Sejarah Singkat Candi Portibi

BAB IV ANALISA MASALAH BAGI MASYARAKAT PADANG LAWAS UTARA

4.1 Sejarah Singkat Candi Portibi

Berdasarkan pengamatan atau observasi di lapangan dan wawancara dengan masyarakat atau penduduk setempat yang tinggal di sekitar kawasan Candi Portibi serta menurut dari para pendapat arkeolog, Portibi adalah nama daerah di Kebupaten Padang Lawas Utara yang dulunya adalah sebuah nama Kerajaan Portibi. Portibi dalam bahasa batak artinya dunia atau bumi, bila di artikan kerajaan portibi ini adalah kerajaan dunia. Kerajaan dunia ini adalah wilayah pertambangan, penghasil emas dengan hanya menyiramkan air ke tanahnya. Kerajaan hindu tersebut diduga didirikan oleh Rejendra Cola yang menjadi Raja Tanmil, yang diduga Hindu Siwa, di India selatarn yang menjajah Srilangka. Pelataran candi portibi dekat dengan sungai batang pane yang dahulunya adalah sungai yang besar dan dijadikan sebagai lalu lintas perdagangan sehingga perahu-perahu mereka bisa lewat untuk melakukan perjalanan setelah mendapat hasil emas yang mereka tambang untuk di bawa ke India oleh Rajendra Cola. Rajendra Cola yang selalu melewati selat malaka yang di jaga oleh Kerajaan Sriwijaya, memberikan perturan untuk membayar pajak setiap dia akan melintas. Suatu hari Rajendra Cola yang awalnya tidak pernah membawa pasukan, datang membawa militernya untuk berperang dengan sriwijaya yang akhirnya di kalahkan oleh sriwijaya. Candi Portibi yang sekarang sering di sebut dengan Candi Bahal karena berada di desa Bahal. Candi yang sering di sebut masyarakat sekitar adalah ”Biaro” yang merupakan adopsi dari bahasa Sansekerta, ”vihara” yang berarti tempat belajar mengajar dan ibadah khususnya penganut agama Budha. Biaro- biaro ini diperkirakan sudah eksis sejak abad ke-11 M. Hal ini di perkuat dari data acuan yang berupa tulisan-tulisan kuno yang ditemukan di komplek percandian tersebut.Dahulunya komplek percandian Padang lawas ini adalah peninggalan Kerajaan Panai yang sekarang menjadi nama sebuah sungai. Kerajaan panai yang merupakan merupakan kerajaan Budhhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di Kabupaten Padang Lawas Utara. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan ia merupakan vazal dari Kerajaan Sriwijaya atau Dharmasraya. Keberadaan kerajaan ini diketahui dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I, di India Selatan, yang menyebutkan tentang penyerangan ke Sriwijaya. Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka, juga menyebutkan kerajaan ini. Kerajaan ini meninggalkan satu komplek percandian Padanglawas, sebanyak 16 bangunan, misalnya Candi Bahal. Agama Budha yang beraliran Wajrayana sanagat berkembang di Padang Lawas padang yang luas , ajaran Budha ini sangat berbeda dengan ajaran Budha yang kita kenal sekarang. Ajaran Budha di wilayah ini memiliki ciri-ciri beringas, bengis, dan cenderung dekat dengan upacara- upacara yang sadis.Hal ini dibenarkan oleh arkeolog yang berasal dari jerman F.M Schinitger, saat berkunjung ke candi ini pada tahun 1935, mengatakan bahwa Candi Portibi yang berada di desa bahal merupakan peninggalan Kerajaan Panai yang memeluk Buddha. Kesimpulannya diperkuat dengan prasasti berbahasa Tamil ber-angka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I di India Selatan. Dari temuan sejumlah artefak, analisa konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran beragam, Schinitger percaya bahwa candi- candi ini berkaitan dengan agama Buddha aliran Wajrayana. Arca yang ada di di Padang Lawas Utara yang berwajah raksasa dengan raut muka yang menyeramkan, relief pada dinding candi menggambarkan yang sedang menari dengan tarian tandawa asanas dalam bentuk tarian untuk membangkitkan keberaanian dalam menghadapi tantangan hidup pada masa itu dengan memanggil roh-roh. Hal ini di perkuat dari beberapa tulisan dan lempengan emas maupun batu yang ditemukan sebelum pemugaran candi. Di runtuhan Candi Bahal II ditemukan arca Heruka, satu-satunya arce sejenis di Indonesia. Penggambarannya sangat sadis dengan setumpuk tengkorak dan raksasa yang sedang menari-nari di atas mayat. Kompas jumat,239 2005 Bambang Budi Utomo seorang peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional PPAN menuliskan “Tangan kanan raksasa itu diangkat ke atas sambil memegang vajra, sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk tempurung kepala manusia” Upacara Tantrayana digambarkan sebagai tindakan yang sadis dan tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Tapi upacara terpenting dari aliran Wajrayana ini adalah Bhairawa.Upacara ini dilakukan di atas ksetra, lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar. Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, meramalkan mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa-tawa sambil mengeluarkan dengus seperti kerbau. Tujuannya agar bisa kaya, panjang umur, perkasa, kebal, menghilang, dan menyembuhkan orang sakit. Hal ini adalah satu bukti kenapa masyarakat Padang lawas Utara tidak lepas dari yang namanya Cuka tuak, Cuka ini selalu disiapkan bila akan mengadakan pesta atau upacara adat, di Padang Lawas Utara juga terkenal dengan peternak kerbau, hal ini juga sangat berkaitan di masa sekrang, dimana dahulu kerbau adalah simbol kehidupan bagi mereka, itulah sebabnya mengapa mereka menirukan dengusan tersebut. Agar lebih sakti lagi, mereka berulang-ulang menghafal nama Buddha atau Bodhisattwa. Ini dipercaya orang Wajrayana di Padang Lawas Utara untuk membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali atas kekuasaan Dewa yang dipuja konsep reinkarnasi.

4.2 Masalah Masyarakat