MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL,

BAB III MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL,

DAN BUDAYA OLEH NEGARA “…Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…” Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Tujuan pendirian bangsa Indonesia yang telah merdeka dari kolonialisme seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tujuan yang amat mulia. Yaitu memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan yang seluas- luasnya bagi rakyat Indonesia. Demikian pula pada umumnya gagasan kesejahteraan dan keadilan sosial menjadi spirit negara-negara di dunia ketiga ketika lepas dari kolonialisme Barat. Kenyataannya saat ini, kita dihadapkan pada situasi di mana ketimpangan antar negara semakin lebar. Negara-negara maju, yang memperoleh kekuasaan atas monopoli dan akses terhadap modal mengalami perkembangan yang pesat dalam pembangunan dan industrialisasi. Sebaliknya negara-negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia yang nota bene penyumbang dari suplay bahan mentah kepada negara- negara maju tengah dirundung oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan underdevelopment. Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat fakta tersebut adalah dengan melihat angka tingkat kesenjangan. Angka tersebut menunjukan bahwa hanya dalam waktu lima tahun 1988-1993, gini coeficient indikator kesenjangan kekayaan melonjak dari 62,5 menjadi 66,0. Satu persen 1 warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57 warga termiskin. Itu sama dengan 5 warga terkaya dunia menguasai 114 kali income yang diperoleh 5 warga termiskin. Income 10 warga terkaya di Amerika Serikat sama dengan jumlah income yang diterima 43 penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga terkaya di Amerika Serikat sama dengan income 2 milyar warga dunia. 24 Melihat kondisi demikian, kiranya gagasan tentang keadilan sosial dan pentingnya kepastian bagi terjaminnya hak atas kesejateraan dan kehidupan yang layak relevan menjadi agenda pembangunan dewasa ini. Setelah pemikiran tentang hak sipil dan politik SIPOL yang menjadi generasi pertama Hak Asasi Manusia HAM, 25 hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi generasi kedua HAM yang belum banyak disentuh. Jika dalam generasi pertama pemikiran tentang HAM diilhami dari tradisi berpikir liberal dan kapitalis. Sebaliknya generasi kedua HAM muncul dari tradisi sosilalis dan dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan 24 B. Harry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo, Francis Wahono dkk., Neoliberalisme Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003, hal. 64 25 Menurut Burns H. Weston ada tiga generasi HAM. Ketiga generasi HAM tersebut menunjukan suasana dialektika antara berbagai aliran ideologi terutama liberal dan sosial, juga aspirasi dari negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari kolonialisme. Tetapi inspirasinya diilhami oleh tiga norma revolusi Pancis. Hak- hak itu berdasarkan generasi yaitu pertama, hak-hak sipil politik liberte-kebebasan. Kedua, hak ekonomi, sosial, budaya egalite- persamaan sosial dan ketiga, hak-hak solidaritas fraternite- persaudaraan. revolusioner dan gerakan kesejahteraan pada masa itu. 26 Generasi kedua HAM merupakan tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, selalu mentolelir, bahkan mengesahkan eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakyat di daerah jajahan. Persoalan lain yang mendukung munculnya pemikiran tentang hak ekosob ini adalah situasi politik-ekonomi pada tahun 1930-an. Pada saat itu dukungan bagi peranan negara yang kuat sebagai agen bagi pelaksanaan keadilan sosial semakin meningkat. Kondisi tersebut sejalan dengan berkembangnya konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh seorang pemikir ekonomi, John Mayrald Keynes. Pemikiran Keynes memberikan kecaman yang keras terhadap logika pasar dalam doktrin liberalisme klasik, yang dianggap gagal memberikan rasa keadilan ekonomi bagi rakyat dan membuat jurang ketimpangan ekonomi semakin lebar antara negara- negara utara dan selatan. Berkat gagasan-gagasan Keynes, pada akhirnya kemajuan perkembangan fungsi-fungsi sosial negara mendapat “angin segar” dari Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Salah satu yang terkenal dan menjadi sumber utama dari pendekatan Hak Asasi Manusia yang lebih luas adalah “Empat Kebebasan” yang disampaikan oleh Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt, dalam pidato tahunannya di depan Kongres pada tahun 1941 tentang State of the Union Address. 27 Satu dari empat kebebasan yang dikemukakan oleh presiden Roosevelt yang perlu dikembangkan oleh tatanan pasca 26 M. Ridha Saleh, ECOSIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM Jakarta, WALHI, 2005, cet. I, h. 10. 27 Asbjorn Eide, “Hak-Hak Ekonomi, sosial, dan Budaya Sebagai Hak Asasi Manusia,” dalam Ifdhal Kasim dan J. da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-esai Pilihan Jakarta, ELSAM, 2001 cet. I, hal. 18. perang adalah bebas dari kekurangan Freedom From Want. Roosevelt mengusulkan untuk memasukkan banyak hak ekonomi dan sosial dalam deklarasi. Dan memang pada akhirnya usulan tersebut diadopsi menjadi bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 serta dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia Universal Declaration of Human Rights, diumumkan sebagai suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara. Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat pengajaran dan pendidikan serta lewat langkah-langkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya. 28 Dua puluh satu pasal pertama deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia Bill of Rights yang termaktub di dalam konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hal tersebut meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Hak-hak tersebut kemudian dikenal dengan Hak Sipil dan Politik. Namun pasal 22 sampai 27 mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -suatu standar bagi kehidupan yang layak- dan 28 Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights Oxford: Clarendon Press, 1971, hal. 93-105. pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan. Bagian dari pasal-pasal ini kemudian disebut sebagai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jelasnya, terkait dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bahwa sumber yang paling eksplisit dan utama dari hak-hak tersebut adalah DUHAM Universal Declaration of Human Rights yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights CESCR. Sebagai kovenan yang memberi daging substansi dan efek dari DUHAM, hak-hak dan batasan-batasannya terformulasi secara lebih terinci di dalamnya. Dari pandangan di atas, dapat dipastikan bahwa jaminan utama hukum internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia DUHAM dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang saat ini telah ditandatangani oleh 142 negara. 29 Terkait dengan dua instrumen hukum utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, Bersamanya sebenarnya beberapa Kovenan lainnya mengenai hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi mengenai Hak Anak dan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Meski kovenan-kovenan tersebut telah diterima secara universal, diatur dalam berbagai teks hukum internasional baik yang mengikat maupun yang deklaratif misalnya Deklarasi mengenai Hak Atas Pembangunan, diakui dalam berbagai aturan-aturan hukum nasional konstitusi, 29 Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal 15 Juni 2000, CESCR telah diratifikasi oleh 142 negara dan ditandatangani oleh 61 negara. Cina merupakan negara yang terakhir tanggal 27 Oktober 1997 membuat ratifikasi terhadap kovenan ini. Lihat, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework New York: United Nation, 2000. namun implementasi dan pengakuan terhadap hak-hak ekosob sebagai hak asasi sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh pandangan dikotomis antara hak sipol dengan hak ekosob, yang antara lain dipandang bahwa hak ekosob lebih bersifat aspiratif daripada hak yang bisa dituntut. Implikasi yang paling serius dari silang pendapat mengenai hal ini adalah pandangan yang menyatakan bahwa kewajiban negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya bersifat relatif, tergantung ketersediaan sumberdaya yang ada dalam satu negara. Oleh kerena itu pemenuhan hak ekosob dalam pengertian yang diambil oleh sebagian kalangan dapat dilakukan secara bertahap. Ide tersebut secara eksplisit tercermin pada pasal 2 kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya yang pada intinya mengatakan: setiap negara pihak berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan kerjasama internasional,.., untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan pengambilan langkah- langkah legislatif.” 30 Ketentuan dari pasal 2 ayat 1 ini menghendaki semua negara pihak memulai dengan secepatnya mengambil langkah-langkah agar semua orang dapat menikmati sepenuhnya seluruh hak yang terdapat dalam kovenan. Pengambilan langkah legislatif pada umumnya tidak dapat dihindari jika hak ekonomi, sosial, dan budaya akan dilaksanakan dengan sebenarnya, akan tetapi undang-undang saja bukan respon yang cukup di tingkat nasional. Upaya-upaya administratif, hukum, kebijakan, 30 Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A XXI, 16 Des. 1966. ekonomi, sosial, dan pendidikan serta beberapa langkah lain dibutuhkan pemerintah dalam rangka menjamin seluruh perwujudan hak ini bagi semua orang. Yang lain adalah pandangan yang membedakan hak ekosob dan sipol menjadi dua kategori. Yaitu “hak negatif” dan “hak Positif”. Hak negatif merujuk pada hak sipil dan politik yang penegasannya adalah meminta negara-negara untuk menahan diri dari keterlibatannya dan melakukan intervensi, demi terlaksananya pelaksanaan hak-hak sipol tersebut. Sebaliknya, hak negatif yang diasosiasikan kepada hak ekonomi, sosial budaya mendesak keterlibatan dan upaya penuh dari negara untuk ikut campur dalam usaha pemenuhan dan perlindungan dari hak-hak ekosob ini. Kesalahpahaman atas tafsir dan pengertian Kovenan Hak ekonomi, Sosial dan Budaya merangsang beberapa ahli yang difasilitasi oleh Komisi Juris Internasional International Commission of Jurist untuk mengadakan pertemuan yang diadakan di Limburg dan Maastricht, Belanda. Masing-masing dilaksanakan pada tahun 1996 dan 1997. 31 Dalam pertemuan ini para pakar berhasil merumuskan dua dokumen yang bertujuan untuk memberi pedoman dalam memahami kewajiban-kewajiban negara berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pertemuan Limburg menghasilkan dokumen yang dikenal dengan “Limburg Principles” prinsip-prinsip Limburg, berisi tentang penjelasan terhadap kewajiban- kewajiban negara berdasarkan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sedangkan pertemuan Maastricht menghasilkan satu dokumen yang dikenal dengan “Maastricht Principles” prinsip-prinsip Maastricht. Dokumen ini berisi tentang 31 Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; evaluasi Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya Jakarta, ELSAM, 2003, cet. II, h. 12. penjelasan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Lahirnya dua dokumen tersebut paling tidak merupakan langkah minimal untuk mengakhiri tafsiran yang arbitrer atas Kovenan hak EKOSOB tersebut. Secara substansi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan satu paket yang lebih komprehensif dari tiga unsur hak yang saling berkaitan. Inti hak-hak sosial adalah hak terhadap standar kehidupan yang layak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25; Kovenan Hak Ekonomi Pasal 11; Konvensi Hak Anak, Pasal 27. Untuk dapat menikmati hak-hak tersebut, seseorang memerlukan sekurang-kurangnya tersedianya hak-hak subsisten untuk bertahan hidup yang penting –seperti hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, pakaian, perumahan dan syarat-syarat penting untuk perawatannya. Terkait erat dengan hak-hak ini adalah hak-hak keluarga terhadap bantuan Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 10; Kovenan Hak Anak, Pasal 27. Untuk dapat menikmati hak-hak sosial ini, juga diperlukan terpenuhinya hak-hak ekonomi tertentu. Seperti hak atas kepemilikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 7, hak untuk bekerja Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 23; Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 6 dan hak-hak atas jaminan sosial, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 22 dan 25; Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 9; Konvensi Hak Anak Pasal 26. Secara umum, kovenan internasional mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya terdiri dari tiga puluh satu 31 pasal yang diatur dalam 6 bagian, yang bagian pertamanya sama dengan saudaranya yaitu kovenan internasional tentang hak sipil dan Politik. Jantung dari Kovenan ini berada pada Bagian III pasal 6-15 yang menguraikan hak-hak yang dilindungi, 32 yaitu: a. Hak atas kerja right to work b. Hak atas kondisi kerja yang layak pasal 7 c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh pasal 8 d. Hak atas jaminan sosial pasal 9 e. Hak atas perlindungan bagi keluarga pasal 10 f. Hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan tempat tinggal pasal 11 g. Hak atas kesehatan pasal 12 h. Hak atas pendidiakan pasal 13 i. Hak atas kebudayaan pasal 15b Dari uraian di atas, kita memahami bahwa pemenuhan tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan segera oleh negara. Hak ekosob merupakan hak dasar yang kelahirannya merupakan unsur terpenting bagi keberlanjutan hidup dan kehidupan peradaban manusia yang lebih adil dan sejahtera. Pengingkaran terhadap pemenuhan hak ekosob oleh negara adalah sebuah bentuk kejahatan kemanusiaan. Kata-kata “segera” perlu mendapatkan penegasan untuk menghindari kesalahpahaman komponen “ kewajiban bertahap” kovenan yaitu bahwa setelah suatu negara mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu, pada saat itulah hak berdasarkan kovenan telah terwujud. Bukan ini yang menjadi maksud dari kalimat tersebut. Melainkan, tugas tersebut mewajibkan semua negara-negara pihak-terlepas dari ringkat kekayaan nasionalnya- agar dengan segera dan sedini mungkin bergerak mewujudkan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan ini tidak boleh diartikan 32 Antonio Pradjasto, Butir-butir Pokok Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya, makalah yang disampaikan pada Workshop Monitoring dan Advokasi HAM, CHRF-CIDA, 25 April – 1 Mei 2002, Ujung Pandang – Makasar. sebagai memperbolehkan negara untuk menunda usahanya tanpa batas waktu tertentu untuk menjamin perwujudan hak yang digariskan dalam kovenan.

B. Neoliberalisme: Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan