menutupi kekurangannya agar dapat menunjukkan eksistensi dirinya. Salah satunya adalah dengan cara menyalahgunakan NAPZA. Oleh karena itu, setiap orang tua
harus mampu mengetahui gejala-gejala seseorang yang menggunakan NAPZA, agar orang tua dapat waspada terhadap anak yang masih remaja.
Sedangkan kecenderungan makin dewasa usia lebih sulit untuk terpengaruhi dari NAPZA namun tidak tertutup kemungkinan bahwa usia dewasa juga dapat
terpengaruh dengan alasan menghindari permasalahan. Menurut Somar 2001, pada saat pecandu dalam kondisi stres atau apabila
menghadapi tekanan baik dari dalam dirinya maupun dari luar maka pada saat itulah sering terjadi relapse, yaitu peristiwa mantan pecandu yang telah beberapa lama tidak
memakai NAPZA kembali memakai dan terus mengkonsumsinya. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Husin 2008 diperoleh
faktor yang paling dominan memengaruhi mantan penyalahguna NAPZA untuk menggunakan NAPZA kembali salah satunya faktor emotional states keadaan
emosi. Penelitian Hawari 2006 menunjukkan bahwa ada pengaruh faktor stress
terhadap kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA.
5.1.2. Hubungan Pendidikan Responden dengan Kekambuhan Kembali
Pasien Penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012
Hasil penelitian tentang variabel pendidikan ditemukan bahwa 50,50 responden merupakan pendidikan menengah dengan persentase tertinggi yang
mengalami kekambuhan sebanyak 64,71. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Danial 2005 dengan desain cross sectional yang diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan responden dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA. Asumsi umum bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai
wawasan atau pengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak yang lebih baik. Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat pemahaman terhadap informasi
yang sangat penting tentang NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang
menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sempit serta tidak dapat mencegah penyalahguna NAPZA untuk kambuh kembali.
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang ada. Meskipun sebagian besar responden dengan pendidikan menengah namun trigger factors faktor pemicu
memberikan peran yang cukup besar dalam menimbulkan kekambuhan kembali pada responden. Menurut Gordon 2003 secara umum trigger factors yang berperan
dalam menimbulkan kekambuhan antara lain orang, benda, dan tempat. Adapun trigger factors yang dimaksud berbeda antara individu yang satu
dengan individu yang lainnya. Oleh karena itu, penyalahguna NAPZA harus dibekali oleh pengetahuan bagaimana mereka dapat bertahan saat mengahadapi masalah atau
situasi yang berisiko yang dapat menyebabkan kekambuhan kembali.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
5.1.3. Hubungan Pekerjaan Responden dengan Kekambuhan Kembali Pasien Penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012
Hasil penelitian tentang variabel pekerjaan ditemukan 63,37 responden yang bekerja dengan persentase tertinggi yang mengalami kekambuhan sebanyak 71,88.
Uji statistik menunjukkan variabel pekerjaan berhubungan dengan kekambuhan kembali penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang.
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari 1990 salah satunya menyebutkan bahwa tersedianya NAPZA dan mudahnya NAPZA diperoleh atau dibeli mempunyai
andil 88 bagi mantan penyalahguna terlibat penyalahgunaan kembali. Seorang penyalahguna NAPZA yang bekerja maka akan memiliki
pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa 44,55 responden merupakan wiraswasta. Artinya responden memiliki usaha sendiri walaupun
merupakan usaha kecil-kecilan. Ini dapat mengindikasikan bahwa responden memiliki keuangan yang cukup dimana responden memperoleh pendapatan secara
langsung tanpa harus menunggu dibayarkan oleh orang lain. Jika suatu saat mereka ingin menggunakan NAPZA kembali mereka tidak
akan merasa kesulitan untuk mengeluarkan uang untuk membeli NAPZA. Selain itu, mudahnya NAPZA didapatkan oleh penyalahguna juga turut memberikan kontribusi
terhadap kekambuhan kembali. Jika NAPZA sulit untuk didapatkan, meskipun memiliki uang maka diharapkan daya beli masyarakat terhadap NAPZA akan
semakin kecil.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
5.1.4. Hubungan Pengetahuan Responden dengan Kekambuhan Kembali Pasien Penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012
Pengetahuan diperoleh dari hasil proses belajar baik secara formal maupun informal. Semakin orang rajin belajar, maka semakin bertambah pengetahuannya.
Menurut Soekidjo 2003 pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan hal tersebut terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting bagi pembentukan sikap dan
tindakan seseorang yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng. Hasil penelitian tentang variabel pengetahuan ditemukan 76,24 pada
kategori baik dengan persentase kekambuhan kembali sebanyak 64,94. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan
kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Danial 2005 yang menggunakan
pendekatan cross sectional menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden dengan kekambuhan.
Meskipun seseorang memiliki pengetahuan yang baik, namun kepribadian- kepribadian tertentu mempunyai kecenderungan untuk menyalahgunakan NAPZA
kembali. Apalagi kalau yang bersangkutan sedang menghadapi masalah-masalah sulit Visimedia, 2006.
Hasil penelitian didapatkan 76,24 responden memiliki pengetahuan yang baik. Namun, pengetahuan yang dimiliki responden penting sebelum mereka
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
menyalahgunakan NAPZA. Harus ada sesuatu hal yang memotivasi seseorang untuk bertindak atas dasar pengetahuan yang dimilikinya. Pemakaian NAPZA pertama kali
yang akan menyebabkan seseorang akan selalu teringat, terkenang, dan terbayang sehingga cenderung untuk selalu mencari dan rindu untuk menggunakan NAPZA
kembali meskipun mereka memiliki pengetahuan akan bahaya NAPZA. Pengetahuan merupakan faktor penting namun tidak menjadi faktor utama dalam perubahan
perilaku penyalahguna NAPZA.
5.1.5. Hubungan Sikap Responden dengan Kekambuhan Kembali Pasien Penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012
Hasil penelitian tentang variabel sikap ditemukan 50,50 pada kategori cukup dengan persentase kekambuhan kembali sebanyak 62,75. Uji statistik
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Prasetyaningsih 2003 yang menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
sikap dengan kekambuhan. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Dewi 2008 mengenai faktor-faktor
penyebab relapse dan perubahannya ditemukan bahwa perubahan pada saat relapse yang dialami oleh seorang penyalahguna NAPZA terdiri dari sejumlah perubahan
dalam tingkah laku, sikap, pola pikir, dan perasaan. Hal tersebut membuktikan bahwa sikap saja tidak cukup untuk menjamin
mantan penyalahguna NAPZA tidak menjadi kambuh kembali, karena diperlukan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
praktek yang merupakan action dari sikap. Proses pemulihan penyalahguna NAPZA bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah.
Ketidakmampuan responden untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam dirinya terhadap penggunaan NAPZA selama
proses pemulihan dapat menyebabkan kekambuhan kembali meskipun responden memiliki sikap yang cukup terhadap dampak buruk penyalahgunaan NAPZA.
5.1.6. Hubungan Motivasi Responden dengan Kekambuhan Kembali Pasien Penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012
Penyalahguna NAPZA harus dibantu untuk menyembuhkan dirinya. Penyalahguna NAPZA pada umumnya adalah generasi muda. Penyalahguna NAPZA
sering menunjukkan sifat agresif, depresi, dan pada umumnya mempunyai penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Mereka tidak jarang putus asa dan
tidak mempunyai keinginan untuk sembuh Domenico dan Windle, 1993. Hasil penelitian tentang variabel motivasi ditemukan 80,20 responden
memiliki motivasi tinggi dengan persentase kekambuhan kembali sebesar 56,79. Uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara motivasi dengan
kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang. Hal ini sejalan dengan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Purwandari
2007 yang menyatakan bahwa pada rentang pemakaian NAPZA terdapat periode atau saat tertentu untuk berhenti dari NAPZA. Dibutuhkan motivasi untuk berhenti
dari NAPZA. Lingkungan yang kondusif dan memberikan respon positif sangat
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
diharapkan untuk membuat manifesnya sebuah motivasi menjadi perilaku yang aktual, dalam hal ini adalah berhenti dari NAPZA.
Kunci keberhasilan untuk lepas dari kecanduan narkoba terletak dalam diri pecandu itu sendiri. Niat atau motivasi merupakan modal yang sangat luar biasa. Niat
tersebut harus dijalankan bagaimanapun risikonya. Kesulitan untuk berhenti merupakan problema yang terberat bagi seorang pecandu, apalagi yang
ketergantungannya parah, karena mereka mempunyai sugesti yang sangat kuat untuk selalu menggunakan. Untuk itu sebelum benar-benar lebih parah akibatnya, sangat
baik jika ada niat berhenti total Willy, 2005. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebahagian besar responden memiliki
motivasi tinggi yaitu 80,20. Hal ini mungkin disebabkan oleh responden yang tidak jujur pada saat menjawab pertanyaan mengenai motivasi. Atau meskipun motivasi
mereka untuk sembuh tinggi namun pada saat craving terjadi responden tidak mampu melawannya. Motivasi sembuh harus ditumbuhkan dalam diri responden terutama
motivasi untuk mengatasi sugesti craving yang muncul di dalam diri seorang mantan penyalahguna NAPZA. Responden menyatakan bahwa hal yang tersulit
dihadapi adalah pada saat mereka mengalami sugesti yang sangat kuat di dalam dirinya untuk menggunakan NAPZA kembali. Mereka akan menjadi menyerah jika
tidak ada dukungan ataupun bimbingan yang mengarahkan mereka untuk melepaskan diri dari sugesti tersebut.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
5.1.7. Hubungan Lama Pemakaian NAPZA dengan Kekambuhan Kembali Pasien Penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 44,55 responden menggunakan NAPZA 6 tahun dengan persentase kekambuhan sebesar 73,33. Uji
statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara lama pemakaian NAPZA dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli
Serdang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muttaqin desain case control
2007 yang melakukan penelitian di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta yang mendapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan pasien
penyalahguna NAPZA adalah tingkat pendidikan, status perkawinan, status hepatitis, lama pakai, dan cara pakai.
Wikler dalam Hawari 2006 mengemukakan conditioning theory. Menurut teori ini seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap NAPZA apabila ia terus
menerus diberi NAPZA tersebut. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi seluler neuro- adaptation, tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf
bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami keausan, yang dari luar nampak sebagai gejala-gejala putus NAPZA. Gejala putus
NAPZA ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian NAPZA tersebut. Oleh karena itu, pemakaian NAPZA yang relatif lama, rutin, dan menetap
menjadi potensi yang tinggi untuk mengalami ketergantungan. Sehingga pada saat
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
seorang penyalahguna NAPZA berhenti menggunakan NAPZA, maka keinginan mereka untuk menggunakan kembali NAPZA juga akan sangat tinggi.
5.1.8. Hubungan Jenis NAPZA yang Digunakan dengan Kekambuhan Kembali Pasien Penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 41,58 responden menggunakan NAPZA lebih dari satu jenis multiple dengan persentase kekambuhan
sebesar 76,19. Uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara jenis NAPZA yang digunakan dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA
di Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitian Hidajah 2002 dengan desain cross sectional didapatkan
bahwa hampir seluruh responden 85,29 biasa menggunakan lebih dari satu jenis NAPZA, hanya 8 orang 7,8 yang menggunakan satu jenis NAPZA.
Hal ini didukung oleh hasil Survei Narkoba Rumah Tangga SKRT, 2010 diperoleh para penyalahguna NAPZA di Indonesia cenderung memakai NAPZA lebih
dari satu jenis. Biasanya jika ada teman yang membawa narkoba jenis baru selalu muncul rasa ingin mencoba.
Ketika seseorang sudah terbiasa menggunakan NAPZA, maka secara fisik dan psikologis orang tersebut tidak dapat lagi hidup normal tanpa ada zat-zat NAPZA di
dalam tubuhnya. Secara fisik penyalahguna NAPZA akan merasa kesakitan, sangat tidak nyaman bila tidak ada zat yang biasanya ada dalam tubuhnya. Kesakitan dan
penderitaannya hanya akan terhenti ketika zat-zat tersebut kembali berada dalam tubuhnya. Secara psikologis penyalahguna NAPZA membutuhkan rasa nikmat yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
biasa ia rasakan ketika zat-zat tersebut bereaksi dalam tubuhnya dalam bentuk perubahan perasaan dan pikiran. Pikiran dan perasaannya kembali tenang ketika zat
tersebut kembali ke dalam tubuhnya. Zat-zat yang memberikan “kenikmatan” bagi pemakainya inilah yang mendorong kekambuhan kembali.
Kekambuhan kembali ini disebabkan oleh sifat khas NAPZA itu sendiri yaitu habitual, adiktif, dan toleran.
Adiktif adalah sikap yang membuat pemakainya terpaksa memakai terus dan tidak dapat menghentikan, penghentian atau pengurangan pemakaian
narkoba akan menimbulkan ‘efek putus zat’ yaitu perasaan sakit yang luar biasa.
5.2. Faktor Eksternal