sebagai memperbolehkan negara untuk menunda usahanya tanpa batas waktu tertentu untuk menjamin perwujudan hak yang digariskan dalam kovenan.
B. Neoliberalisme: Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya di Era Globalisasi
Ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM pada awal tahun 2005, banyak kalangan menduga hal tersebut merupakan agenda
untuk liberalisasi sektor Minyak dan Gas MIGAS di Indonesia. kebijakan ini didorong oleh mandat Undang-undang MIGAS No. 222001 untuk meliberalisasi
perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor minyak dan gas. Fakta ini diakui secara sadar oleh ketua Badan Pengatur sektor Hilir Minyak dan Gas BPH
MIGAS di salah satu media massa nasional mengatakan:
“bahwa Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Bisnis itu selama ini dikuasai oleh
Pertamina. …Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga bahan bakar minyak BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena
disubsidi, pemain asing enggan masuk.”
11
Cerita tentang kenaikan BBM di atas secara sederhana memberikan kita pemahaman bahwa saat ini liberalisasi ekonomi dan pasar bebas, yang menjadi
jargon dari proyek globalisasi telah menjadi instrumen bagi kepentingan modal untuk dapat menjalankan aktifitas ekonominya di berbagai negara. Dengan kata
11
“Badan Pengatur
Hilir Terbentuk
Menjelang Liberalisasi
Migas,” berita
diakses tanggal
14 Mei
2003 dari
http:www.kompas.comkompas-cetak030514ekonomi312498.htm
lain, pasar bebas dengan ideologi neoliberalisme saat ini telah menjadi “mantra” dan “agama” yang diyakini dapat menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia,
contohnya kenaikan BBM untuk memfasilitasi kepentingan perusahaan asing di atas.
Neoliberalisme sebagai perspektif ekonomi, mengawali perkembangannya pada tahun 1947. ketika itu seorang ekonom Austria, Friedrich August von Hayek
mengorganisir sebuah pertemuan tertutup selama sepuluh hari bersama beberapa pemikir di berbagai bidang yang datang dari Amerika Utara dan Eropa di
pegunungan Mont Pelerin, Swiss.
12
Pertemuan yang menghasilkan sebuah kelompok dengan nama The Mont Pelerin society MPS ini dimaksudkan sebagai
bentuk keprihatinan atas munculnya gelombang “kolektivisme” yang melanda Eropa. Jika melihat tulisan Hayek tiga tahun sebelum pertemuan tersebut
berlangsung, mudah dipahami bahwa MPS berusaha mengajukan keunggulan kapitalisme pasar bebas: Dengan membiarkan jutaan individu mereaksi harga
pasar yang tercapai secara bebas, dan melakukan optimalisasi pengalokasian modal.
13
Oleh karena itu, mudah untuk dimengerti bahwa pertemuan tersebut dirancang untuk melakukan interupsi atas pemikiran “ekonomi pasar sosial” Ordo
Liberal yang sedang berkembang di Jerman Barat pasca Perang Dunia ke-2. Secara umum gagasan ekonomi politik neoliberal adalah argumen yang
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan hanya jika, lalu-
12
B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo
dan Francis
Wahono, ed.,
Neoliberalisme Yogyakarta,
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003, cet. I, h. 51-52.
13
Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 52.
lintas barangjasamodal tidak dikontrol oleh regulasi apapun.
14
Optimalisasi itu juga akan terjadi bila barang, jasa, dan modal dimilikidikuasai oleh orang
perorangan yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi. Dalam prakteknya, operasi neoliberalisme mendorong kebijakan-kebijakan
liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi oleh negara demi tercapainya tujuan-tujuan akumulasi modal oleh individu.
Pada perkembangannya, ideologi neoliberalisme telah menjadi alat penopang utama bagi berjalannya proses globalisasi yang kita rasakan sekarang ini. Anjuran para ekonom neoliberal untuk melakukan pengetatan fiskal dengan memangkas
anggaran negara bagi kebutuhan subsidi rakyat, pembukaan pasar domestik bagi masuknya investasi asing, pemberlakuan kebijakan mata uang mengambang merupakan resep pembangunan ekonomi dunia saat ini. Melalui proses ini, propaganda
globalisasi menyelip di antara kebutuhan Negara-negara dunia ketiga akan resep pembangunan tersebut. Dalam proses yang dialektis, hal tersebut menandai dimulainya babak baru dari persoalan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya
oleh negara dewasa ini. Betapapun, prinsip universalisme HAM yang tidak mengenal batas-batas ideologi dan wilayah, pada prakteknya saat ini khususnya di negara-negara dunia ketiga mengalami kendala yang serius. Proses globalisasi
ekonomi ditandai dengan ekspansi modal internasional dan agenda pasar bebas. Lewat sejumlah lembaga-lembaga keuangan Internasional seperti IMF dan Bank Dunia, serta lembaga perdagangan internasional WTO, memaksa sejumlah
negara untuk agenda reformasi kebijakan ekonomi yang menguntungkan negara-negara industri maju dan perusahaan multinasional. Hal tersebut disebabkan mereka –para negara di dunia ketiga- akibat krisis dan kemiskinan yang
dialaminya, terpaksa harus mengikuti agenda ekonomi neoliberalisme melalui perangkat pinjaman luar negeri.
Lewat kontrol ekonomi yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia, negara-negara dunia ketiga saat ini terhimpit oleh beban pembayaran utang luar negeri yang sangat besar. Akibatnya para pemerintahan di negara-negara tersebut terpaksa
melakukan pemotongan anggaran sosial untuk kebutuhan rakyatnya. kebijakan pencabutan subsidi, privatisasi, dan pembukaan peluang pasar ekonomi adalah sejumlah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara yang pada
umumnya menjadi pasien dari IMF dan Bank Dunia. Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, sejalan dengan pemikiran ekonomi neoliberal meyakini bahwa perlindungan sosial negara terhadap rakyatnya berakibat
pada tidak berjalannya mekanisme pasar yang efisien dan kompetitif. Sehingga menyebabkan tidak terjadinya proses akumulasi modal yang akan menuntun pada kesejahteraan masyarakat. Tentu saja, secara teoritis pandangan ini
mencerminkan pengingkaran terhadap fungsi negara dalam memenuhi kebutuhan sosial rakyat.
Dari pengalaman krisis yang terjadi di Asia Timur tahu 1997, Stiglitz membenarkan bahwa lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia telah melakukan praktek yang kontradiktif dan memicu krisis berkepanjangan di
beberapa negara di Asia yang menjadi pasiennya. Bagi Stiglitz, sesungguhnya negara-negara yang paling mampu bertahan selama dan sesudah krisis Asia adalah negara-negara yang tidak mengikuti resep standar neoliberal dari IMFdepkeu AS.
Seperti apa yang telah dilakukan oleh Cina dan Malaysia. Sebaliknya, negara-negara yang menjadi pasien IMF seperti Thailand, Korea, dan Indonesia hingga saat ini masih bergelut untuk menyelesaikan krisis ekonomi yang berkepanjangan
yang paling lambat pertumbuhan ekonominya. Akibat yang lebih parah adalah Indonesia, demi memprioritaskan pembayaran beban utang yang mustahil terbayarkan, pemerintah mengorbankan pemberian subsidi untuk rakyat yang
menjadi nafas dalam situasi krisis di negeri ini.
Dengan kata lain, neoliberalisme menjadi penghambat utama bagi terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negara. Berikut adalah lima bentuk kontradiksi antara neoliberalisme dan penegakkan hak ekosob oleh negara dewasa ini.
Pertama, fungsi pasar dengan hukum-hukumnya adalah layaknya dunia mekanis Newtonian. Akan ada gangguan-
gangguan yang dapat menghalangi berfungsinya pasar, yang perlu disingkirkan. Dari sudut perekonomian neoliberal, perjuangan dan advokasi hak asasi manusia misalnya perjuangan kaum buruh adalah bentuk gangguan yang dimaksud.
Sebagai contoh, perjuangan kaum buruh dalam menuntut kenaikan upah dan hak cuti selalu menjadi persoalan di negera- negara dunia ketiga. Sebab, bagi hukum pasar ekonomi kapitalis, negara-negara dunia ketiga merupakan produsen bagi
berlimpahnya barang baku dan buruh murah yang siap dieksploitasi. Kedua
, garis hidup perekonomian neoliberal adalah kekuatan kompetisi, di mana yang kuat akan bertahan hidup dan yang tidak akan musnah. Segala hal yang didasarkan pada prinsip kesetaraan equality bertentangan dengan dinamika ekonomi
semacam ini. Bila kita perhatikan, pandangan tersebut segaris dengan pemikiran yang dianut oleh seorang penganjur neolib
14
Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 59.
yang paling kukuh, Perdana Menteri Inggris Margareth Tatcher. Dia adalah seorang darwinis sosial yang menggariskan bahwa kompetisi adalah syarat utama bagi tersedianya alokasi sumberdaya yang memadai.
15
Ketiga , di dalam dunia kontemporer, praktek hak asasi manusia seharusnya menempatkan subyek, yakni kaum korban pada
titik pusatnya. Akan tetapi yang terjadi adalah, kehidupan ekonomi modern dengan hegemoni kapitalisme neoliberal, beroperasi melalui dissolution subject.
16
Keempat , perekonomian neoliberal dan pasar didasarkan kepada model pembangunan tertentu yang terhomogenisasi.
Model pembangunan ini, yang terkait dengan globalisasi telah menjadi pelanggar hak asasi manusia yang amat kasar.
17
hal tersebut dapat dibuktikan. Akibat bentuk kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh Bank Dunia terhadap
negara-negara di selatan, telah mengakibatkan pengalihan kekayaan secara besar-besaran dari lapisan masyarakat bawah ke lapisan puncak. Serta menyebabkan ketimpangan yang terjadi antara utara-selatan semakin bertambah dari masa ke masa.
Kelima , ketidaksesuaian antara pasar dan hak asasi manusia secara alamiah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi bagi
negara. Setiap negara yang mempromosikan perekonomian neoliberal dan pasar kapitalis akan mendapatkan halangan yang besar dalam hal perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak ekosob. Karena negara dalam paradigma ekonomi ini,
mendapatkan perlakuan hanya sebagai “anjing penjaga malam” yang tidak punya kekuatan yang signifikan. Keenam
, neoliberalisme menyebabkan terjadinya proses akumulasi kekayaan individu. Yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kepemilikan. Orang miskin, dengan instrumen HAM sekalipun, tidak dapat serta merta
menagih haknya. Oleh karena sistem ekonomi yang berlaku di dunia saat ini membenarkan proses itu terjadi. Sebagai contoh, laporan terakhir UNDP menyebutkan, secara akumulatif 225 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan sebesar
lebih dari US 1 trilyun yang juga merupakan total income dari 47 masyarakat miskin yang berjumlah 2,5 milyar jiwa.
18
Uraian di atas menunjukan bahwa dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negera-negara di dunia, khususnya di Selatan mengalami kendala yang serius akibat kebijakan ideologi ekonomi neoliberalisme yang dipaksakan.
Pada akhirnya, pertarungan di tingkat internasional dalam perumusan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga tidak dapat dihindari pertarungan ideologi antara kubu “liberal-kapitalis” dan kubu “sosialis”.
C. Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak