha mencoba merekonstruksi apa yang terjadi pada masa lalu selengkap dan seakurat mungkin, dan dalam mencari data dilakukan dengan secara sistematis agar mampu menggabarkan, menjelaskan, dan memahami kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu yang lalu.5

2. Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan informasi dan data-data seputar KH. Ahmad Dahlan dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Yaitu model penelitian dengan merujuk kepada sumber-sumber studi kepustakaan dengan cara melacak data lalu menyelesaikannya kemudian menelaah dan terakhir mengklasifikasi data yang ada korelasinya dengan penelitian. Terdapat dua sumber referensi pokok yang menjadi acuan dalam penulisan ini. Pertama, sumber primer yaitu buku-buku ilmiah yang membahas pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Dan kedua, sumber sekunder yaitu buku-buku pelengkap yang masih memiliki keterkaitan dengan kiprah perjuangan KH. Ahmad Dahlan.

3. Teknik Penulisan

Data yang telah diperoleh dan terkumpul berdasarkan sumber primer dan sumber sekunder, untuk selanjutnya data-data tersebut dilakukan pengolahan data melalui cara analisa dan diklasifikasi dengan melihat kolelasi antara sumber data tersebut dengan judul yang dikaji dalam penelitian ini.

Langkah-langkah dalam penyusunan hasil penelitian ini dimulai dari perumusan masalah, mengumpulkan sumber data dan informasi yang relevan, meringkas informasi, mengevaluasi atau me-review data, dan selanjutnya tahapan akhirnya adalah penyusunan hasil penelitian.

5

Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan; Teori dan Aplikasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), h. 51.


(15)

Pedoman yang dipakai dalam teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku pedoman penulisan Skripsi, Thesis dan Disertasi terbitan UIN Jakarta Press tahun 2007.

F. Kajian Pustaka

Untuk menghasilkan data yang komprehensif tentang kiprah KH. Ahmad Dahlan dalam modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, maka pengumpulan data dibagi kedalam dua katagori, yaitu dalam bentuk data primer dan data sekunder.

Sebagai bahan primer, buku acuan utama penulis menemukan buku karya Junus Salam, yang berjudul KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuanngannya, yang diterbitkan oleh Alwasath Publishing House, 2009. Kemudian juga, penulis mendapatkan buku karya Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, yang berjudul Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Ma’arif, terbitan Grafindo Khazanah Ilmu, 2005. Buku inilah yang menginspirasi penulis dalam penyusunan skripsi ini. Junus Salam dalam bukunya mengungkapkan bahwa gagasan-gagasan cemerlang KH. Ahmad Dahlan dapat terealisasi melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya tahun 1912 M. KH. Ahmad Dahlan berusaha membebaskan masyarakat Indonesia dari kebodohan, kesengsaraan dan kemiskinan, melalui gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang diantaranya diwujudkan melalui jalur pendidikan.

Sedangkan Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly mengungkapkan bahwa kepribadian KH. Ahmad Dahlan sejak Muhammadiyah didirikan, beliau tidak pernah henti untuk selalu melancarkan pembaharuan lewat dakwah dan pendidikan. Kiprah KH. Ahmad Dalan dalm bidang pendidikan tidak lepas dari motivasi perintah agama, agar senantiasa memperbarui agama dan umat. Maka salah satu perjuangan yang dilakukannya adalah mendirikan madrasah dan sekolah umum dengan belajar dari kemajuan pendidikan modern Belanda.

Sedangkan untuk katagori sekunder sebagai bahan referensi yang penulis ambil diantaranya seperti artikel, opini dan karya ilmiah dari jurnal-jurnal serta majalah. Dari sumber yang termasuk kategori sekunder penulis menemukan


(16)

artikel yang ditulis oleh Muhammad Ikhwan Ahada dalam majalah Suara Muhammadiyah No.09 Th. Ke-93 diapaparkan bahwa KH. Ahmad Dahlan ketika melihat realitas pendidikan di pesantren-pesantren yang masih tradisional dan pendidikan umum yang sekuler, beliau tergugah kesadarannya untuk memadukan dua model pendidikan tersebut. Sebagaimana pondok-pondok Kyai, apabila kyainya telah wafat lalu santrinya bubar. Maka dari itu, gagasan kritis nan brilian ini selanjutnya dikembangkan jika sebuah sekolah dikelola dan dipegang oleh suatu organisasi maka akan dapat berlangsung selama-lamanya. Sebagai perwujudan model pendidikan yang integralistik, serta sekolah-sekolah Muhammadiyah memiliki ciri ke-Islaman yang kuat.

Masih berkaitan dengan studi kajian terdahulu yang relevan, penulis dapatkan dua buah karya ilmiah, pertama skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008 yang berjudul ”Kontribusi Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam Memadukan Bidang Studi Agama dan Umum” oleh Nurhuda. Dalam skripsi ini dijelaskan buah pemikiran dan usaha yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam memadukan bidang studi agama dan umum pada sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah. Kemudian karya ilmiah lainnya yang penulis temukan yaitu skripsi karya Luthfi Hariyanto yang berjudul ”Gagasan dan Upaya Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah” Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatulah Jakarta tahun 2003. Skripsi kali ini yang dipaparkan adalah mengenai pemikiran-pemikiran KH. Ahmad Dahlan sebagai pembaruan dalam Islam dan peninggalan amal usaha KH. Ahmad Dahlan yang di implementasikan dalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.

Setidaknya dari beberapa informasi diatas diketahui bahwa usaha modernisasi pendidikan Islam yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dilatar belakangi oleh kondisi sosial keagamaan yang tertinggal. Maka Gerakan pembaharuan ini tidak mungkin berjalan dan bangkit bila tidak diikuti perubahan di bidang pendidikan. Selanjutnya upaya modernisasi yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan bercermin pada sistem pendidikan yang telah diterapkan oleh Belanda, namun tetap menjaga warisan kemurnian ajaran Islam serta sistem pendidikannya.


(17)

Sehingga dapat terbentuk dan menghasilkan generasi Muslim yang memiliki integritas iman, ilmu dan amal untuk mengarungi masa depan.

Ide-ide pembaharuan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan secara garis besar dibagi kedalam tiga pembahasan, yakni bidang Keagamaan, Pendidikan dan Masyarakat (sosial). Dalam masalah agama KH. Ahmad Dahlan dijelaskan melakukan upaya purifikasi dan semangat tajdid terhadap ajaran Islam yang dinilainya sudah banyak tradisi dan ritual keagamaan yang sudah tidak sesuai dengan petunjuk al-Quran dan al-Hadits. Dalam bidang pendidikan dan sosial, masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dan terbelakang. Kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengalami penjajahan kolonial Belanda semakin menambah buruk kondisi pendidikan, oleh karena itu KH. Ahmad Dahlan melakukan aksi perlawanan kepada pihak Belanda karena senantiasa dihambat dan tidak diberikannya kesempatan bagi warga pribumi untuk memperoleh pendidikan, diantaranya KH. Ahmad Dahlan membangun lembaga pendidikan modern dalam rangka mencerdaskan warga pribumi dan mendirikan lembaga-lembaga penolong kesengsaraan umat.

Namun dalam penyusunan skripsi ini objek penelitian yang penulis kaji lebih terfokus kepada kiprah KH. Ahmad Dahlan dalam memodernisasi bidang pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Jika dalam pembahasan skripsi terdahulu di atas sebagai pembanding ditemukan masih terlalu luas dan umumnya objek kajian yang diteliti dari ide-ide pembaharuan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan, maka hal yang beda dalam skripsi ini adalah penelitian kali ini lebih fokus untuk memberikan deskripsi yang utuh dari usaha pembaharuan KH. Ahmad Dahlan dalam modernisasi bidang pendidikan Islam.


(18)

9

BAB II

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pengertian Modernisasi

Modernisasi berasal dari kata “modern” yang bermakana cara (gaya,

model, dsb.) pada saat ini; terbaru; mutakhir; futuristic; kontemporer; renovasi;1 sikap dan cara berfikir serta cara-cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Modernisme adalah sebuah pergerakan pembaharuan yang bergerak secara aktif.2 Yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan.pendek kata modernisasi juga bisa disebut pembaruan.

Modernisasi atau pembaharuan, yang dalam bahasa Arab disebut dengan

Tajdid, maka modernisasi dapat dikatakan proses pemodernan (sikap, gaya hidup, cara pandang, dsb.); proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.

Sedangkan menurut Harun Nasution, pembaharuan atau modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh perubahan dan keadaan, terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.3

1

Aka Kamarulzaman, Kamus Ilmiah Serapan, (Yogyakarta : Absolut, 2005), h. 464.

2

Muhammad Hamid al-Nashir, Menjawab Modernisasi Islam. Penerjemah Abu Umar Basyir (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 2.

3

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 11.


(19)

Lahirnya modernisasi atau pembaruan di sebuah tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Artinya, tidak mungkin akan ada pemberuan tanpa dukungan perkembangan ilmu pengetahuan.

Merujuk dari beberapa pengertian di atas, kelihatannya ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktivitas dikatakan sebagai aktivitas pembaruan, antara lain : pertama, baik pembaruan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam upaya melakukan suatu modernisasi disana akan meniscayakan pengaruh yang kuat adanya ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaruan biasanya juga dilakukan secara dinamis, inovetif, dan progresif sejalan dengan perubahan cara berfikir seseorang.4

Nurcholish Madjid, atau yang biasa disebut Cak Nur, menyatakan bahwa

modernisasi sebagai rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional.5 Konstruksi berpikir seseorang yang sering menjadi acuan dalam adanya perombakan gagasan, sering sekali menjadi faktor penentu juga dalam rangka melahirkan proses pembaruan secara simultan. Adanya proses pembaruan tentu saja akan meniscayakan aktivitas yang selalu dibarengi dengan cara berpikir rasional, progresif dan dinamis.

Sedangkan kiprah dapat diartikan; aksi, gerak, kelakuan, langkah, perbuatan, sepak terjang, tindakan, melakukan kegiatan dengan semangat tinggi; berkiprah, bergiat, bergerak dan berkecimpung.6

Maka kaitannya dengan pengertian modernisasi pendidikan Islam dalam skripsi ini yaitu upaya KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan perubahan kurikulum, metodologi, cara, situasi dan kondisi pendidikan Islam dari yang

4

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 162.

5

Nurcholish Madjid, Islam dan Kemodernan dan KeIndonesiaan, (Bandung : Mizan, 1997), h. 172-173.

6

Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 325.


(20)

tradisional kearah yang lebih rasional, professional dan berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman dengan tetap berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah.

B. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. Agama Islam adalah agama yang bersumber pada wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur tata hidup manusia, baik hubungan dengan sesamanya maupun hubungan dengan Allah.

Pendidikan Islam (Tarbiyah al-Islamiyah) oleh para ahli sering diartikan sebagai proses pemeliharaan, pengembangan dan pembinaan. Terdapat tiga kata yang merujuk kepada pendidikan yaitu tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib. Secara etimologi kata tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib masing-masing berasal dari kata rabba,

„allama, dan adab. Yang berarti memelihara, membesarkan, mendidik dan susunan.

Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, menyebutkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar ia berkembang maksimal sesuai dengan ajaran Islam.7

Dr. Muhammad Isa Ibrahim menyatakan bahwa pendidikan Islam pada hakekatnya merupakan sitem pendidikan yang memungkinkan seseorang yang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.8

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis

7

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994), h. 32.

8

H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), h. 3.


(21)

setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta.9 Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.

Bila disimpulkan pendidikan Islam akan mempunyai pengertian yaitu bahwa pendidikan Islam merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam pada peserta didik melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam semua aspek.

C. Sketsa Sistem Pendidikan Islam di Indonesia

Dalam sejarah peradaban Islam, setidaknya ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Pertama, pemikiran trdisionalis yang berciri sufistik. Dalam konteks pendidikan, model ini lebih kita kenal dengan sebagai aliran naturalis, satu aliran dalam pendidikan yang beranggapan bahwa tumbuh dan berkembangnya seseorang itu berjalan apa adanya, tanpa dipengaruhi faktor-faktor lain, seperti lingkungan dan guru. Dan kedua, pemikiran rasionalis yang berciri liberal, terbuka, inovatif dan konstruktif. 10

Kedua corak itulah yang kelihatannya pada saat-saat kejayaan Islam berlangsung bersatu padu, saling mengisi satu sama lain. Orang tidak lagi mau membedakan mana yang harus mereka pelajari, jelas baik ilmu agama yang bersumber dari wahyu maupun ilmu pengetahuan yang bersumberkan nalar mereka pelajari tanpa ada dikotomi. Keduanya telah betul-betul dijadikan sebagai sarana dalam menggali ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Kaitannya dengan umat Islam Indonesia ternyata ditemukan banyak keragaman sikap dan cara berpikir dalam merespon kemajuan zaman, terutama bidang pendidikan. Berikut akan dipaparkan mengenai sketsa pendidikan yang ada di Indonesia.

9

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam; Dalam Sistem Pendidikan Nasinal di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 153.

10


(22)

1. Sistem Pendidikan Pesantren

Perkataan pesantren berasal dari kata ”santri”, Zamakhsyari Dhofier menyebutkan bahwa pesantren yang mendapat kata awalan pe- dan akhiran -an yang berarti tempat tinggal para santri.11 Karena memang pada dasarnya santri diartikan sebagai murid atau pelajar pesantren. Maka pesantren merupakan tempat tinggal para santri. Mengenai asal-usul perkataan ”santri” menurut Nurcholis Madjid santri itu berasal dari perkataan ”sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta, yang artinya melek huruf.12 Agaknya dahulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas literary bagi orang Jawa. Ini disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kiatab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab.

Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu atau faham agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tidak seorang santri itu bisa membaca al-Quran yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya.

Di Indonesia istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab yaitu

funduq yang berarti hotel, asrama, rumah dan tempat tinggal sederhana. Yang dimaksud dengan model pesantren di sini adalah model pengajian (sistem belajar mengajar) yang mana santri (anak didik) sudah ditempatkan di asrama (menetap), memiliki masjid dan metode pelajaran berupa kitab-kitab yang beragam di bawah bimbingan kiai dan di bantu oleh beberapa orang ustadz (guru ngaji).13 Elemen-elemen pesantren terdiri dari kiai, santri, kitab-kitab Islam klasik, asrama dan masjid.14

11

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta : LP3ES, 1994), h. 18.

12

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta : Paramadina, 1997), h. 19.

13

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), h. 138.

14

Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Suka Press, 2007), h. 88.


(23)

Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan bentuk lain.

Jenis pendidikan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang studi :

1. Tauhid 2. Tafsir 3. Hadits 4. Fikih 5. Ushul Fiqh 6. Tasawuf

7. Bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah dan tajwid) 8. Mantik, dan

9. Akhlak15

Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang dtudi memiliki kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing. Sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi pada sistem sekolah.

Sistem pengajaran yang menjadi metode utama di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang sedang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering kali mengulas kitab-kitab Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompokan murid dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.16 Dalam pesantren kadang-kadang juga diberikan sistem

15

Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, h. 90.

16


(24)

sorogan, tetapi hanya diberikan kepada santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan individual.

Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren, dapat dikelompokan menjadi tiga macam,17 di mana diantara masing-masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu :

a. sorogan

Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti ”sodoran atau sesuatu yang disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Seorang kiai atau guru menghadapi santri satu persatu, secara bergantian. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu giliran masing-masing. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan santri dengan kiai sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu persatu. Kitab yang disorogkan kepada kiai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus sama. Karenanya kiai yang menangani pengajian secara sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab.

Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa seorang kiai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar para santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.

b. bandongan

Sistem bandongan ini sering disebut dengan halaqah, di mana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kiai hanya satu, sedangkan para santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai.

Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah itu lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan

17

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), h. 50


(25)

kewajiaban bagi mukallaf. Kiai tidak memperdulikan apa yang dilakukan dan dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kiai dalam hal ini memendang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah swt., dari segi pendidikan terhadap santri, dari kemauan dan ketaatan para santri, sedang dari segi pengajaran bukan merupakan yang utama. Pelaksanaan pengajian bandongan oleh masyarakat Jawa Timur sering juga disebut weton, atau sekurang-kurangnya membaurkan saja istilah tersebut.

c. weton

Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap selesai shalat Jumat dan sebagainya. Apa yang dibaca kiai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-kadang guru hanya memetik disana sini saja, peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kiai kepada peserta pengajian bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas.

Secara lebih detail, ada beberapa ciri khas yang menjadi karakteristik pesantren. Pertama, ia merupakan kebudayaan yang telah eksis semenjak masa Hindu-Budha. Kedua, ia merupakan model pendidikan tradisional yang masih berifat non-formal. Ketiga, kitab-kitab yang dikaji di pesantren pada hakekatnya mengacu kepada kitab-kitab klasik. Keempat, sistem pembelajaran dan muatan kurikulum belum tertata secara sitematis : tidak ada jenjang lama belajar, tumpang tindih materi dan tujuan pesifik yang tidak jelas, kecuali keakhiratan, dan religiositas oriented. Dan kelima, kiai menjadi figur sentral dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan pesantren.18 Maka manajemen pendidikan pesantren cenderung dilakukan secara insidental dan kurang memperhatikan tujuan-tujuan yang sudah di sistematisasikan secara hierarkis. Sistem pendidikan

18


(26)

pesantren dilakukan secara alami dengan model majaerial yang tetap (sama) dalam tiap tahunya.19

Dalam konteks keilmuan, dengan pesantren setiap muslim yang mempunyai latar belakang lapisan sosial yang berbeda memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan; bukan sembarang pengetahuan, tetapi pengetahuan agama yang dalam segi-segi tertentu dipandang memiliki aura sakralitas yang penuh kharismatik dalam masyarakat.

Dinamika keilmuan pesantren harus dipahami dalam konteks kelembagaan pesantren itu sendiri. Terdapat setidaknya tiga fungsi pokok pesantren: pertama, tranmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge); kedua, pemeliharan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition); dan ketiga, pebinaan calon-calon ulama (reproduction of ulama).20 Sebagaimana terlihat dari ketiga fungsi ini, dunia pesantren adalah dunia keilmuan dalam tahapan-tahapan tadi, yakni meneruskan pewarisan ilmu dan sekaligus pemeliharaannya; dan menghasilkan para pengemban ilmu itu sendiri, yang dikenal secara luas sebagai ”Ulama” .

Transmisi keilmuan di lingkungan pesantren pada umumnya berlangsung lebih melalui penanaman ilmu (knowledge implantation) dari pada pengembangan ilmu. Kenyataan ini berkaitan erat dengan dua fungsi pertama pesantren di atas, yakni untuk melakukan transmisi atau transfer ilmu pengetahuan dan sekaligus untuk mempertahankan atau memelihara tradisi Islam. Dalam pesantren-pesantren yang masih asli, materi yang diajarkan bukanlah hal-hal yang sifatnya semata-mata ukhrawi, melainkan pula yang sifatnya duniawi, hanya saja sifatnya masih terangkum dalam apa yang disebut ilmu-ilmu agama yang belum mengalami proses diferensiasi dan spesiliasi dalam cabang-cabang ilmu seperti yang kita kenal dalam dunia modern.21 Meskipun misalnya di sana diajarkan pula ilmu falaq yang memakai hitingan-hitungan, namun yang diajarkan itu tidak diistilahkan dengan ilmu matematika atau aljabar.

19

Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta : CRSD Press, 2005), h. 49.

20

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 89.

21


(27)

Modernisasi pesantren di Indonesia, yang berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam di kawasan ini, mempengaruhi dinamika kelimuan di lingkungan pesantren. Gagasan modernisme Islam yang nenemukan momentumnya sejak awal abad 20, pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan moidern. Pemrkarsa peertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi ”modernis” Islam seperti Muhammadiyah dan lain-lain.22 Uraian pembahsan lebih lanjut akan dibahas dalam Bab IV pada pembahasan analisis model dan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan.

2. Sistem Pendidikan Sekolah

Proyek pendidikan pemerintah kolonial Belanda dimulai sekitar pertengahan abad ke-19. Beberapa anak Indonesia dari kalangan yang sangat terbatas memperoleh kesempatan untuk belajar di sekolah untuk anak-anak Eropa yang sudah berdiri sejak 1816. pemerintak kolonial juga membuka seloah guru untuk sekolah-sekolah Jawa dan sekolah STOVIA untuk melayani kesehatan masyarakat pribumi. Karena dirasa kurang mencukupi, pada 1879 pemerintah kolonial membuka Hofdenschoolen (sekolah para kepala) untuk mendidik anak-anak Bupati dalam bidang administrasi. Proyek pendidikan terus berlanjut sampai dengan pembukaan lembaga pendidikan dasar yang disebut dengan Sekolah Kelas Satu dan Sekolah Kelas dua pada tahun 1893.23

Pada periode politis etis, atau periode setelah 1900-an, terjadi perubahan-perubahan penting dalam konteks proyek pendidikan kolonial, baik dalam bentuk re-organisasi sekolah maupun pembukaan sekolah-sekolah baru. Pada tahun 1900, tiga Hofdenschoolen yang terletak di Bandung, Magelang dan Probolinggo di-reorganisasi menjadi OSVIA (Opleidingscholen Voor Inlandsche Ambtenaren) dengan tujuan supaya nyata-nyata menjadai lembaga pendidikan yang mencetak pejabat pribumi. Berbeda dengan pendahulunya, masa belajar di OSVIA adalah lima tahun, dengan pengantar bahasa Belanda. Perubahan berikutnya dilakukan

22

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 90.

23

Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta : LPJM UIN Jakarta Press, 2009), h. 86.


(28)

terhadap sekolah Kelas Satu yang diubah menjadi HIS (Hollandsch Inlandsch School) atau ”sekolah Belanda-Pribumi” pada 1914.24 Sebelumnya, yaitu pada tahun 1908, Sekolah Kelas Dua telah mendapat sentuhan perubahan dengan berubah menjadi Standard Schoolen atau ”sekolah standar”. Sementara bagi

masyarakat desa disediakan volkschoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an.

Tetapi sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya, cukup mengecewakan. Bagi pemerintah Belanda, sekolah desa ini tidak berhasil mencapai tujuan seperti yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Di sisi lain, kalangan pribumi, khususnya masyarakat di Jawa, terdapat resistensi yang kuat terhadap sekolah-sekolah ini, yang mereka pandang sebagai tujuan integral dari rencana Pemerintah kolonial Belanda untuk ”membelandakan” anak-anak mereka.

Disamping itu pemerintah kolonal Belanda juga telah membuka sekolah-sekolah seperti sekolah-sekolah untuk orang Eropa ELS (Europessch Lagere School), sekolah tingkat mengah HBS (Hogere Burgerschool), MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) untuk melayani pendidikan tingkat menengah dan AMS (Algemene Middelbare Shcool) untuk melayani pendidikan tingkat menengah atas. Lepas dari lembaga pendidikan yang demikian kompleks -karena mengakomodasi banyak gagasan dan cita-cita- pada tahun 1900-an STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Arsten) merupakan satu-satunya lembaga pendidikan lanjutan yang mungkin dicapai kalangan pribumi priyai yang tidak tertarik kepada jabatan administrasi.

Hanya sebagian kecil dari anak-anak Indonesia yang dapat menikmati pendidikan HIS. Namun HIS pada waktu itu telah diterima sebagai lembaga pendidika yang berharga karena bahasa Belanda dipandang sebagai alat ke arah kemajuan. Bahkan diusahakan adanya hubungan antara sekolah desa dengan MULO dengan mendirikan Schakelschool, sekolah penghubung antara pendidikan

24

Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, h. 87.


(29)

pribumi berbahasa Melayu dengan pendidikan Barat berbahasa Belanda. Schakelschool yang didirikan tahun 1927 lamanya 5 tahun dan menerima murid dari kelas 3 Sekolah Desa. Schakelschool ini disamakan dengan HIS jadi memberi hak untuk memasuki MULO dan selanjutnya. Dalam teorinya adanya Schakelschool ini setiap anak desa dapat memasuki universitas, di Indonesia maupun di Belanda.25

Sekolah telah didirikan oleh Belanda sejak abad ke-18. Sekolah-sekolah Belanda ini telah menyebar keseluruh Indonesia. Disekolah-sekolah Belanda tidak diajarkan mata pelajaran agama, sesuai dengan kebijakan pemerintah Belanda yang netral agama. Pendidikan agama di zaman kolonial baru diberikan di sekolah setelah berdirinya sekolah-sekolah yang diasuh oleh organisasi Islam.

Perkembangan sekolah yang semakin merakyat dalam batas yang cukup jauh telah merangsang kalangan Islam untuk memberikan respon. Dalam hal ini mereka memikirkan bahwa diskriminasi untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya masih sangat tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kebanyakan rakyat Indonesia bagaimana pun masih akan tetap bodoh karena tingkat pendidikan yang diperkenankan bagi mereka hanya terbatas pada sekolah rendah. Dari sudut ini, pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kecerdasan mereka atas prinsip persamaan sebagaimana yang menjadi asas ajaran Islam. Namun di sisi lain pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baiuk dalam hal kelembagaan, struktyur materi, maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda.

Kesadaran untuk memperbaharui pendidikan Islam ini dimiliki oleh sejumlah tokoh, khususnya mereka yang sudah mengenyam sekaligus pendidikan Islam tradisional dan pendidikan sekolah ala Belanda. Dalam pemikiran mereka perlu ditempuh cara kombinasi yaitu mata-mata pelajaran keagamaan tetap diadakan tetapi ditambah dengan mata-mata pelajaran umum seperti membaca, menulis, berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan kebudayaan, dan keterampilan-keterampilan administrasi dan organisasi. Metode

25


(30)

pengajarannya pun direkayasa sedemikian rupa sehingga lebih efektif sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Secara konkrit di antara mereka adalah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, mendirikan sekolah Islam ”MULO met de

Quran” dan kemudian sekolah-sekolah Islam yang dapat disebut sebagai madrasah menurut istilah teknis dalam pendidikan Islam.26

Sedangkan madrasah merupakan model lembaga pendidikan Islam yang bersifat formal. Kemunculan dan kelahirannya lebih bersifat sintetis-adaftif dari model pendidikan kolonial dari satu sisi dan model pesantren di sisi yang lain. Pendidikan model Belanda menerapkan pola pembelajaran sekuler, yang materinya pengetahuan umum semua, sedangkan model pesantren memberlakukan pola pembelajaran dengan materi pengetahuan agama semua. Dua kutub yang dikotomis itu dikonvergensikan dalam sistem pendidikan model madrasah.27

Pada awal abad ke-20, sistem pendidikan model madrasah bermunculan, sebagaimana halnya pesantren. Kemunculan madrasah ini minimal dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ia sebagai salah satu bentuk pengembangan yang berasal dari pesantren. Dalam konteks ini ada beberapa pesantren yang melakukan proses adaptif terhadap fenomena yang sedang berkembang saat itu. Kedua, madrasah lahir dari luar pesantren, seperti organisasi-organisasi sosial-keagamaan atau organisasi sosial politik. Dalam konteks ini kelahiran madrasah bukan merupakan kelanjutan dari sistem pesantren, melainkan sistem pendidikan yang berdiri sendiri. Madrasah yang lahir dari luar pesantren dan organisasi sosial-keagamaan lebih banyak muncul diluar.

Secara internal para tokoh umat Islam yang medirikan sistem pendidikan model madrasah ini, dapat dikatakan berfikiran modernis. Di satu sisi mereka mau menerima sistem pendidkan ala Belanda, dan di sisi lain, mereka menganggap pentingnya materi pendidikan umum. Sebagian ulama modernis memandang perlu didirikan lembaga pendidikan formal, untuk mewadahi pendidikan umat Islam yang kurang mampu mengikuti sistem pendidikan ala Belanda.

26

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 96.

27


(31)

D. Politik Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam

Pada mulanya kedatangan orang-orang asing Belanda ke Indonesia adalah untuk menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia. Sambil berdagang, Belanda berupaya menancapkan pengaruhnya tehadap bangsa Inonesia. Lambat laun Belanda berhasil memperkuat penetrasinya di nusantara. Belanda tidak hanya memonopoli perdagangan dengan bangsa Indonesia, namun satu demi satu Belanda berhasil menundukan penguasa-penguasa lokal, kemudian merampas daerah tersebut ke dalam kekuasaannya, selanjutnya berlangsunglah sistem penjajahan.

Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619, yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta. Kemudian Belanda, satu demi satu, memperluas jangkauan jajahannya dengan menjatuhkan penguasa di daerah-daerah nusantara.28

Pada awal abad ke-20, semangat nasionalisme muncul di berbagai wilayah nusantara. Pergerakan-pegerakan baik melalaui individu maupun kelompok yang terhimpun dalam organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga mulai menggema. Salah satu diantaranya adalah pendidikan Islam. Pada areal abad ini (lembaga) pendidikan Islam bangkit, baik yang formal maupun informal, meskipun sebenarnya lembaga informal jauh lebih banyak. Tidak heran jika beberapa peneliti menyebut awal abad ke-20 ini sebagai era kebangkitan dan pencerahan bagi pendidikan Islam.

Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan model Barat membawa arti positif bagi perkembangan pendidikan Islam dan kemajuan masyarakat terjajah. Orang-orang pribumi yang belajar disekolah-sekolah Belanda jadi mengenal sistem pendidikan modern, seperti sistem kelas, pemakaian meja dan bangku, metode belajar-mengajar modern, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, mereka juga mengenal surat kabar atau majalah yang sangat bermanfaat untuk mengikuti perkembangan zaman. Semuanaya akhirnya dapat melahirkan muslim yang memiliki pola pikir dan wawasan yang rasional. Pandangan rasionallah yang menjadi salah satu pendorong untuk mengadakan pembaruan di berbagai bidang,

28


(32)

diantaranya adalah modernisasi di bidang pendidikan. Maka, lahirlah gerakan pembaruan pendidikan Islam di berbagai daerah di Indonesia.

Secara historis,29 tahap priodisasi perkembangan pendidikan Islam dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. Priode masuknya Islam ke Indonesia b. Priode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam c. Priode penjajahan Belanda

d. Priode kemerdekaan

Dalam dua periode awal, fenomena pendidikan Islam meskipum sidah diyakini sudah ada dan masih sangat sederhana, tidak begitu banyak diketahui, karena pendidikan Islam pada kedua periode tersebut masih sering kali diidentikan dengan penyebaran Islam itu sendiri. Disamping itu, sarana-sarana, metode dan sistem pendidikan Islam pada masa itu tidak banyakdiungkap dalam sejarah.

Dengan setting historis pada awal abad ke-20 ini ada dua dialektis sosio-kultural yang dihadapi dunia pendidikan Islam pada saat itu. Pertama, pada awal abad ke-20 ini merupakan era pencerahan dan kebangkitan (lembaga) pendidikan Islam pada umumnya. Kedua, pada abad tersebut juga merupakan era pergerakan nasional dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Fenomena pergerakan ini dapat melalui maraknya gerakan-gerakan yang bersifat politik-ideologis, sosioekonomi, sosiokultural, dan sosioreligius, yang pada gilirannya menggumpal dalam suatu semangat, kesadaran, pemikiran dan perasaan kolektif berupa nasionalisme. Kaitannya dengan kajian mengenai lembaga pendidikan Islam, setting historis ini memberikan penjelasan dekriptif tentang unsur-unsur budaya yang banyak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam tersebut.

Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada bernama sekolah dasar, sekolah kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum,

29

Mahasri Shobahiya, dkk., Studi Kemuhammadiyahan; Kajian Historis, Ideologi dan Organisasi, (Surakarta : LPID UMS, 2008), h. 47.


(33)

tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. 30

Kebijakan pendidikan Belanda adalah melanjutkan kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang portugis, tetapi terutama berdasarkan pada agama Kristen Protestan. Namun secara formal Belanda mengklaim bersikap netral terhadap agama, dalam arti tidak mencampuri dan tidak memihak kepada salah satu agama. Tapi kenyataannya pemerintah Belanda mengambil sikap diskriminatif dengan memberikan kelonggran kepada kalangan misionaris Kristen lebih banyak, termasuk bantuan uang. Pemerintah pun melarang dakwah Islam di daerah animisme, sedangkan misi Kristen masuk secara leluasa.

Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus meminta izin terlebih dahulu. Pada tahun 1925 muncul juga peraturan bahwa tidak semua kiai boleh memberikan pelajaran.31 Ulama-ulama dan guru-guru agama kehilangan konsentrasinya untuk memberikan pelajaran, peraturan ini jelas besar sekali pegaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam.

Menguatnya kesadaran pribumi akan perlunya pendidikan semakin meningkat. Jumlah sekolah-sekolah swasta yang oleh Belanda disebut ”sekolah liar” (wildeschoolen) semakin banyak. Sekolah-sekolah ini didirikan oleh pribumi meskipun tidak mendapat subsidi dari pemerintah Belanda. Akhirnya pada tahun 1932 saat keluanya Toezichtordonantie Particular Onderwijs (Ordonansi Sekolah Liar) pada tanggal 17 September 1932 dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1932. Ordonansi ini antara lain berisi hal-hal sebagai berikut :32

1. Sebelum memperoleh izin tertulis dari pemerintah, suatu lembaga pendidikan yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh dana pemerintah tidak dibenarkan memulai aktivitasnya.

30

Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Depag, 2005), h. 51.

31

Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, h. 51.

32

Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), h. 287-288.


(34)

2. Hanya lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah, berhak mengajar di sekolah ini.

3. Ordonansi ini tidak berlaku bagi lembaga pendidikan agama.

Ordonansi sekolah liar ini berlangsung menuai protes dan penolakan dari berbagai kalangan. Bagi umat Islam ordonansi ini berpotensi sebagai alat untuk membatasi atau bahkan menekan institusi pendidikan Islam, yang pada akhirnya akan membunuh sekolah-sekolah Islam dan justru sebaliknya akan menguntungkan pihak Kristen.

Pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, bahkan sampai berakhirnya kekuasaannya di Indonesia, tidak lain adalah westernisasi dan Kristenisasi, yakni untuk kepentingan Barat dan Kristen. Di keluarkannya kebijakan pendidikan yang mengatur bahwa sekolah-sekolah gereja diangggap dan diberlakukan sebagai sekolah pemerintah. Kemudian di setiap daerah kresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.33

Berbeda dengan Jepang, Pemerintah Belanda dalam melanggengkan kekuasannya di Indonesia menerapkan keampuhan politik devide et empera, menciptakan situasi konflik antar golongan dan bersikap memusuhi ulama, pemerintah Jepang justru hendak memanfaatkan mayoritas umat Islam untuk dipersatukan dan dimobilisasi guna mendukung kepeningan perangnya. Untuk itu Jepang merangkul ulama sebagai alat penetrasi ke alam kehidupan rohani bangsa Indonesia.

Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1941, dengan membawa semboyan : Asia Timur Raya untuk Asia dan Semboyan Asia Baru.34 Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan dirinya seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan siasat untuk kepentingan Perang Dunia ke II.

Suatu peralihan paradigma yang cukup tajam terjadi ketika pemerintah Jepang menduduki Indonesia, politik pecah belah diganti dengan politik integrasi.

33

Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, h. 110-111.

34


(35)

Semua ormas, baik nasionalis maupun Islam, yang pada era kolonial Belanda berkembang secara parsial, dipersatukan dalam satu wadah. Pendirian Departemen Agama (Shumubu) oleh pemerintah Jepang juga merupakan implmentasi dari politik ini. Bila dipahami secara kontekstual, perubahan sikap dari kolonial Belanda ke Jepang dapat dianalisis sebagai berikut : pertama, situasi sosial politik pendudukan Jepang saat itu sedang menghadapai perang melawan sekutu, dan karenanya Jepang membutuhkan tambahan kekuatan baik fisik mliter mapupun material berupa sumber daya alam, maka Indonesia yang mayoritas penduduknya adalam umat Islam dengan tanah yang subur, perlu digalang untuk memenangkan perangnya. Kedua, karena Jepang datang tidak membawa misi agama, maka persoalan integrasi umat Islam tidak dimaksudkan sebagai berpihaknya Jepang pada agama Islam yang penting bagi Jepang adalah Nipponisasi. Ketiga, mengingat wawasan Hakkoichiu (Brotherhood of Nations) yang menjiwai Jepang untuk menguasai dunia sebagai pemimpin. 35

Sikap kooperatif Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, memang seringkali menimbulkan kesan bahwa organisasi ini mudah terpengaruh oleh penguasa. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Karena ternyata Muhammadiyah tetap mampu menjaga indepedensi dan berani bersikap kritis terhadap penguasa. Pada saat-saat tertentu, jika menyangkut kepentingan organisasi dan umat Islam, Muhammadiyah mampu menunjukan sikap kritisnya. Pada masa penjajahan Belanda, Muhammadiyah dengan tegas menentang peraturan tentang ordonansi Sekolah Liar tahun 1932. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang, Saekerei, yaitu suatu bentuk penghormatan kepada Tenno Haika (Dewa Matahari) dengan cara membungkukan badan menghadap kearah timur. Ini membuktikan bahwa sikap kritis telah menjadi watak perjuangan KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah sejak awal masa berdirinya.36

35

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, h. 119-120.

36

Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani; Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, (Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 14.


(36)

27

BAB III

BIOGRAFI KEHIDUPAN KH. AHMAD DAHLAN

D. Latar Belakang keluarga KH. Ahmad Dahlan

Di kampung Kauman, kota Yogyakarta, yang terletak di sekitar Keraton kala itu terkenal penduduknya taat beragama. Pada tahun 1868 M atau 1285 H, Muhammad Darwisy (nama kecil KH. Ahmad Dahlan) dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar dan Siti Aminah1 Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim penghulu Kesultanan). Orangtuanya, KH. Abu Bakar, merupakan seorang pejabat Kesultanan masa Sultan Hamengkubuwono VII (1839-1921) yang bertugas bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan agama Islam di sekitar Kauman khususnya dan wilayah kekuasaan Sultan umumnya (kini Daerah Istimewa Yogyakarta). KH. Abu Bakar oleh Sultan dipercaya sebagai Ketib Imam Besar masjid Agung Kauman, sekaligus pemimpin pesantren Kauman yang berpusat di masjid Kauman tersebut.2

Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.3 Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali

1

Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Ma‟arif, (Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), h. 24.

2

Yunan Yusuf, Pemikiran Teologi KH. Ahmad Dahlan dalam Noor Chozin Agham, Teologi Muhammadiyah dan Penyelewengannya; Agenda Persyarikatan Abad Keakanan, (Jakarta : Uhamka Press, 2010), h. 282.

3

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1999), h. 113.


(37)

besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (KH. Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.4

Secara alamiah, seseorang akan dipengaruhi faktor geografis, yang menunjukan latar belakang sosial seseorang berpengaruh terhadap proses pendewasaannya. Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran Darwis terkenal sebagai daerah lingkungan santri. Itulah sebabnya Darwisy sejak kecil sudah dekat dan terbiasa hidup dalam ketaatan terhadap agama.

E. Pendidikan KH. Ahmad Dahlan

Sebagaimana halnya anak-anak yang lain, Muhammad Darwis diasuh serta dididik orang tuanya baik-baik, diajar mengaji al-Quran dikampungnya serta di kampung pengajian yang lain. Begitu pun banyak anak keluarga Muslim di Kauman pada waktu itu, Darwis sejak kecilnya pun tidak dididik pada lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal sebagai sekolah Gubernemen.

Sejarah mencatat, para kiai pemimpin pesantren dari berbagai daerah kala itu sepakat untuk tidak melakukan kerjasama dalam bentuk apapun dengan penjajah Belanda. Segala interaksi dengan kolonial, seperti terlibat dalam pendidikan, pergaulan sehari-hari, termasuk meniru gaya berpakaian (misalnya bercelana panjang, berjas, berdasi, bertopi, dan sebagainya) hukumnya telah kafir atau haram. Kader-kader (santri) pesantren yang ada, terus berkonsentrasi belajar agama di pesantrennya masing-masing dengan pengawasan ketat dari Belanda. KH. Abu Bakar tak terkecuali, beliau sendiri sebagai pemimpin pesantren tentu

4

Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya (Jakarta : Alwasath, 2009), h. 56.


(38)

memiliki keterikatan moral dengan sesama kiai yang lain. Walau secara ekonomi beliau cukup mampu untuk menyekolahkan putra-putrinya, tetapi beliau tidak lakukan karena sekolah-sekolah yang ada waktu itu seluruhnya di bawah manajemen kolonial Belanda. Sebagai jalan keluarnya, KH. Abu Bakar memilih mendidik putra-putrinya yang berjumlah 7 (tujuh) orang5 di pesantren Kauman yang dipimpinnya. Untuk menambah wawasan keilmuan, KH. Abu Bakar kemudian mengirim Ahmad Dahlan supaya belajar pada kiai yang lain di luar pesantrennya, di luar wilayah Kesultanan Yogyakarta.6

Menurut anggapan masyarakat Kauman, barang siapa yang memasukan anaknya ke sekolah tersebut akan di anggap sebagai orang kapir, karena ia telah memasuki pola kehidupan kapir landa.7 Anggapan ini sesungguhnya bukan hanya dilandasi oleh pola berfikir apriori yang menggambarkan kebencian terhadap penjajah, melainkan pula dilandasi pula oleh kesadaran bahwa penjajah Belanda adalah musuh umat Islam daerah Kesultanan Yogyakarta. Karena itu maka dapat dipahami bahwa prasangka terhadap model-model kehidupan yang berkaitan dengan sistem kehidupan penjajah dianggap sebagai suatu sikap kompromi dengan bagian dari identitas penjajah, termasuk dalam sistem pendidikan.

Tercatat antara lain KH. Ahmad Dahlan pernah belajar Fikih (hukum Islam) kepada KH. Muhammad Shaleh, ilmu Nahwu (sintaksis bahasa Arab) kepada KH. Mushsin, ilmu Falak (astronomi dan geografi) kepada KH. Raden Dahlan, Kiai Shaleh Darat dan Syekh M. Jamil Djambek , ilmu Hadits kepada

Kiai Mahfud dan Syekh Khayyat, ilmu Al-Quran kepada Syekh Amin dan Sayid

Bakri Satock dan ilmu pengobatan dan racun binatang pada Syekh Hasan.

Bahkan, konon ia juga pernah sekamar dengan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU)

5

Tujuh orang putra-putri KH. Abu Bakar yaitu 5 orang perempuan (Ny.Hj. Khatib Hasan, Ny.Hj. Muchsin, Ny.Hj. Muhammad Saleh, Ny.Hj. Abdurrahman dan Ny.Hj. Muhammad Fakih) dan 2 orang laki-laki (H. Ahmad Dahlan dan H. Muhammad Basyir).

6

Noor Chozin Agham, Teologi Muhammadiyah dan Penyelewengannya; Agenda Persyarikatan Abad Keakanan, h. 283.

7

MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1987), h. 77.


(39)

ketika belajar teologi kepada kiai Shaleh Darat di Semarang. Guru-guru tersebut merupakan para ulama ternama pada masa itu.8

Diantara buku dan kitab-kitab yang menjadi kegemaran serta mengilhami beliau dalm hidup dan perjuangannya adalah :9

a. Kitab Tauhid karangan Syekh Muhammad Abduh

b. Kitab tafsir Juz Amma karangan Syekh Muhammad Abduh

c. Kitab Kanzul Ulum

d. Kitab Dairatul Ma’arif karangan Farid Wajdi

e. Kitab-kitab Fil Bid’ah karangan Ibnu Taimiyah, di antaranya ialah : Kitab At-Tawassul wa-Washilah karangan Ibnu Taimiyah

f. Kitab Al-Islam wan-Nashraniyah karangan Syekh Muhammad Abduh

g. Kitab Izhharul Haqq karangan Rahmatullah al-Hindi

h. Kitab-kitab Hadits karangan Ulama Madzhab Hanbali

i. Kitab-kitab Tafsir Manar karangan Sayid Rasyid Ridha dan majalah al-Urwatul Wutsqa

j. Tafshilun Nasjatain Tashilus Syahadatain k. Matan al-Hikam li Ibn Athaillah

l. Al-Qashid ath-Thasiyah Abdullah al-Aththas, dan lain-lain.

Pada usia 15 tahun (1883),10 ia menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan tentang Islam, ia pun menetap di Makkah untuk belajar agama dengan sungguh-sungguh. Oleh Sayyid Bakri Syatha’, salah seorang

gurunya yang menjabat sebagai Mufti atau Imam dari Madzhab Syafi’i di

Makkah,11 ia diberi nama baru yaitu Haji Ahmad Dahlan. Setelah lima tahun mukim dan menjadi murid para syaikh dan ulama terkemuka di Makkah ia pun pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sepulang dari tanah suci namanya lebih dikenal dengan nama Haji Ahmad Dahlan.

8

Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Ma‟arif, h. 24-25.

9

Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya, h. 58.

10

Yunan Yusuf, et.all., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), h. 74.

11


(40)

Sepulangnya dari Makkah ini, pada tahun 1890 ayah KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia. Oleh Sultan Hamengkubuwono VII (1839-1921) KH. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pegaganti kedudukan ayahnya Ketib di Masjid Agung Kauman, Yogyakarta. Beliau pun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta, karena memiliki persyaratan yaitu telah mendalami agama di pesantren dan meneruskan pelajarannya di Makkah. Sebagai abdi dalem santri yang disamping bekerja di bawah pimpinan Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu, beliau juga merangkap sebagai anggota Dewan (raad) Agama islam hukum Kraton.12

Pada tahun 1902, KH. Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah, hanya saja kali ini beliau berkesempatan bermukim hanya selama 1,5 tahun di makkah. Di usia 34 tahun ini beliau berguru kepada KH. Ahmad Khatib (asal Minangkabau, Sumatera Barat) ia juga sempat bertemu dan bertukar pikiran dengan Sayid Rasyid Ridha13, seorang cendikiawan yang ketika itu terkenal dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islamnya. Pada periode

ini pula beliau bersama KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, juga tinggal dan belajar

bersama di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah.

F. KH. Ahmad Dahlan Dan Sosial Keagamaan

Pada masa hidupnya KH. Ahmad Dahlan, masyarakat Islam sedang ditimpa oleh berbagai macam krisis. Banyak umat Islam yang mengamalkan ritual dan berbagai tradisi yang pada dasarnya tidak sesuai dengan tuntunan agama yang berdasar atas al-Quran dan Hadits. Mereka telah berbuat bid’ah, khurafat, dan syirik. Hal inilah yang menyebabkan mereka jauh dari tuntunan agama yang sebenarnya.

12

MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, h. 82.

13

Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Ma‟arif, h. 28.


(41)

Di mana-mana tampak cahaya Islam mulai pudar, akibat dari umat Islam itu sendiri. Agama Islam telah banyak bercampur dengan berbagai ajaran yang bukan berasal dari al-Quran dan Hadits. Islam hanya menjadi kepercayaan hidup yang diwarisinya dari nenek moyangnya turun-temurun. Tetapi, Islam tidak menjadi keyakinan hidup masyarakat yanng mendorong kepada amal. Makin lama semakin jauh menyimpang tata cara hidup masyarakat dari tuntunan agama Islam. Agama Islam tidak lagi menjiwai masyarakat dalam segi hidup dan kehidupan mereka, selain yang tinggal hanyalah berupa konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme belaka.

Tidak murni, artinya tidak diambil dari sumber yang sebenarnya. Hanya bagian-bagian tertentu yang dipahami, dipelajari, kemudian diamalkan, ajaran Islam yang seperti itulah kemudian yang hidup dan tersebar di Indonesia dan menjadi anutan masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Agama Islam yang seperti itulah yang tidak akan dapat memberikan manfaat yang sebenar-benarnya kepada manusia, termasuk umat Islam di Indonesia. Semuanya itu mengakibatkan tidak tidak utuh dan tidak murninya lagi faham/ pengertian dan praktik ajaran agama Islam di Indonesia.14 Demikianlah kenyataan dan keadaan perkembangan umat Islam yang mendorong memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia.

KH. Ahmad Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin umat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh umat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.

Faktor subyektif KH. Ahmad Dahlan dalam memahami pesan-pesan al-Quran terutama QS. Ali-Imran : 104, yang secara eksplisit merupakan perintah

untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar.

14

M. Djindar Tamimiy, Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang : Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 8.


(1)

harganya bagi kemajuan bangsa Indonesia pada umumnya dan khususnya umat Islam Indonesia.

3. Sumbangan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam upaya modernisasi dan memajukan pendidikan Islam di Indonesia yaitu dengan usaha-usaha yang direalisasikan melalui :

a. Memasukan pelajaran agama Islam kedalam lembaga pendidikan milik kolonial Belanda.

b. Penerapan sistem dan mengadopsi metode pendidikan Barat dalam lembaga pendidikan Islam.

4. Dampak positif dari kelebihan usaha-usaha yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan adalah purifikasi ajaran Islam dalam bidang Aqidah dan Ibadah, sedangkan dalam bidang Pendidikan Islam adalah membentuk anak didik sebagai pelanjut tunas bangsa yang berakhlak mulia dan berintektual tinggi. Sedangkan kelemahan beliau adalah kurangnya karya beliau tentang pendidikan Islam.

B. Saran

Setelah membahas skripsi ini, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Kepada guru atau tenaga pendidik hendaklah memiliki visioner kedepan dalam mendidik para murid, sehingga akan memiliki fokus yang tidak hanya membentuk kecerdasan otak namun juga pembentukan watak. 2. Kepada pelanjut Amal Usaha Muhammadiyah agar semakin meresapi

khittah perjuangan KH. Ahmad Dahlan atas tujuan jasa-jasanya yang utama adalah keikhlasan dalam memperbaiki agama dan umat.

3. Dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah secara massif membangun sekolah-sekolah, namun tokoh-tokoh Muhammadiyah kini perlu untuk

mempertahankan lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Mu’allimin

dan pesantren.

4. Kepada Pemerintah, diharapkan untuk memfasilitasi dan melakukan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dalam rangka


(2)

72

pengembangan sistem dan peningkatan mutu pendidikan, karena kian hari pendidikan Islam yang semakin dinamis menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


(3)

73

Abbas, Afifi Fauzi. ”Muhammadiyah dan Pemihakan pada Kaum Mustadh’afin”

dalam Kiprah Muhammadiyah Membangun Bangsa, Tajdid; Jurnal

Studi Islam dan Kemuhammadiyahan, Edisi Khusus Muktamar Satu

Abad Muhammadiyah (Juli 2010), h. 32-45.

Agham, Noor Chozin. Teologi Muhammadiyah dan Penyelewengannya; Agenda Persyarikatan Abad Keakanan, Jakarta : Uhamka Press, 2010.

Aly, Abdullah dan Djamaludin. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1999.

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta : CRSD Press, 2005.

Arifin, H.M. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.

Arifin, MT. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1987.

Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.

Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta : Suka Press, 2007.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuiju Millenium Barui, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002.

---, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998.

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam; Dalam Sistem Pendidikan Nasinal di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2004.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta : LP3ES, 1994.

Djamas, Nurhayati. Dinamika Pensisikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.

Endarmoko, Eko. Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2006.


(4)

74

Harun, Lukman. Muhammadiyah Dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990.

Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996.

---, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.

Kamarulzaman, Aka. Kamus Ilmiah Serapan, Yogyakarta : Absolut, 2005.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Jakarta : Mizan, 1996.

Madjid, Nurcholis. Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997.

---, Islam dan Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung : Mizan, 1997.

Maksum. Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

Mansur dan Junaedi, Mahfud. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Depag, 2005.

Martono, Ton. ”Sekolah Kader; Di Tengah Harapan dan Kenyataan” Majalah Suara Muhammadiyah, No. 03 Th. Ke-93 (Februari 2008), h. 7-11. ---, ”Muhammadiyah Pertahankan Model Pendidikan Integralistik”

Majalah Suara Muhammadiyah, No. 09 Th. Ke-93 (Mei 2008), h. 7-11. Mulkhan, Abdul Munir. Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal

Usaha, Yogyakarta: Percetakan Persatuan, 1990.

---, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Soaial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.

Nakamuro, Mitsuo. Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1983.

---, dkk. Muhammadiyah Menjemput Perubahan; Tafsir Baru Gerakan Sosial-Budaya Muhammadiyah, Jakarta : Kompas, 2005.

Nashir, Muhammad Hamid. Menjawab Modernisasi Islam, Penerjemah Abu Umar Basyir, Jakarta : Darul Haq, 2004.


(5)

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.

Rahardjo, Dawam. Pesantren dan Pembaruan, Jakarta : LP3ES, 1883.

Rahim, Husni. Mdrasah; Dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, tt..

Salam, Junus. KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya, Jakarta : Alwasath, 2009.

Sazali. Muhammadiyah dan Masyarakat Madani; Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005.

Shihab, Alwi. Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung : Mizan, 1998.

Shobahiya, Mahasri, dkk. Studi Kemuhammadiyahan; Kajian Historis, Ideologi dan Organisasi, Surakarta : LPID UMS, 2008.

Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2009. Sucipto, Hery dan Ramly, Nadjamudin. Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad

Dahlan sampai Ahmad Syafii Ma‟arif, Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2005.

Surakhmad, Winarno Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik, Bandung : Tarsito, 1998.

Suwito, dan Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2008.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : remaja Rosdakarya, 1994.

Tamimiy, M. Djindar. Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, Malang : Tiara Wacana Yogya, 1990.

Tashadi. Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Ir. Soekarno dan KH. Ahmad Dahlan, Jakarta : Ilham Bangun Karya, 1999.

Thaha, Idris. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Skripsi, Tesis dan disertasi, Jakarta : CeQDA UIN Jakarta, 2007.


(6)

76

Tuanaya, A. Malik M. Aha, dkk. Modernisasi Pesantren, Jakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007.

Wibisono, Abdul Fattah. ”KH. Ahmad Dahlan dan Perjuangan Meluruskan Arah

Kiblat” dalam Kiprah Muhammadiyah Membangun Bangsa, Tajdid; Jurnal Studi Islam dan Kemuhammadiyahan, Edisi Khusus Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (Juli 2010), h. 46-59.

Yasmadi. Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta : Ciputat Press, 2002.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Wida, 1995.

Yusuf, Yunan, ed. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005.

Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1997.

Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan; Teori dan Aplikasi, Jakarta : Bumi Aksara, 2007.