PEMBINAAN AKHLAK MELALUI TAHFIDH AL-QUR’AN : Studi Deskriptif Analitis di PesantrenPersatuan Islam Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah Garut.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...
i
KATA PENGANTAR ...
ii
DAFTAR ISI ...
iv
DAFTAR TABEL DAN BAGAN...
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ...
1
B.
Fokus dan Rumusan masalah ...
9
C.
Tujuan Penelitian ...
10
D.
Manfaat Penelitian ...
10
E.
Metode Penelitian ...
12
F.
Lokasi dan Sampel Penelitian ...
12
BAB II
PEMBINAAN AKHLAK DI PONDOK PESANTREN
MELALUI TAHFIDH AL-QURAN
A.
Konsep Pendidikan Agama Islam ...
14
B.
Komponen Pendidikan Agama Islam ...
25
C.
Penelusuran tentang Tahfidh Al-Quran ...
46
D.
Konsep Islam tentang Akhlak ...
51
E.
Korelasi Tahfidh dengan Akhlak ...
57
F.
Tahfidh Al-Quran dan Pendidikan Umum ...
61
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode Penelitian ...
69
B.
Pendekatan Penelitian ...
70
C.
Objek Penelitian ...
72
D.
Teknik dan Intrumen Pengumpulan Data ...
73
E.
Prosedur Pengumpulan Data ...
77
F.
Pengolahan dan Teknik Analisis Data ...
80
G.
Sumber Data ...
82
H.
Gambaran Umum Objek Penelitian ...
85
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Tujuan Kegiatan Tahfidh ... 96
B.
Kegiatan Tahfidh Al-Qur’an ...
97
C.
Faktor Penghambat dan Pendukung
Tahfidh Al-Quran ...
103
D.
Evaluasi Kegiatan Tahfidh Al-Quran ...
105
E.
Perkembangan Pengetahuan dan Pengamalan
PAI Siswa ...
105
(2)
v
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A.
Kesimpulan ...
136
B.
Saran dan Implikasi ...
142
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
A.
ALAT PENGUMPUL DATA
(3)
vi
DAFTAR TABEL BAGAN
Tabel 4.1
Daftar Prestasi yang Pernah Diraih ...
94
Bagan 3.1
Alur Perolehan Data Primer ...
73
(4)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Akhlak merupakan cerminan jati diri seseorang dia beriman atau tidak, dan
menjadi salah satu yang menjadi perhatian bangsa ini yaitu pembinaan karakter atau
pembinaan akhlak. Akhlak sangat penting diperhatikan baik di kalangan orang tua,
keluarga ataupun guru di sekolah. Kemunduran di bidang akhlak atau karakter telah
menyebabkan banyak hal, hal tersebut disebabkan orientasi keberhasilan pendidikan
hanya diukur oleh tingkat intelektualitas siswa saja.
Dewasa ini orang sudah mendewakan otak. Manusia terlalu bangga dengan
kepintaran saja dan kita sering melihat orang tua senang melihat prestasi anaknya
bagus sedangkan ahklaknya jelek. Sementara itu pembinaan akhlak yang membentuk
pribadi berkarakter kurang mendapat perhatian. Contoh, tidak sedikit orang tua
bahkan guru menilai keberhasilan pendidikan adalah dengan lulusnya Ujian Nasional.
Mereka tidak memperhatikan pola fikir dan tingkah laku anak didik tersebut di luar
lembaga. Misalnya, mereka terlibat geng anak sekolah yang kerap kali meresahkan
masyarakat karena melakukan tawuran dan pencurian secara kolektif dan atau
perusakan fasilitas umum. Kasus video porno yang melibatkan siswa SMP sampai
mahasiswa merupakan kesekian dari kasus kenakalan remaja yang terlihat. Kasus di
atas tentu saja merupakan kasus yang sangat memperihatinkan dan sekaligus
menunjukan hilangnya pendidikan akhlak dalam dunia pendidikan.
(5)
Mengubah masyarakat ternyata tidak mudah. Bangsa Indonesia ini sejak lama
ingin mengubah diri, menjadi maju. Perubahan itu memang telah terjadi, tetapi tidak
merata secara keseluruhan dan juga tidak selalu cepat. Apalagi perubahan yang
dimaksudkan itu menyangkut perilaku, watak atau karakternya.
Al-Quran sebagai wahyu terakhir dan menjadi kitab umat Islam di dunia yang
sering terlupakan ternyata memberikan petunjuk, bagaimana melakukan perubahan
pada tingkat yang mendasar ini. Petunjuk itu sedemikian komprehensif dan
mendalam. Dan hal itu sebenarnya telah dilakukan oleh Rasulullah sejak diangkat
menjadi Rasul, dan akhirnya diteruskan dari generasi ke generasi. Sedemikian
tangguh konsep perubahan itu, hingga api atau semangat yang dihasilkan tidak
pernah padam dan bahkan selalu menyala dan membakar jiwa atau semangat hati
umat hingga pada saat ini.
Melalui perenungan yang mendalam dari membuka-buka sejarah turunnya Al
Qurán, penulis mendapatkan rumusan tahap-tahap perubahan itu adalah sebagai
berikut. Pertama, perubahan itu harus dimulai dari proses membaca. Oleh karena
itulah maka ayat pertama yang diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca, atau
“Iqra” merupakan fiil amr (bentuk perintah) dari bahasa Arab yang kata dasarnya
adalah qara’a. Membaca terhadap lingkungan yang luas, lengkap dan mendalam akan
melahirkan kesadaran.
Kegiatan membaca secara seksama, oleh siapapun dan apalagi bagi orang-orang
yang cerdas, akan menghasilkan pengertian, pemahaman, wawasan yang luas dan
lengkap. Orang yang tahu atau mengerti akan berbeda dengan orang yang tidak tahu
(6)
atau tidak mengerti. Al-Qurán juga mengatakan begitu. Betapa pentingnya kegiatan
membaca harus dilakukan oleh setiap orang, karena rupanya membaca adalah
merupakan pintu dan bahkan kunci utama dari semua keberhasilan hidup ini.
Kedua, adalah penyadaran. Orang yang memiliki kesadaran penuh terhadap
diri, alam, dan juga Tuhannya, akan melakukan gerakan perjuangan. Oleh karena itu,
Al-Qurán menyeru kepada orang-orang dengan sebutan berselimut sebagaimana
Allah berfirman dalam surat Al-Mudatsir ayat 1-2 sebagai berikut:
☺
֠
!
"#
$
Artinya : (Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan!)
Berselimut menggambarkan orang yang pasif, tidak bergerak dan bahkan juga
terbelenggu, yaitu terbelenggu oleh selimutnya itu. Seruan itu membangkitkan
orang-orang yang terbelenggu agar bangkit dan bergerak setelah melakukan bacaan yang
seksama.
Hal itu bisa ditangkap bahwa sedemikian penting kesadaran itu terbangun pada
diri setiap orang. Kesadaran itu akan tumbuh dan berkembang, jika aktivitas
membaca dimotivasi untuk memahami ciptaan Allah. Kegiatan membaca tentu
beraneka ragam motifnya. Membaca hingga melahirkan gerakan berupa amal shaleh
dan perubahan adalah membaca yang didasari oleh semangat ibadah, yaitu
pengabdian kepada Allah.
(7)
Fase ketiga, adalah kebangkitan. Dalam Al-Qurán terdapat perintah qiyam atau
bangkit dan perintah itu segera disusul dengan perintah selanjutnya, yaitu memberi
peringatan. Kebangkitan berhasil melahirkan gerakan peradaban, manakala
dilakukan oleh orang-orang yang bersih, yaitu bersih hatinya, pikirannya, jiwanya dan
juga semua anggota badannya. Oleh karena itu, fase selanjutnya, atau keempat,
adalah perintah melakukan penyucian diri. Menjaga kesucian itu penting, sehingga
dalam Al-Qurán perintah itu dinyatakan secara jelas, dengan kalimat watsiyabaka
fathohhir, atau maka pakaianmu bersihkanlah.
Perubahan hingga berhasil dilakukan jika syarat penting tersebut dipenuhi,
yaitu ada kesediaan melakukan kegiatan bersuci, yaitu bersuci secara menyeluruh
mulai dari yang tampak hingga yang tidak mungkin diketahui, yaitu pada wilayah
qalb atau hati. Para pelaku perubahan harus berhati bersih. Orang yang terlibat dalam
perubahan peradaban, namun tidak mampu menghilangkan aspek-aspek subyektifitas
dan bahkan berpikiran jangka pendek, maka perubahan peradaban itu tidak akan
berhasil diraih.
Pada umumnya titik lemah dalam membangun peradaban unggul, hingga
mengalami kegagalan, adalah disebabkan oleh ketidak-mampuan dalam bersuci ini.
Dalam Al-Qurán surat Al-Mudatsir ayat 5-6 Allah Berfirman :
%&'(
)
*+-
"#
.
/0)
1 2&☺"3
5
27 8
9:;
Artinya : (dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak)
.(8)
Ayat Al-Qurán di atas jika diterjemahkan secara bebas menjadi hindarilah
angkara murka dan jangan bersikap subyektif, berharap untuk mendapatkan sesuatu
secara berlebihan. Rupanya, hambatan dalam melakukan perubahan menuju
peradaban yang mulia dan unggul, adalah adanya orang-orang yang tidak mampu
menahan diri, berbuat aniaya, dan orang-orang yang selalu bersifat subyektif, yaitu
mengharap keuntungan diri sendiri yang berlebih.
Mengkaji secara mendalam ayat-ayat Al-Qurán yang turun pada fase-fase
awal, maka akan mendapatkan petunjuk, bagaimana perubahan sosial menuju
peradaban mulia dan unggul itu bisa dijalankan. Saya tidak bermaksud menafsirkan
rangkaian ayat-ayat Al-Qurán tersebut, tetapi dengan berulang-ulang membacanya,
saya mendapatkan pengertian yang sedemikian jelas, komprehensif dan indah.
Bahwa perubahan itu selalu dimulai dari proses membaca. Kegiatan membaca
yang cukup akan melahirkan kesadaran. Selanjutnya kesadaran itu akan mendorong
untuk bangkit. Kekuatan untuk bangkit akan melahirkan perjuangan. Hanya saja
perjuangan itu akan berhasil manakala diikuti oleh kesediaan untuk mensucikan diri,
yaitu suci dari perbuatan angkara murka dan sifat-sifat subyektif yang merusak.
Kegagalan kebangkitan dalam pendidikan adalah ketika produk didik tidak lagi
memiliki kepekaan nurani yang berlandaskan moralitas, Sense of humanity. Padahal
substansi pendidikan adalah memanusiakan manusia, menempatkan manusia pada
derajat yang tertinggi dengan memaksimalkan karya dan karsa. Ketika tidak lagi
peduli, bahkan secara tragis, berusaha menafikan eksistensi kemanusiaan orang lain,
maka produk pendidikan berada pada tingkatan terburuknya. Sistem pendidikan yang
(9)
diterapkan bukannya mengeliminir kekerasan, bahkan membakukan secara sistematik
praktek-praktek dehumanisasi di lembaga pendidikan tersebut.
Dunia pendidikan kita sampai hari ini masih “sakit” dan tidak mensucikan
manusia, tetapi sebaliknya mengajarkan keburukan dan kecurangan. Pendidikan yang
seharusnya membuat manusia menjadi manusia, pendidikan justru seringkali tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem
pendidikan yang ada. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang
antara belajar yang berfikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif).
Unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. padahal
belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika seorang sedang belajar, maka orang tersebut
melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan,
meragukan, menyukai dan berbagai macamnya.
Penyebab hal tersebut salah satunya karena masyarakat terlalu mementingkan
dunia. Apektif yang tidak dibina, moral yang tidak terjaga, akhlak yang liar
seolah-olah tidak ada pembatas. Masyarakat sudah melupakan tujuan hidup. Akibatnya, visi
terhadap akhirat dilupakan. Padahal dalam Islam antara dunia dan akhirat tidak bisa
dipisahkan sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashas ayat 77.
< 8 =
)
>
ִ☺ #
@
3
)A
B>
)
C
>
:
DEFִ
G
/0)
☯2"3
ִI IJDK !
< L
) !
G
1D9&M N)
>
ִ☺/O
E1P9&M N
B>
@ "
.Q
G
/0)
< I"3
ִJ
P9⌧S
T.U
V
FW
G
XY.Q
Z>
/0
[\
A]
U^
D9 S ☺
__
Yang artinya: “
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu
(10)
di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
disebutkan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara”.
Yang harus ditekankan dari undang-undang tersebut adalah kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketertampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat bangsa dan keluarga. Dari
point-point tersebut di atas seyogyanya pemerintah lebih menekankan pada
pembinaan moral dan atau akhlak di samping kecerdasan intelektualnya.
Kementrian agama dan kementrian pendidikan nasional pada dasarnya telah
peduli pada pendidikan di Indonesia, namun kepedulian untuk mengarah pada
pembinaan akhlak dan spiritual keagamaan sepertinya masih sangat minim dilakukan.
Apa yang diharapkan oleh tujuan kegiatan pendidikan yaitu berkembangnya
kepribadian anak didik masih jauh dari harapan. Untuk itu, dibutuhkan sebuah
konsep baru dalam merekontruksi konsep pendidikan formal yang ada saat ini untuk
mengarah pada pembinaan karakter dan atau akhlak, sehingga akan bermunculan nilai
spiritual-religius pada anak didik.
(11)
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut, pesantren sudah lebih dulu
menyikapinya dengan serius. Hal ini bisa terlihat dari program-program
pembelajaran berbasis ke-pesantrenan sangat ditekankan. Seperti tadarus Al-Qur’an
dan baca kitab akidah akhlak. Pesantren sudah dari dahulu melakukan pembinaan
akhlak, pembinaan mental, spiritual, dan kepribadian. Mereka tidak hanya
memonitoring di dalam lembaga pendidikan saja, lebih dari itu pembinaan dilakukan
ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Tidak telihat adanya degradasi
moral pada anak didik ketika berinteraksi dengan masyarakat karena mereka telah
dibekali dengan nilai-nilai Al-Qur’an yang telah mereka hapal.
Berawal dari cara menanamkan nilai akhlak pada siswa, salah satu lembaga
pendidikan menerapkan tahfidh Al-Qur’an sebagai upaya menanamkan nilai-nilai
akhlak pada spiritual yang diyakini dapat mengantisifasi anak didik tidak terkontrol
dalam perilaku sehari-harinya. namun tidak melepaskan identitas kecerdasan sebagai
seorang muslim, sehingga peneliti mencoba untuk menganalisa salah satu lembaga
pendidikan yang melakukan metode tahfidh Al-Qur’an sebagai pembinaan pada
akhlak siswa.
Adalah Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam Karangpawitan Garut berupaya
untuk memaksimalkan interaksi pendidikan tidak parsial kognitifnya saja, namun
jauh dari itu mereka mencoba untuk menginternalisasikan nilai-nilai Al-Qur’an
sebagai wahyu Allah untuk diterapkan dalam perilaku atau akhlak.
Dari permasalahan tersebut di atas penulis mencoba untuk mengamati kegiatan
pendidikan agama Tahfidh Al-Qur’an yang dilakukan oleh Madrasah Tsanawiyah
(12)
sebagai upaya merekontruksi pendidikan berbasis akhlak dan nilai spiritual peserta
didik menarik untuk dikaji dan diwujudkan dalam sebuah judul tesis.
Pembinaan Akhlak Melalui Tahfidh Al-Qur’an (Studi Deskriptif Analitis di
Pesantren Persis Tingkat Tsanawiyah Karangpawitan Garut).
B.
Fokus dan Rumusan Masalah
1.
Fokus Masalah
Penelitian ini memfokuskan pada upaya untuk mendapatkan gambaran atau
fenomena dalam pembinaan akhlak melalui Tahfidz Al-Quran yang terjadi di
Pesantren Persis Tingkat Tsanawiyah Karangpawitan Garut .
2.
Rumusan Masalah
Masalah pokok di atas dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
a.
Apa tujuan kegiatan Tahfidz Al-Quran di Pondok Pesantren Persis
Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah Garut?
b.
Bagaimana kegiatan belajar Tahfidz Al-Quran dalam membina akhlak di
Pondok Pesantren Persis Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah Garut?
c.
Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat proses pendidikan
Tahfidz Al-Quran di Pesantren Persis Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah
Garut?
d.
Bagaimana hasil & evaluasi kegiatan Tahfidz Al-Quran di Pesantren Persis
Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah Garut?
(13)
C.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari
pembinaan akhlak yang dilakukan Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam
Karangpawitan Garut melalui Tahfidz Al-Quran.
Sedangkan untuk lebih jelasnya penulis menentukan tujuan-tujuan khusus yaitu
untuk mengetahui, memahami serta mengidentifikasi:
a.
Tujuan kegiatan Tahfidz Al-Quran (menghafal Al-Qur’an) di Pesantren Persis
Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah Garut.
b.
Belajar Tahfidz Al-Quran di Pesantren Persis Karangpawitan Tingkat
Tsanawiyah Garut.
c.
Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat proses pendidikan Tahfidz
Al-Quran di Pesantren Persis Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah Garut.
d.
Hasil dan Evaluasi kegiatan Tahfidz Al-Quran di Pesantren Persis
Karangpawitan Tingkat Tsanawiyah Garut.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoritis dan praktis sebagai
berikut:
a.
Manfaat teoritis
Kegunaan secara teoritis penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk
memperkaya konsep pembelajaran Pendidikan Islam di sekolah-sekolah khususnya
sekolah tingkat SMP/ sederajat.
(14)
Pendidikan Umum sebagai ikhtiar Pendidikan Nilai (pembentukan jati diri
manusia sebagai makhluk individu, sosial, sekaligus hamba Allah Swt). Pada saat
dilahirkannya, manusia telah dibekali dengan seperangkat potensi yang meliputi
kesadaran indrawi, kesadaran akal, dan kesadaran rohani (Dawam Rahardjo,
1999:51). Dengan kata lain, potensi yang diwujudkan dalam taksonomi kognitif,
afektif dan psikomotorik harus dikembangkan untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi yakni insan kamil. Dalam hal pembinaan akhlak melalui Tahfidz Al-Quran ini
peran Pendidikan Umum adalah “membentuk manusia seutuhnya atau manusia
utuh”. Dengan demikian jelas bahwa pendidikan nilai akhlak berperan aktif dalam
mewujudkan sasaran dan tujuan Pendidikan Umum.
Dalam Pendidikan Umum sudah terakumulasi di dalamnya pendidikan
agama, sehingga Pendidikan Umum tidak dapat dipisahkan dari pendidikan Agama
Islam. Artinya Pendidikan Umum sangat berperan aktif sebagai orientasi pendidikan
di Indonesia di lembaga pendidikan Pesantren yang diteliti khususnya.
b.
Manfaat praktis
Kegunaan praktis mendorong penulis untuk motivasi bagi Madrasah
Tsanawiyah khususnya untuk terus meningkatkan kualitas hapalan Al-Qur’an atau
program unggulan, menjadikan Tahfidz Al-Quran suatu upaya peningkatan mutu
Pendidikan Agama Islam bagi sekolah-sekolah/ madrasah lainnya, dapat
memberikan solusi tepat terhadap kendala-kendala kenakalan remaja yang dihadapi
oleh keluarga, sekolah bahkan tingkat masyarakat, bangsa dan Negara dan menjadi
(15)
bahan koreksi serta evaluasi sehingga pelaksanaan proses pendidikan agama Islam
berjalan efektif dan efisien.
E.
Metode Penelitian
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Data
yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata daripada
angka-angka. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologis
kualitatif.
Pendekatan fenomenologis yang penulis gunakan mengarah pada dwi
fokus pengamatan, yaitu : 1) apa yang tampil dalam pengamatan yang berarti bahwa
seluruh kegiatan merupakan objek studi. 2) apa yang langsung diberikan (given)
dalam pengalaman itu secara langsung hadir (present) bagi yang mengalaminya
(neoma). Adapun langkah-langkah pendekatan fenomenologis terdiri dari dua
langkah yaitu:
epoche menangguhkan data atau menahan diri dari mengambil
keputusan. Ideation adalah menemukan esensi dari realitas kegiatan Tahfidh
Al-Quran yang menjadi sasaran pengamatan reduksi objek.
F.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Situgede Kecamatan Karangpawitan,
Kabupaten Garut Jawa Barat. penelitian ini dilakukan di lembaga swasta yang di
bina oleh salah satu organisasi keagamaan (Persatuan Islam). Salah satu pendorong
penelitin ini dilakukan di lembaga swasta, opini masyarakat yang menilai bahwa
(16)
pendidikan di lembaga swasta seringkali mempunyai kelebihan tertentu dibanding
dengan negeri.
Adapun sampel penelitian ini terdiri dari kepala sekolah, tata usaha sekolah,
kurikulum dan enam orang siswa dari kelas tujuh, delapan dan sembilan.
(17)
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode desriptif analitis, sebuah
metoda yang efektif untuk tujuan mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena-fenomena yang bersifat alamiah maupun fenomena-fenomena hasil
rekayasa.
Menurut Margono(2005: 74),
Penelitian deskriptif dalam bidang pendidikan dan kurikulum pengajaran merupakan
hal yang cukup penting, mendeskripsikan fenomena-fenomena tentang kegiatan
pendidikan, pembelajaran, implementasi kurikulum pada berbagai jenis, jenjang dan
satuan pendidikan.
Dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi atau
memberikan perlakuan-perlakuan tertentu, semua kegiatan, keadaan, kejadian, aspek
komponen atau variabel berjalan apa adanya. Seperti dikatakan John, W
(Sukmadinata, 2005:74) bahwa penelitian deskriptif tidak hanya berhenti pada
pengumpulan data, pengorganisasian, analisis dan penarikan interpretasi serta
penyimpulan, tetapi dilanjutkan dengan perbandingan, mencari kesamaan-perbedaan
dan sebab akibat dalam berbagai hal.
(18)
B.
Pendekatan Penelitian
Penelitian inidilakukan dengan pendekatan fenomenologis kualitatif.Metode
dan pendekatan ini dipilih dengan pertimbangan bahwa masalah yang dikaji berkaitan
dengan masalah yang sedang berkembang dalam kehidupan, khususnya di Madrasah
Tsanawiyah Persatuan Islam.Melalui pendekatan fenomenologi, diharapkan deskripsi
atas fenomena yang ditemukan di lapangan dapat diinterpretasikan makna dan isinya
secara lebih mendalam.
Menurut Mulyana (2006 : 61) bahwa
“Pendekatan fenomenologi merupakan salah satu rumpun yang berada dalam rumpun
penelitian kualitatif.Fenomenologi adalah suatu ilmu tentang fenomena atau yang
dapat diamati untuk menggali potensi esensi mana yang terkandung di dalamnya”.
Melalui pendekatan fenomenologis, diharapkan deskripsi atas fenomena yang
ditemukan di lapangan dapat diinterpretasikan makna dan isinya secara lebih
mendalam.
Pendekatan fenomenologis yang penulis gunakan mengarah pada dwi focus
pengamatan, yaitu : 1) apa yang tampil dalam pengamatan yang berarti bahwa seluruh
kegiatan merupakan objek studi. Hal ini berarti bahwa yang menjadi objek studi dari
penelitian ini adalah seluruh kegiatan pembinaan akhlak pada siswa melalui
TahfidAl-quran baik dalam jam formal (kegiatan sekolah) atau di luar sekolah. 2) apa yang
langsung diberikan (given) dalam pengalaman itu secara langsung hadir (present)
bagi yang mengalaminya (neoma).
Adapun langkah-langkah pendekatan fenomenologis terdiri dari dua langkah
yaitu:
(19)
Pertama: epoche ialah mengangguhkan data atau menahan diri dari mengambil
keputusan, hal ini penting artinya agar yang ditemukan di Madrasah Tsanawiyah
dapat diungkapkan makna esensialnya. Reduksi yang dilakukan adalah sesuai apa
yang nampak dari pengamatan kebetulan atau aksidental tampil dalam pengamatan
peneliti. Oleh karena itu ketajaman dan kecermatandalam mengamati sasaran menjadi
tanggung jawab secara fenomenologis.
Kedua, ideation adalah menemukan esensi dari realitas kegiatan Tahfidul
Al-Quran yang menjadi sasaran pengamatan reduksi objek (1) karakteristik umum yang
dimiliki semua benda atau hal-hal yang sejenis MTs. Persatuan Islam; (2) Universal,
yaitu mencakup sejumlah benda atau hal-hal yang sejenis yang dimiliki oleh MTs
Persatuan Islam; (3) kondisi yang harus dimiliki benda-benda atau hal-hal tententu
untuk dapat digolongkan dalam jenis yang sama.
Berdasarkan hal tersebut maka ketika menyaksikan kegiatan Tahfidul
Al-Quran, yang dilakukan oleh peneliti tidak secara langsung menyimpulkan (epoche),
melainkan mencoba mencari makna sejati dibalik kegiatan tersebut (ideation).
Dalam pendekatan rumpun kualitatif, langkah-langkah fenomenologis tidak
terlepas dari ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.Data
yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif, lebih berupa kata-kata daripada
angka-angka.
(20)
Berdasarkan hal itu peneliti akan lebih memusatkan perhatian pada ucapan dan
tindakan subjek penelitian, serta situasi yang dialami dan dihayati, dengan berpegang
pada kekuatan data hasil wawancara mendalam.
Melalui metode penelitian tersebut penelitian diarahkan untuk memahami latar
alamiah secara utuh, yang tidak terlepas dari konteksnya, sebab hanya dengan
keutuhan itu dapat dipahami permasalahan yang diteliti.
C.
Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian dan sumber informasi
adalah kepala sekolah, kurikulum, TU, dua orang siswa dari kelas tujuh, delapan dan
sembilan.Wawancara untuk pengumpulan data dilakukan kepada Kepala Madrasah,
Guru (khususnya pembina Tahfidul Al-Quran) dan para santri. Jumlah nara sumber
yang harus diwawancarai sebanyak delapan orang, yaitu adalah kepala sekolah,
kurikulum, TU, dua orang siswa dari kelas tujuh, delapan dan sembilan mereka
adalah: (D. K), laki-laki, lulusan Sekolah Tinggi Musadadiyah. Saat ini ia menjabat
kepala sekolah sejak tahun 2000, spesialisasi mata pelajaran Al-Quran. (I. M) seorang
lulusan Mualimin setara dengan SMA tahun 1990, kini ia sebagai guru pembina
Tahfidh Al-Qur’an dan E. R, Sebagai Kurikulum lulusan UNPAD 1997, telah
mengajar sejak 2005.
(G), seorang santri kelas IX Tempat Tanggal Lahir di Garut 16 Agustus 1995 kini
menjabat sebagai ketua OSIS berasal dari SDN Situgede Karangpawitan. Dia tinggal
di pondok. (R. F), perempuan kelahiran Garut 10 juni 1996 kelas IX, nilai
(21)
prestasinya sedang dan tinggal di pondok. (N), Perempuan kelas IX Tempat Tanggal
Lahir di Garut 10 juni 1995 menjabat sebagai Sekretaris OSIS berasal dari SDN
Cijambe Karangpawitan. Dia tinggal di pondok. (J), santri laki-laki kelas VIII
Tempat Tanggal Lahir di Garut kelahiran 8 Juli 1996 rajin menghapal Al-Quran dan
termasuk berprestasi. Dia tinggal di pondok. (S B), santri laki-laki kelas VIII lahir di
Garut 31 Oktober 1996 nilai prestasi raportnya sedang. Tinggal di pondok. T,
perempuan kelas VII lahir di Garut 27 Mei 1998. Tidak tinggal di pondok.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah teknik observasi, teknik
wawancara dan teknik dokumentasi. Dalam bentuk teknik dan instrumen yang
digunakan dalam penelitian tergantung dari objek penelitian, sumber data, waktu dan
dana yang tersedia, jumlah tenaga yang meneliti dan teknik yang akan digunakan
untuk mengolah data. (Arikunto,2006:160).
Secara lebih jelas, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dijelaskan
di bawah ini.
1.
Teknik Observasi
Observasi merupakan alat yang sangat ampuh yang dibutuhkan dalam jenis
penelitian kualitatif.
Teknik ini memungkinkan peneliti menarik inferensi (kesimpulan) ihwal
makna dan sudut pandang responden, kejadian, peristiwa atau proses yang
(22)
diamati. Lewat observasi ini, peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang
tidak terucapkan (tacit understanding).(Alwasilah, 2009 : 155)
Teknik observasi ini digunakan dalam penelitian karena mempunyai
alasan-alasan antara lain :
a.
Keuntungan yang diperoleh melalui observasi adalah pengalaman yang
diperoleh secara mendalam dimana peneliti berhubungan secara langsung
dengan subjek penelitian.Observasi menggunakan observasi Moderat.
Yaitu dalam observasi terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi
orang dalam dengan orang luar. Peneliti dalam mengumpulkan data ikut
observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya.
b.
Data yang dikumpulkan dapat diamati dengan jelas
Dalam hal ini Sugiyono (Nasution;1998) menyatakan bahwa observasi
adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja
berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh
melalui observasi.
Sugiyono (Marshal: 1990) menyatakan bahwa “trought observation the
reseachers learn about behavior and the meaning attached to those
behavior”. Melalui observasi peneliti belajar tentang perilaku, dan makna
dari perilaku tersebut. Selanjutnya mengklasifikasikan observasi menjadi
observasi berpartisipasi (participant observation), observasi yang secara
terang-terangan dan tersama (overt observation dan covert observation).
(23)
2. Teknik Wawancara
Dengan menggunakan teknik wawancara, data utama yang berupa ucapan,
pikiran, gagasan, perasaan dan tindakan guru yang ditugaskan sebagai
Pembina Tahfid AlQuran, siswa, kepala Madrasah; diharapkan dapat
terungkap oleh penelitian secara lebih teliti dan cermat.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara berstruktur karena
wawancara tipe berstruktur adalah wawancara dengan bantuan alat berupa
catatan yang tersusun. Penggunaan alat bantu ini penting mengingat data
yang dikumpulkan bersifat verbal dan non verbal.
Menurut Singarimbun (1989 : 192), Wawancara merupakan suatu proses
interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh
beberapa faktor yang berinteaksi dan mempengaruhi arus informasi.
Faktor-faktor tersebut adalah : pewawancara, responden, topik penelitian yang
tertuang dalam daftar pertanyaan, dan situasi wawancara.
Berbeda dari survai yang lebih meminta waktu dan kesungguhan dari subjek,
interviu atau wawancara meminta waktu dan kesungguhan dari sang peneliti.
Interviu dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tidak
mungkin diperoleh lewat observasi. Alwasilah (2009 : 154)
Setelah dilakukan wawancara, informasi yang diperoleh diolah dan
dikonfirmasikan melalui tahap triangulasi dan member check.Hal ini
dilakukan untuk memperoleh masukan kesesuaian data tersebut.
(24)
Dalam literatur paradigma kualitatif ada dibedakan istilak document dari
record (bukti catatan). Guba dan Lincoln (Alwasilah, 2009: 155) dengan
singkat membedakannya sebagai berikut: record segala catatan tertulis yang
disiapkan seseorang atau lembaga untuk pembuktian sebuah peristiwa atau
menyajikan perhitungan, sedangkan dokumen adalah barang yang tertulis
atau terfilmkan selain record yang tidak disiapkan khusus atas permintaan
peneliti.
Pula selanjutnya Menurut Guba dan Lincoln (Alwasilah, 2009 : 157) bahwa
dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan pemerkaya bagi informasi
yang diperoleh lewat interviu atau observasi.
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang berlalu. Dokumen
berbentuk tulisan, catatan merupakan sumber informasi yang sangat berguna,
bahwa sumber informasi yang berupa dokumen dan rekaman cukup
bermanfaat, karena antaran lain: a) merupakan sumber data yang stabil dan
kaya, b) berguna sebagai bukti pengujian, c) bersifat alamiah, d) relative
murah dan mudah diperoleh, e) tidak reaktif.
Data yang bersifat dokumenter itu berupa: (1) Arsip-arsip MTs. Persatuan
Islam Karangpawitan, (2) Program Madrasah, (3) Visi dan Misi, (4) Buku
Catatan Prestasi, (5) Sarana dan prasarana, (6) foto-foto kegiatan, (7) jadwal
kegiatan dan lain sebagainya.
(25)
E.
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif menurut Nasution dalam
(repository.upi.edu.2011) melalui tiga tahap yaitu :orientasi, eksplorasi dan member
check:
1.
Tahap orientasi.
Merupakan tahap awal penelitian yang dilakukan untuk memperoleh
gambaran yang jelas dan lengkap mengenai masalah yang hendak diteliti.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini antara lain :
a.
Melakukan studi pendahuluan dan penjajakan lapangan ke lingkungan
MTs Persatuan Islam untuk identifikasi masalah dan fokus penelitian.
b.
Mempersiapkan berbagai referensi seperti buku, website, majalah artikel
dan referensi lainnya yang berkeitan dengan penelitian.
c.
Menyusun kisi-kisi penelitian dan pedoman wawancara, observasi dan
dokumentasi
d.
Mengurus perijinan untuk melaksanakan penelitian.
2.
Tahap eksplorasi.
Tahap ini merupakan tahap awal kegiatan penelitian yang bertujuan menggali
informasi dan pengumpulannya dengan fokus dan tujuan penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat ijin dari pihak sekolah.
Kegiatan-kegiatan eksplorasi antara lain :
a.
Menerima penjelasan dari pihak sekolah darn guru yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan evaluasi tahfidh Al-Quran.
(26)
b.
Melakukan wawancara secara lisan pada objek penelitian untuk
memperoleh tentang perencanaan kegiatan tahfidh, pelaksanaan tahfidh,
dan evaluasi tahfidh.
c.
Melakukan observasi terhadap kegiatan-kegiatan yang bekaitan dengan
tahfidh Al-Quran.
d.
Membuata catatan kasar hasil data yang terkumpul dari objek penelitian.
e.
Memilih, menyusun dan mengklasifikasikan data sesuai dengan
penelitian.
3.
Tahap member check.
Tahap ini digunakan untuk mengecek kebenaran dari informasi hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi yang telah terkumpul agar peneliti
memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik. Pengecekan informasi dan
data dapat dilakukan dengan teknik yaitu :
a.
Menyusun hasil wawancara berdasarkan item-item pertanyaan, menyusun
hasil observasi yang kemudian mengkonfirmasikan hasil wawancara dan
observasi pada nara sumber agar tidak ada kesalaha interpretasi dalam
mendeskripsikan data.
b.
Meminta koreksi hasil yang telah dicatat dri observasi pada nara sumber.
c.
Peningkatan validitas dilakukan dengan triangulasi akan kebenaran
(27)
Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik
pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagi teknik pengumpulan
data dan sumber data yang telah ada. Sugiyono (2006: 270).
Dalam penelitian ini yang menjadi instrument penelitian adalah peneliti.
Peneliti adalah “key Instrument” , artinya alat penelitian utama. Sebagaimana
diungkapkan oleh Nasution dalam tesis(2008:57).
1.
Peneliti sebagai alat peka dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi
penelitian.
2.
Peneliti dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat
mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian seperti
yang digunakan kualitatif yang dapat menyesuaikan diri sesuai dengan
macam-macam situasi serupa itu.
3.
Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrument berupa alat
test atau angket yang dapat menangkap seluruh situasi kecuali manusia,
hanya manusia sebagai instrumen yang dapat memahami situasi dalam segala
hal atau seluk beluknya.
4.
Suatu situasi yang dapat melibatkan interaksi manusia tidak dapat dipahami
dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu merasakan,
menyelami dan penghayatan.
(28)
5.
Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisa data yang diperoleh. Ia
dapat menafsirkan, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan
arah pengamatan untuk men-tes hipotesis yang timbul seketika.
6.
Hanya manusia sebagai instrument dapat mengambil kesimpulan berdasarkan
data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai
bahan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.
Adapun beberapa alasan yang dikemukakan antara lain :
a.
Informan telah secara sadar memahami makna penelitian ini sehingga mereka
bersedia membantu sepenuhnya
b.
Peneliti untuk meneliti sesering mungkin berada di lapangan.
F.
Pengolahan dan Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak pengumpulan data
dikerjakan secara seksama selam di lapangan maupun setelah dari lapangan.Model
analisis yang digunakan adalah model analisis interaktif. Langkah-langkah yang
dirumuskan Nasution dalam (repository.upi.edu.2011), dalam model meliputi: 1)
koleksi data (data collection), 2) penyederhanaan data (data reductional), 3)
penyajian data (data display), dan 4) pengambilan keputusan serta verifikasi
(conclusion, drawing verivying).
Berdasarkan pendapat tentang model analisis data dalam penelitian kualitatif di atas,
maka peneliti menganalisis data hasil lapangan melalui tahap-tahap berikut :
(29)
a.
Koleksi data (data collection), yaitu hasil observasi, wawancara dan
dokumentasi yang dilakukan peneliti dari objek penelitian dan sumber
informasi, merupakan langkah awal dalam pengolahan data. Dalam
mengoleksi data, peneliti melakukan observasi dengan objek penelitian dan
sumber informasi serta mencarai dokumentasi hasil dari kegiatan tahfidh
Al-Quran. Hasil observasi, wawancara dan dokumentasi dengan segera
dituangkan peneliti dalam bentuk tulisan dan di analisa.
b.
Penyederhanaan data (data reductional), yaitu penelaahan kembali seluruh
catatan hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Dengan demikian
tahapan ini akan diperoleh hal-hal pokok yang berkaitan dengan fokus
penelitian.
c.
Penyajian data (data display ), merupakan kegiatan penyusunan hal-hal pokok
yang sudah dirangkum secara sistematis, sehingga diperoleh tema dan pola
secara jelas tentang hal yang diteliti agar mudah diambil kesimpulan.
d.
Pengambilan kesimpulan dan verifikasi (conclusion; drawing verivying),
merupakan upaya untuk mencari makna dari data yang dikumpulkan dan
memantapkan kesimpulan dengan meber check atau triangulasi yang
dilakukan selama dan sesudah data dikumpulkan. Dengan demikian proses
verifikasi merupakan upaya mencari makna dari data yang dikumpulkan
dengan mencari pola, tema hubungan , persamaan, perbedaan-perbedaan,
hal-hal yang timbul dan lain sebagainya.
(30)
G.
Sumber Data
Sumber dalam penelitian ini adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan
pembinaan akhlak melalui Tahfid Al-Quran, yang ditentukan melalui observasi awal
untuk diwawancara.Keutuhan kehidupan kegiatan yang melibatkan seluruh warga
sekolah MTs Persatuan Islam Karangpawitan dimaksudkan untuk mengamati secara
umum melalui observasi.
Untuk memperoleh data melalui wawancara ditentukan subjek penelitian yaitu:
1.
Kepala MTs. Persatuan Islam dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab
akademik maupun administratif di lingkungan sekolah. Dalam menjalankan
tugasnya kepala sekolah dibantu oleh dua orang PKS (pembantu kepala sekolah)
Bidang Kurikulum dan Kesiswaan. Kelompok ini selanjutnya disebut sebagai
staf pimpinan yang dijadikan sebagai subjek penelitian.
2.
Guru MTs. Persatuan Islam Karangpawitan khususnya yang ditugaskan dalam
pembinaan Tahfid Al-Quran ditetapkan dua orang beserta pembimbing kegiatan
tahfidh.
3.
Siswa MTs. Persatuan Islam Karangpawitan ditetapkan enam orang untuk
perwakilan tingkatan kelas VII, VIII dan IX.
Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara dan observasi dibagi empat
alur data, yaitu a) data dari kepala sekolah terhadap siswa dan atau sebaliknya, b).data
dari kepala sekolah terhadap guruatau sebaliknya, c).siswa hasil pembinaan kepala
(31)
sekolah dan guru-guru. Alur perolehan data primer, data yang hendak diperoleh dari
penelitian ini dilukiskan dalam bagan berikut:
Bagan 3.1
Alur Perolehan Data Primer
Dari Gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa garis (
) menunjukan
jalur pembinaan Akhlak melalui kegiatan Tahfidul Al-Quran melibatkan kepala
Madrasah dan guru.Adapun garis (
) adalah interelasi data
kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi di lapangan.
Kepala Sekolah
Guru Pembina
Pembinaan Akhlak
Melalui Tahfidul
Al-Quran
Perilaku Siswa
Siswa
(32)
Penelitian ini memilih Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam yang berlokasi di Jalan
Raya Karangpawitan No 35 Kabupaten Garut, didasari dengan pertimbangan sebagai
berikut:
1.
Menurut pendapat tim penilai Akreditasi dari Kanwil Kementrian Agama
Provinsi Jawa Barat bahwa Pondok Pesantren Persatuan Islam Tingkat
Tsanawiyah di Kecamatan Karangpawitan yang dikelola oleh swasta memiliki
kualitas dengan memiliki unggulan yaitu kegiatan Tahfid Al-Quran yang
jarang dimiliki oleh pendidikan formal. Tetapi hasil pengamatan dan
informasi dari beberapa guru Madrasah Tsanawiyah ini tidak terlepas dari
permasalahan.
2.
Salah satu hasil dari seminar Pendidikan Umum tanggal 28 Juli 2010 yang
dihadiri oleh pakar Pendidikan Nilai yaitu suatu keharusan bagi para ilmuwan
Pendidikan Umum untuk memahami gejolak nilai yang terjadi dalam
kehidupan. Mereka tidak boleh hanyut dalam pergumulan nilai (War of
Values). Mereka harus mampu menempatkan diri untuk ikut menata,
membina, mengembangkan dan ikut mengendalikan nilai-nilai baik yang
paling utama dan terpenting bagi ahli Pendidikan Nilai adalah memahami dan
mampu mengemban misi dalam mengembangkan kepribadian secara utuh
dengan cara memupuk qalbu dengan siraman spiritual yaitu dengan membaca
Al-Quran.
(33)
3.
Siswa pada usia di sekolah tingkat Madrasah Tsanawiyah sedang mengalami
masa remaja, yakni dia di tuntut untuk menentukan pilihan-pilihan (nilai,
norma dan moral) yang tepat untuk kehidupan masa depannya.
H.
Gambaran Umum Obyek Penelitian
1.
Sejarah Pondok Pesantren Persatuan Islam Karangpawitan Garut
Untuk memperoleh gambaran tentang keberadaan pondok pesantren tingkat
Madrasah Tsanawiyah, peneliti telah melakukan observasi dan wawancara dengan
sesepuh pondok pesantren.Dari hasil kegiatan tersebut peneliti memperoleh data yang
merupakan gambaran obyek penelitian sebagai berikut.
Berawal dari seorang pemuda Kristen katolik sekitar tahun 1965 bertempat
tinggal di Jakarta, masuk Islam (mualaf) kemudian termarjinalkan oleh anggota
keluarga yang lain. Sehingga dia pindah ke daerah Garut untuk menemui
saudara-saudaranya, kemudian waktu berjalan dan dia seorang diri, berusaha untuk tetap
hidup dengan bekerja sebagai kuli pada sebuah perusahaan kayu dan perlengkapan
rumah tangga.
Beberapa tahun berjalan, dia berniat untuk mencoba usaha kayu dari gajinya
sendiri setelah mencoba belajar sebagai tukang kuli kayu dan bangunan pada
perusahaan. Lambat laun perekonomian dia membaik dan mampu membeli sebuah
rumah di Garut Kota, beberapa tahun berjalan kemudian menjual rumahnya dan
mendirikan rumah baru di daerah Karangpawitan, banyak orang memperhatikan
bahwa laju perekonomiannya berkembang pesat, sampai salah satu tokoh organisasi
(34)
Persatuan Islam mendekatinya dan mulai secara bertahap belajar mengenai Islam.
Seiring perjalanan waktu dia belajar Islam lebih dalam, dia terinsprirasi untuk
mengembangkan Islam lewat pendidikan, hal itu seirama dengan organisasi persatuan
Islam pada penyebaran paham Islamnya melalui Dakwah dan Pendidikan. Maka
didirikanlah Pondok Pesantren pada tahun 1980 dengan dana pribadi tanpa bantuan
pemerintah dan swadaya masyarakat, dan tentu saja menjadi cemooh di berbagai
kalangan masyarakat yang kurang suka dengan keberadaan pesantren.Hal tersebut
tidak menyurutkan niat untuk berjuang menyebarkan Islam lewat pendidikan.Pada
tahun 1996, akhirnya atas ijin Allah SWT keluarga mualaf sepakat pesantren secara
resmi di wakafkan ke organisasi keagamaan yaitu Persatuan Islam. Pada tahun 1998
sang pendiri meninggal dunia di masjid jami pesantren yang dia bangun bersama
pesantrennya.Berjalannya zaman tidak meredupkan perjuangan muwakif hingga saat
ini, dalam hal pendanaan saja, muwakif menjadi penopang nomor satu dalam
pembangunan.
Mayoritas penduduk masyarakat sekitar kebanyakan penganut agama permai
(agama sunda karuhun) dan desa ini merupakan desa yang tingkat pendidikannya
sangat rendah, dan tingkat kesejahteraannya relative rendah dalam tingkat minimum
dengan mata pencaharian sebagai buruh kuli batu bata, ternak dan bertani.
Dalam hal ini dibutuhkan suatu tekad untuk mencoba memecahkan masalah
yang ada dan membuat proyeksi pembinaan umat kedepan secara Islami yang
dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan segala aspek tancangan dan
ancaman, serta kekuatan dan potensi yang dimikili.
(35)
Sebagai lembaga yang melaksanakan ajaran Islam serta mengarahkan dakwah
pada kesatuan umat yang sadar bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban terhadap
muslim lainnya untuk melakukan amarma’ruf nahyi munkar, menjalankanibadah
sesuai tuntunan Al-Quran dan As-Sunah. Keberadaan pesantren sebagai basis
regenerasi umat Islam yaitu membina kesadaran dan rasa tanggung jawab umat
terhadap ajaran Islam melalui pendidikan, dakwah, kesejahteraan dan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya.
Setelah diwakafkan pada organisasi keagamaan Persatuan Islam, Pesantren
akhirnya dikelola secara penuh oleh organisasi, dan dibantu secara managemen dan
pendanaan oleh keluarga muwakif.Saat ini, keberadaan pondok pesantren sebagian
orang masih beranggapan bahwa organisasi persatuan Islam belum maksimal
memberdayakan semua SDM organisasi sekolahnya.
Para santri mengikuti kegiatan belajar mengajar pada pagi, sore dan malam
hari, sebagian ada yang menginap dan sebagian ada yang tinggal dirumah
masing-masing. Kebanyakan para santri yang sekolah di pesantren ini adalah warga dari
kecamatan lain.
Mengenai klasifikasi pesantren, jika merujuk pada klasifikasi pesantren yang
dikemukakan oleh Zamakhsyari (Mas’ud, 2007: 20) Pesantren yang santrinya kurang
dari seribu orang termasuk kategori pesantren kecil disamping itu pengaruhnya pun
hanya sekitar kecamatan dan kabupaten, walaupun ada beberapa orang santri dari luar
kabupaten.
(36)
Penyelenggaraan pendidikan di lembaga pesantren ini menggunakan 100%
kurikulum Nasional dan 100% kurikulum kepesantrenan (agama), sehingga banyak
orang memberikan nama sebagai sekolah pendidikan plus. Kegiatan belajar mengajar
formal berlangsung pada pagi, ketika sore siswa yang tinggal di asrama di bebaskan
melakukan aktifitas. Sedangkan pada waktu subuh, ada kalanya santri melanjutkan
membaca dan menghapal Al-Quran atau ceramah dari pihak pesantren. Kegiatan
tersebut walaupun belum maksimal dalam arti pembinaan yang melibatkan seluruh
guru dari jam formal atau pun pembina khusus tahfidh, namun pesantren terus
berupaya untuk memaksimalkan kegiatan pembinaan akhlak ini dari berbagai lini,
termasuk lini pendidikan formal.Waktu belajar pada jam formal, terdapat
muatan-muatan yang menekankan bahwa siswa atau santri harus hapal atau mengulang
beberapa ayat sebelum jam pelajaran dimulai, hal ini bertujuan siswa ditekan-kan
untuk selalu ingat dan terekam muatan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana dipahami
oleh beberapa pengurus sekolah atau Madrasah bahwa dengan pengulangan
terus-menerus mereka yakin bahwa akan tumbuh kebiasaaan yang baik dan pula membantu
kecerdasan dan kemampuan berfikir anak. Hal inilah salah satunya yang mendorong
bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang dapat membantu mencerdaskan, kuat ingatan,
berakhlak baik, dengan tujuan itulah para siswa di tuntut untuk menghafal Al-Quran
sesuai dengan kurikulum atau ketentuan madrasah.
(37)
2.
Profil Pondok Pesantren Persatuan Islam Karangpawitan Garut
Pondok Pesantren Persatuan Islam tingkat Tsanawiyah beralamat di Jl.
Karangpawitan No. 35 Gang Pesantren. Berdiri sejak tahun 1983 dan diresmikan oleh
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, H. Mumuh A.
Muhdiyat BA pada tahun 1987.
Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam ini letaknya sangat strategis mengingat
berada pada batas Kecamatan Karangpawitan dan Kecamatan Sucinaraja dan cukup
kondusif dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar karena lokasinya tidak
berada di pinggir jalan melainkan masuk gang pesantren sekitar 150 meter.
a.
Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah
Visi Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam adalah membentuk Insan yang ber
akhlakul karimah, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,serta menjadi kader
Ulul Albab.
Adapun misi Madrasah yaitu :
a.
Meningkatkan kualitas peserta didik menjadi manusia yang berbudi pekerti
luhur, berkepribadian mandiri, maju, kreatif, cerdas, disiplin dan bertanggung
jawab.
b.
Membekali IMTAQ dan IPTEK
c.
Menyiapkan kader Ulul Albab
Selanjutnya penjabaran Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah Perstuan Islam adalah:
a.
Melakukan pembinaan moral dan kepribadian yang tangguh.
(38)
b.
Menyempurnakan kurikulum baik kurikulum baku maupun lokal
c.
Meningkatkan kualitas staf pengajar
d.
Meningkatkan sarana dan prasarana pembelajaran
e.
Melakukan kegiatan mentoring agama
f.
Memberikan keterampilan kepada santriwan dan santriwati untuk menjadi
mandiri
g.
Memberikan bekal pengetahuan dalam bidang keagamaan dan teknologi.
Jumlah santri di Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam Karangpawitan selalu
mengalami fluktuatif setiap tahunnya. Saat ini terdapat 60 orang santri yang terdiri
terdiri dari 35 perempuan dan 25 laki-laki. Jumlah ini terhitung sedikit dibanding
beberapa tahun ke belakang. Padahal, sejak dibangun oleh muwakif madrasah ini
selalu ramai dan menjadi perhatian para orang tua untuk menyekolahkan di Madrasah
ini. Pada saat itu tercatat terdapat dua rombongan belajar untuk kelas VII saja.
Namun pada tahun 1999 jumlah santri mengalami penurunan, hal ini disebabkan
adanya Sekolah Menengah Pertama atau SMP yang dibangun sangat berdekatan,
berjarak sekira 200 meter dengan madrasah ini. Selain hal tersebut, banyak orang tua
yang beranggapan bahwa lulusan madrasah akan sulit mendapat kerja sedangkan
SMP merupakan sekolah negeri yang lulusannya akan mudah mendapat kerja.
Sesuatu yang khusus dan dimiliki oleh pondok pesantren Madrasah Tsanawiyah
adalah memiliki tempat yang dirawat dengan baik sehingga selalu tampak bersih dan
menambah asri karena di depan Madrasah tersebut terdapat pohon kelapa dan pohon
(39)
hoak yang melindungi gedung sekolah kususnya asrama dari panas matahari secara
langsung.
Seragam Madrasah Tsanawiyah ini juga berdeda, untuk santri perempuan
memakai rok berwarna coklat, baju kurung warna krem serta kerudung warna kuning
tua dengan cara dililit. Mereka menamakannya “kerudung hoas”.Sementara untuk
santri laki-laki memakai celana berwarna coklat dengan baju berwarna putih dan
memakai peci berwarna hitam. Seragam seperti ini cukup unik dan memiliki identias
sendiri karena berbeda dengan madrasah lain pada umumnya yang memakai seragam
berwarna putih dan biru.
Ada beberapa istilah yang juga berbeda dengan madrasah lain pada umumnya.
Untuk penamaan siswa, madrasah ini menggunakan istilah santriwan untuk siswa
laki-laki dan santriwati untuk siswa perempuan.Untuk penamaan guru, biasa
memanggil dengan sebutan Ustadz untuk guru laki-laki dan Ustadzah untuk guru
perempuan.Dan untuk penamaan organisasi intra sekolah yang lebih dikenal dengan
istilah OSIS, madrasah ini menggunakan istilah Rijaalul Ghad untuk santri laki-laki
dan Ummahaatul Ghad untuk santri perempuan.
b.
Kurikulum yang digunakan Pondok Pesantren
Pondok pesantren Persatuan Islam tingkat Madrasah Tsanawiyah Persatuan
Islam dengan nomor statistik 21.2.32.07.18.012 menggunakan kurikulum dari
Kementrian Agama yaitu KTSP dan Kurikulum Pesantren yang dibuat oleh internal
Organisasi Persatuan Islam. KTSP itu sendiri merupakan seperangkat acuan dan
(40)
pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai santri, penilaian,
kegiatan belajar mengajar dan sumber daya pendidikan dalam pengembangan
kurikulum sekolah, santri lebih proaktif serta posisi guru hanya sebagai fasilitator
saja.
Lain halnya dengan kurikulum lokal.Kurikulum ini berfungsi sebagai acuan
materi agama yang terdapat di internal Persatuan Islam yang harus dipahami oleh
santri pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah
Aliyah.Kurikulum ini menjadi kewajiban bagi pondok pesantren yang berada dalam
binaan organisasi masyarakat Persatuan Islam.Hal ini dilakukan supaya pesantren
tidak kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis Agama
Islam.
Kurikulum lokal ini merupakan acuan yang lebih menekankan pada
pengetahuan agama yang terdapat dalam kitab berbahasa Arab dan gundul (tidak
berharokat) maka dibutuhkan suatu ilmu (alat untuk membacanya), keterampilan, dan
nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak, dalam arti
memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Adapun materi dalam kurikulum pesantren ini adalah sebagai berikut:
Nahwiyah, Sharf (semacam ilmu alat untuk membantu cara membaca arab gundul
atau bacaan arab tanpa harokat), dasar-dasar Ilmu Mustholah (sebagai Ilmu untuk
menelusuri sebuah hadist, apakah hadist tersebut shahih, dlaif, layin atau lembek atau
bahkan tertolak, tahfidh Al-Qur’an, ilmu aqidah dan akhlak, serta bahasa arab
arobiyatunnasyiin.
(41)
Materi-materi tersebut menjadi fokus utama daripada materi-materi umum.
Karena selama ini kurikulum KTSP yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap
kurang efektif digunakan di madrasah ini dibanding dengan kurikulum tahun 1994.
Kurikulum yang dipergunakan di Madrasah Tsanawiyah saat ini memuat mata
pelajaran khusus pondok pesantren yang dilaksanakan di luar jam formal seperti
waktu sore hari magrib dan subuh, sedangkan mata pelajaran baku yang dikeluarkan
oleh pemerintah dilaksanakan mulai dari jam tujuh tigapuluh pagi sampai jam satu
siang.
Adapun kegiatan ekstrakurikuler di madrasah ini di antaranya, malam bina
iman dan taqwa atau MABIT, membaca Al-Quran sebelum jam pelajaran formal di
mulai dan latihan membaca arab gundul.
Dengan menggunakan kurikulum lokal dan keberadaan kegiatan ekstrakurikuler
ini pemerintah sebenarnya terbantu dalam hal meningkatkan mutu pendidikan dan
pemahaman terhadap agama Islam. Sehingga menghasilkan lulusan yang memahami
dasar-dasar agama yang kuat, mampu bersaing dengan lulusan-lulusan yang lain
serta ber akhlakul karimah.
c.
Sarana dan Prasarana
Pondok Pesantren Persatuan Islam tingkat Tsanawiyah ini memiliki tujuh lokal
bangunan.Satu lokal untuk kantor yang juga digunakan untuk perpustakaan, tiga lokal
untuk ruang kelas, satu lokal untuk laboratorium komputer dan laboratorium IPA, dan
satu lokal lagi untuk ruang RG-UG.
(42)
Selain itu, di pesantren terdapat satu buah MasjidJami, satu lokal asrama
santriwati, dua lokal asrama santriwan, dua lokal toilet putri, dualokal toilet putra,
dan satu toilet asatidz.
d.
Prestasi yang pernah diraih
Madrasah ini selalu berupaya berpartisipasi mengikuti berbagai lomba yang
diadakan berbagai lembaga atau instansi.Bagi pondok pesantren, menang atau kalah
tidak jadi masalah yang penting berani bertanding. Kepada para santrinya selalu
ditanamkan nilai-nilai percaya diri ketika berhadapan di depan masyarakat. Madrasah
ini patut berbangga karena walaupun hanya madrasah swasta yang relatif kecil, tapi
manajemennya di tata dengan baik sehingga prestasi yang diraih pun tidak kalah
Madrasah Negeri.
Berdasarkan data yang ada di madrasah ini, beberapa santri pernah meraih
prestasi di bidang MTQ, Kaligrafi, Pidato Bahasa Inggris, dan Pidato Bahasa Arab.
Namun sangat disayangkan, fasilitas kantor seperti komputer tiga unit, Televisi,
peralatan Laboratorium IPA dan piala-piala penghargaan perlombaan hilang pada
tahun 2005. Termasuk bukti fisik yang menyangkut perlombaan tidak ada.Adapun
daftar perlombaan yang pernah diraih adalah sebagai berikut.
(43)
Tabel 4.1
Daftar Prestasi MTs. Persatuan Islam Karangpawitan.
Sumber (record pesantren-2009)
No
Jenis Prestasi
Penyelenggara Tingkat /Waktu
Juara
Ket
1
Pidato Bahasa
Arab
Ponpes
Al-Hidayah
Pondok se Garut.
1995
III
Tropi
2
Pidato Bahasa
Indonesia
Ponpes
Al-Hidayah
Pondok se Kab.
Garut.1995
III
Tropi
3
Kaligrafi Arab
MTs. 19
Bentar
Pondok Persis
se-Garut. 1997
II
Tropi
4
Adzan
Unisba
Jabar.1998
II
Tropi
5
Kaligrafi Arab
MTs.
Cisurupan
Kecamatan.1999
III
Tropi+
piagam
6
MTQ
Depag
Kecamatan.2000
Harapan Tropi
7
Puisi
MTs Arohmah
Kecamatan.2001
III
Tropi
8
Kaligrafi
MTs Arohmah
Kecamatan. 2003 II
Tropi+piaga
m
9
Putsal
Depag
Kecamatan
Kecamatan.2005
III
Tropi
10 Kaligrafi
MTs.
Babakanloa
Antar Pesantren.
2008
II
Tropi
11
Pidato
B.Inggris
MTs.
Arrahmah
Antar
(44)
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, pada
bagian akhir ini, penulis menarik beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari
perumusan masalah, tujuan penelitian dan hipotesis yang penulis tetapkan berkaitan
dengan kegiatan tahfidh Al-Quran dalam pembinaan akhlak di Madrasah Tsanawiyah
Persatuan Islam Karangpawitanantara lain:
1.
Kesimpulan Umum
Berdasarkan sejumlah temuan di lapangan, tampak bahwa pendidikan akhlak
melalui tahfidh Al-Quran yang dilakukan Madrasah adalah sebagai upaya pembinaan
karakter (akhlak) siswa untuk tetap terjaga dari hal-hal yang buruk dan terarah sangat
bagus karena berupaya mencari langkah untuk melakukan perubahan sosial dengan
pendekatana agama (Al-Quran). Diharapkan pola pendidikan dengan menekankan
pada pendekatan dengan Al-Quran, pendidikan secara terpadu terhadap segala jenis
tantangan peserta didik itu sendiri. Tidak parsial, sehingga tidak ada yang tertinggal
dan terabaikan sedikit pun, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya
secara fisik maupun secara mental, dan segala kegiatannya. Artinya, dalam
pembinaan akhlak melalui tahfidh Al-Quran memandang manusia secara totalitas
untuk beribadah, mengembalikan fitrah manusia itu sendiri dengan melakukan
pendekatan dan pengkajian terhadap Al-Quran.Mendekati siswa atas dasar fitrah,
(45)
serta menjadikannya al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan utama, berjalan sinergi
dengan landasan yuridis formal Pancasila dan UUD 1945 dan undang-undang sistem
pendidikan nasional tahun 2003.
Pendidikan Nilai merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi
nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui “value based
education”. Dan pengembangan nilai-nilai bangsa di Madrasah Tsanawiyah
Persatuan Islam Garut dibentuk melalui pembinaan akhlak dengan pendekatan pada
Al-Quran dengan menginternalisasi nilai-nilai islami melalui pendekatan interventif
dan habituasi yang dilakukan di sekolah.
Kriteria akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh qolb, kekuatan
nafsu syahwat, dan kekuatan keadilan dapat dirasakan dengan mendekatkan diri pada
sang pencipta yaitu agama
.Pendidikan akhlak di peroleh dengan meneladani sifat
Rasulullah karena beliau adalah uswah al-hasanah. Perbaikan akhlak melalui
beberapa tahap yaitu takhalli (pengosongan diri dari sifat tercela), tahalli (pengisian
diri dengan akhlak mulia dan ketaatan), dan tajalli (penampakan buah prilaku mulia).
Dalam hal ini di perlukan seorang guru atau mursyid untuk membimbing murid
dalam menapak jalan spirituaL.
Maka tampak dalam revitalisasi nilai akhlak melalui tahfidh Al-Quran dapat
dirinci sebagai berikut:
a.
Tujuan yang diharapkan dengan mengintegrasikan disiplin ilmu agama
(Tahfidh Al-Quran) dan ilmu dunia (umum), dapat melahirkan generasi
(46)
muda muslim yang memiliki budi pekerti yang mulia (akhlak
al-karimah),keluasan ilmu, keunggulan amal, yang berdedikasi tinggi demi
kemajuan agama Islam, bangsa, dan negara. Maka pola guru/ murabbi dan
memberikan penanaman nilai akhlak kepada siswa dengan cara
menginternalisasikan nilai-nilai Qur’ani melalui proses keteladanan (uswah
hasanah) dengan mengedepankan prinsip-prinsip kasih sayang, sejarah
perjuangan para Rasul yang terkandung dalam Al-Quran dan sejarah para
sahabat rasul yang berdedikasi tinggi terjaga akhlaknya dengan Al-Quran.
1.
Berupaya membina akhlak santri dengan menanamkan nilai-nilai Agama
Islam yaitu Al-Quran sehingga batin mereka terasa terikat dengan Al-
Quran.
2.
Memiliki akhlak terpuji baik perkataan maupun perbuatan yang
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dikeluarga, disekolah maupun
dimasyarakat.
3.
Mampu menyaring pengaruh negatif dari luar.
4.
Mampu membaca Al-Quran dengan baik dan menjaga hapalannya,
memahami isi kandungan ayat yang telah dihapalnya dan mampu untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Mampu menjalankan amar ma’ruf dan nahyi munkar.
6.
Mengikuti kegiatan belajar Pendidikan Agama Islam
(47)
b.
Tujuan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam Karangpawitan
diantaranya adalah untuk menanamkan nilai Akhlak. Nilai yang dimaksud
adalah nilai yang terkandung dalam Al-Quran yang selalu terjaga (qur’ani)
sebagaimana nilai yang teraplikasikan dalam pribadi Rasulullah SAW
dengan akhlaqul karimah. Sementara aplikasi akhlak yang ditanamkan
sekolah diharapkan dilakukan siswa di lingkungan sekolah, asrama maupun
di masyarakat luas.
c.
Proses
pembelajaran
di
Madrasah
Tsanawiyah
Persatuan
Islam
Karangpawitan Garut dilakukan dengan mengintegrasikan muatan agama
dan umum, sehingga para siswa merasa terbuka dengan keilmuan dunia tidak
hanyak keilmuan yang berhubungan dengan akhirat. Keberadaan SDM di
lingkungan akademik Persatuan Islam sudah seharunya menjadi perhatian
khusus, dengan menempatkan orang-orang atau SDM yang mempunyai
kredibilitas sesuai bidangnya. Hal tersebut sangatlah penting dalam
mengembangkan pola belajar, metode penyampaian pembelajaran dan
pengembangan pendidikan, jika hal tersebut tidak terpenuhi, setidaknya akan
terjadi ketimpangan profesionalitas dalam kegaiatan belajar. Sangat ironi
sepertinya di satu sisi diharapkan siswa mampu untuk membaca, memahami
dan mengaplikasikan materi keagamaan di kehidupan mereka, namun di sisi
lain guru atau SDM kurang paham atau bahkan tidak mendalami materi yang
berkaitan dengan pelajarannya.
(48)
Melalui kegiatan tahfidh Al-Qur’an, maka keberadaan Al-Qur’an akan
semakin terpelihara dan terjaga dengan banyaknya orang yang menghafal
Al-Qur’an.
Melalui kegiatan tahfidh Al-Qur’an cukup efektif diterapkan dalam
upaya internalisasi ajaran Islam kepada santri sehingga potensi fitrah
manusia dalam bertauhid dan berakhlaq mulia dapat terjaga dan
terselamatkan dari arus informasi dan teknologi yang global seperti saat ini.
Melalui kegiatan tahfidh Al-Qur’an, potensi kecerdasan spiritual (SQ) santri
dapat dikembangkan lebih maksimal. Artinya seorang santri yang telah
cerdas secara spiritual berarti menunjukan bahwa hubungan dengan
Tuhannya baik.
Melalui kegiatan tahfidh Al-Qur’an, santri tidak akan mudah terbawa
arus globalisasiyang dapat merusak aqidah, akhlaq bahkan pemahaman
fiqihnya. Melainkan mampu mengendalikan, menata, menyaring hingga
membentengi diri dari hal-hal yang menjerumuskan dirinya kepada hal-hal
di luar ajaran Islam. Ini menunjukan bahwa kecerdasan intelektual dan
emosional nya pun ikut berkembang.
Tahfidz
Al-Qur’an
dapat
digunakan
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan mutu pendidikan, karena akan menghasilkan peserta didik
yang cerdas, kokoh secara aqidah dan berakhlak mulia. Oleh sebab itu
peneliti memandang kegiatan tahfidh Al-Qur’an sangat penting diterapkan di
sekolahmanapun. Baik sekolah yang berbasis Pondok Pesantren maupun
(49)
yang tidak.Hal ini harus diupayakan mengingat kondisi arus globalisasi
informasi dan modernisasi akan terus berlanjut tanpa batas.
2.
Adapun kesimpulan khusus sebagai berikut :
a.
Keberhasilan membangun karakter bangsa dengan menumbuhkan semangat
untuk menjaga nilai-nilai akhlak al-karimah. Melalu tahfidhAl-Quran,siswa
merupakan tanggung jawab bersama dari berbagai komponen masyarakat
yang harus dilakukan secara berkesinambungan, terintegrasi, dan sistematis
dengan berbagai inovasi-inovasi untuk mencapai suatu tujuan yang sama
yaitu pembinaan atau perbaikan akhlak. Dengan harapan bahwa pembinaan
akhlak dengan pendekatan membaca dan mengahapal Al-Quran bisa tercapai
dengan optimal. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, maka secara hukum
kausal tidak akan terjalinnya hubungan harmonis antara masyarakat karena
yang ditekankan dalam proses pendidikannya bukan pendekatan agama.
b.
Dorongan yang kuat untuk memahami dan membiasakan diri untuk
mengamalkan nilai-nilai Islam (Al-Quran) pada diri sendiri dan pada setiap
aktifitas kehidupan akan membantu mempercepat terealisasinya masyarakat
yang memiliki karakter atau akhlak yang baik. Begitu juga sebaliknya tidak
membiasakan diri dan tidak mengamalkan nilai-nilai Al-Quran, maka jauh
dari kehidupan yang berkarakter akhlakul karimah.
(50)
Akhlak dapat dibina dengan pembiasaan yang baik.
Menghafal Al-Quran adalah pembiasaan yang baik.
Jadi menghafal Al-Quran dapat membina akhlak.
Seluruh siswa MTs Persatuan Islam Karangpawitan akhlaknya terbina.
Seluruh siswa MTs Persatuan Islam Karangpawitan menghafal Al-Quran
Maka akhlak dapat dibina dengan pembiasaan menghafal Al-Quran.
c.
Keberhasilan dalam penginternalisasian nilai-nilai akhlak siswa di sekolah
dengan mengintegrasikan dengan nilai-nilai Al-Quran akan memberikan
dampak positif pada peningkatan prestasi, prilaku dan kesadaran bermoral
sebagai wujud pribadi masyarakat yang cerdas dan berkarakter (berakhlak
mulia).
B.
Saran dan Implikasi
Padabagianini
di
ketengahkanimplikasidarihasilpenelitian
yang
meliputiimplikasiteoritisdanpraktis
1.
ImplikasiTeoritis
Dari hasil penelitian pada kegiatan pembinaan akhlak melalui tahfidh Al-Quran
di pondok pesantren persatuan Islam memberikan implikasi secara teoritis jika
dilaksanakan di sekolah yang lain tentu saja akan memiliki kendala dalam
pelaksanaannya, karena selama ini kegiatan tersebut bersifat lokal hanya di
lingkungan pesantren persis karangpawitan saja, di samping itu belum memiliki
(1)
142 Akhlak dapat dibina dengan pembiasaan yang baik.
Menghafal Al-Quran adalah pembiasaan yang baik. Jadi menghafal Al-Quran dapat membina akhlak.
Seluruh siswa MTs Persatuan Islam Karangpawitan akhlaknya terbina. Seluruh siswa MTs Persatuan Islam Karangpawitan menghafal Al-Quran Maka akhlak dapat dibina dengan pembiasaan menghafal Al-Quran.
c. Keberhasilan dalam penginternalisasian nilai-nilai akhlak siswa di sekolah dengan mengintegrasikan dengan nilai-nilai Al-Quran akan memberikan dampak positif pada peningkatan prestasi, prilaku dan kesadaran bermoral sebagai wujud pribadi masyarakat yang cerdas dan berkarakter (berakhlak mulia).
B. Saran dan Implikasi
Padabagianini di ketengahkanimplikasidarihasilpenelitian yang meliputiimplikasiteoritisdanpraktis
1. ImplikasiTeoritis
Dari hasil penelitian pada kegiatan pembinaan akhlak melalui tahfidh Al-Quran di pondok pesantren persatuan Islam memberikan implikasi secara teoritis jika dilaksanakan di sekolah yang lain tentu saja akan memiliki kendala dalam pelaksanaannya, karena selama ini kegiatan tersebut bersifat lokal hanya di lingkungan pesantren persis karangpawitan saja, di samping itu belum memiliki
(2)
143 panduan materi yang diakui oleh lembaga pemerintah yang sesuai dengan semua kalangan. Namun di satusisi, keberadaankegiatanpembinaanakhlakmerupakancredit point untukpesantren yang menyelenggarakan.
2. ImplikasiPraktis
Dalam aplikasi di lapangan secara praktis kegiatan tahfidh Al-Quran memiliki kekurangan jika dilaksanakan di sekolah atau jam formal diantaranya : pembagian jam pelajaran formal yang akan terlihat kurang untuk kegiatan hapalan, tidak semua sekolah mempunyai SDM yang bisa mengarahkan siswanya pada kegiatan tahfidh Al-Quran, dalam pelaksanaannya pun seperti kegiatan sholat berjamaah, kultum (kuliah tujuh menit) dan kegiatan pondok pesantren tidak bisa dilaksanakan di sekolah umum, karena sekolah umum belum tentu memiliki fasilitas pondok, masjid atau tempat yang representatif untuk kegiatan yang mendukung kegiatan keagamaan yang lebih fokus (tahfidh).
Keserasian antara SDM dan pelajaran yang diampu merupakan sebuah keharusan di era modern sat ini, pula dengan jenjang pendidikan SDM yang bersangkutan diwajibkan strata satu sesuai dengan aturan pemerintah. Tidak bisa hanya mengandalkan dari kepiawaian menyampaikan tanpa dibarengi dengan ketertiban administrasi yang dapat mengakibatkan fatal dalam penilaian ketika dilakukan akreditasi. Karena akreditasi merupakan langkah penilaian sebuah lembaga layak atau tidaknya melakukan aktifitas pendidikan yang di nilai dari tiga unsur yaitu Infrastruktur,Suprastruktur, dan Manajemen (sistem).
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alttas. N. (1991). Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan
Ali. M, (1985). Penelitian kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung : Angkasa Al-Nahlawi. A (1989). Prinsip-prinsip Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro. Alwasilah. A. (2009). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Anshari. E. (1976). Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam. Jakarta : Usaha Interprise Arifin. M. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Aminudi, dkk. (2000). Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Galia Indonesia Arikunto. S. (2003). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra. A, dkk (2002). Buku Teks pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta : Departemen Agama RI.
Bahreisy. (1981). Ajaran-ajaran Akhlak. Surabaya: Al-Ikhlas
Bungin. B. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Cipta. _________. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Darajat. Z. (2000). Ilmu Penididikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Djamarah. S. (2000). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Intermasa.
Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Ghozali, (2000). Mutiara Ihya Ulumuddin: Jakarta Mizan
Gunansyah. G. (2010). Integrasi Pendidikan Nilai dalam Membangun Karakter Siswa di Sekolah Dasar. [Online]. Available at: http://edukasi.kompasiana.com [Januari 16 2011] .
(4)
Hasan. T. (2004). Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lantabora Press.
Hasbullah. (1999). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo. Langgulung, H. (2000). Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Al-Ma’arif
___________. (1980). Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
___________. (1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka Husna.
Lawang. R. (1990). Teori Sosiologi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Maarif. (1997). Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa. Yogyakarya: Aditya Media
Margono. S (2005). Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Rineka Persada. Marimba. A (1986). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Al-Ma’arif. Maskawaih, Ibn., (1999). Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan
Mukti. A, (1998). Alam Pemikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan.
Muhaimin. (2003). Wacana pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana. (1996). Upaya Guru dan Kepala Sekolah dalam Membina Keimanan dan Ketaqwaan Islam. Bandung : FPS IKIP Bandung.
Nahlawi. A. (1998). Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah, dan di Masyarakat. Bandung : Diponegoro.
Nasution. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nasir, M. (1991). Tinjauan Akhlak. Surabaya: Al-Ikhlas
Nurbakh. S.J. (2001). Psikology of Sufi M (Del Wa Nafs) terjemahan Arif Rahmat. Psikologi Sufi. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru
(5)
Purwanto, M. N. (2003). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja.
Qardhawi. Y. ( 1980). Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna. Jakarta : Bulan Bintang.
Rahardjo. M. D. (1997). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Raja Grafindo Persada.
Ramayulis. (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Rindra, T (2006). Masalah Pendidikan Indonesia. [Online]. Tersedia : http://sayap barat.wordprees.com [16 Juni 2011]
Sauri. S. (2011). Filsafat dan teosofat Akhlak. Bandung: Rizki
_______ . (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: PT. Genesindo Sholeh, B. (2007). Budaya Damai Pesantren. Jakarta : LP3ES
Singarimbun. M. (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES
Sugiyono (2006). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sumaatmadja. N. (2002). Hakikat Pendidikan. Jakarta: Pustaka.
_____________. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: Alfabeta
Suparta, M. dan Herry Noer Aly,(2003). Metodologi Pengajaran Agama. Tafsir, A. (1994). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
________. (1991). Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam. Bandung : Rosda karya ________.(1992). Metode Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung : Rosda Karya Undang-Undang Republik Indonesia tentang Guru dan Dosen, (2005).
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wassil, A. (2009). Tafsir Qur’an Ulul Albab. Bandung: Madania Prima
(6)
Yusuf, LN. S. dan Juntika Nurihsan, (2008). Teori Kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yusuf. S, (2000). Ilmu Pendidikan Islam. (Hand out). Bandung : STAI Siliwangi Bandung