BAB II
LANDASAN TEORI
A. Beberapa Pengertian Tentang Negara
A.1. Defenisi Tentang Negara Di Indonesia, pengertian tentang negara terkesan hanya didominasi oleh
beberapa kelompok, atau bahkan hampir satu kelompok saja. Apalagi sejak berkuasanya Orde Baru, pengertian tentang negara sedemikian rupa direduksi dan
disimplipikasi. Negara, dalam pengertian yang umumnya kita sering dengar adalah sebuah lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan
masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Karena itulah, istilah-istilah seperti “demi kepentingan umum,” “pembangunan untuk seluruh masyarakat,” serta
ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataan- pernyataan politik para petinggi negara di dunia ini. Sebagai konsekwensinya,
pengertian tersebut menjadi alasan yang ampuh bagi kelompok-kelompok kepentingan yang menguasai negara berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan
kepentingan lain di luar dirinya atau kelompoknya. Pandangan tentang negara sebagai lembaga netral sebenarnya hanya merupakan
salah satu teori di antara sekian banyak teori-teori yang ada tentang negara. Karena itu dalam skripsi yang saya tulis ini, saya akan menguraikan secara singkat beberapa
pandangan lain atau teori lain tentang negara.
Prof. Miriam Budiarjo, dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, mengatakan bahwa negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok
dari kekuasaan politik. Menurutnya “… Negara adalah agency alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat….”
1
Sedangkan menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.
2
Dari dua pengertian di atas, dapat dimengerti betapa aspek kekuasaan dalam pembicaraan tentang negara begitu sangat menonjol. Teori tentang negara seperti ini
pada perkembangannya memang seringkali dijadikan legitimasi bagi penguasanya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya atas nama negara. Kekuasaan
negara dalam perspektif teori Marxis-leninis menjelma dalam konsep diktator proletariat. Alasan yang dipergunakan juga hampir sama dengan yang dikemukakan
oleh Hegel, yakni negara yang mengemban misi kesejarahan. Hegel menyatakan bahwa negara mempunyai misi untuk membawa masyarakat manusia merealisasikan
ide universal, yakni masyarakat yang merdeka. Keinginan negara menurut Hegel merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang. Karena itulah, negara
harus dipatuhi. Dalam konsep diktator proletariat yang dianut oleh kelompok marxisme, misi negara juga sama, yakni merealisasikan sebuah masyarakat yang
1
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 38
2
Arif Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996 h. 6
dianggap sebagai ujung terakhir dari proses sejarah, yakni masyarakat egalitarian, yang juga dikenal sebagai masyarakat komunis.
Mengambil inti dari ajaran Hegel, Karl Marx, yang juga sebagai murid Hegel menyatakan bahwa
“
Sejarah manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Di jaman feodal, terjadi pertentangan antara kelas bangsawan dan kelas petani; di jaman perbudakan, kelas pemilik
budak dan budaknya; di jaman kapitalisme, kelas pemilik modal dan melawan buruhnya. Pertentangan kelas baru akan berhenti tatkala kelas buruh berkuasa dan terciptanya
masyarakat komunis.
”
3
Dari penjelasan mengenai teori kekuasaan negara di atas, terlihat bahwa negara merupakan sebuah lembaga yang mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan
sendiri. Negara memiliki misinya sendiri, yakni menciptakan masyarakat yang lebih baik. Atas dasar ini, negara bukan lagi merupakan lembaga yang pasif, yang
kemudian menjelma menjadi alat dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Tetapi, secara aktif mencampuri urusan masyarakat, untuk menciptakan
masyarakat yang lebih baik. Dalam perspektif yang lain, dikemukakan bahwa negara bukanlah merupakan
lembaga yang mandiri. Kebijakan yang dihasilkan negara ditentukan oleh faktor eksternal atau faktor di luar dirinya. Dia hanyalah sebuah arena di mana setiap
kekuatan sosial bertanding untuk menguasai.
4
Negara dalam pandangan ini ibarat
3
Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal. 21.
4
Alfred Stepan, The State and Civil Society Princeton: Princeton University Press, 1978 h. 33.
kertas kosong dan bersih yang siap ditulisi oleh siapapun, bukan oleh kertas itu sendiri.
Ada dua kelompok utama yang mewakili pandangan tersebut. Kelompok pertama diwakili oleh kaum pluralis. Mereka mengatakan bahwa negara hanya
melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam yang ada di masyarakat. Kebijakan negara adalah hasil dari sebuah kompromi dari kekuatan-kekuatan tersebut, tidak ada
yang mendominasi. Kalaupun ada, hal tersebut lahir dari sebuah persaingan yang demokratis. Dalam pemikiran kaum pluralis, negara hanya hanyalah sekedar wahana
politik di mana terjadi saling kontestasi untuk memperoleh kekuasaan negara. Lain halnya dengan kelompok kedua. Dalam hal ini diwakili oleh kelompok marxian. Bagi
kaum marxis, negara dikendalikan oleh kelompok atau kelas yang paling dominan dalam masyarakat. Kelompok atau kelas yang dominan ini secara terus menerus akan
menduduki posisi dominan tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena kondisi ekonomi-politik masyarakat menghendaki demikian. Mengutip pendapat seorang
pemikir marxian, Fernando Henrique Cardoso 1979,
5
yang mengatakan bahwa negara adalah “aliansi dasar, ‘fakta dominasi’ utama dari klas-klas sosial yang ada
atau dari fraksi-faksi klas yang dominan, serta aturan-aturan yang menjamin kekuasaan mereka terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya”.
Dengan demikian, bila kita mencermati pemikiran kelompok marxis ini, yang perlu diteliti adalah sistem ekonomi-politik satu masyarakat. Bilamana sistem
ekonomi-politiknya dalah kapitalis, maka yang berkuasa dan menjadi kelas yang
5
Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal. 43.
dominan dalam negara adalah klas borjuis. Maka wajar jika kelompok marxis ini mengatakan bahwa negara hanya merupakan alat bagi kepentingan kelompok borjuis
untuk merealisasikan dan meraih cita-cita ekonomi-politiknya sendiri. Kalaupun ada bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara terhadapa kelompok lain, hal
tersebut hanyalah bersifat semu. Karena sama sekali tidak merubah watak dasar negara yang menjadi alat dari kelas borjuis.
Di atas segalanya, dari berbagai perspektif dan teori yang muncul tentang negara, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah governed oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-
undangannya melalui penguasaan kontrol monopolistis dari kekuasaan yang sah.
A.2. Peran dan Fungsi Negara Sebagai sebuah lembaga yang mendapatkan kekuasaan yang sah untuk
memaksakan tujuan-tujuan bersama masyarakat, negara dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan
dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, ataupun negara itu sendiri. Dengan demikian dia dapat membimbing kelompok-kelompok
sosial di dalamnya kepada tujuan bersama. Secara umum dapat disebutkan dua peran utama negara:
6
6
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, cet. XXI, h. 39.
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni
yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan
2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-
golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi –asosiasi kemasyarakatan
disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya.
Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur; maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang
memperjuangkan kekuasaan, harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini.
Dalam lapangan ekonomi, ketika konsep negara modern muncul pada abad ke-17, negara samasekali tidak terlibat dalam bidang
ekonomi. Negara hanya berperan menarik pajak dari warga negara. Baru ketika ekonomi Keynesian diintrodusir pada tahun 1930-an,
keterlibatan negara di dalam ekonomi muncul secara perlahan dan masuk dalam banyak bidang. Beberapa pola keterlibatan negara
dalam ekonomi menurut Chrstopher pierson dalam bukunya The
Modern State adalah sebagai berikut:
7
a. Negara sebagai pemilik; yakni negara mempunyai hak atas kepemilikan tanah
maupun modal. Di Indonesia oleh pasal 33 UUD 2002 ditetapkan bahwa
7
Ignatius Wibowo,
Francis Wahono,
dkk., Neoliberalisme
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003, cet. I, h. 271.
negara “menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”
b. Negara sebagai pemilik dan produsen; yaitu negara adalah sebagai pemilik
perusahaan-perusahaan milik negara yang menjadi pilar utama dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan ini pada umumnya bergerak di bidang
yang menyangkut kepentingan umum, seperti air, minyak, gas, dan lainnya. c.
Negara sebagai majikan; yaitu negara memberikan peluang kerja bagi rakyatnya. hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan
negara. d.
Negara sebagai regulator; negara diberikan kewenangan untuk melakukan intervensi secara administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku
aktor-aktor pasar. e.
Negara sebagai redistributor; yaitu negara menjalankan tugas memeratakan kekayaan dengan cara penarikan pajak.
f. Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi; Dalam hal ini Pierson
menegaskan 4 hal: 1 negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi 2 negara menetapkan kebijakan moneter 3 negara menetapkan kebijakan di
bidang pendapatan income. Hal ini dilakukan untuk memeratakan pendapatan 4 negara membuat kebijakan industrial policy, yang mempunyai
pengaruh langsung kepada industri. Mengenai tujuan sebuah negara, Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-
dasar Ilmu Politik mengatakan bahwa “… Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama….”
Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya bonum publicum, common good, common weal. Artinya, secara
umum, dan terlepas dari ideologi apapun yang dianut sebuah negara, negara mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan dan berusaha untuk
mensejahterakan rakyatnya. Pandangan tentang tujuan negara tersebut secara eksplisit juga tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan negara Republik Indonesia. Yaitu:
“untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dengan berdasarkan
kepada: Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmahkebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
”8
Setiap negara, menurut Prof. Miriam Budiarjo terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu yaitu:
9
Melaksanakan penertiban law and order; untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus
melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai “stabilisator”.
8
Undang-Undang Dasar 1945 Hasil AmandemenProses Amandemen UUUD 1945 Secara Lengkap Pertama 1999 – Keempat 2002, Jakarta: Sinar
Grafika, 2002, cet. I, h. 3.
9
Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 46.
Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap penting. Terutama bagi negara-negara baru.
Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat pertahanan.
Menegakkan keadilan; hal ini dilakukan melalui badan peradilan. Diskursus teoritik tentang peran negara berkembang sangat jauh pada dekade
akhir abad 20. Khususnya terkait dengan fungsi dan perannya dalam menghadapi era baru bernama globalisasi. Praktek dominan dari peran negara digugat, intervensi yang
berlebihan terhadap segala lapangan kehidupan masyarakat dianggap menjadi penyakit dunia di abad modern.
Menyangkut peran negara bangsa, Kenichi Ohmae, sebagai pendukung tesis ekstrim globalisasi mengatakan bahwa dalam pasar dunia yang semakin kompetitif
sekarang ini negara-negara bangsa nation state tidak lagi mempunyai sumber- sumber yang tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mendukung
dalam mewujudkan ambisi mereka.
1
Dalam dunia baru, yaitu “dunia tanpa batas negara” a world without borders, demikian Ohame mengatakan, negara-negara
bangsa dan penguasaan terhada militer tidak lagi memainkan peran penting.
2
Bahkan peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan akan segera digantikan oleh
peran penting yangs emakin meningkat oleh aktor-aktor nonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan multinasional dan orgaisasi-organisasi internasional.
1
Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas Jakarta: Binarupa Aksara, 1991, cet I, h. 11.
2
Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara Dalam Pembangunan Yogyakarta: Tajidu Press, 2005, cet. I , h. 44.
Oleh karenanya, diskusi tentang peran negara dalam wacana politik internasional tetap penting dikemukakan. Kajian ini secara teoritik akan
menempatkan letak persoalan yang sesungguhnya tentang globalisasi dan peran negara. Seperti yang diungkapkan secara tegas oleh Stiglitz, “…isunya bukan apakah
globalisasi bisa menjadi kekuatan pendorong kebaikan yang bermanfaat bagi kaum miskin dunia; jelas itu bisa. Melainkan, perlunya globalisasi dikelola secara tepat
karena seringnya dikelola secara serampangan….”
3
Beberapa Pengertian Tentang Globalisasi
B.1. Definisi Globalisasi
Sebagai sebuah istilah, globalisasi lebih sering diungkapkan dan diperbincangkan tanpa berhasil mengungkap inti dari persoalannya.
Pembicaraan ilmiah terasa kurang lengkap tanpa mengutip kata globalisasi. Presentasi bisnis menjadikan perbincangan soal
globalisasi sebagai isu menarik dan sebuah tantangan yang harus dihadapi. Singkatnya, kata globalisasi dalam dasawarsa terakhir
berhasil menyedot perhatian masyarakat dunia secara umum. Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan
untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Memasuki milenium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga
menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya saling ketergantungan
interdependence dalam hampir seluruh
3
Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia Tangerang, Marjin Kiri, 2006, cet I, h. 215.
dimensi kehidupan dalam hubungan antar bangsa nation-state dan
hubungan transnasional transnational relation. Perubahan-
perubahan yang sangat cepat inilah yang kemudian disebut dengan globalisasi.
Dalam sebuah proses yang dialektis, pandangan-pandangan yang muncul tentang globalisasi setidaknya melahirkan dua kelompok
. Pertama, adalah kelompok yang optimis terhadap globalisasi.
Mereka menganggap globalisasi tidak hanya riil di mana perkembangan pasar global jauh lebih pesat dari tahun 1960 – 1970-
an. Karena pada prosesnya, globalisasi memberi peluang besar bagi perkembangan manusia. Perkembangan tersebut dapat ditunjuk
dari keterkaitan antara “keterbukaan ekonomi suatu negara dengan perbaikan kondisi hidup, khususnya secara mencolok di negara-
negara berkembang, diukur lewat Human Development Index”.
Selain itu, berkah globalisasi juga dapat dilihat dari terbukanya peluang komunikasi seluas dunia, sehingga memungkinkan terjadi
komunikasi dan kerjasama seluas dunia itu pula. Konsep globalisasi menurut kelompok ini merupakan fenomena di mana batas-batas
negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan. Persoalan kontemporer saat ini tidak dapat dipelajari secara memadai hanya
pada tingkatan negara bangsa dalam hubungan-hubungan internasional.
4
Kelompok kedua, adalah mereka yang skeptis
terhadap globalisasi. Mereka berpendapat semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Proses
4
Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan, hal. 37.
globalisasi memunculkan efek-efek negatif yang menghambat perkembangan manusia. Ancaman-ancaman dan perusakan atas
kehidupan manusia dan kehidupan bumi menjadi masalah serius yang kita hadapi masa kini. Misalnya saja, di tengah 826 juta
penduduk bumi menderita kekurangan gizi dan 10 juta orang mati karena tidak mempunyai akses terhadap kesehatan,
5
terjadi kesenjangan dan ketidakmerataan pembagian konsumsi secara
tajam, yaitu antara negara maju dan negara-negara miskin. Secara singkat, globalisasi hanya melahirkan wajah muram dunia akibat
ancaman kerusakan, baik ekologis, sosial, ekonomi dan budaya. Setelah kita melihat pandangan-pandangan tentang dampak dari
globalisasi, seyogyanya kita memahami secara definitif arti dari globalisasi itu sendiri. Setidaknya ada tiga hal yang sering kita
temukan dalam mendefinisikan globalisasi, yaitu kesalinghubungan, integrasi, dan kesalingterkaitan.
Definisi tentang globalisasi dalam perspektif kesalinghubungan adalah seperti yang
pertama, dikemukakan oleh Lodge 1991 yang mendefinisikan bahwa globalisasi sebagai suatu proses yang
menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan
mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.
6
Dengan pengertian demikian, maka globalisasi boleh dikatakan bahwa masayarakat dunia hidup dalam era di mana
5
Laporan World Health Organization WHO, 2001.
6
Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan, hal. 39.
sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh proses- proses global.
Definisi kedua tentang globalisasi seperti yang diungkapkan oleh
Ichlasul Amal bahwa globalisasi merupakan proses munculnya masayarakat global, yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik,
dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembaga- lembaga politik dunia.
7
Definisi inilebih mirip dengan keyakinan kaum globalis yang memahami globalisasi sebagai terwujudnya
sebuah ekonomi dunia yang terintegrasi. Bangsa-bangsa yang mendukung pandangan ini dengan cara menghilangkan hambatan-
hambatan terhadap perdagangan internasional, sehingga memudahkan arus perdagangan, investasi, dan mata uang secara
bebas melintasi batas-batas nasional. pada konteks ini, sesungguhnya integrasi ekonomi nasional menuju sistem global yang
dikenal dengan globalisasi korporasi telah terjadi. Kesepakatan tersebut secara teoritik berhasil memaksakan keinginan
perusahaan-perusahaan korporasi global untuk mendesakkan terjadinya reformasi kebijakan nasional deregulasi di negara-
negara dunia ketiga.
8
Konsep ketiga adalah interdependensi, definisi ini mencakup
pengertian bahwa sistem ekonomi, khususnya sistem moneter dunia saat ini tergantung antara satu dengan yang lain. Akibatnya,
7
Ichlasul Amal, “Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara: Perspektif Pembangunan Jangka Panjang,” dalam Wawasan Nusantara
Indonesia Menghadapi
Globalisasi, Pusat
Kajian Kebudayaan
Universitas Bung Hatta, 1992, cet. I, h. I.
8
Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme Yogyakarta: INSIST Press, 2003, cet. I, h. 9.
kebijakan-kebijakan pada skala nasional tidak dapat begitu saja mengabaikan peristiwa-peristiwa di tingkat global, begitupun
sebaliknya.
9
Kejatuhan mata uang di Asia beberapa waktu lalu dengan mudah dapat dijadikan kasus untuk menjelaskan konsep ini.
Dimulai dengan kejatuhan mata uang Bath di Thailand yang diikuti oleh kejatuhan mata uang negara-negara lain yang menjadi
tetangganya, seperti Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan Filipina. Ini terjadi karena kesalinghubungan
interconection antara sistem keuangan satu negara dengan sistem keuangan negara lain.
Di sisi yang lain, penulis seperti Petras dan Veltmeyer melihat globalisasi sebagai suatu deskripsi dan sekaligus sebagai preskripsi.
10
Sebagai sebuah deskripsi, globalisasi mengacu pada perluasan dan dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi dan informasi
internasional dalam sebuah pasar global yang menyatu. Konsep ini digunakan untuk menggamparkan fenomena dunia kontemporer di
bidang ekonomi dan perdagangan di mana batas geografis negara bangsa tidak lagi mempunyai makna. Sebagai sebuah perskripsi,
globalisasi meliputi liberalisasi pasar global dan pasar nasional dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal, dan
informasi akan menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan dan kemakmuran manusia.
9
Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan, hal. 40.
10
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21 Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002, Cet. I, h. 7-8.
B.2. Prinsip-prinsip Globalisasi
Globalisasi, dalam kerangka pemikiran seperti yang sudah ditulis diatas, adalah memastikan terbukanya jalan bagi perluasan wilayah dan praktek kerja bagi pasar
bebas. Dalam konteks ini diperlukan seperangkat aturan-aturan yang mendukung berjalannya proses tersebut. Bagi penganut globalisasi, pasar bebas adalah
konsekwensi logis dari sebuah dunia yang berubah. Globalisasi dalam bahasa Hobbes mengizinkan “pembeli untuk menentukan harga manusia pada skala besar-besaran,
yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.
11
tetapi pandangan- pandangan mengenai globalisasi dan pasar bebas di atas tidak dapat menjelaskan
bahwa seiring dengan globalisasi, pendapatan negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang kurang berkembang less developed countries jauh lebih
menurun dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya negara- negara maju semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh
lebih tinggi. Di sinilah globalisasi masuk dalam skenario ekonomi-politik neoliberalisme. Para penganut ekonomi neoliberalisme, percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi dicapai dengan hasil normal dari “kompetisi bebas.” Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah lebih efisien dan cara
yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk
11
Susan George, Republik Pasar Bebas Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 2002, cet. I, h. 62.
memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya alam telah habis atau masih banyak.
12
Dalam prosesnya globalisasi neoliberal kemudian menganjurkan cara-cara yang kurang lebih sama dari apa yang disarankan oleh maha guru ekonomi pasar bebas,
Adam Smith. Yaitu memberikan kebebasan bagi individu untuk menjalankan aktivitas ekonominya tanpa dikontrol oleh negara. Dalam proses ini, negara
diupayakan menjalankan peran yang minimal. Sebab regulasi negara hanya akan membuat “pasar” menjadi tidak efisien, atau menghambat peluang bagi individu
untuk mengakumulasi modal dan menjalankan prinsip invisible hand dalam setiap keputusan-keputusan bisnis.
Dalam hal ini, proses globalisasi kemudian menjelma menjadi alat bagi kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju untuk menguasai sumber daya
di negara-negara dunia ketiga. Dan prinsip bahwa dunia menjadi semakin sejahtera bilamana memanfaatkan peluang-peluang dalam proses globalisasi yang semakin
agresif hanya lah menjadi mimpi rakyat di negara-negara miskin dan berkembang. Kecenderungan ke arah ketidaksetaraan yang lebih besar antara negara-negara
maju dan berkembang ini bukanlah kebetulan dan bukan merupakan tindakan tuhan. Kecenderungan ini merupakan efek yang terbangun atas liberalisasi, privatisasi, dan
12
Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme Yogyakarta: INSIST Press, 2003, cet. I, h. 5.
integrasi yang dipaksakan ke pasar dunia melalui penyesuaian struktural, dan lebih mengandalkan kekuatan pasar.
13
B.3. Aktor-aktor Globalisasi
Globalisasi sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh tiga
aktor utama proses tersebut. Yang pertama adalah Trans-National
Corporation TNC, yakni perusahaan multinasional yang besar yang dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNC
tersebut membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan
World Trade Organization WTO. Secara historis, proyek globalisasi lewat pembentukan WTO ini terjadi
ketika ditetapkannya formasi sosial global baru yang ditandai dengan kebijakan
free trade atau pasar bebas. Kebijakan tersebut lahir dari sebuah kesepakatan perjanjian internasional tentang
perdagangan di Marrakesh, Maroko pada tahun 1994. Perjanjian tersebut dikenal dengan
General Agreement on Tariff and Trade GATT
. Kumpulan aturan internasional dalam Perjanjian GATT menyangkut prinsip perilaku perdagangan antar pemerintah, forum
negoisasi, dan upaya untuk menyelesaikan perselisihan dagang antar bangsa. Kesepakatan ini dibangun di atas asumsi bahwa sistem
dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sitem dagang yang proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan
bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-
13
George, Republik Pasar Bebas, hal. 66.
prinsip efektivitas dan efisiensi. Tepat satu tahun setelah ditanda tanganinya perjanjian GATT, yaitu pada tahun 1995 barulah
didirikan sebuah organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal dengan
World Trade Organization WTO. Organisasi ini dibentuk untuk mengambil alih peran GATT,
dan menciptakan sebuah rezim perdagangan baru dunia. Aktor kedua yaitu
TransMulti Nasional Coorporation TNC. Untuk menjelaskan makhluk seperti apa TNCMNC ini, penuturan dari
Omer Voss, wakil presiden eksekutif Internasional Hervester memberikan ilustrasi yang menarik. Dia mengatakan: “jika Anda
mempunyai sebuah perusahaan patungan di Turki, dengan mesin- mesin dari Jerman, sebuah sasis dari Amerika Serikat dan sebuah
sumber komponen setempat, anda harus menyentralisasikannya. Anda mungkin harus menamakan kami terpusat dalam hal pola,
pengembangan hasil produksi, pembelian, dan keuangan.”
14
Dari apa yang dikatakan Voss, kita bisa mengidentifikasi perusahaan-
perusahaan multinasional sebagai perusahaan yang kegiatan bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di
berbagai negara. Pada era globalisasi, di mana pasar bebas menjadi prinsipnya
perusahaan-perusahaan transnasional memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Edward Luttwak dalam bukunya
Turbo Capitalism Winnerlosser In The Global Economi menuliskan bahwa “…Pasar
bebas secara alamiah cenderung menjadi tidak bebas, karena
14
Coen Husain pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa Jakarta: C-Book, 2003, cet. I, h. 57.
mereka menghasilkan perusahaan-perusahaan yang sangat sukses yang bertumbuh semakin besar hingga akhirnya menjadi monopoli,
atau sejenisnya….”. Monopoli kekuasaan atas perdagangan dunia oleh perusahaan trans nasional ini tidak hanya mencakup sektor
industri dan perbankan. Tetapi juga sektor pertanian, konstruksi, komunikasi, transportasi, pertahanan keamanan serta perdagangan
dan jasa. Data yang diperoleh Coen Husein Pontoh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah perusahaan multinasional
lebih dari 45.000, 500 perusahaan terbesar menguasai 80 persen dari seluruh investasi asing langsung. Perusahan-perusahaan
multinasional juga mengontrol sekitar 70 persen dari seluruh perdagangan dunia. Lima perusahaan terbesar di dunia menguasai
77 persen perdagangan biji-bijian padi, jagung, gandum, dsb. di dunia; tiga perusahaan pisang terbesar menguasai 80 persen
perdagangan pisang dunia; tiga perusahaan cokelat terbesar menguasai 83 persen perdagangan cokelat dunia.; tiga perusahaan
teh terbesar menguasai 85 persen perdagangan teh; dan empat perusahan tembakau terbesar mengusai 87 persen perdagangan
tembakau dunia.
15
Pada dasarnya semua proses pengintegrasian ekonomi nasional menjadi ekonomi global globalisasi merupakan harapan dan hasil
perjuangan dari perusahaan-perusahaan trans nasional. Kerena sesungguhnya merekalah yang mengambil keuntungan dari semua
proses tersebut. Selama dua dekade menjelang berakhirnya abad
15
Pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa, hal. 62.
lalu perusahan TNC tersebut meningkat secara kuantitas dari sekitar 7000 TNC pada 1970 menjadi 37.000 TNC pada 1990. Pada
saat tersebut mereka menguasai 67 perdagangan dunia antar TNC dan menguasai 34,1 dari total perdagangan global. Kini ada 100
TNC yang mampu mengontrol sampai 75 perdagangan global.
16
Ketiga, adalah lembaga keuangan global. Yaitu International
Monetery Fund IMF, dan Bank Dunia. Dua aktor keuangan internasional ini berdiri pada tahun 1944. Ketika itu banyak negara-
negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga Breeton Wood -IMF
dan Bank Dunia- dirancang untuk memungkinkan perdagangan internasional saat macetnya pergerakan modal internasional. Bank
Dunia dirancang untuk menutupi kekurangan investasi langsung dan IMF untuk menutupi kekurangan kredit finansial demi menjaga
keseimbangan perdagangan. Pada akhirnya, dua lembaga ini yang pada perjalanannya membuat proses globalisasi menjadi semakin
nyata. Lewat mekanisme utang luar negeri, IMF dan Bank Dunia bekerja untuk memastikan agenda
Stuctural Adjustment Program SAP dilaksanakan oleh negara yang menjadi “pasien” nya. Agenda
tersebut mencakup prinsip-prinsip yang ada dalam Konsensus Washington. Yaitu liberalisasi perdagangan dan keuangan,
privatisasi, dan deregulasi. Menurut Stiglitz, gagasan fundamentalisme pasar tercermin dalam strategi dasar
pembangunan yang dianjurkan oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS mulai tahun 1980-an strategi yang
mencakup juga pengelolaan krisis serta proses transisi dari
16
Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, hal. 214.
komunisme ke ekonomi pasar.
17
Oleh berbagai pihak strategi ini disebut sebagai “neoliberalisme”. Karena pemain-pemain utama
yang merencanakan semua ada di Washington, kadang disebut juga “Konsensus Washington”.
Walaupun sesungguhnya seperti yang dicatat oleh Susan George, seorang aktivis
Association for Taxation of Financial Transaction to aid Citizen ATTAC Prancis, bahwa ketika IMF dan Bank Dunia
diciptakan di Breeton Woods mandat mereka adalah untuk menolong mencegah konflik di masa depan, dengan cara memberi
pinjaman untuk rekonstruksi dan pembangunan, dan dengan melicinkan pembayaran neraca kontemporer. Mereka tidak
memiliki kontrol terhadap keputusan ekonomi pemerintah secara individual, juga mandat mereka tidak mencakup izin untuk
mencampuri kebijakan nasional. Tetapi, pada prakteknya dua lembaga ini justeru berfungsi sebagai “pasukan kavaleri” bagi
masuknya kebijakan globalisasi neoliberal dengan melakukan sejumlah kontrol atas kebijakan negara.
Sederhananya, ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan- aturan di seputar investasi,
intelectual Property Rights dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau
mempengaruhi serta memaksa negara-negara untuk melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses
pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.
17
Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia Tangerang: Marjin Kiri, 2006, cet. I, h.
243.
B.4. Globalisasi; Anak Kandung Kapitalisme
Kapitalisme di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan. Namun negara-negara kapitalis atau imperial pusat telah
mampu mengantisipasi hal tersebut, dimana untuk mempercepat laju kapitalisme diperlukan sebuah proses yang disebut dengan globalisasi.
Krisis terhadap pembangunan yang terjadi pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses ini pada
dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode; fase pertama adalah periode kolonialisme yakni perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Berakhirnya
kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo-kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan
atau era developmentalisme dan ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini, dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui
kontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Dengan kata lain, pada fase kedua ini, kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta ‘diskursus’ yang dominan melalui
produksi pengetahuan. Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Fase ketiga, yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan
liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural Adjustment Program SAP oleh lembaga finansial global, dan disepakati oleh rezim GATT dan Perdagangan Bebas, suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat
itulah dunia memasuki era yang dikenal dengan globalisasi.
Kapitalisme, yang menjadi basis sistem dan gerak operasi dari proses globalisasi saat ini tentu saja mempunyai kekhasannya tersendiri. Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L Friedmean dan beberap
penulis yang lain, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan umat manusia untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi “rival” kapitalisme, telah meyakinkan sebagian
kelompok ini bahwa globalisasi dan liberalisasi pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sosialisme ataupun
komunisme.
18
Rezim kapitalisme global yang berjaya sekarang memiliki sejumlah hal baru yang membuatnya berbeda dari bentuk sebelumnya. Kecepatan komunikasi yang merupakan salah satu hal baru, penemuan telepon dan telegraf
mencerminkan suatu akselerasi yang setidaknya sama besar dengan perkembangan komputer saat ini. Tetapi, secara operasional, praktek kapitalisme mutakhir tetap mewarisi tradis lama kapitalisme. Prinsip kebebasan pasar dan mendorong
kebebasan individual dalam menentukan gerak aktivitas ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dihilangkan. Lebih luas lagi, globalisasi yang dikontrol oleh rezim kapitalisme global ini mencakup wilayah yang lebih luas dari kekuasaan yang
dimiliki sebelumnya. Ia mengatur seluruh peradaban, walaupun sebenarnya dia tidak memiliki struktur formal kedaulatan negara, sebagaimana kekuasaan itu lahir darinya. Yang pada akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh George Soros,
sistem kapitalisme global memperlihatkan sejumlah kecenderungan imperialistik. Alih-alih berupaya membangun ekuilibrium, ia bahkan sibuk melakukan ekspansi. Ia tidak berhenti sepanjang masih ada pasar atau sumber daya yang
belum dicaplok.
19
Dalam bahasa yang diungkapkan Petras, karena globalisasi merupakan sebuah proyek kelas, bukannya sebagai proses yang niscaya, maka jaringan lembaga-lembaga yang menentukan sistem perekonomian global yang baru
dilihat bukan dalam pengertian struktural, tetapi dalam pengertian kesengajaan atau ketergantungan, yang dikendalikan oleh kelompokorang yang merepresentasikan dan mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional
baru. Karena itu, Petras lebih senang menyebut globalisasi sebagai imperialisme.
20
Dari penjelasan di atas, sejatinya kita saksikan bahwa globalisasi yang menjadi “obat kuat” bagi terjaminnya masa depan dunia malah menjadi momok yang menakutkan. Propaganda kapitalisme tentang globalisasi justeru mengantarkan
kita pada ketidakjelasan memaknai hakikat dari perkembangan dunia saat ini. Kapitalisme, sebagai anak kandung dari globalisasi dan sekaligus poros dari liberalisasi ekonomi menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan
kesejahteraan sosial. Untuk itu diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa dan bagaimana sebuah negara-bangsa dibentuk dalam kaitannya dengan globalisasi dan pemenuhan hak-hak sosial masyarakat.
C. Welfare State