Pemberian kotoran sapi pada pertanaman jagung (Zea mays) dinamika kadar c-organik dan n-tersedia pada andisol Lembang Jawa Barat

(1)

ANDISOL LEMBANG JAWA BARAT

Laras Dewi Adistia A14062917

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

LARAS DEWI ADISTIA. Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays): Dinamika Kadar C-organik dan N-tersedia pada Andisol Lembang, Jawa barat (Di bawah bimbingan ARIEF HARTONO dan LILIK TRI INDRIYATI).

Penelitian Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays) : Dinamika Kadar karbon (C) organik dan nitrogen (N) tersedia pada Andisol Lembang Jawa Barat ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2009 hingga Mei 2010. Penelitian di lapangan dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jawa Barat, sementara analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar C-organik dan juga kadar N-tersedia (ammonium dan nitrat) pada tanah yang diberi perlakuan kotoran sapi. Perlakuan yang diberikan adalah 0 ton ha-1 and 20 ton ha-1 kotoran sapi. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, dan 14 pada daerah perakaran (rhizosfer).

Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perubahan kadar C-organik serta kadar ammonium (N-NH4+) dan nitrat (N-NO3-) pada minggu-minggu

pengambilan contoh tanah baik pada petak kontrol dan petak yang diberi perlakuan kotoran sapi. Proses nitrifikasi terjadi sejak minggu pertama inkubasi. Kadar NO3- jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar NH4+ pada setiap periode

pengambilan contoh tanah. Kadar N-NO3- mulai terlihat naik sejak minggu ke-3

inkubasi, diikuti dengan menurunnya kadar N-NH4+.

N-tersedia adalah Total dari N-NH4+ dan N-NO3-. Data N-tersedia pada

petak kontrol dan petak kotoran sapi disimulasi dengan menggunakan persamaan first order kinetic yaitu N=Nm (1-exp(-kt)), dengan N adalah konsentrasi N-tersedia, Nm adalah nilai N yang berpotensi termineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi, dan t adalah waktu dalam minggu. Persamaan first order kinetic untuk petak kontrol adalah N=560 (1-exp-0.242t) dengan nilai R2 sebesar 0.51 dan untuk petak kotoran sapi adalah N=717 (1-exp-0.223t) dengan R2 0.72. Berdasarkan nilai Nm dapat dilihat bahwa N yang berpotensi termineralisasi pada perlakuan kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan petak kontrol, tetapi konstanta kecepatan mineralisasi N pada petak kontrol lebih cepat dibandingkan dengan petak yang diberi perlakuan kotoran sapi. Nilai R2 yang tinggi (0.5-1.0) menunjukkan bahwa persamaan-persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi laju N-tersedia pada minggu ke-t pada tanah Andisol Lembang. Dengan persamaan ini dapat dihitung bahwa N yang dapat termineralisasi akan habis pada minggu ke-30 setelah tanam.


(3)

LARAS DEWI ADISTIA. Application of Cow Dung on Maize (Zea mays) Crop Cultivation: Dynamic of Organic-C and Available-N in Andisol Lembang, West Java (Under supervision of ARIEF HARTONO and LILIK TRI INDRIYATI).

The research of Application of Cow Dung on Maize Crop (Zea mays) Cultivation: Dynamic of organic-C and available-N in Andisol Lembang, West Java was conducted since October 2009 until May 2010. The Research was conducted in field of Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Indonesian Vegetable Research Institute) Lembang, West Java and for chemical analyses were conducted in Soil Chemistry and Fertility Laboratory, Department of Soil Science and Land Resource Management, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. The objectives of this research were to observe dynamic of organic-C and available-N in soil that was applied by cow dung on maize cultivation. The rates of cow dung applied were 0 ton ha-1 and 20 ton ha-1. Soil samples were collected at 1st, 2nd, 3rd, 4th, 6th, 8th, 10th, 14th week after planting in rhizosphere zone.

The results showed that organic-C and available-N (Ammonium and Nitrate) changed with time of sampling in control plot and cow dung plot. Nitrification process occured since a week after planting. Nitrate (N-NO3-)

contents were much higher compare to ammonium (N-NH4+) contents on each

time of sampling. Nitrate (N-NO3-) became to increase since third week after

sampling. This increase was followed by the decrease of ammonium (N-NH4+)

contents.

Available-N was total amount of N-NH4+ and N-NO3-. The available-N

control plot and cow dung plot were simulated by first order kinetics equation model N=Nm(1-exp(-kt)), where N is concentration of available-N, Nm is amount of potential mineralized N, k is the rate constant of mineralization, and t is time in weeks. The First order kinetics equation for control plot was N=560(1-exp(-0.242t)) with R2 value was 0.51. The First order kinetics equation for cow dung plot was N=717(1-exp(-0.223t)) with R2 value was 0.72. The Equations suggested that amount of potential mineralized N in cow dung plot was higher than control plot but the rate constant of mineralization in cow dung plot was lower than control plot. The high value of R2 (0.5-1.0) suggested that this equations can be used to predict rate of N-mineralization in Andisol Lembang. By using these equations it is estimate that potential mineralized N will end in 30th week after planting.


(4)

mays) : DINAMIKA KADAR C-ORGANIK DAN N-TERSEDIA PADA ANDISOL LEMBANG JAWA BARAT

Laras Dewi Adistia A14062917

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

JUDUL : Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays) : Dinamika Kadar C-organik dan N- tersedia pada Andisol Lembang, Jawa Barat. NAMA MAHASISWA : Laras Dewi Adistia

NOMOR POKOK : A14062917

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc NIP. 19680628 199303 1 012 NIP 19660315 199103 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen,

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003


(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Juni 1988. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Teguh Subiyakto dan Ibu Latifah.

Penulis memulai masa sekolahnya pada tahun 1992 di Taman Kanak-kanak Al-hasanah, Jakarta Timur hingga tahun 1994. Penulis melanjutkan studinya di SD Muhammadiyah 24 Rawamangun dan selesai pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan sekolah di SLTP Muhammadiyah 31 Rawamangun hingga tahun 2003 dilanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun hingga tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006.

Setelah menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi panitia di beberapa acara di Departemen Ilmu Tanah seperti Seminar Nasional, Masa Perkenalan Departemen, dan Soilidarity. Penulis juga pernah menjadi panitia dalam acara Olimpiade Mahasiswa IPB 2008. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah kimia tanah pada tahun ajaran 2009/2010.


(7)

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah swt karena berkat rahmat, kasih sayang, dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays): Dinamika Kadar C-organik dan N-tersedia pada Andisol Lembang, Jawa Barat” ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dosen pembimbing, Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. atas kesabaran, bimbingan, dan semua saran sejak dimulainya penelitian ini hingga sampai pada penyelesaian skripsi ini,

2. Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku pembimbing skripsi II yang senantiasa memberikan perhatian dan bimbingannya dalam penulisan srkipsi ini,

3. Dr. Ir. Sri Djuniwati, M. Sc. sebagai dosen penguji dan sarannya untuk perbaikan skripsi ini,

4. Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Kyoto, Jepang yang telah memberikan bantuan finansial dalam penelitian penulis dan kepada Dr. Tetsuhiro Watanabe dan Hirotaka Okumoto yang telah memberi kesempatan penulis ikut bekerja sama dalam penelitiannya, 5. Ibu Ladiyani Retno yang telah memberi banyak masukan dalam penelitian

ini,

6. Ibu Dhea dan Bapak Asep serta seluruh karyawan di Balitsa Lembang yang telah banyak membantu selama di lapang,

7. Semua laboran di laboratorium KDKT yang telah sabar membantu penulis dalam masa-masa analisis di laboratorium,

8. Mama dan Papa serta adik-adik, Dilla dan Fira yang tak pernah lelah mendengar keluh kesah penulis, selalu memberikan perhatian, kasih sayang, dan dukungan yang sepenuhnya,


(8)

9. Teman-teman yang telah membantu penulis sejak awal pengambilan contoh tanah hingga analisis di laboratorium : Gama Putra Prakarsa, Maulana Wijaya, Tommy, Syifa Fauziah, Poppy Haryani, Anggraini Widhi, Arini Hidayati, dan semua teman-teman di laboratorium yang tak bisa disebutkan namanya satu per satu,

10.Teman-teman seperjuangan Hafiz Hernandi, Prito Rayesha, dan Dina Wahyuni,

11.Seluruh soiler 43 yang selalu memberikan semangat dukungannya kepada penulis, Octoviana Tri Suci, Artiny Martha, Miranthy Anisa, Stefanny Puti, dan semua teman-teman yang tak bisa disebutkan namanya satu per satu,

12.Alifiah Ghaniyyu, Yasinta Noor Kartika, Diyna, Elviera Astrid, Riky Rahmadian, Taryono, Rio Mustaqim, sahabat terbaik penulis yang telah membantu, tak pernah lelah mendengar keluh kesah penulis dan memberi dukungan,

13.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menjalani penelitian ini.

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya, namun saran dan kritik sangat diharapkan sebagai masukkan kepada penulis. Penulis sangat berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, 2010


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR TABEL………. x

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Tujuan ……… 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Andisol ………. 3

2.2. Bentuk-bentuk Nitrogen dan Mineralisasi Nitrogen ……… 3

2.3. Bahan Organik dan Pupuk Oganik ……….. 5

2.4. Jagung (Zea mays)……… 6

2.5. Persamaan First Order Kinetic………. 7

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 8

3.2. Bahan dan Alat ………. 8

3.3. Metode Penelitian………. 8

3.3.1. Petak Penelitian……….. 8

3.3.2. Persiapan Awal………... 10

3.3.3. Pemeliharaan Tanaman……….. 10

3.3.4. Pengambilan Contoh Tanah………... 10

3.3.5. Analisis Laboratorium……… 10

3.4. Analisis Data………. 12

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Andisol Lembang……… 13

4.2. Karakteristik Kotoran Sapi yang Digunakan ………. 14

4.3. Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar C-organik Andisol Lembang ………. 14

4.4. Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar Amonium dan Nitrat pada Andisol Lembang ……… 16

4.5. Model Persamaan First Order Kinetic ………. 19

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan……… 23


(10)

DAFTAR PUSTAKA ………. 24


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Data Analisis Awal Andisol Lembang……… 13 2. Perbandingan Nilai Nm dan k dari Persamaan First Order Kinetic

pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi ……….. 21 Lampiran

1. Parameter Sifat Kimia Tanah ……… 33 2. Data Curah Hujan pada Masa Penanaman Jagung………. 34


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1. Denah Lahan Penelitian di Lapang ……… 9 2. C-organik pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol

Lembang selama 14 Minggu ……… 15 3. N-NH4+ pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol

Lembang selama 14 Minggu……….. 16 4. N-NO3- pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol

Lembang selama 14 Minggu ……… 17 5. Perubahan pH Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi

Selama 14 Minggu ……… 17 6. Grafik Total N-tersedia (N-NH4+ dan N-NO3-) pada Petak Kontrol

dan Petak Kotoran Sapi ……… 18 7. Plotting angka-angka dari Persamaan First Order Kinetic dan

plotting angka-angka hasil Analisis Laboratorium

pada Petak Kontrol ………. 20 8. Plotting angka-angka dari Persamaan First Order Kinetic dan

Plotting angka-angka Hasil Analisis Laboratorium pada Petak

Kotoran Sapi ……… 21

Lampiran


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Prosedur Analisis pH H2O dengan pH Meter ……… 28

2. Prosedur Penetapan N-NH4+ dengan Metode Destilasi-Titrasi…….. 28

3. Prosedur Penetapan N-NO3- dengan Metode Destilasi-Titrasi …….. 29

4. Proesedur Penetapan C-organik dengan Metode

Walkey and Black ………... 30

5. Prosedur Penetapan C-organik Kotoran Sapi dengan Metode

Pengabuan Kering ……… 31 6. Prosedur Penetapan N-total Kotoran Sapi dengan


(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Andisol termasuk tanah yang tersebar luas di Indonesia. Luas tanah Andisol di Indonesia mencapai 5.4 juta ha, atau sekitar 2.9% wilayah daratan Indonesia (Puslittanak, 2000). Andisol ditemui pada topografi berbukit dan bergunung. Andisol tersebar di wilayah volkan yang masih aktif maupun tidak aktif seperti di Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Maluku (Puslittanak, 2000).

Salah satu wilayah yang terdapat Andisol di Jawa adalah Lembang, Jawa Barat. Di Lembang, Andisol merupakan tanah yang digunakan secara luas oleh petani, untuk pertanian hortikultur (sayuran). Andisol Lembang terbentuk dari abu volkan yang bersifat andesitik. Abu volkan ini berasal dari Gunung Tangkuban Perahu (Tan dan Van Schuylenborgh, 1961). Analisis mineral liat dengan menggunakan XRD (X Ray Diffraction) yang telah dilakukan oleh Hartono (2007), menunjukkan bahwa semua mineral liat yang terdapat pada Andisol Lembang adalah mineral liat amorf.

Mineral liat dari Andisol Lembang didominasi oleh alofan (Tan, 1965). Alofan merupakan mineral liat yang memiliki muatan bergantung pH. Mineral ini dapat meretensi fosfor dalam jumlah banyak, sehingga sering ditemui pada Andisol masalah ketersediaan fosfor (Tan, 1991; Hartono, 2007).

Untuk mengatasi masalah retensi fosfor petani di Lembang umumnya menggunakan bahan organik. Bahan organik digunakan sebagai bahan pembenah tanah (ameliorant) sekaligus pupuk untuk meningkatkan produktivitas lahan pertaniannya yang secara umum ditanami tanaman sayuran.

Penggunaan bahan organik sebagai pupuk sangat berkembang luas karena dewasa ini para petani di Lembang mengembangkan pertanian organik. Oleh karena itu penggunaan pupuk N (Urea), P (SP 18) dan K (KCl) inorganik sangat dikurangi. Secara umum pupuk organik yang diberikan adalah pupuk kandang. Pupuk kandang yang sering digunakan oleh petani di Lembang adalah pupuk dari kotoran sapi. Dosis kotoran sapi yang diberikan oleh petani umumnya berkisar 20 ton ha-1.


(15)

Telah banyak penelitian mengenai masalah retensi fosfor pada Andisol, namun belum banyak yang meneliti bagaimana dinamika C-organik dan N-tersedia yang terjadi pada Andisol Lembang. Studi statistika menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara bahan organik dan nitrogen (Tan, 1984). Penelitian-penelitian tentang dinamika N-tersedia lebih banyak dilakukan di luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Gale et al., (2006), yang mengestimasi dekomposisi dari bahan organik dengan perlakuan kotoran kelinci pada Mollisol di Washington, Amerika, dan Miranda et al., (2008) yang meneliti dinamika nitrogen pada pertanaman jagung di Andisol Nicaragua. Penelitian tentang dinamika C dan N yang pernah dilakukan di Indonesia adalah penelitian oleh Funakawa et al., (2009) yang dilaksanakan di perladangan berpindah Kalimantan Timur.

Penggunaan bahan organik yang kontinyu di lahan pertanian di Lembang suatu saat tentu akan mengganggu sistem perairan disamping efeknya yang positif terhadap pertanian organik. Oleh karena itu sebagai penelitian awal penting untuk mengetahui dinamika nitrogen pada Andisol setelah pemberian bahan organik.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar C-organik dan juga kadar N-tersedia yaitu ammonium (N-NH4+) dan nitrat


(16)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Andisol

Andisol terbentuk dari mineral liat alofan, memiliki pH H2O antara

5.0-7.0, kandungan bahan organik sekitar 10-30%, kejenuhan basa sedang (30-70%), teksturnya lempung hingga debu, struktur remah, dan konsistensi gembur. Andisol dapat terbentuk pada topografi yang bergelombang melandai dan berbukit, di kerucut dan lahar volkan, atau di dataran tinggi volkan, dengan keadaan curah hujan 2500-7000 mm per tahun. Dengan sifat-sifat seperti ini Andisol sering digunakan untuk tanaman sayuran, tanaman bunga, teh , kopi, kina, dan hutan pinus (Soepraptohardjo, 1975).

Andisol adalah tanah yang mempunyai sifat andik 60% atau lebih pada permukaan tanah mineral atau puncak lapisan organik yang bersifat andik, jika tidak ada kontak densik, litik, atau paralitik, duripan, atau horizon petrokalsik di dalam keadaan tersebut (Rachim, 2001).

Andisol adalah tanah berwarna hitam atau coklat tua, remah, kandungan bahan organik tinggi, licin bila dipirid, teksturnya sedang, bersifat porous, pemadasan lemah dan sedikit akumulasi liat sering ditemukan di lapisan bawah (Hardjwigeno, 2003).

2.2. Bentuk-bentuk Nitrogen dan Mineralisasi Nitrogen

Nitrogen tersedia dalam jumlah sedikit dalam tanah tetapi dibutuhkan banyak oleh tanaman. Bentuk tersedia dari nitrogen untuk tanaman adalah dalam bentuk N-NH4+ dan N-NO3-. Cadangan nitrogen utama adalah nitrogen bebas N2,

yang meliputi 78 persen dari volume atmosfer. Nitrogen dalam bentuk N2 tidak

segera tersedia bagi tanaman. Nitrogen merupakan unsur yang mudah bertransformasi. Nitrogen yang masuk ke dalam biosfer terutama disebabkan oleh kegiatan jasad mikro penambat nitrogen baik yang hidup bebas atau bersimbiosis dengan tanaman. Bila tanaman atau jasad mikro penambat nitrogen mati, bakteri pembusuk melepaskan asam amino dari protein, dan bakteri amonifikasi kemudian melepaskan ammonium dari group amino, yang selanjutnya dilarutkan


(17)

dalam tanah. Ammonium kemudian diubah menjadi nitrit kemudian nitrat oleh bakteri nitrifikasi dan dapat diserap tanaman (Soepardi, 1983).

N-total merupakan kandungan nitrogen tanah baik dalam bentuk anorganik (N-NH4+, N-NO3-, N-NO2-) dan organik meliputi protein, asam amino, gula

amino, dan N organik yang terimobilisasi dalam organisme tanah. N-total merupakan keseluruhan dari N-tersedia (N-NH4+, N-NO3-) dan N tak tersedia.

N-NH4+ yang sangat tersedia bagi tanaman yaitu yang berada pada larutan tanah,

yang cukup tersedia adalah N-NH4+ yang terdapat pada kompleks pertukaran

dengan mineral lempung atau kompleks organik, dan yang belum tersedia adalah yang terikat dalam bahan organik atau masuk dalam interlayer mineral lempung tipe 2:1 (Syukur dan Harsono, 2008).

Perubahan bentuk nitrogen dari bahan organik dalam tanah dapat melalui berbagai macam proses antara lain proses aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dari bahan organik (protein) oleh mikroorganisme. Amonifikasi adalah pembentukkan ammonium dari senyawa amino oleh mikroorganisme. Nitrifikasi adalah perubahan dari ammonium (N-NH4+) menjadi nitrit (N-NO2-) yang dibantu oleh mikroorganisme Nitrosomonas

kemudian N-NO2- kemudian menjadi nitrat (N-NO3-) dengan dibantu oleh

mikroorganisme Nitrobacter. Berikut ini adalah reaksi-reaksi kimia dari proses-proese perubahan bentuk nitrogen dalam tanah :

Aminisasi : Bahan organik (N-organik) + enzim (mikroorganisme) senyawa amino (R-NH2) + CO2 + Energi.

Amonifikasi : R-NH2 +HOH R-OH +NH3 + Energi

NH3 + HOH NH4+ + OH

-Nitrifikasi : N-NH4+ + 3O2 2NO2- + 2H2O + 4H+ + E

2NO2- + O2 2NO3- + E (Hardjowigeno,2007).

Komposisi biokimia (kandungan N , Nisbah C/N, lignin, dan sebagainya) merupakan faktor penting yang mengatur mineralisasi N. Peneliti banyak yang melihat hubungan statis antara sisi biokimia dan jumlah mineralisasi N pada akhir masa inkubasi. Namun perbedaan waktu inkubasi menyebabkan perbedaan dalam jumlah bersih N mineralisasi sehingga panjang inkubasi juga mempengaruhi hubungan dengan komposisi biokimia mineralisasi N (Chaves et al., 2004).


(18)

2.3. Bahan Organik dan Pupuk organik

Bahan organik tanah merupakan hasil pelapukan sisa tanaman atau hewan yang bercampur dengan bahan mineral tanah. pembentukkannya dalam tanah umumnya terjadi secara alami. Kadar bahan organik dalam tanah dengan mudah dapat berkurang karena proses-proses perombakan oleh jasad mikro tanah (Suhardjo, et al., 1993).

Kandungan bahan organik berbeda-beda pada tanah yang berbeda. Tanah-tanah di daerah pegunungan seperti Andisol dapat memiliki bahan organik lebih dari 5%. Tanah yang bertekstur kasar dan sering digunakan untuk pertanian intensif tanpa pengembalian cukup bahan organik dapat mengandung bahan organik kurang dari 1% sedangkan pada tanah gambut bahan organik yang ada bisa sampai 100% (Anwar dan Sudadi, 2007).

Penambahan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos dapat meningkatkan unsur tersedia bagi tanaman salah satunya unsur N. Penambahan pupuk organik dalam pengaruhnya untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara memang lebih sedikit dibandingkan dengan penambahan pupuk anorganik, tetapi dapat lebih cepat terdekomposisi (Widowati, 2007).

Kotoran sapi merupakan salah satu bentuk pupuk organik. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah mengalami dekomposisi yang berakhir dengan mineralisasi dan terbentuknya bahan yang relatif resisten yaitu humus. Humus yang tersusun dari selulosa, lignin, dan protein mempunyai kandungan C-organik umumnya sebesar 58% sehingga dapat dipahami bahwa pemberian kotoran sapi akan meningkatkan jumlah humus dalam tanah yang juga berarti meningkatkan C-organik tanah (Syukur dan Harsono, 2008). Peningkatan C-C-organik dalam tanah juga akan meningkatkan bahan organik tanah (Brady, 1990).

Menurut Inoko (1982), beberapa komponen nitrogen dalam limbah hewan atau lumpur terurai dengan mudah. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa kotoran sapi dapat memberikan energi bagi kehidupan mikroorganisme tanah, menambah inokulum ke dalam tanah, serta memperbaiki kondisi lingkungan terutama aerasi dan kelembaban tanah. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah dengan nisbah C/N>30 segera diubah secara cepat oleh mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi, dan aktinomycetes.


(19)

Kemampuan dekomposisi bahan organik tanah cukup mirip dengan tingkat mineralisasi N per unit dari total organik N yang ada pada tanah. bahan organik tanah cukup stabil pada kurun waktu beberapa tahun (Miranda et al., 2008).

Proses pengomposan dan penyimpanan dari material organik dengan nisbah C/N yang rendah, akan mengurangi proses kemampuan dekomposisi. Tetapi hal itu sering tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan C/N karena kehilangan C dan N biasanya bersamaan dengan proses dekomposisi (Gale et al., 2006).

2.4. Jagung (Zea mays)

Jagung termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, ordo Graminae, famili Graminaceae, genus Zea dan spesies Zea mays (Purwono dan Hartono, 2008).

Tanaman jagung berasal dari daerah tropis dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Daerah yang baik untuk sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis atau tropis basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 50˚ LU-40˚ LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya adalah antara 27-32˚ C (Purwono dan Hartono, 2008).

Tanaman Jagung dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1000- 1800 m di atas permukaan laut (dpl). Namun daerah dengan ketinggian optimum 0-600 m dpl paling baik bagi pertumbuhan tanaman jagung dengan curah hujan 85-200 mm/bulan. Penanaman jagung baik dilakukan pada awal musim hujan atau menjelang musim kemarau (Badan Litbang Pertanian, 2009).

Menurut Djaenudin (2000), persyaratan tanah untuk pertumbuhan tanaman jagung yang optimal adalah tanah yang dalam solumnya, konsistensi gembur, permeabilitas sedang, drainase cepat dan baik, dan pada pH sekitar 5.8-7.8.

Jagung hibrida memberikan hasil sekitar 0.5 hingga 1 ton ha-1 lebih tinggi dibandingkan dengan jagung bersari beras. Jagung sebagian besar ditanam di


(20)

lahan kering (79%) dan sebagian lagi (25%) di lahan sawah irigasi (Puslitbangtan, 1992 dalam Puslittanak, 1997).

2.5. Persamaan First Order Kinetic

Penggambaran untuk kinetika mineralisasi N tanah berfokus pada penggunaan model-model persamaan first order (Stanford dan Smith, 1972; Lerch et al, 1992). Model-model first order ini didasarkan pada asumsi bahwa tingkat mineralisasi N sebanding dengan jumlah N tersedia, dengan persamaan dN/dt = -kNm dimana N adalah konsentrasi N tersedia, Nm adalah jumlah N yang berpotensi termineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi, dan t adalah waktu. Model persamaan first order kinetic merupakan integral dari persamaan tersebut sehingga didapatkan persamaan untuk first order kinetic adalah N = Nm(1-exp(-kt)) (Lerch et al., 1992).

Model persamaan first order kinetic digunakan untuk mengestimasi hasil analisis N-tersedia. Neve dan Hofman (1996) menjelaskan bahwa bentuk dari kurva mineralisasi N dapat disimulasikan dengan kurva persamaan first order kinetic yaitu dengan persamaan N = Nm (1-exp(-kt)) dimana Nm merupakan potensial N yang dapat dimineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi, dan t adalah waktu inkubasi.


(21)

III.

BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Bandung serta di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini dilaksanakan sejak Oktober 2009 hingga Mei 2010.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah kotoran sapi yang telah diinkubasi selama tiga minggu dan disaring, benih jagung hibrida, bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis di laboratorium.

Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah peralatan di lapang seperti cangkul, kored, tugal, skop, stik bambu, dan tali raffia, pisau, ring sample, plastik untuk contoh tanah, dan plastic tape. Alat-alat keperluan penelitian di laboratorium antara lain adalah timbangan dan alat-alat gelas seperti gelas piala, gelas ukur, botol penampung, labu destilasi, buret, erlenmeyer, labu takar, dan sebagainya.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, dengan menggunakan dua perlakuan yaitu perlakuan kontrol (0 ton ha-1) dan perlakuan kotoran sapi (20 ton ha-1). Masing-masing perlakuan memiliki tiga kali ulangan yaitu tiga petak kontrol dan tiga petak perlakuan kotoran sapi.

3.3.1. Petak Penelitian

Lahan selebar 72 m x 12 m dibagi menjadi enam petak dengan masing-masing petak berukuran 12 m x 8 m. Setiap petak terdiri dari 11 baris dengan jarak parit antar petak adalah 80 cm. Denah lahan ditampilkan pada Gambar 1 sedangkan denah tanaman dalam satu petakan dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1.


(22)

Gambar 1. Denah Lahan Penelitian di Lapang.

Jarak parit antar petak Petak kotoran sapi

(20 ton ha-1)

Petak kontrol

72 m

12 m

8 m

U


(23)

3.3.2. Persiapan Awal

Kotoran sapi yang masih segar disiapkan pada sebuah lahan kering. Kotoran sapi tersebut dikeringudarakan selama kurang lebih tiga minggu. Kemudian kotoran tersebut disaring dengan saringan 0.5 cm. Selama penyiapan kotoran sapi tersebut dilakukan pengambilan contoh tanah awal yang akan digunakan untuk analisis awal di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah.

Pengaplikasian kotoran sapi dilakukan dengan menebar kotoran sapi pada petak perlakuan hanya dibarisnya saja. Dosis kotoran sapi yang diaplikasikan adalah sekitar 17.5 kg per barisnya. Setelah diaplikasikan kotoran tersebut diinkubasi selama dua minggu sebelum ditanami jagung.

3.3.3. Pemeliharaan Tanaman

Selama proses inkubasi dilakukan persiapan-persiapan untuk menanam. Benih yang digunakan untuk penelitian ini adalah benih jagung hibrida bisi-2. Setelah inkubasi dua minggu, benih ditanam dengan jarak tanam 80 cm x 40 cm.

Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram tanaman dan mencabuti gulma. Penggunaan pestisida dilakukan jika terlihat ada gejala terserang hama atau penyakit. Selama masa tanam juga dilakukan pengukuran tinggi tanaman, tetapi data tinggi tanaman tidak dipergunakan dalam cakupan penelitian ini.

3.3.4. Pengambilan Contoh Tanah

Contoh tanah untuk analisis pendahuluan diambil sebelum tanam. Contoh tanah diambil secara komposit di daerah perakaran tanaman (rhizosfer). Contoh tanah untuk analasis C-organik dan N-tersedia diambil di lima titik pada petak secara secara acak dan komposit. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, dan 14. Contoh tanah-contoh tanah ini dianalisis di laboratorium untuk penetapan N-NH4+ dan N-NO3-.

3.3.5. Analisis Laboratorium

Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimia tanah awal. Contoh tanah komposit yang diambil dikeringudarakan, dihaluskan dan


(24)

diayak dengan saringan ukuran 2 mm. Setelah itu, analisis pendahuluan dilakukan. Analisis pendahuluan meliputi pH H2O 1:1 yang diukur dengan alat pH

meter, C-organik yang diperoleh dengan metode Walkley and Black, P-tersedia yang diperoleh dari hasil ektraksi dengan metode Bray I, P potensial yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan HCl 25%, KTK dan basa-basa yang dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na) yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan 1 N NH4OAc

pH 7, Al dan H yang dapat ditukar yang diperoleh dari hasil ektraksi dengan 1 N KCl, N-total yang diperoleh dari hasil destruksi dengan metode N-Kjeldahl, dan kadar Fe, Cu, Zn, Mn yang diperoleh dari ektraksi dengan 0.05 N HCl, serta tekstur tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode pipet. Kejenuhan basa (KB) diperoleh dengan menghitung nisbah total basa-basa dapat ditukar terhadap KTK tanah dan dieskpresikan dalam persen. Analisis kotoran sapi untuk pH, C-organik, P-total dan kadar abu juga dilakukan dengan mengunakan metode destruksi dengan asam-asam kuat.

Analisis untuk kotoran sapi meliputi organik, N-total dan P-total. C-organik kotoran sapi diperoleh dengan menggunakan metode Walkley dan Black, N-total diperoleh dengan destruksi menggunakan metode N-Kjeldahl dan P-total diperoleh dari destruksi menggunakan asam-asam kuat HClO4 dan HNO3.

Analisis untuk NH4+ dan HNO3 diperoleh dengan ekstraksi menggunakan I N KCl


(25)

3.4. Analisis Data

Data hasil analisis kadar N-NH4+ dan N-NO3- dari contoh tanah yang

diambil pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, dan 14 disimulasikan dengan persamaan first order kinetic dengan menggunakan software statistik SPSS 15.0. Persamaan first order kinetic tersebut adalah:

N = Nm (1-exp(-kt)) Keterangan :

N = Konsentrasi N tersedia (mg kg-1)

Nm = N yang berpotensi termineralisasi (mg kg-1) k = Konstanta kecepatan mineralisasi (minggu) t = Waktu (minggu)


(26)

13

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Andisol Lembang

Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 1. Status sifat kimia tanah yang diteliti berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009) disajikan pada Tabel Lampiran 1.

Tabel Lampiran 1. Data Analisis Awal Andisol Lembang.

No Analisis Metode Hasil Status Hara

1 pH:

pH H2O pH meter 6.10 agak masam

pH KCl pH meter 5.00

2 C-organik (%) Walkley & Black 5.92 sangat tinggi

3 N-total (%) N-Kjeldahl 0.46 sedang

4 P-tersedia

P-Bray I (mg kg-1) Bray I 21.4 sangat tinggi P-P2O5-HCl 25 % (mg kg-1) HCl 25% 237 Tinggi 5 basa-basa

Ca (cmol kg-1) 1 mol L-1 NH4OAc pH 7.0 4.12 Rendah Mg (cmol kg-1) 1 mol L-1 NH4OAc pH 7.0 1.78 Sedang K (cmol kg-1) 1 mol L-1 NH4OAc pH 7.0 0.43 Sedang Na (cmol kg-1) 1 mol L-1 NH

4OAc pH 7.0 0.29 Rendah 6 KTK (cmol kg-1) 1 mol L-1 NH4OAc pH 7.0 32.4 Tinggi 7 KB (%) 1 mol L-1 NH4OAc pH 7.0 20.43 Rendah

8 Al (cmol kg-1) 1 mol L-1 KCl Td

9 H (cmol kg-1) 1 mol L-1 KCl 0.12

10 unsur mikro

Fe (mg kg-1) 0.05 mol L-1 HCl 0.84 Cu (mg kg-1) 0.05 mol L-1 HCl Td Zn (mg kg-1) 0.05 mol L-1 HCl Td Mn (mg kg-1) 0.05 mol L-1 HCl 30.56

11 Tekstur Pipet Lempung Berdebu

pasir (%) 35.4

debu (%) 48.61

liat (%) 15.99

Keterangan

Td : tidak terdeteksi

Berdasarkan hasil analisis tersebut, Andisol Lembang menunjukkan reaksi yang agak masam dengan nilai pH H2O sebesar 6.10. Kadar C-organik Andisol


(27)

Lembang sebesar 5.92% termasuk dalam kategori sangat tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena bahan organik pada Andisol dapat dikomplek oleh mineral liat alofan sehingga kadar bahan organik dapat dipertahankan. Hal ini juga dicirikan pula dengan warna tanah yang gelap.

Kadar N totalnya termasuk sedang yaitu sebesar 0.46%, kadar P dengan analisis P Bray I didapat sebesar 21.4 mg kg-1 termasuk dalam kategori sangat tinggi. sedangkan hasil P2O5 dengan menggunakan analisis P HCl 25% sebesar

23.65 mg kg-1 termasuk dalam kategori tinggi. Adapun untuk kandungan basa-basa dapat dipertukarkan Ca termasuk dalam kategori rendah yaitu sebesar 4.12 cmol+ kg-1 termasuk kategori sedang yaitu sebesar 1.78 cmol+ kg-1, K dalam kategori sedang yaitu sebesar 0.43 cmol+ kg-1, Na dalam kategori rendah yaitu sebesar 0.29 cmol+ kg-1, dan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) termasuk tinggi yaitu sebesar 32.4 cmol+ kg-1. Untuk unsur-unsur mikro seperti unsur aluminium (Al), seng (Zn), dan tembaga (Cu) pada tanah tidak terukur.

4.2 Karakteristik Kotoran Sapi yang Digunakan.

Kotoran sapi dianalisis untuk mengetahui sifat kimianya. Kadar air kotoran sapi didapat sebesar 26.1%. Analisis C-organik dengan metode pengabuan kering didapat nilai sebesar 32.3%. Kadar abu yang juga diukur dengan metode pengabuan kering didapat sebesar 44.2%. Analisis total dengan metode N-Kjeldahl didapatkan hasil sebesar 0.74% atau 7400 mg kg-1. Analisis P total dari destruksi menggunakan asam-asam kuat HClO4 dan HNO3 didapatkan hasil

sebesar 0.44%. Untuk nisbah C/N kotoran sapi didapatkan hasil sebesar 43.7. Nisbah C/N yang tinggi ini menunjukkan bahwa kotoran sapi yang digunakan belum matang.

4.3 Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar C-organik Andisol Lembang.

Hasil analisis pada Gambar 3 menunjukkan kadar C-organik yang dianalisis dengan metode Walkley and Black. Pada tiga minggu pertama, kadar C-organik petak perlakuan kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan petak kontrol namun pada minggu ke-4 kadar C-organik petak perlakuan kotoran sapi lebih rendah 0.45%


(28)

dari petak kontrol. Memasuki minggu ke-6 dan ke-8 kadar C-organik petak perlakuan kotoran sapi meningkat lagi melebihi kadar C-organik pada petak kontrol, kemudian menurun lagi pada minggu ke-10 dan ke-14, bahkan lebih rendah daripada petak kontrol.

Kadar C-organik baik pada petak kotoran sapi maupun kontrol mencapai kesetimbangan pada minggu ke-14. Perubahan kadar C-organik yang tidak linear ini dapat disebabkan karena terjadi dekomposisi. Proses dekomposisi merupakan proses perombakan bahan organik menjadi CO2, H2O, dan senyawa organik baru

lain (Anwar dan Sudadi, 2007). Proses dekomposisi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, tata udara tanah, dan pH (Hardjowigeno, 2007). Dekomposisi akan cepat terjadi jika suhu tinggi, adanya udara yang cukup dalam tanah, dan dalam pH yang tidak masam. Mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik seperti Actinomycetes dapat berkembang baik pada tanah dengan pH tanah agak masam hingga netral (Hardjowigeno, 2007).

Penambahan bahan organik dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah pada minggu ke-1, 2, 3, 6, dan 8. Tetapi pada minggu ke-4, 10, dan 14 kadar organik pada petak kotoran sapi lebih rendah. Rendahnya kadar C-organik pada minggu ke-4, 10, dan 14 ini diduga karena tingginya curah hujan di lapang (data curah hujan disajikan di Tabel Lampiran 2), sehingga kemungkinan gumpalan kotoran sapi pada petak perlakuan kotoran sapi yang belum tercampur sempurna dapat tercuci.

Gambar 3. C-organik pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol Lembang selama 14 Minggu.


(29)

4.4 Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar Amonium dan Nitrat pada Andisol Lembang.

Data hasil pengukuran N-NH4+ terdapat pada Gambar 4. Berdasarkan kurva

Gambar 4 dapat dilihat perbandingan kadar N-NH4+ antara petak kontrol dan

petak perlakuan kotoran sapi. Hasil inkubasi selama 14 minggu memperlihatkan bahwa pada petak kotoran sapi memiliki kadar N-NH4+ lebih tinggi dibandingkan

petak kontrol. Kadar N-NH4+ yang tinggi pada minggu pertama inkubasi

disebabkan karena pemberian kotoran sapi dapat menambah bahan organik dan unsur hara dalam tanah, yang dapat menyebabkan bertambahnya jumlah mikroba yang ada. Bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroba sehingga mereka lebih banyak memiliki sumber energi untuk merombak N-organik menjadi N-tersedia. Proses mineralisasi terjadi sejak minggu pertama inkubasi. Namun pada minggu terakhir terlihat bahwa kadar N-NH4+ pada petak kotoran sapi lebih

rendah dari petak kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena bahan organik yang ada telah berkurang keberadaannya sehingga menyebabkan kurang tersedianya N-NH4+.

Gambar 4. N-NH4+ pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di

Andisol Lembang selama 14 Minggu.

Data hasil pengukuran N-NO3- terdapat pada Gambar 5. Kadar N-NO3

-petak kotoran sapi pada tiga minggu pertama lebih rendah daripada -petak kontrol sehingga jika dihitung jumlah bersih N-NO3- yang didapat akan menunjukkan


(30)

angka negatif. Menurut Chaves et al., (2004) Angka negatif dapat menjadi indikasi bahwa terjadi proses immobilisasi.

Gambar 5. N-NO3- pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol

Lembang selama 14 Minggu.

Gambar 6. Perubahan pH Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi Selama 14 Minggu.

Nilai NO3- (Gambar 5) jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai NH4+

(Gambar 4) karena memang pH selama masa inkubasi sangat sesuai untuk terjadi proses nitrifikasi (Funakawa et al., 2009).


(31)

Kadar N-NO3- tinggi sejak minggu pertama. Hal ini dapat disebabkan

karena proses nitrifikasi telah terjadi sangat cepat sejak minggu pertama. Kadar N-NH4+ sangat jelas menurun mulai minggu ke-3. Hal ini diperkuat oleh

meningkatnya kadar N-NO3- mulai minggu ke-3 baik pada petak kontrol maupun

petak kotoran sapi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa ternyata pada petak kontrol (tanpa perlakuan) terjadi mineralisasi N. Peningkatan N-NO3- juga dapat

dipengaruhi oleh pH, karena proses nitrifikasi dipengaruhi oleh pH. Pada pH lebih dari 5.5 bakteri nitrifikasi dapat berkembang dengan baik (Hardjowigeno, 2007). Nitrifikasi meningkat bersama dengan meningkatnya pH (Bremner dan Blackmer, 1981 dalam Milne, et al., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Burger dan Venterea (2007) juga menunjukkan pola yang sama yaitu penurunan N-NH4+ dan

peningkatan N-NO3- pada tanah dengan perlakuan kotoran sapi yang dicampur

dengan jerami.

Gambar 7. Grafik Total N-tersedia (N-NH4+ dan N-NO3-) pada Petak

Kontrol dan Petak Kotoran Sapi.

Jumlah dari N-NH4+ dan N-NO3- adalah jumlah N-tersedia. Pada Gambar

7 diperlihatkan pada 3 minggu pertama inkubasi jumlah N-tersedia petak kotoran sapi lebih rendah daripada petak kontrol, sedangkan sejak minggu ke-4 jumlah N-tersedia pada petak kotoran sapi lebih tinggi. Penurunan kadar N-N-tersedia pada minggu ke-2 diduga terjadi karena proses immobilisasi ataupun karena diserap


(32)

oleh tanaman. Rendahnya jumlah N-tersedia di petak kotoran sapi pada tiga minggu awal diduga karena proses yang terjadi adalah proses immobilisasi, yaitu proses pengikatan nitrogen oleh mikroorganisme dalam bentuk organik sehingga kurang tersedia. Hal ini didukung dengan nilai Nisbah C/N pada kotoran sapi tersebut yaitu sebesar 43.7 (dapat dilihat pada Tabel 2). Nisbah C/N adalah sebuah indikator tingkat perombakan bahan organik. Nilai Nisbah C/N yang lebih besar dari tiga puluh maka terjadi immobilisasi (Syukur dan Harsono, 2008).

4.5. Model Persamaan First Order Kinetic.

Model persamaan first order kinetic digunakan untuk mensimulasikan hasil analisis N-tersedia (N-NH4+ dan N-NO3-) untuk mendapatkan nilai N yang

berpotensi termineralisasi dan konstanta kecepatan mineralisasinya. Melalui model persamaan first order kinetic didapatkan persamaan 560 (1-exp(-0.242t)) untuk petak kontrol dan 717 (1-exp(-0.223t)) untuk petak kotoran sapi. Perbandingan nilai Nm dan k dari petak kontrol dan petak kotoran sapi dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan perbandingan plotting angka-angka antara hasil analisis first order kinetic dengan hasil analisis laboratorium di tampilkan pada Gambar 8 dan 9. Untuk pengolahan data first order kinetic dilakukan dengan menggunakan software statistika SPSS 15.0.

Hasil dari model first order kinetic ini menunjukkan bahwa N yang berpotensi untuk termineralisasi lebih besar pada perlakuan kotoran sapi. Hal ini dapat dilihat dari nilai Nm petak kotoran sapi yang lebih besar daripada Nm petak kontrol. Nm kotoran sapi adalah sebesar 717 mg kg-1 dan untuk petak kontrol adalah sebesar 560 mg kg-1.

Nilai k merupakan nilai yang menunjukkan tingkat konstanta kecepatan mineralisasi. Nilai k perlakuan kotoran sapi didapatkan hasil 0.22- minggu-1 sedangkan pada petak kontrol adalah sebesar 0.24- minggu-1. Hal ini menunjukkan bahwa pada petak kotoran sapi kecepatan laju mineralisasi N lebih lambat dibandingkan petak kontrol. Diduga bahwa terjadi immobilisasi pada kotoran sapi tersebut karena kotoran sapi yang diberikan belum matang. Hal ini terbukti dengan nilai nisbah C/N yang tinggi. Dengan persamaan ini dapat


(33)

dihitung bahwa N yang dapat termineralisasi akan habis pada minggu ke-30 setelah tanam.

Jumlah N yang berpotensi termineralisasi pada petak kotoran sapi adalah sebesar 717 mg kg-1 sedangkan jumlah total N pada kotoran sapi tersebut adalah sebesar 7400 mg kg-1. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah N yang berpotensi termineralisasi sangat sedikit dari total N yang ada. Sisa dari N yang sulit termineralisasi ini diduga adalah senyawa-senyawa N organik yang sulit termineralisasi atau tidak dapat tersedia bagi tanaman, ataupun N yang hilang.

Gambar 8. Plotting angka-angka N-tersedia dari Persamaan First Order Kinetic dan plotting angka-angka hasil Analisis Laboratorium pada Petak Kontrol.


(34)

Gambar 9. Plotting Angka-angka N-tersedia dari Persamaan First Order Kinetic dan Plotting Angka-angka Hasil Analisis Laboratorium pada Petak Kotoran Sapi.

Penelitian yang dilakukan oleh Gale et al., (2006), yang mengestimasi dekomposisi dari bahan organik dengan perlakuan kotoran kelinci pada Mollisol di Washington, Amerika, menghasilkan nilai k sebesar 0.003 hari-1. Jika dibandingkan dengan perlakuan kotoran sapi, maka perlakuan kotoran sapi ini lebih cepat dalam proses mineralisasi N dibandingkan dengan perlakuan kotoran kelinci.

Tabel 2. Perbandingan nilai Nm dan k dari persamaan First Order Kinetic pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi.

Petak k (minggu-1) Nm (mg kg-1) R2

Kontrol 0.242 560 0.51

kotoran sapi 0.223 717 0.72

Nilai R2 adalah nilai koefisien korelasi yang menunjukkan hubungan antara variabel, dalam hal ini adalah jenis perlakuan dan ketersediaan N. Nilai R2 yang tinggi (antara 0.5-1.0) menunjukan terdapat hubungan yang erat antara


(35)

variabel yang diukur tersebut. Nilai R2 untuk petak kontrol adalah 0.51 sedangkan R2 untuk petak kotoran sapi sebesar 0.72. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan pemberian kotoran sapi sangat berpengaruh terhadap ketersediaan N dan persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi laju N-tersedia pada minggu ke-t pada tanah Andisol Lembang.


(36)

V.

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan.

Pemberian kotoran sapi dapat berpengaruh terhadap C-organik dan N-tersedia tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perubahan kadar C-organik serta kadar amonium (N-NH4+) dan nitrat (N-NO3-) pada minggu-minggu

pengambilan contoh tanah baik pada petak kontrol dan petak yang diberi perlakuan kotoran sapi. Proses nitrifikasi terjadi sejak minggu pertama inkubasi. Kadar NO3- jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar NH4+ pada setiap periode

pengambilan contoh tanah. Kadar N-NO3- mulai terlihat naik sejak minggu ke-3

inkubasi, diikuti dengan menurunnya kadar N-NH4+.

Laju perubahan C-organik tidak dapat disimulasikan dengan persamaan first order kinetic sehingga tidak dapat dibandingkan laju kecepatan antara petak kontrol dan petak perlakuan kotoran sapi sedangkan laju pembentukan N-tersedia atau laju mineralisasi N dapat dibandingkan antara petak kontrol dan petak kotoran sapi. Melalui model persamaan first order kinetic didapatkan persamaan 560 (1-exp(-0.242t)) untuk petak kontrol dan 717 (1-exp(-0.223t)) untuk petak kotoran sapi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa N yang berpotensi mengalami mineralisasi pada petak kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan dari petak kontrol, tetapi laju kecepatan mineralisasinya lebih rendah. Dengan persamaan ini dapat dihitung bahwa N yang dapat termineralisasi akan habis pada minggu ke-30 setelah tanam.

5.2. Saran.

• Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tentang keberadaan N-tersedia setelah N yang berpotensi termineralisasi habis.

• Penelitian dapat digunakan tanaman dan bahan organik lain yang beragam sehingga lebih dapat membandingkan nilai Nm dan k.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, S., dan U. Sudadi. 2007. Kimia Tanah. Bogor : Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. Bogor.

Badan Litbang Pertanian. 2009. Aneka Olahan Jagung. Departemen Pertanian. Jakarta.

Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balittanah. Bogor.

Brady, C. N. 1990. The Nature and Properties of Soils. Tenth Edition. Macmillan Publishing Company. New York.

Burger, M. and R. T. Venterea. 2007. nitrogen immobilization and mineralization kinetics of cattle, hog, and turkey manure applied to soil. Soil Sci. Soc. Am. J., 72 : 1570-1579.

Chaves, B., D. Neve., Hofman, Boecky, V. Cleemput. 2004. modelling the N mineralization of vegetable root residues and green manures using their biochemical composition. Eur. J. Agron., 21:161-170.

Djaenudin, D., Marwan, H. Subagyo, A. Mulyani, N. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Puslittanak. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Funakawa, S., M. Makhrawie, H. B. Pulunggono. 2009. Soil fertility status under shifting cultivation in East Kalimantan with special reference to mineralization patterns of labile organic matter. Plant Soil, 319: 57-66.

Gale, E. S., M. Sullivan, C. G. Cogger, A. I. Bary, D. D. Hemphill, and E. A. Myhre. 2006. Estimating plant-available nitrogen release from manures, compost, and specialty products. J. environ. Qual., 35: 2321-2332.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

______________. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hartono, A. 2007. The effect of calcium silicate on the phosphorous sorption characteristics of andisol Lembang West Java. J.Tanah Lingk., 10 (1):14-19. Inoko, A. 1982. The composting of organic materials and associated maturity

problems. Food and Fertilizer Technology Center. Departement of soils and Fertilizers. National Institute of Agriculture Sciences, Japan. Tech. Bul., 71: 19 pp.


(38)

Lerch, R. N., K. A. Barbarick, L. E. Sommers, and D. G. Westfall. 1992. Sewage sludge proteins as labile carbon and nitrogen sources. Soil Sci. Soc. Am. J., 56: 1470-1476.

Milne, A. E., R. M. Lark, T. M. Addiscott, K. W. T. Goulding, C. P. Webster, S. O’Flahterty. 2005. Wavelet analysis of the scale- and location- dependent correlasion of modeled and measured nitrous oxide emissions from soil. Eur. J. of. Soil. Sci., 56: 3-17.

Miranda, F. S., H. Eckersten, and M. Wivstad, 2008. Net N mineralization of an andosol influenced by chicken and cow manure applications in a maize-bean rotation in Nicaragua. Sci. Resear. and Ess., 3(7): 280-286.

Neve, S. D. and G. Hofman. 1996. Modelling N mineralization of vegetable crop residues during laboratory incubations. Soil Biol. Biochem., 28: 1451-1457. Pirngadi, K. 2008. Peran Bahan Organik dalam Meningkatkan Produksi Padi

Berkelanjutan, Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Usaha Tani Lahan Kering, Garut. Badan Litbang Peranian. Bogor.

___________________________________. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, Berwarna. Publikasi Puslittanak. Badan Litbang Pertanian. skala 1: 1 000 000.

Purwono, dan Hartono, R. 2008. Bertanam Jagung Unggul. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Rachim, D. A. 2001. Mengenal Taksonomi Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Simanjuntak, R. H. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik, Kapur, dan Belerang terhadap Produksi Biomassa, Kadar dan Serapan Belerang pada Tanaman Jagung (Zea mays) di Tanah Podsolik (Typic Hapludults) Jasinga. Skripsi. Sarjana Fakultas Pertanian Institut Pertania Bogor.

Soepardi, G.1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB press. Bogor.

Soepraptohardjo, M. 1975. Jenis Tanah yang Ditemukan di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.


(39)

Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Puslitanak. Bogor.

Stanford, G., and S. J. Smith. 1972. Nitrogen mineralization potentials of soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc., 36 : 465-472.

Suhardjo, H., Soepartini, dan Kurnia. 1993. Bahan Organik Tanah dalam Informasi Penelitian Tanah, Air, Pupuk, dan Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Syukur, A., dan Harsono. 2008. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan NPK terhadap beberapa sifat kimia dan fisika tanah pasir pantai samas bantul. J. Tanah lingk., 8: 138-145.

Tan, K. H. and J. V. Schuylenborgh. 1961. On the classification and genesis of soils developed over acid volcanic material under humid tropical conditions : II. Neth. J. Agr. Sci., 9: 41-54.

Tan, K. H. 1965. The Andosol in Indonesia. Soil Sci., 99: 375-378.

________. 1984. Andosols. Van Nostrand Reinhold Company. New York. ________. 1991. Principles of Soil Chemistry.

Widowati, L R., S. D. Neve, D. Setyorini, Sukristiyonubowo, F. Agus. 2007. Nitrogen mineralization under N-balance experiment. [www.nitrogenbalance.com] (diakses pada 4 Februari 2010).


(40)

(41)

Lampiran 1. Prosedur Analisis pH H2O dengan pH Meter

1. Timbang 10 gr tanah, masukkan ke dalam botol kocok. 2. Tambahkan air destilata 10 ml.

3. Kocok selama 30 menit dengan mesin pengocok. 4. Ukur nilai pH dengan menggunakan pH meter.

Lampiran 2. Prosedur Penetapan N-NH4+ dengan Metode

Destilasi-Titrasi

1. Timbang 10 gram tanah yang lolos saringan 0.05 mm. 2. Tempatkan pada botol kocok berukuran 200 ml.

3. Tambahkan 50 ml larutan KCl+HCl 1 N, kemudian kocok selama 30 menit.

4. Saring larutan dengan menggunakan kertas saring kemudian tamping pada botol penampung.

5. Pipet 10 ml larutan ekstrak ke dalam labu destilasi.

6. Tambahkan MgO sebanyak ± satu sudip kemudian tambahkan 100 ml air destilata.

7. Untuk penampungnya, pipet 10 ml H3BO3 1 % pada labu Erlenmeyer 250

ml, kemudian tambahkan 5 tetes indicator Conway.

8. Destilasi dilakukan hingga ekstrak yang tertampung mencapai 75 ml. 9. Hasil destilasi kemudian di titrasi dengan HCl 0.05 N. Titik akhir titrasi

dicapai ketika warna berubah menjadi merah anggur.

10.Lakukan juga untuk penetapan blanko dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan contoh tanah.

11.Hitung kadar N-NH4+ dengan menggunakan rumus :


(42)

Lampiran 3. Prosedur Penetapan N-NO3- dengan Metode Destilasi-Titrasi

1. Larutan ekstrak dipipet 10 ml dari larutan ekstrak yang telah dilakukan untuk menetapkan N-NH4+ (dari langkah 1-4) ke dalam labu destilasi.

2. Tambahkan devarda sebanyak satu sudip.

3. Tambahkan 1 ml etanol, kemudian langsung ditambahkan 100 ml air destilata.

4. Tambahkan 5 ml NaOH 50 % ke dalam labu destilasi.

5. Untuk penampungnya, pipet 10 ml H3BO3 1 % pada labu Erlenmeyer 250

ml, kemudian tambahkan 5 tetes indicator Conway.

6. Destilasi dilakukan hingga ekstrak yang tertampung mencapai 75 ml. 7. Hasil destilasi kemudian di titrasi dengan HCl 0.05 N. Titik akhir titrasi

dicapai ketika warna berubah menjadi merah anggur.

8. Lakukan juga untuk penetapan blanko dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan contoh tanah.

9. Hitung kadar N-NO3- dengan menggunakan rumus :


(43)

Lampiran 4. Prosedur Penetapan C-organik dengan metode Walkley and Black

1. Timbang tanah 0.5 gram yang lolos saringan 0.05 mm. 2. Tempatkan tanah dalam labu Erlenmeyer 500 ml.

3. Pipet 10 ml K2Cr2O7 1 N ke dalam erlenmeyer, goyang secara perlahan

hingga tanah terdispersi dalam larutan.

4. Tambahkan 20 ml H2SO4 pekat ke dalam Erlenmeyer. Goyang dengan

cepat. Usahakan agar tidak ada partikel tanah yang terlempar ke dinding labu Erlenmeyer. Diamkan campuran tersebut selama 30 menit.

5. Tambahkan 100 ml air destilata ke dalam erlenmeyer. Diamkan 30 menit hingga dingin.

6. Tambahkan 4-5 tetes indicator ferroin 0.025 M.

7. Titrasi dengan FeSO4 0.5 N. titik akhir titrasi dicapai jika larutan berubah

warna menjadi merah anggur.

8. Buat titrasi untuk blanko juga dengan cara yang sama tetapi tidak dengan contoh tanah.


(44)

Lampiran 5. Prosedur Penetapan C-organik Kotoran Sapi dengan Metode Pengabuan Kering

1. Timbang cawan yang akan digunakan untuk contoh tanah yang akan di oven. Catat beratnya (A).

2. Timbang cawan (1) bersama dengan contoh tanah kotoran sapi. Contoh tanah kotoran sapi yang digunakan timbang sekitar 5 gr (B).

3. Oven selama 24 jam dengan suhu 105˚C.

4. Setelah 24 jam, timbang lagi berat cawan dan contoh tanah tersebut. Catat nilainya (C).

5. Masukkan ke dalam tanur dengan suhu 700˚C untuk proses pembakaran selama 2 jam.

6. Diamkan selam ± 1 hari, buka tanurnya. Timbang beratnya (D). 7. Hitung kadar bahan organik dan kadar abunya dengan rumus :


(45)

Lampiran 6. Prosedur Penetapan N-total Kotoran Sapi dengan Metode N-Kjeldahl

1. Timbang 0.5 gr kotoran sapi.

2. Masukkan contoh tanah tersebut ke dalam labu digestion.

3. Tambahkan campuran Se sebanyak satu sudip ke dalam labu digestion. 4. Tambahkan H2SO4 pekat 5 ml.

5. Digestion selama 1 jam atau hingga contoh tanah berubah warna menjadi kehijauan.

6. Lanjutkan digestion hingga ± 15 menit. Matikan alat digestion. Tunggu hingga agak dingin.

7. Masukkan contoh tanah ke dalam labu destilasi.

8. Tambahkan air destilata ± 100 ml ke dalam labu destilasi. 9. Kemudian tambahkan NaOH 50% sebanyak 20 ml.

10.Untuk penampungnya, pipet 10 ml H3BO3 1 % pada labu Erlenmeyer 250

ml, kemudian tambahkan 5 tetes indicator Conway.

11.Destilasi dilakukan hingga ekstrak yang tertampung mencapai 75 ml. 12.Hasil destilasi kemudian di titrasi dengan HCl 0.05 N. Titik akhir titrasi

dicapai ketika warna berubah menjadi merah anggur.

13.Lakukan juga untuk penetapan blanko dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan contoh kotoran sapi.


(46)

Tabel Lampiran 1. Parameter Sifat Kimia Tanah.

Parameter tanah Nilai

sangat rendah rendah sedang tinggi sangat tinggi

C (%) <1 1-2 2-3 3-5 >5

N (%) <0.1 0.1-0.2 0.21-0.5 0.51-0.75 >0.75 P-P2O5 HCl 25% (cmol kg-1) <5 5-10 11-15 16-25 >25

P Bray I (mg kg-1 P) <4 5-7 8-10 11-15 >15 KTK (me/100g) <5 5-16 17-24 25-40 >40

susunan kation

Ca (cmol kg-1) <2 2-5 6-10 11-20 >20 Mg (cmol kg-1) <0.3 0.4-1 1.1-2.0 2.1-8.0 >8

K (cmol kg-1) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.5 0.6-1.0 >1 Na (cmol kg-1) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 >1

KB (%) <20 20-40 41-60 61-80 >80 kejenuhan Al (%) <5 5-10 11-20 20-40 >40

sangat masam masam agak masam netral agak alkalis alkalis

pH H2O <4.5 4.5-5.5 5.5-6.5 6.5-7.5 7.6-8.5 >8.5


(47)

Tabel Lampiran 2. Data Curah Hujan pada Masa Penanaman Jagung.

Tanggal Curah Hujan (mm)

Oktober 2009 November 2009 Desember 2009 Januari 2009

1 - 0.00 25.91 11.43

2 - 0.00 9.65 10.67

3 - 6.10 0.00 21.59

4 - 0.00 0.25 20.83

5 - 0.00 3.05 44.70

6 - 0.00 32.52 7.87

7 - 0.00 25.15 100.08

8 - 0.00 32.51 39.62

9 - 0.00 38.10 6.10

10 - 0.00 120.87 9.91

11 - 2.29 1.52 17.28

12 - 14.48 0.00 3.05

13 - 51.56 0.25 0.00

14 - 21.08 0.00 0.51

15 - 152.20 16.25 15.74

16 - 1.02 0.25 0.25

17 - 0.00 0.00 4.57

18 - 2.03 0.00 17.02

19 - 23.37 4.83 85.86

20 - 116.59 3.30 1.52

21 - 113.54 0.25 0.00

22 - 160.52 0.00 4.83

23 0.00 64.25 2.79 2.03

24 0.00 14.99 0.00 0.51

25 0.51 0.25 3.05 0.51

26 0.00 35.56 48.77 1.02 27 0.00 16.51 16.51 43.68 28 19.56 125.22 34.54 8.38

29 0.00 1.52 15.49 -

30 0.25 30.48 6.10 -

31 0.25 13.46 108.97 -


(48)

 

      35 

                                                                                                                                                                                                                                                                                           

      1 2 3 4 6      

     

      8 10 14 1 2      

     

      3 4 6 8 10      

     

      14 1 2 3 4      

     

      6 8 10 14 1      

     

      2 3 4 6 8      

     

      10 14 1 2 3      

     

                                                                                                                                      

     

                                                                                                                                                                                                                                                                             

Gambar Lampiran 1. Titik-titik Pengambilan Contoh Tanah dalam Satu Petak. Angka pada gambar adalah minggu dan titik

pengambilan contoh tanah.

   

U

12 m 

8 m Gawangan Guludan Tanaman Jagung 80 cm 40 cm


(49)

LARAS DEWI ADISTIA. Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays): Dinamika Kadar C-organik dan N-tersedia pada Andisol Lembang, Jawa barat (Di bawah bimbingan ARIEF HARTONO dan LILIK TRI INDRIYATI).

Penelitian Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays) : Dinamika Kadar karbon (C) organik dan nitrogen (N) tersedia pada Andisol Lembang Jawa Barat ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2009 hingga Mei 2010. Penelitian di lapangan dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jawa Barat, sementara analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar C-organik dan juga kadar N-tersedia (ammonium dan nitrat) pada tanah yang diberi perlakuan kotoran sapi. Perlakuan yang diberikan adalah 0 ton ha-1 and 20 ton ha-1 kotoran sapi. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, dan 14 pada daerah perakaran (rhizosfer).

Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perubahan kadar C-organik serta kadar ammonium (N-NH4+) dan nitrat (N-NO3-) pada minggu-minggu

pengambilan contoh tanah baik pada petak kontrol dan petak yang diberi perlakuan kotoran sapi. Proses nitrifikasi terjadi sejak minggu pertama inkubasi. Kadar NO3- jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar NH4+ pada setiap periode

pengambilan contoh tanah. Kadar N-NO3- mulai terlihat naik sejak minggu ke-3

inkubasi, diikuti dengan menurunnya kadar N-NH4+.

N-tersedia adalah Total dari N-NH4+ dan N-NO3-. Data N-tersedia pada

petak kontrol dan petak kotoran sapi disimulasi dengan menggunakan persamaan first order kinetic yaitu N=Nm (1-exp(-kt)), dengan N adalah konsentrasi N-tersedia, Nm adalah nilai N yang berpotensi termineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi, dan t adalah waktu dalam minggu. Persamaan first order kinetic untuk petak kontrol adalah N=560 (1-exp-0.242t) dengan nilai R2 sebesar 0.51 dan untuk petak kotoran sapi adalah N=717 (1-exp-0.223t) dengan R2 0.72. Berdasarkan nilai Nm dapat dilihat bahwa N yang berpotensi termineralisasi pada perlakuan kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan petak kontrol, tetapi konstanta kecepatan mineralisasi N pada petak kontrol lebih cepat dibandingkan dengan petak yang diberi perlakuan kotoran sapi. Nilai R2 yang tinggi (0.5-1.0) menunjukkan bahwa persamaan-persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi laju N-tersedia pada minggu ke-t pada tanah Andisol Lembang. Dengan persamaan ini dapat dihitung bahwa N yang dapat termineralisasi akan habis pada minggu ke-30 setelah tanam.


(50)

LARAS DEWI ADISTIA. Application of Cow Dung on Maize (Zea mays) Crop Cultivation: Dynamic of Organic-C and Available-N in Andisol Lembang, West Java (Under supervision of ARIEF HARTONO and LILIK TRI INDRIYATI).

The research of Application of Cow Dung on Maize Crop (Zea mays) Cultivation: Dynamic of organic-C and available-N in Andisol Lembang, West Java was conducted since October 2009 until May 2010. The Research was conducted in field of Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Indonesian Vegetable Research Institute) Lembang, West Java and for chemical analyses were conducted in Soil Chemistry and Fertility Laboratory, Department of Soil Science and Land Resource Management, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. The objectives of this research were to observe dynamic of organic-C and available-N in soil that was applied by cow dung on maize cultivation. The rates of cow dung applied were 0 ton ha-1 and 20 ton ha-1. Soil samples were collected at 1st, 2nd, 3rd, 4th, 6th, 8th, 10th, 14th week after planting in rhizosphere zone.

The results showed that organic-C and available-N (Ammonium and Nitrate) changed with time of sampling in control plot and cow dung plot. Nitrification process occured since a week after planting. Nitrate (N-NO3-)

contents were much higher compare to ammonium (N-NH4+) contents on each

time of sampling. Nitrate (N-NO3-) became to increase since third week after

sampling. This increase was followed by the decrease of ammonium (N-NH4+)

contents.

Available-N was total amount of N-NH4+ and N-NO3-. The available-N

control plot and cow dung plot were simulated by first order kinetics equation model N=Nm(1-exp(-kt)), where N is concentration of available-N, Nm is amount of potential mineralized N, k is the rate constant of mineralization, and t is time in weeks. The First order kinetics equation for control plot was N=560(1-exp(-0.242t)) with R2 value was 0.51. The First order kinetics equation for cow dung plot was N=717(1-exp(-0.223t)) with R2 value was 0.72. The Equations suggested that amount of potential mineralized N in cow dung plot was higher than control plot but the rate constant of mineralization in cow dung plot was lower than control plot. The high value of R2 (0.5-1.0) suggested that this equations can be used to predict rate of N-mineralization in Andisol Lembang. By using these equations it is estimate that potential mineralized N will end in 30th week after planting.


(51)

ANDISOL LEMBANG JAWA BARAT

Laras Dewi Adistia A14062917

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(52)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Andisol termasuk tanah yang tersebar luas di Indonesia. Luas tanah Andisol di Indonesia mencapai 5.4 juta ha, atau sekitar 2.9% wilayah daratan Indonesia (Puslittanak, 2000). Andisol ditemui pada topografi berbukit dan bergunung. Andisol tersebar di wilayah volkan yang masih aktif maupun tidak aktif seperti di Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Maluku (Puslittanak, 2000).

Salah satu wilayah yang terdapat Andisol di Jawa adalah Lembang, Jawa Barat. Di Lembang, Andisol merupakan tanah yang digunakan secara luas oleh petani, untuk pertanian hortikultur (sayuran). Andisol Lembang terbentuk dari abu volkan yang bersifat andesitik. Abu volkan ini berasal dari Gunung Tangkuban Perahu (Tan dan Van Schuylenborgh, 1961). Analisis mineral liat dengan menggunakan XRD (X Ray Diffraction) yang telah dilakukan oleh Hartono (2007), menunjukkan bahwa semua mineral liat yang terdapat pada Andisol Lembang adalah mineral liat amorf.

Mineral liat dari Andisol Lembang didominasi oleh alofan (Tan, 1965). Alofan merupakan mineral liat yang memiliki muatan bergantung pH. Mineral ini dapat meretensi fosfor dalam jumlah banyak, sehingga sering ditemui pada Andisol masalah ketersediaan fosfor (Tan, 1991; Hartono, 2007).

Untuk mengatasi masalah retensi fosfor petani di Lembang umumnya menggunakan bahan organik. Bahan organik digunakan sebagai bahan pembenah tanah (ameliorant) sekaligus pupuk untuk meningkatkan produktivitas lahan pertaniannya yang secara umum ditanami tanaman sayuran.

Penggunaan bahan organik sebagai pupuk sangat berkembang luas karena dewasa ini para petani di Lembang mengembangkan pertanian organik. Oleh karena itu penggunaan pupuk N (Urea), P (SP 18) dan K (KCl) inorganik sangat dikurangi. Secara umum pupuk organik yang diberikan adalah pupuk kandang. Pupuk kandang yang sering digunakan oleh petani di Lembang adalah pupuk dari kotoran sapi. Dosis kotoran sapi yang diberikan oleh petani umumnya berkisar 20 ton ha-1.


(53)

Telah banyak penelitian mengenai masalah retensi fosfor pada Andisol, namun belum banyak yang meneliti bagaimana dinamika C-organik dan N-tersedia yang terjadi pada Andisol Lembang. Studi statistika menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara bahan organik dan nitrogen (Tan, 1984). Penelitian-penelitian tentang dinamika N-tersedia lebih banyak dilakukan di luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Gale et al., (2006), yang mengestimasi dekomposisi dari bahan organik dengan perlakuan kotoran kelinci pada Mollisol di Washington, Amerika, dan Miranda et al., (2008) yang meneliti dinamika nitrogen pada pertanaman jagung di Andisol Nicaragua. Penelitian tentang dinamika C dan N yang pernah dilakukan di Indonesia adalah penelitian oleh Funakawa et al., (2009) yang dilaksanakan di perladangan berpindah Kalimantan Timur.

Penggunaan bahan organik yang kontinyu di lahan pertanian di Lembang suatu saat tentu akan mengganggu sistem perairan disamping efeknya yang positif terhadap pertanian organik. Oleh karena itu sebagai penelitian awal penting untuk mengetahui dinamika nitrogen pada Andisol setelah pemberian bahan organik.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar C-organik dan juga kadar N-tersedia yaitu ammonium (N-NH4+) dan nitrat


(54)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Andisol

Andisol terbentuk dari mineral liat alofan, memiliki pH H2O antara

5.0-7.0, kandungan bahan organik sekitar 10-30%, kejenuhan basa sedang (30-70%), teksturnya lempung hingga debu, struktur remah, dan konsistensi gembur. Andisol dapat terbentuk pada topografi yang bergelombang melandai dan berbukit, di kerucut dan lahar volkan, atau di dataran tinggi volkan, dengan keadaan curah hujan 2500-7000 mm per tahun. Dengan sifat-sifat seperti ini Andisol sering digunakan untuk tanaman sayuran, tanaman bunga, teh , kopi, kina, dan hutan pinus (Soepraptohardjo, 1975).

Andisol adalah tanah yang mempunyai sifat andik 60% atau lebih pada permukaan tanah mineral atau puncak lapisan organik yang bersifat andik, jika tidak ada kontak densik, litik, atau paralitik, duripan, atau horizon petrokalsik di dalam keadaan tersebut (Rachim, 2001).

Andisol adalah tanah berwarna hitam atau coklat tua, remah, kandungan bahan organik tinggi, licin bila dipirid, teksturnya sedang, bersifat porous, pemadasan lemah dan sedikit akumulasi liat sering ditemukan di lapisan bawah (Hardjwigeno, 2003).

2.2. Bentuk-bentuk Nitrogen dan Mineralisasi Nitrogen

Nitrogen tersedia dalam jumlah sedikit dalam tanah tetapi dibutuhkan banyak oleh tanaman. Bentuk tersedia dari nitrogen untuk tanaman adalah dalam bentuk N-NH4+ dan N-NO3-. Cadangan nitrogen utama adalah nitrogen bebas N2,

yang meliputi 78 persen dari volume atmosfer. Nitrogen dalam bentuk N2 tidak

segera tersedia bagi tanaman. Nitrogen merupakan unsur yang mudah bertransformasi. Nitrogen yang masuk ke dalam biosfer terutama disebabkan oleh kegiatan jasad mikro penambat nitrogen baik yang hidup bebas atau bersimbiosis dengan tanaman. Bila tanaman atau jasad mikro penambat nitrogen mati, bakteri pembusuk melepaskan asam amino dari protein, dan bakteri amonifikasi kemudian melepaskan ammonium dari group amino, yang selanjutnya dilarutkan


(55)

dalam tanah. Ammonium kemudian diubah menjadi nitrit kemudian nitrat oleh bakteri nitrifikasi dan dapat diserap tanaman (Soepardi, 1983).

N-total merupakan kandungan nitrogen tanah baik dalam bentuk anorganik (N-NH4+, N-NO3-, N-NO2-) dan organik meliputi protein, asam amino, gula

amino, dan N organik yang terimobilisasi dalam organisme tanah. N-total merupakan keseluruhan dari N-tersedia (N-NH4+, N-NO3-) dan N tak tersedia.

N-NH4+ yang sangat tersedia bagi tanaman yaitu yang berada pada larutan tanah,

yang cukup tersedia adalah N-NH4+ yang terdapat pada kompleks pertukaran

dengan mineral lempung atau kompleks organik, dan yang belum tersedia adalah yang terikat dalam bahan organik atau masuk dalam interlayer mineral lempung tipe 2:1 (Syukur dan Harsono, 2008).

Perubahan bentuk nitrogen dari bahan organik dalam tanah dapat melalui berbagai macam proses antara lain proses aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dari bahan organik (protein) oleh mikroorganisme. Amonifikasi adalah pembentukkan ammonium dari senyawa amino oleh mikroorganisme. Nitrifikasi adalah perubahan dari ammonium (N-NH4+) menjadi nitrit (N-NO2-) yang dibantu oleh mikroorganisme Nitrosomonas

kemudian N-NO2- kemudian menjadi nitrat (N-NO3-) dengan dibantu oleh

mikroorganisme Nitrobacter. Berikut ini adalah reaksi-reaksi kimia dari proses-proese perubahan bentuk nitrogen dalam tanah :

Aminisasi : Bahan organik (N-organik) + enzim (mikroorganisme) senyawa amino (R-NH2) + CO2 + Energi.

Amonifikasi : R-NH2 +HOH R-OH +NH3 + Energi

NH3 + HOH NH4+ + OH

-Nitrifikasi : N-NH4+ + 3O2 2NO2- + 2H2O + 4H+ + E

2NO2- + O2 2NO3- + E (Hardjowigeno,2007).

Komposisi biokimia (kandungan N , Nisbah C/N, lignin, dan sebagainya) merupakan faktor penting yang mengatur mineralisasi N. Peneliti banyak yang melihat hubungan statis antara sisi biokimia dan jumlah mineralisasi N pada akhir masa inkubasi. Namun perbedaan waktu inkubasi menyebabkan perbedaan dalam jumlah bersih N mineralisasi sehingga panjang inkubasi juga mempengaruhi hubungan dengan komposisi biokimia mineralisasi N (Chaves et al., 2004).


(56)

2.3. Bahan Organik dan Pupuk organik

Bahan organik tanah merupakan hasil pelapukan sisa tanaman atau hewan yang bercampur dengan bahan mineral tanah. pembentukkannya dalam tanah umumnya terjadi secara alami. Kadar bahan organik dalam tanah dengan mudah dapat berkurang karena proses-proses perombakan oleh jasad mikro tanah (Suhardjo, et al., 1993).

Kandungan bahan organik berbeda-beda pada tanah yang berbeda. Tanah-tanah di daerah pegunungan seperti Andisol dapat memiliki bahan organik lebih dari 5%. Tanah yang bertekstur kasar dan sering digunakan untuk pertanian intensif tanpa pengembalian cukup bahan organik dapat mengandung bahan organik kurang dari 1% sedangkan pada tanah gambut bahan organik yang ada bisa sampai 100% (Anwar dan Sudadi, 2007).

Penambahan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos dapat meningkatkan unsur tersedia bagi tanaman salah satunya unsur N. Penambahan pupuk organik dalam pengaruhnya untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara memang lebih sedikit dibandingkan dengan penambahan pupuk anorganik, tetapi dapat lebih cepat terdekomposisi (Widowati, 2007).

Kotoran sapi merupakan salah satu bentuk pupuk organik. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah mengalami dekomposisi yang berakhir dengan mineralisasi dan terbentuknya bahan yang relatif resisten yaitu humus. Humus yang tersusun dari selulosa, lignin, dan protein mempunyai kandungan C-organik umumnya sebesar 58% sehingga dapat dipahami bahwa pemberian kotoran sapi akan meningkatkan jumlah humus dalam tanah yang juga berarti meningkatkan C-organik tanah (Syukur dan Harsono, 2008). Peningkatan C-C-organik dalam tanah juga akan meningkatkan bahan organik tanah (Brady, 1990).

Menurut Inoko (1982), beberapa komponen nitrogen dalam limbah hewan atau lumpur terurai dengan mudah. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa kotoran sapi dapat memberikan energi bagi kehidupan mikroorganisme tanah, menambah inokulum ke dalam tanah, serta memperbaiki kondisi lingkungan terutama aerasi dan kelembaban tanah. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah dengan nisbah C/N>30 segera diubah secara cepat oleh mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi, dan aktinomycetes.


(57)

Kemampuan dekomposisi bahan organik tanah cukup mirip dengan tingkat mineralisasi N per unit dari total organik N yang ada pada tanah. bahan organik tanah cukup stabil pada kurun waktu beberapa tahun (Miranda et al., 2008).

Proses pengomposan dan penyimpanan dari material organik dengan nisbah C/N yang rendah, akan mengurangi proses kemampuan dekomposisi. Tetapi hal itu sering tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan C/N karena kehilangan C dan N biasanya bersamaan dengan proses dekomposisi (Gale et al., 2006).

2.4. Jagung (Zea mays)

Jagung termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, ordo Graminae, famili Graminaceae, genus Zea dan spesies Zea mays (Purwono dan Hartono, 2008).

Tanaman jagung berasal dari daerah tropis dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Daerah yang baik untuk sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis atau tropis basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 50˚ LU-40˚ LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya adalah antara 27-32˚ C (Purwono dan Hartono, 2008).

Tanaman Jagung dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1000- 1800 m di atas permukaan laut (dpl). Namun daerah dengan ketinggian optimum 0-600 m dpl paling baik bagi pertumbuhan tanaman jagung dengan curah hujan 85-200 mm/bulan. Penanaman jagung baik dilakukan pada awal musim hujan atau menjelang musim kemarau (Badan Litbang Pertanian, 2009).

Menurut Djaenudin (2000), persyaratan tanah untuk pertumbuhan tanaman jagung yang optimal adalah tanah yang dalam solumnya, konsistensi gembur, permeabilitas sedang, drainase cepat dan baik, dan pada pH sekitar 5.8-7.8.

Jagung hibrida memberikan hasil sekitar 0.5 hingga 1 ton ha-1 lebih tinggi dibandingkan dengan jagung bersari beras. Jagung sebagian besar ditanam di


(58)

lahan kering (79%) dan sebagian lagi (25%) di lahan sawah irigasi (Puslitbangtan, 1992 dalam Puslittanak, 1997).

2.5. Persamaan First Order Kinetic

Penggambaran untuk kinetika mineralisasi N tanah berfokus pada penggunaan model-model persamaan first order (Stanford dan Smith, 1972; Lerch et al, 1992). Model-model first order ini didasarkan pada asumsi bahwa tingkat mineralisasi N sebanding dengan jumlah N tersedia, dengan persamaan dN/dt = -kNm dimana N adalah konsentrasi N tersedia, Nm adalah jumlah N yang berpotensi termineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi, dan t adalah waktu. Model persamaan first order kinetic merupakan integral dari persamaan tersebut sehingga didapatkan persamaan untuk first order kinetic adalah N = Nm(1-exp(-kt)) (Lerch et al., 1992).

Model persamaan first order kinetic digunakan untuk mengestimasi hasil analisis N-tersedia. Neve dan Hofman (1996) menjelaskan bahwa bentuk dari kurva mineralisasi N dapat disimulasikan dengan kurva persamaan first order kinetic yaitu dengan persamaan N = Nm (1-exp(-kt)) dimana Nm merupakan potensial N yang dapat dimineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi, dan t adalah waktu inkubasi.


(59)

III.

BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Bandung serta di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini dilaksanakan sejak Oktober 2009 hingga Mei 2010.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah kotoran sapi yang telah diinkubasi selama tiga minggu dan disaring, benih jagung hibrida, bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis di laboratorium.

Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah peralatan di lapang seperti cangkul, kored, tugal, skop, stik bambu, dan tali raffia, pisau, ring sample, plastik untuk contoh tanah, dan plastic tape. Alat-alat keperluan penelitian di laboratorium antara lain adalah timbangan dan alat-alat gelas seperti gelas piala, gelas ukur, botol penampung, labu destilasi, buret, erlenmeyer, labu takar, dan sebagainya.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, dengan menggunakan dua perlakuan yaitu perlakuan kontrol (0 ton ha-1) dan perlakuan kotoran sapi (20 ton ha-1). Masing-masing perlakuan memiliki tiga kali ulangan yaitu tiga petak kontrol dan tiga petak perlakuan kotoran sapi.

3.3.1. Petak Penelitian

Lahan selebar 72 m x 12 m dibagi menjadi enam petak dengan masing-masing petak berukuran 12 m x 8 m. Setiap petak terdiri dari 11 baris dengan jarak parit antar petak adalah 80 cm. Denah lahan ditampilkan pada Gambar 1 sedangkan denah tanaman dalam satu petakan dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1.


(60)

Gambar 1. Denah Lahan Penelitian di Lapang.

Jarak parit antar petak Petak kotoran sapi

(20 ton ha-1)

Petak kontrol

72 m

12 m

8 m

U


(1)

Lampiran 4. Prosedur Penetapan C-organik dengan metode Walkley and Black

1. Timbang tanah 0.5 gram yang lolos saringan 0.05 mm. 2. Tempatkan tanah dalam labu Erlenmeyer 500 ml.

3. Pipet 10 ml K2Cr2O7 1 N ke dalam erlenmeyer, goyang secara perlahan

hingga tanah terdispersi dalam larutan.

4. Tambahkan 20 ml H2SO4 pekat ke dalam Erlenmeyer. Goyang dengan

cepat. Usahakan agar tidak ada partikel tanah yang terlempar ke dinding labu Erlenmeyer. Diamkan campuran tersebut selama 30 menit.

5. Tambahkan 100 ml air destilata ke dalam erlenmeyer. Diamkan 30 menit hingga dingin.

6. Tambahkan 4-5 tetes indicator ferroin 0.025 M.

7. Titrasi dengan FeSO4 0.5 N. titik akhir titrasi dicapai jika larutan berubah

warna menjadi merah anggur.

8. Buat titrasi untuk blanko juga dengan cara yang sama tetapi tidak dengan contoh tanah.


(2)

Lampiran 5. Prosedur Penetapan C-organik Kotoran Sapi dengan Metode Pengabuan Kering

1. Timbang cawan yang akan digunakan untuk contoh tanah yang akan di oven. Catat beratnya (A).

2. Timbang cawan (1) bersama dengan contoh tanah kotoran sapi. Contoh tanah kotoran sapi yang digunakan timbang sekitar 5 gr (B).

3. Oven selama 24 jam dengan suhu 105˚C.

4. Setelah 24 jam, timbang lagi berat cawan dan contoh tanah tersebut. Catat nilainya (C).

5. Masukkan ke dalam tanur dengan suhu 700˚C untuk proses pembakaran selama 2 jam.

6. Diamkan selam ± 1 hari, buka tanurnya. Timbang beratnya (D). 7. Hitung kadar bahan organik dan kadar abunya dengan rumus :


(3)

Lampiran 6. Prosedur Penetapan N-total Kotoran Sapi dengan Metode N-Kjeldahl

1. Timbang 0.5 gr kotoran sapi.

2. Masukkan contoh tanah tersebut ke dalam labu digestion.

3. Tambahkan campuran Se sebanyak satu sudip ke dalam labu digestion. 4. Tambahkan H2SO4 pekat 5 ml.

5. Digestion selama 1 jam atau hingga contoh tanah berubah warna menjadi kehijauan.

6. Lanjutkan digestion hingga ± 15 menit. Matikan alat digestion. Tunggu hingga agak dingin.

7. Masukkan contoh tanah ke dalam labu destilasi.

8. Tambahkan air destilata ± 100 ml ke dalam labu destilasi. 9. Kemudian tambahkan NaOH 50% sebanyak 20 ml.

10.Untuk penampungnya, pipet 10 ml H3BO3 1 % pada labu Erlenmeyer 250

ml, kemudian tambahkan 5 tetes indicator Conway.

11.Destilasi dilakukan hingga ekstrak yang tertampung mencapai 75 ml. 12.Hasil destilasi kemudian di titrasi dengan HCl 0.05 N. Titik akhir titrasi

dicapai ketika warna berubah menjadi merah anggur.

13.Lakukan juga untuk penetapan blanko dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan contoh kotoran sapi.


(4)

Tabel Lampiran 1. Parameter Sifat Kimia Tanah.

Parameter tanah Nilai

sangat rendah rendah sedang tinggi sangat tinggi

C (%) <1 1-2 2-3 3-5 >5

N (%) <0.1 0.1-0.2 0.21-0.5 0.51-0.75 >0.75 P-P2O5 HCl 25% (cmol kg-1) <5 5-10 11-15 16-25 >25

P Bray I (mg kg-1 P) <4 5-7 8-10 11-15 >15 KTK (me/100g) <5 5-16 17-24 25-40 >40

susunan kation

Ca (cmol kg-1) <2 2-5 6-10 11-20 >20 Mg (cmol kg-1) <0.3 0.4-1 1.1-2.0 2.1-8.0 >8

K (cmol kg-1) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.5 0.6-1.0 >1 Na (cmol kg-1) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 >1

KB (%) <20 20-40 41-60 61-80 >80 kejenuhan Al (%) <5 5-10 11-20 20-40 >40

sangat masam masam agak masam netral agak alkalis alkalis

pH H2O <4.5 4.5-5.5 5.5-6.5 6.5-7.5 7.6-8.5 >8.5


(5)

Tabel Lampiran 2. Data Curah Hujan pada Masa Penanaman Jagung.

Tanggal Curah Hujan (mm)

Oktober 2009 November 2009 Desember 2009 Januari 2009

1 - 0.00 25.91 11.43

2 - 0.00 9.65 10.67

3 - 6.10 0.00 21.59

4 - 0.00 0.25 20.83

5 - 0.00 3.05 44.70

6 - 0.00 32.52 7.87

7 - 0.00 25.15 100.08

8 - 0.00 32.51 39.62

9 - 0.00 38.10 6.10

10 - 0.00 120.87 9.91

11 - 2.29 1.52 17.28

12 - 14.48 0.00 3.05

13 - 51.56 0.25 0.00

14 - 21.08 0.00 0.51

15 - 152.20 16.25 15.74

16 - 1.02 0.25 0.25

17 - 0.00 0.00 4.57

18 - 2.03 0.00 17.02

19 - 23.37 4.83 85.86

20 - 116.59 3.30 1.52

21 - 113.54 0.25 0.00

22 - 160.52 0.00 4.83

23 0.00 64.25 2.79 2.03

24 0.00 14.99 0.00 0.51

25 0.51 0.25 3.05 0.51

26 0.00 35.56 48.77 1.02 27 0.00 16.51 16.51 43.68 28 19.56 125.22 34.54 8.38

29 0.00 1.52 15.49 -

30 0.25 30.48 6.10 -

31 0.25 13.46 108.97 -


(6)

      35                                                                                                                                                                                                                                                                                             

      1 2 3 4 6      

     

      8 10 14 1 2      

     

      3 4 6 8 10      

     

      14 1 2 3 4      

     

      6 8 10 14 1      

     

      2 3 4 6 8      

     

      10 14 1 2 3      

     

                                                                                                                                      

     

                                                                                                                                                                                                                                                                             

Gambar Lampiran 1. Titik-titik Pengambilan Contoh Tanah dalam Satu Petak. Angka pada gambar adalah minggu dan titik

pengambilan contoh tanah.

   

U 12 m 

8 m Gawangan Guludan Tanaman Jagung 80 cm 40 cm