h. Musim libur.
i. Kembali pada teman pecandu dan kebiasaan lama.
j. Merasa bersalah tentang masa lalu.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan faktor internal umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, motivasi,
lama pemakaian NAPZA dan jenis NAPZA yang digunakan dan faktor eksternal teman sebaya dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.
1.2. Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : bagaimana hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan kekambuhan kembali pasien
penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.
1.4. Hipotesis
Ada hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1.
Bagi Dinas Kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam perencanaan program pencegahan dan penanganan NAPZA secara lebih
komprehensif dan integratif. 2.
Sebagai masukan bagi pusat rehabilitasi korban NAPZA, dalam penanganan pada saat rehabilitasi dan pasca rehabilitasi.
3. Bagi lingkungan akademisi, hasil penelitian ini sebagai informasi yang dapat
memperkaya khasanah pengetahuan tentang bahaya dan pencegahan kekambuhan kembali pasien NAPZA.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. NAPZA 2.1.1. Pengertian NAPZA
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan
perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan BNN, 2004. NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian
tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan
bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi Kemenkes RI, 2010.
2.1.2. Jenis–Jenis NAPZA
NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika memiliki daya adiksi ketagihan yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran penyesuaian dan daya habitual kebiasaan yang sangat
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari “cengkraman”-nya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
a. Narkotika golongan I adalah : narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya
sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain,
morfin, opium, dan lain-lain. b. Narkotika golongan II adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
c. Narkotika golongan III adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan
turunannya. 2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa
psyche.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :
a. Golongan I adalah : psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum
diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
b. Golongan II adalah : psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.
c. Golongan III adalah : psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya.
d. Golongan IV adalah : psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam BK, mogadon, dumolid, diazepam, dan lain-lain.
3. Bahan Adiktif Lainnya Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika
yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya : a.
Rokok b.
Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
c. Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin,
yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan. Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan menimbulkan
ketagihan juga tergolong NAPZA Partodiharjo, 2008.
2.1.3. Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan
dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit.
Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.
Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik Sumiati,
2009. Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi
yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi danatau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu Sumiati, 2009: a.
Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan
mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya toleransi.
b. Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan
NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.
2.1.4. Tahapan Pemakaian NAPZA
Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut : 1.
Tahap pemakaian coba-coba eksperimental Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-coba.
Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba memakai putaw atau minum pil ekstasi.
2. Tahap pemakaian sosial
Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan saat berkumpul atau pada acara tertentu, ingin diakuiditerima kelompoknya. Mula-mula NAPZA diperoleh
secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif mencari NAPZA.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
3. Tahap pemakaian situasional
Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres. Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai berusaha
memperoleh NAPZA secara aktif. 4.
Tahap habituasi kebiasaan Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur sering, disebut
juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah
tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia sering
membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.
5. Tahap ketergantungan
Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat mengendalikan
penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak.
Pada ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai, agar ia dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, ia tampak sehat,
meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat sakaw. Gejalanya bergantung pada jenis zat yang digunakan.
Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ
tubuh. Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah
NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan
meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan overdosis, dapat terjadi kematian Harlina, 2008.
2.1.5. Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA
Menurut Soetjiningsih 2004, faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan
teman sebaya, dan karakteristik individu. 1.
Faktor Genetik Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari orang
tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum alkohol dibandingkan remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain membuktikan
remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja kembar dizigot.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Lingkungan Keluarga
Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai risiko
penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat.
Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami problem-problem
tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga. Banyak keluarga berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak harmonis dan matinya
komunikasi antara mereka. Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat perceraian. Kalau
pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada sebetulnya adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana anggota keluarga tidak merasa betah. Orangtua
sering minggat dari rumah atau pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Ke mana anak harus berpaling? Kebanyakan diantara penyalahguna NAPZA mempunyai
hubungan yang biasa-biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu luang dan bercanda dengan orang tuanya Jehani, dkk, 2006.
3. Pergaulan Teman Sebaya
Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman kelompok sebaya peer group mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau mencetuskan
penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari 2006 perkenalan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang
bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada saat perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan seseorang
tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan relapse. Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan
psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh teman kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan
cara membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari teman kelompoknya.
Marlatt dan Gordon 1980 dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari
oleh teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA mereka kembali bertemu dan bergaul. Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini merupakan
kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh teman kelompok sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34.
4. Karakteristik Individu
a. Umur
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah mereka yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan masih sangat labil,
mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok Kerja Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Departemen Pendidikan Nasional menyatakan sebanyak
70 penyalahguna NAPZA di Indonesia adalah anak usia sekolah Jehani, dkk, 2006.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar 2004 proporsi penyalahguna NAPZA tertinggi pada kelompok umur 17-19 tahun 54.
b. Pendidikan
Menurut Friedman 2005 belum ada hasil penelitian yang menyatakan apakah pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan tetapi, pendidikan ada
kaitannya dengan cara berfikir, kepemimpinan, pola asuh, komunikasi, serta pengambilan keputusan dalam keluarga.
Hasil penelitian Prasetyaningsih 2003 menunjukkan bahwa pendidikan penyalahguna NAPZA sebagian besar termasuk kategori tingkat pendidikan dasar
50,7. Asumsi umum bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai wawasanpengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak yang lebih baik.
Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat pemahaman terhadap informasi yang sangat penting tentang NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat
ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sempit.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
c. Pekerjaan
Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna NAPZA
tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi 68, PNSTNIPOLRI dengan prevalensi 13, dan karyawan BUMN dengan prevalensi 11 BNN, 2010.
2.1.6. Dampak Penyalahgunaan NAPZA
1. Terhadap kondisi fisik
a. Akibat zat itu sendiri
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang
diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat.
Contohnya : a.1. Ganja : pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang
infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner. a.2. Kokain : bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka
panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan. a.3. Alkohol : menimbulkan banyak komplikasi, misalnya : gangguan lambung,
kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.
b. Akibat bahan campuranpelarut : bahaya yang mungkin timbul : infeksi, emboli.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
c. Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril
Akan terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis. d.
Akibat pertolongan yang keliru Misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi minum.
e. Akibat tidak langsung
Misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.
f. Akibat cara hidup pasien
Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin. 2.
Terhadap kehidupan mental emosional Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan pada
kehidupan mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindrom amotivasional.
Putus obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri. 3.
Terhadap kehidupan sosial Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu
fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu dipecatdikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan
untuk menyalahgunakan obat. Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan dekat pada
umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi, kebutuhan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran, baik norma
sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan impulsif Alatas, dkk,
2006.
2.1.7. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi BNN, 2004 : 1.
Pencegahan primer Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka,
individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar individu, kelompok, dan
masyarakat waspada serta memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat
menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik. 2.
Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang sudah
menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak menggunakan NAPZA lagi.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi untuk
menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap penyalahguna
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun
dengan melakukan rehabilitasi kembali.
2.1.8 Terapi dan Rehabilitasi
1. Terapi Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi Tanpa Subsitusi
Klien ketergantungan putau heroin yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat
tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri. b.
Detoksifikasi dengan Substitusi Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya
kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah
dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut Purba, 2008.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Rehabilitasi
Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti
sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut Hawari 2006 jenis-jenis rehabilitasi antara lain : a.
Rehabilitasi Medik Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahguna
NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program rehabilitasi medik ini ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan gizi makanan
yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-masing yang bersangkutan.
b. Rehabilitasi Psikiatrik
Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang semula bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat
bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing atau mengasuhnya.
Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah psikoterapikonsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai “rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga
broken home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat penyalahgunaan NAPZA,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
bagaimana cara menyikapinya bila kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar tidak kambuh.
c. Rehabilitasi Psikososial
Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di
sekolahkampus dan di tempat kerja. Program ini merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan
keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai
menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke sekolahkuliah atau bekerja.
d. Rehabilitasi Psikoreligius Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama dalam
rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti penting dalam mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan memulihkan dam
memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan. Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian
pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
e. Forum Silaturahmi Forum silaturahmi merupakan program lanjutan pasca rehabilitasi yaitu
program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna NAPZA yang telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi dan keluarganya. Tujuan yang hendak
dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah tanggakeluarga sakinah yaitu keluarga yang harmonis dan religius, sehingga dapat
memperkecil kekambuhan penyalahgunaan NAPZA. f. Program Terminal
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum silaturahmi, mengalami
kebingungan untuk program selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang karena keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di masa lalu terpaksa
putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani program khusus yang dinamakan program terminal re-entry program, yaitu program persiapan untuk
kembali melanjutkan sekolahkuliah atau bekerja.
2.2. Konsep Perilaku
2.2.1. Pengertian Perilaku
Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan Notoatmodjo, 2010.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Dengan demikian perilaku
manusia terjadi melalui proses : Stimulus Organisme Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.
Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
1. Perilaku tertutup covert behavior
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain dari luar secara jelas. Respon seseorang masih terbatas
dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus.
2. Perilaku terbuka overt behavior
Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut
Notoatmodjo, 2010 : 1.
Pengetahuan Knowledge Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya mata, hidung, telinga, dan sebagainya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Sikap Attitude
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
3. Tindakan atau praktik Practice
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak praktik. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk
terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
2.2.2. Determinan Perilaku
Green 1980 menganalisis faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi predisposing factor
Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan
sebagainya. 2.
Faktor-faktor pemungkin enabling factors Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau
tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
3. Faktor-faktor penguat reinforcing factors
Yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi
tidak melakukannya.
2.2.3. Konsep Dasar Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
Notoatmodjo, 2003. Menurut Bloom dalam Notoatmodjo 2003, pengetahuan yang tercakup
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan : a.
Tahu know Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali recall sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
b. Memahami comprehension
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebgainya
terhadap objek yang dipelajari. c.
Aplikasi application Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud
dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis analysis
Analisis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila
orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
e. Sintesis synthesis
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
f. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Pengetahuan menjadi landasan penting untuk menentukan suatu tindakan. Pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan
dalam mengambil suatu keputusan Notoatmodjo, 2003.
2.2.4. Konsep Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
Notoatmodjo, 2007.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni Notoatmodjo, 2007 : 1.
Menerima Receiving Menerima diartikan, bahwa orang subjek mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan objek. 2.
Merespon Responding Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut. 3.
Menghargai Voluing Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4.
Bertanggung jawab Responsible Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko
merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.5. Konsep Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan overt behavior. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan Notoatmodjo, 2007.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
1. Persepsi perception
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respons terpimpin guided response
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.
3. Mekanisme mecanism
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga. 4.
Adopsi adoption Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.3. Motivasi 2.3.1. Pengertian Motivasi
Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran
yang telah ditentukan sebelumnya Siagian, 1989.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sedangkan menurut Daft dan Marcic 2008 motivasi adalah kekuatan yang membangkitkan semangat dan ketekunan untuk mengejar tindakan tertentu.
2.3.2. Pembagian Motivasi
Ada dua jenis motivasi yaitu: 1.
Motivasi Internal Yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang.
2. Motivasi Eksternal
Yaitu motivasi yang berasal dari luar diri seseorang. Motivasi pada penyalahguna NAPZA dapat diartikan suatu perilaku
seseorang yang didorong untuk terlepas dari suatu penyakit atau rasa ketergantungan terhadap NAPZA terutama para remaja yang mengalami masa transisi atau pencarian
identitas diri, dimana mudahnya terpengaruh oleh lingkugan luar atau sutau kelompok yang membawa pengaruh besar terhadap remaja tersebut untuk ke arah
yang negatif, begitupun sebaliknya Iryani, 2007.
2.4. Kambuh Kembali
2.4.1. Pengertian Kambuh Kembali
Kambuh kembali yaitu wujud perilaku menyimpang atau manifestasi ketidakmampuan individu menjalankan fungsinya dengan baik, yang berlangsung
secara progresif. Gejala-gejala itu meningkat dan akhirnya ia memakai NAPZA, agar bebas dari tekanan Martono, 2008.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sedangkan menurut Nasution 2004 kambuh kembali adalah seseorang yang sudah sembuh dari penyalahgunaan NAPZA yang kembali menggunakannya.
2.4.2. Faktor – Faktor Penyebab
Adapun yang menjadi faktor penyebab kambuh kembali pada penyalahguna NAPZA adalah sebagai berikut Nasution, 2004 :
a. Mantan penyalahguna NAPZA yang sudah pulih seringkali mengalami euforia.
Mereka cenderung mabuk dengan keberhasilannya, lalu menjadi sombong dan serakah. Ia melupakan unsur-unsur penopang keberhasilannya. Mabuk
keberhasilan, ditambah dengan keserakahan itulah yang membuatnya lengah dan kembali memakai NAPZA.
b. Stress. Mungkin mantan penyalahguna NAPZA banyak beban atau juga sering
menyalahkan dirinya sendiri. Semua itu membuatnya stress. Seperti yang pernah dulu ia alami dan lakukan, setiap kali mengalami masalah, ia lari ke NAPZA. Ia
ingin lari dari kenyataan. c.
Kepribadian yang tidak tahan perubahan. Mantan penyalahguna NAPZA yang tidak tahan perubahan potensial kambuh. Mereka ini termasuk yang tidak
disiplin. Hal-hal yang sebelumnya sudah berusaha keras ia lakukan atau hindarkan, kembali lagi ia langgar.
d. Mereka yang demam obat. Yaitu mereka yang doyan makan obat. Setiap kali
sakit, ia akan memakan obat. Suatu saat nanti ia pasti akan menjadikan NAPZA sebagai obatnya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
e. Kepribadian tanpa perlindungan. Maksudnya mereka yang sudah sembuh tidak
mendapat pengawasan dari keluarganya ataupun dari teman sebaya. Mereka bisa dengan bebas kembali ke ‘habitatnya’.
f. Tidak adanya dukungan atau bimbingan dari keluarga. Hingga saat ini ada
kesalahan yang tak disadari yaitu mereka yang berobat lebih banyak berorientasi pada pengobatan fisik, sementara kurang dukungan penyembuhan yang berasal
dari keluarga.
2.4.3. Proses Kambuh Kembali
Menurut Groski dan Miller 1986, proses kambuh kembali terjadi dalam sebelas tahap yaitu sebagai berikut :
Tahap ke-1 : Perubahan Dalam Diri Terlihat baik di luar, tetapi mulai menggunakan pemikiran yang tidak sehat
dan adiktif untuk mengelola perasaan negatif mengenai citra diri. Beberapa gejala sebagai berikut:
a. Stres meningkat - dapat disebabkan oleh keadaan besar atau hal-hal kecil.
b. Berubah dalam berpikir - program pemulihan tidak penting lagi.
c. Perubahan perasaan - perubahan suasana hati dan perasaan positif atau negatif
yang berlebihan. d.
Perubahan perilaku - tidak ikut serta pada program seperti sebelumnya, mengetahui sesuatu yang salah.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Tahap ke-2 : Menyangkal Mulai mengabaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, dan berhenti berkata
jujur kepada orang lain mengenai apa yang dipikirkan dan rasakan. Beberapa gejala sebagai berikut:
a. Mengkhawatirkan tentang diri sendiri - merasa takut menggunakan NAPZA, dan
memberhentikan ketakutan karena pikiran yang terlalu tidak nyaman. b.
Menyangkal diri dalam keadaan khawatir - meyakinkan diri bahwa semuanya baik, padahal sebenarnya tidak.
Tahap ke-3 : Menghindar dan Mempertahankan Diri Menghindari orang atau situasi yang akan memaksa evaluasi akan kejujuran
dari pemikiran, perasaan dan perubahan perilaku: dan jika dihadapkan, menjadi defensif dan tidak mendengarkan. Beberapa gejala sebagai berikut:
a. Yakin bahwa alkohol atau obat-obatan tidak akan digunakan lagi - meyakinkan
diri sendiri bahwa energi tidak banyak yang dibutuhkan untuk menjaga ketenangan hati, dan menjaga ini meskipun rahasia.
b. Khawatir tentang orang lain - lebih berfokus pada ketenangan orang lain dari pada
diri sendiri, menilai program lainnya, dan membuat segala sesuatunya menjadi rahasia.
c. Defensif - menghindari diskusi tentang masalah pribadi karena takut dikritik.
d. Perilaku kompulsif - kembali ke cara lama, kaku dan merugikan diri sendiri dalam
hal berpikir dan bertindak.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
e. Perilaku impulsif - menggunakan penilaian buruk dan menyebabkan masalah
karena perilaku impulsif tanpa memikirkan dengan tuntas. f.
Menghindari orang - merasa tidak nyaman di sekitar orang lain dan mengubah perilaku untuk menyendiri, mencari-cari alasan untuk tidak bersosialisasi, dan
merasa kesepian. Tahap ke-4 : Terbangunnya Krisis
Bekerja keras untuk memecahkan masalah tetapi menyebabkan timbulnya permasalahan yang baru. Beberapa gejala sebagai berikut:
a. Perubahan visi - berfokus pada satu bagian kecil dari kehidupan dengan
mengesampingkan segala sesuatunya. b.
Depresi - merasa sedih, tidur terlalu banyak dan kurang energi. c.
Hilangnya perencanaan konstruktif - bukan melihat ke depan atau berpikir tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.
d. Kegagalan rencana - rencana mulai gagal dan setiap kegagalan menyebabkan
reaksi yang berlebihan menciptakan masalah baru dan perasaan bersalah dan penyesalan.
Tahap ke-5 : Immobilisasi Merasa terjebak dalam masalah yang berkelanjutan, tidak terkendali dan
merasa tidak termotivasi untuk mengambil tindakan. Beberapa gejala sebagai berikut: a.
Berangan-angan - memiliki fantasi untuk melarikan diri jika seseorang akan membantu atau suatu peristiwa akan terjadi.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
b. Kekalahan - perasaan seperti kegagalan, seseorang yang tidak bisa mendapatkan
sesuatu dengan benar. c.
Kebahagiaan - keinginan untuk bahagia tapi tidak tahu bagaimana mewujudkannya.
Tahap ke-6 : Kebingungan dan Reaksi Berlebihan Bermasalah dalam hal berpikir jernih dan mengelola pikiran, perasaan dan
tindakan. Beberapa gejala sebagai berikut : a.
Kesulitan berpikir jernih - masalah biasanya sederhana namun membingungkan karena mental yang jatuh dan pemikiran yang tidak terkendali.
b. Kesulitan mengelola perasaan dan emosi - bereaksi berlebihan atau menjadi mati
rasa, pikiran gila. c.
Kesulitan mengingat – kesulitan mengingat sesuatu dari masa lalu dan belajar hal baru yang menjadi suatu tantangan.
d. Kebingungan - tidak tahu apa yang benar atau salah, sehat atau tidak sehat, dan
tidak tahu bagaimana memecahkan masalah. e.
Ketidakmampuan mengelola stress - perasaan mati rasa dan tidak mengakui itu, merasa kewalahan tanpa alasan, tidak bisa terlepas dari situasi atau lingkungan.
Tahap ke-7 : Depresi Merasakan bahwa hidup ini tidak layak atau berpikir untuk mengobati diri
sendiri dengan obat - obatan atau alkohol untuk menghindari depresi. Beberapa gejala sebagai berikut :
a. Makan tidak teratur – makan berlebihan atau kehilangan nafsu makan,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
mengganti makanan sehat dengan siap saji. b. Tidak termotivasi - tidak bisa memulai dan menyelesaikan apapun dan merasa
terjebak. c. Susah tidur - tidak bisa tidur, mimpi buruk dan tidak nyenyak tidur.
d. Hilangnya kegiatan harian - rutinitas sehari-hari menjadi berantakan. e. Depresi mendalam - depresi diperhatikan oleh orang lain dan tidak dapat
dengan mudah disangkal, merasa tidak ada yang peduli atau memahami. Tahap ke-8 : Tingkah Laku Hilang Kontrol
Ketidakmampuan untuk mengendalikan pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Beberapa gejala sebagai berikut :
a. Tidak teratur menghadiri pertemuan - mencari alasan untuk tidak pergi pertemuan
dan bertemu dengan sponsor, membuat hal-hal lain menjadi lebih penting. b.
Sikap tidak peduli - tidak peduli tentang masalah untuk menyembunyikan perasaan putus asa.
c. Ketidakpuasan dengan kehidupan - perasaan ingin kembali ke alkohol dan obat-
obatan karena segala sesuatu tidak akan menjadi lebih buruk. d.
Ketidakberdayaan - perasaan seolah-olah tidak ada yang bisa dilakukan dan tidak ada jalan keluar.
Tahap ke-9 : Pengakuan Atas Hilangnya Kontrol Penolakan atas gangguan dan realisasi atas kehidupan yang tidak terkendali,
masalah semakin parah, dan ada sedikit kontrol atas keadaan, ketakutan dan kecemasan akibat hasil isolasi dan merasa bahwa tidak seorangpun yang membantu.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Beberapa gejala sebagai berikut : a.
Kesulitan dengan koordinasi fisik - pusing, kehilangan keseimbangan, koordinasi tangan-mata dan refleks lambat menyebabkan kecanggungan dan kecelakaan.
b. Mengasihani diri sendiri - percaya bahwa tidak ada harapan dan merasa bersalah
pada diri sendiri. c.
Pengalaman penggunaan sosial - berharap kembali ke alkohol dan penggunaan narkoba dapat dikontrol dan mungkin satu-satunya alternatif untuk merasa lebih
baik. d.
Sadar berbohong - hal-hal yang dikatakan adalah kebohongan, dan tidak bisa berhenti berbohong.
e. Hilangnya kepercayaan diri – percaya pada diri sendiri hal yang tidak berguna,
tidak kompeten dan tidak akan pernah mampu mengelola kehidupan. Tahap ke-10 : Isolasi Diri
Percaya hanya ada tiga jalan keluar: gila, bunuh diri, atau pengobatan sendiri dengan zat alkohol dan atau kimia. Beberapa gejala sebagai berikut :
a. Kebencian yang tidak masuk akal - kemarahan akibat ketidakmampuan untuk
berperilaku dengan cara yang tidak sehat. b.
Penghentian pengobatan - berhenti menghadiri semua pertemuan dengan konselor dan kelompok, dan menghentikan semua pengobatan farmakoterapi.
c. Kesepian, frustasi, kemarahan dan ketegangan - merasa tak berdaya, putus asa dan
hampir gila.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
d. Kehilangan kontrol perilaku - ketidakmampuan untuk mengendalikan pemikiran,
emosi, dan penilaian. Tahap ke-11 : Penggunaan Alkohol dan Obat-obatan
Kembali ke penggunaan alkohol atau obat-obatan dan cepat kehilangan kontrol. Beberapa gejala sebagai berikut :
a. Mencoba mengendalikan penggunaannya - berencana untuk menggunakan karena
sosial atau jangka pendek. b.
Kecewa, malu dan rasa bersalah - penggunaan alkohol dan obat tidak menghasilkan hasil yang diinginkan dan kekecewaan diikuti dengan rasa malu dan
rasa bersalah karena kambuh. c.
Hilangnya kontrol - alkohol dan kimia, penggunaan narkoba di luar kendali. d.
Hidup dan masalah kesehatan - kualitas hidup merosot sebagai masalah berat dengan hubungan, pekerjaan, keuangan, kesehatan mental dan fisik sehingga
memerlukan perawatan profesional.
2.4.4. Pencegahan Kekambuhan Kembali
Pencegahan kekambuhan kembali adalah suatu metode yang sistematik bagi penyalahguna yang sedang pulih, untuk mengenal dan mengelola munculnya kembali
perilaku adiktif. Tujuan program pencegahan kekambuhan kembali, meliputi : a.
Mengembangkan keterampilan untuk mengatasi situasi risiko tinggi, b.
Mengidentifikasi tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan, c.
Mengubah gaya hidup penyalahguna NAPZA menjadi gaya hidup sehat, dan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
d. Meningkatkan kegiatan-kegiatan yang produktif.
Pencegahan kekambuhan harus menjadi bagian dari upaya pemulihan. Penyalahguna NAPZA yang telah pulih harus diajarkan keterampilan untuk
mengatasi masalah. Adapun kegiatan pencegahan kekambuhan antara lain : 1.
Pemulihan fisik a
Perawatan aspek medik dan kesehatan b
Kebiasaan makan yang sehat c
Latihan relaksasi d
Tidur teratur e
Kegiatan rekreasi 2.
Pemulihan psikologis dan perilaku a
Membangun citra diri b
Mengembangkan nilai-nilai, seperti kejujuran c
Mengikuti kegiatan yang teratur dan terencana d
Bekerja tepat waktu e
Mengambil tanggung jawab dan mengelolanya 3.
Pemulihan sosial a
Menyediakan waktu dengan keluarga dan teman-teman b
Pergi bersama anggota keluarga c
Makan bersama anggota keluarga d
Mengambil peran tertentu
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4. Pemulihan rohani
Meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Penyalahguna NAPZA yang telah selesai mengikuti terapi atau rehabilitasi
harus tetap mengikuti program pemulihan dan mengerjakan latihan atau tugas yang diberikan setiap hari selama sisa hidupnya. Jika tidak, dapat terjadi kekambuhan.
Ada perjanjian antara penyalahguna NAPZA dan tempat terapi atau rehabilitasi setelah selesai terapi, agar ia mengikuti program rawat lanjut. Ia harus
secara teratur menghadiri pertemuan kelompok pendukung, beroleh dukungan dan berpartisipasi aktif. Ia harus dilatih cara mengatasi rasa rindu dan mencegah
kekambuhan. Orang tua pun harus memahami masalah itu dan turut membantu anak mengidentifikasi gejala kekambuhan.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan penyalahguna NAPZA yang sedang pulih agar tidak kambuh :
a. Mengelola perasaannya secara sehat
Cara : membiarkan perasaan itu muncul, menarik napas panjang beberapa kali, mencurahkan perasaan, mengecek perasaannya dengan kenyataan, tidak
mempersalahkan orang lain atau keadaan, menuliskan perasaannya, tidak mengasihani diri sendiri, mengubah cara pandang, melakukan sesuatu yang
positif dan menyenangkan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
b. Menghadapi persoalan secara konstruktif
Cara : tidak lari dari masalah, meletakkan masalah secara proporsional, membicarakannya, mendahulukan pemulihannya, menerima tanggung jawab dan
tidak menyalahkan orang lain, membagi persoalan ke dalam beberapa langkah kecil, menunggu, dan meminta dukungan.
c. Menghindari situasi berisiko tinggi
Ia harus menghindari situasi berisiko tinggi, yaitu orang, tempat, benda, dan suasana yang berkaitan dengan pemakaian NAPZA di masa lalu.
d. Mengatasi situasi risiko tinggi
Jika tidak dapat menghindarkan diri dari situasi berisiko tinggi, penyalahguna terpaksa menghadapinya dengan pendampingan, menghubugi kelompok
pendukung sebelum pergi ke tempat itu, dan meninggalkan segera tempat itu. e.
Mengenal tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan Keluarga perlu terlatih mengenal tanda-tanda peringatan munculnya
kekambuhan. Mereka harus menolong penyalahguna dengan memperingatkannya ketika tanda-tanda itu muncul.
2.5. Landasan Teori
Green 1980 dalam teorinya menganalisis masalah kesehatan dengan membagi menjadi dua faktor yaitu masalah yang berkaitan dengan faktor perilaku dan
faktor non perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : faktor predisposisi predisposing factors, yang terwujud dalam pengetahuan,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung enabling factors, yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan saranafasilitas,
informasi. Ketiga, faktor penguat reinforcing factors, yag terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau
peer group. Bagan Precede Green secara singkat dapat dilihat pada bagan berikut :
3.
Gambar 2.1. Bagan Precede Green
Banyak faktor yang memengaruhi perilaku penyalahgunaan NAPZA. secara garis besar dengan menggabungkan teori Green di atas dan beberapa peneliti
sebelumnya tentang NAPZA Prasetyaningsih, 2003; Tasman, 2005; dan Siregar, 2004 maka penyalahgunaan NAPZA disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor
internal meliputi pendidikan, jenis NAPZA yang dipakai, pengetahuan, sikap, Pendidikan
Kesehatan Predisposing Factors
- kebiasaan - kepercayaan
- tradisi - pengetahuan
- sikap
Enabling Factors - ketersediaan fasilitas
- ketercapaian fasilitas
Reinforcing Factors - sikap dan perilaku
petugas - peraturan pemerintah
Non Perilaku
Perilaku Masalah
Kesehatan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
motivasi, dan agama dan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, teman sebaya, masyarakat, dan lingkungan sekolah.
Penelitian ini hanya akan melihat faktor internal yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, motivasi, lama pemakaian NAPZA dan
jenis NAPZA yang digunakan dan faktor eksternal meliputi teman sebaya.
2.6. Kerangka Konsep