Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhlak merupakan cerminan jati diri seseorang dia beriman atau tidak, dan menjadi salah satu yang menjadi perhatian bangsa ini yaitu pembinaan karakter atau pembinaan akhlak. Akhlak sangat penting diperhatikan baik di kalangan orang tua, keluarga ataupun guru di sekolah. Kemunduran di bidang akhlak atau karakter telah menyebabkan banyak hal, hal tersebut disebabkan orientasi keberhasilan pendidikan hanya diukur oleh tingkat intelektualitas siswa saja. Dewasa ini orang sudah mendewakan otak. Manusia terlalu bangga dengan kepintaran saja dan kita sering melihat orang tua senang melihat prestasi anaknya bagus sedangkan ahklaknya jelek. Sementara itu pembinaan akhlak yang membentuk pribadi berkarakter kurang mendapat perhatian. Contoh, tidak sedikit orang tua bahkan guru menilai keberhasilan pendidikan adalah dengan lulusnya Ujian Nasional. Mereka tidak memperhatikan pola fikir dan tingkah laku anak didik tersebut di luar lembaga. Misalnya, mereka terlibat geng anak sekolah yang kerap kali meresahkan masyarakat karena melakukan tawuran dan pencurian secara kolektif dan atau perusakan fasilitas umum. Kasus video porno yang melibatkan siswa SMP sampai mahasiswa merupakan kesekian dari kasus kenakalan remaja yang terlihat. Kasus di atas tentu saja merupakan kasus yang sangat memperihatinkan dan sekaligus menunjukan hilangnya pendidikan akhlak dalam dunia pendidikan. 2 Mengubah masyarakat ternyata tidak mudah. Bangsa Indonesia ini sejak lama ingin mengubah diri, menjadi maju. Perubahan itu memang telah terjadi, tetapi tidak merata secara keseluruhan dan juga tidak selalu cepat. Apalagi perubahan yang dimaksudkan itu menyangkut perilaku, watak atau karakternya. Al-Quran sebagai wahyu terakhir dan menjadi kitab umat Islam di dunia yang sering terlupakan ternyata memberikan petunjuk, bagaimana melakukan perubahan pada tingkat yang mendasar ini. Petunjuk itu sedemikian komprehensif dan mendalam. Dan hal itu sebenarnya telah dilakukan oleh Rasulullah sejak diangkat menjadi Rasul, dan akhirnya diteruskan dari generasi ke generasi. Sedemikian tangguh konsep perubahan itu, hingga api atau semangat yang dihasilkan tidak pernah padam dan bahkan selalu menyala dan membakar jiwa atau semangat hati umat hingga pada saat ini. Melalui perenungan yang mendalam dari membuka-buka sejarah turunnya Al Qurán, penulis mendapatkan rumusan tahap-tahap perubahan itu adalah sebagai berikut. Pertama, perubahan itu harus dimulai dari proses membaca. Oleh karena itulah maka ayat pertama yang diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca, atau “Iqra” merupakan fiil amr bentuk perintah dari bahasa Arab yang kata dasarnya adalah qara’a. Membaca terhadap lingkungan yang luas, lengkap dan mendalam akan melahirkan kesadaran. Kegiatan membaca secara seksama, oleh siapapun dan apalagi bagi orang-orang yang cerdas, akan menghasilkan pengertian, pemahaman, wawasan yang luas dan lengkap. Orang yang tahu atau mengerti akan berbeda dengan orang yang tidak tahu 3 atau tidak mengerti. Al-Qurán juga mengatakan begitu. Betapa pentingnya kegiatan membaca harus dilakukan oleh setiap orang, karena rupanya membaca adalah merupakan pintu dan bahkan kunci utama dari semua keberhasilan hidup ini. Kedua, adalah penyadaran. Orang yang memiliki kesadaran penuh terhadap diri, alam, dan juga Tuhannya, akan melakukan gerakan perjuangan. Oleh karena itu, Al-Qurán menyeru kepada orang-orang dengan sebutan berselimut sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Mudatsir ayat 1-2 sebagai berikut: ☺ ֠ Artinya : Hai orang yang berkemul berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan Berselimut menggambarkan orang yang pasif, tidak bergerak dan bahkan juga terbelenggu, yaitu terbelenggu oleh selimutnya itu. Seruan itu membangkitkan orang- orang yang terbelenggu agar bangkit dan bergerak setelah melakukan bacaan yang seksama. Hal itu bisa ditangkap bahwa sedemikian penting kesadaran itu terbangun pada diri setiap orang. Kesadaran itu akan tumbuh dan berkembang, jika aktivitas membaca dimotivasi untuk memahami ciptaan Allah. Kegiatan membaca tentu beraneka ragam motifnya. Membaca hingga melahirkan gerakan berupa amal shaleh dan perubahan adalah membaca yang didasari oleh semangat ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah. 4 Fase ketiga, adalah kebangkitan. Dalam Al-Qurán terdapat perintah qiyam atau bangkit dan perintah itu segera disusul dengan perintah selanjutnya, yaitu memberi peringatan. Kebangkitan berhasil melahirkan gerakan peradaban, manakala dilakukan oleh orang-orang yang bersih, yaitu bersih hatinya, pikirannya, jiwanya dan juga semua anggota badannya. Oleh karena itu, fase selanjutnya, atau keempat, adalah perintah melakukan penyucian diri. Menjaga kesucian itu penting, sehingga dalam Al-Qurán perintah itu dinyatakan secara jelas, dengan kalimat watsiyabaka fathohhir, atau maka pakaianmu bersihkanlah. Perubahan hingga berhasil dilakukan jika syarat penting tersebut dipenuhi, yaitu ada kesediaan melakukan kegiatan bersuci, yaitu bersuci secara menyeluruh mulai dari yang tampak hingga yang tidak mungkin diketahui, yaitu pada wilayah qalb atau hati. Para pelaku perubahan harus berhati bersih. Orang yang terlibat dalam perubahan peradaban, namun tidak mampu menghilangkan aspek-aspek subyektifitas dan bahkan berpikiran jangka pendek, maka perubahan peradaban itu tidak akan berhasil diraih. Pada umumnya titik lemah dalam membangun peradaban unggul, hingga mengalami kegagalan, adalah disebabkan oleh ketidak-mampuan dalam bersuci ini. Dalam Al-Qurán surat Al-Mudatsir ayat 5-6 Allah Berfirman : +- . 1 2☺3 5 27 8 9:; Artinya : dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak . 5 Ayat Al-Qurán di atas jika diterjemahkan secara bebas menjadi hindarilah angkara murka dan jangan bersikap subyektif, berharap untuk mendapatkan sesuatu secara berlebihan. Rupanya, hambatan dalam melakukan perubahan menuju peradaban yang mulia dan unggul, adalah adanya orang-orang yang tidak mampu menahan diri, berbuat aniaya, dan orang-orang yang selalu bersifat subyektif, yaitu mengharap keuntungan diri sendiri yang berlebih. Mengkaji secara mendalam ayat-ayat Al-Qurán yang turun pada fase-fase awal, maka akan mendapatkan petunjuk, bagaimana perubahan sosial menuju peradaban mulia dan unggul itu bisa dijalankan. Saya tidak bermaksud menafsirkan rangkaian ayat-ayat Al-Qurán tersebut, tetapi dengan berulang-ulang membacanya, saya mendapatkan pengertian yang sedemikian jelas, komprehensif dan indah. Bahwa perubahan itu selalu dimulai dari proses membaca. Kegiatan membaca yang cukup akan melahirkan kesadaran. Selanjutnya kesadaran itu akan mendorong untuk bangkit. Kekuatan untuk bangkit akan melahirkan perjuangan. Hanya saja perjuangan itu akan berhasil manakala diikuti oleh kesediaan untuk mensucikan diri, yaitu suci dari perbuatan angkara murka dan sifat-sifat subyektif yang merusak. Kegagalan kebangkitan dalam pendidikan adalah ketika produk didik tidak lagi memiliki kepekaan nurani yang berlandaskan moralitas, Sense of humanity. Padahal substansi pendidikan adalah memanusiakan manusia, menempatkan manusia pada derajat yang tertinggi dengan memaksimalkan karya dan karsa. Ketika tidak lagi peduli, bahkan secara tragis, berusaha menafikan eksistensi kemanusiaan orang lain, maka produk pendidikan berada pada tingkatan terburuknya. Sistem pendidikan yang 6 diterapkan bukannya mengeliminir kekerasan, bahkan membakukan secara sistematik praktek-praktek dehumanisasi di lembaga pendidikan tersebut. Dunia pendidikan kita sampai hari ini masih “sakit” dan tidak mensucikan manusia, tetapi sebaliknya mengajarkan keburukan dan kecurangan. Pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, pendidikan justru seringkali tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berfikir kognitif dan perilaku belajar yang merasa afektif. Unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika seorang sedang belajar, maka orang tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai dan berbagai macamnya. Penyebab hal tersebut salah satunya karena masyarakat terlalu mementingkan dunia. Apektif yang tidak dibina, moral yang tidak terjaga, akhlak yang liar seolah- olah tidak ada pembatas. Masyarakat sudah melupakan tujuan hidup. Akibatnya, visi terhadap akhirat dilupakan. Padahal dalam Islam antara dunia dan akhirat tidak bisa dipisahkan sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashas ayat 77.  8 = ִ☺ 3 A B C : DEFִ G ☯23 ִI IJDK L  G 1D9M N ִ☺O E1P9M N B .Q G  I3 ִJ P9⌧S T.U V FW G XY.Q Z [\ A] U D9 S ☺ __ Yang artinya: “ Dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu 7 di dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Yang harus ditekankan dari undang-undang tersebut adalah kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketertampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat bangsa dan keluarga. Dari point-point tersebut di atas seyogyanya pemerintah lebih menekankan pada pembinaan moral dan atau akhlak di samping kecerdasan intelektualnya. Kementrian agama dan kementrian pendidikan nasional pada dasarnya telah peduli pada pendidikan di Indonesia, namun kepedulian untuk mengarah pada pembinaan akhlak dan spiritual keagamaan sepertinya masih sangat minim dilakukan. Apa yang diharapkan oleh tujuan kegiatan pendidikan yaitu berkembangnya kepribadian anak didik masih jauh dari harapan. Untuk itu, dibutuhkan sebuah konsep baru dalam merekontruksi konsep pendidikan formal yang ada saat ini untuk mengarah pada pembinaan karakter dan atau akhlak, sehingga akan bermunculan nilai spiritual-religius pada anak didik. 8 Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut, pesantren sudah lebih dulu menyikapinya dengan serius. Hal ini bisa terlihat dari program-program pembelajaran berbasis ke-pesantrenan sangat ditekankan. Seperti tadarus Al-Qur’an dan baca kitab akidah akhlak. Pesantren sudah dari dahulu melakukan pembinaan akhlak, pembinaan mental, spiritual, dan kepribadian. Mereka tidak hanya memonitoring di dalam lembaga pendidikan saja, lebih dari itu pembinaan dilakukan ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Tidak telihat adanya degradasi moral pada anak didik ketika berinteraksi dengan masyarakat karena mereka telah dibekali dengan nilai-nilai Al-Qur’an yang telah mereka hapal. Berawal dari cara menanamkan nilai akhlak pada siswa, salah satu lembaga pendidikan menerapkan tahfidh Al-Qur’an sebagai upaya menanamkan nilai-nilai akhlak pada spiritual yang diyakini dapat mengantisifasi anak didik tidak terkontrol dalam perilaku sehari-harinya. namun tidak melepaskan identitas kecerdasan sebagai seorang muslim, sehingga peneliti mencoba untuk menganalisa salah satu lembaga pendidikan yang melakukan metode tahfidh Al-Qur’an sebagai pembinaan pada akhlak siswa. Adalah Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam Karangpawitan Garut berupaya untuk memaksimalkan interaksi pendidikan tidak parsial kognitifnya saja, namun jauh dari itu mereka mencoba untuk menginternalisasikan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai wahyu Allah untuk diterapkan dalam perilaku atau akhlak. Dari permasalahan tersebut di atas penulis mencoba untuk mengamati kegiatan pendidikan agama Tahfidh Al-Qur’an yang dilakukan oleh Madrasah Tsanawiyah 9 sebagai upaya merekontruksi pendidikan berbasis akhlak dan nilai spiritual peserta didik menarik untuk dikaji dan diwujudkan dalam sebuah judul tesis. Pembinaan Akhlak Melalui Tahfidh Al-Qur’an Studi Deskriptif Analitis di Pesantren Persis Tingkat Tsanawiyah Karangpawitan Garut.

B. Fokus dan Rumusan Masalah